Monday, December 22, 2014

Lionel Messi (3 - Habis): Belum Teruji Di Premier League

Selain titel Piala Dunia, faktor lain yang mencurigai kadar kelegendaan Lionel Messi tiada lain soal kiprah satu-satunya di Barcelona dan hanya bermain di La Liga. Beda dengan Diego Maradona yang selain merumput di tanah Spanyol juga bermain di Serie A dan Liga Argentina, tidak demikian dengan Messi. Berbeda dengan Cristiano Ronaldo yang pernah tampil di Premier League Inggris dan Primeira Liga Portugal. Buat sebagian pihak, hal ini ternyata sangat signifikan menjadi satu hipotesis.
 faktor lain yang meragukan kadar kelegendaan Lionel Messi tiada lain soal kiprah satu Lionel Messi (3 - Habis): Belum Teruji di Premier League
Akankah Lionel Messi seumur hidupnya hanya bermain di La Liga?
Bahkan Messi itu belum pernah merumput di Liga Apertura atau Clausura di negerinya sendiri! Lantas bagaimana jikalau Messi bertemu klub papan bawah Premier League atau kasta lebih rendah lagi yang dikenal punya bek-bek bengis dan kejam tiada ampun? Membayangkan Messi beraksi di depan Stoke City atau Millwall di Piala FA bakal menjadi keinginan tersendiri buat khalayak dunia. Di langgar resmi, selama ini Barcelona hanya bertanding dengan klub-klub papan atas di ajang Liga Champion. Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, dan Manchester United.

Begitu pula andai Messi main di Italia yang punya barisan pertahanan super ketat. Apakah beliau sanggup melewatinya dan tetap menjadi raja gol seperti yang disandangnya di Spanyol dan Eropa? Sepak bola olah raga unik. Kadang-kadang tubruk terberat bukan dikala meladeni klub-klub elite, tapi justru di depan klub-klub kecil berteknik lemah yang sangat mengandalkan kekuatan fisik. Lepas dari segala argumentasi, benar juga kalau disebut Messi belum teruji terutama di Inggris dan Italia.

Paul Hayward, redaktur olah raga The Telegraph bahkan menyebut Liga Spanyol tidak mempunyai kekuatan paripurna dan pertahanan sempurna untuk menghentikan sepak terjang penyerang. Faktor inilah kenapa Messi, termasuk Cristiano Ronaldo, terus merajalela di Spanyol. Ronaldo melaksanakan banyak tipuan untuk mengelabui bek-bek Premier League sewaktu membela Manchester United. Dia juga beberapa kali terkena kartu merah akibat emosi yang bablas setelah habis akal.

Tensi Ronaldo kini jauh lebih kalem di La Liga. Messi malah belum pernah mencicipi provokasi pemain dan tekanan penonton khas Inggris atau Italia. Secara masif, dia tak pernah dikerjai bek keras bin kerok macam Ryan Shawcross atau Giorgio Chiellini. Berbeda dengan La Liga, Premier League dan Serie A punya kesamaan esensial di mana sepak bola hasil jadi tujuan utama. "Untuk menghormati ciri khas sebagai hiburan, La Liga berubah menjadi menjadi permainan basket bagi kedua superstar-nya," tulisnya.

Kelemahan klub-klub Spanyol yaitu counter-balancing force, kekuatan menahan serangan balik yang menciptakan Messi dan Ronaldo sangat merajalela, duopoli yang sulit dilarang serta nyaris untouchables. Saat itu baik Messi maupun Ronaldo bak banteng mengamuk. Jika keduanya sudah satu melawan satu dengan bek, maka 90 persen menghasilkan gol. Bayangkan dalam sepekan di pekan kedua Desember, dua megabintang itu mencatat rekor-rekor yang bikin mata orang mendelik.

Sepak Bola Ding-Dong

 faktor lain yang meragukan kadar kelegendaan Lionel Messi tiada lain soal kiprah satu Lionel Messi (3 - Habis): Belum Teruji di Premier League
Faktanya, di Inggris Lionel Messi hanya bisa bikin satu gol.
Usai mencetak hattrick ke gawang Celta Vigo, Ronaldo mengemas rekor barunya: 23 kali mencetak tiga gol atau lebih yang menumbangkan Alfredo Di Stefano dan Telmo Zarraonandia Montoya (22 kali). Tak usang kemudian, Messi juga menumbangkan rekor total gol Telmo Zarra (251). Tiga golnya ke gawang Espanyol melambungkan rekor baru dengan 253 gol. Sistem permainan di La Liga terang-jelas menyuburkan kedua bintang saling memperbarui rekor-rekor sensasional.

Messi dan Ronaldo memasuki zaman keemasan. Keterampilan yang memukau, aplikasi permainan yang di atas rata-rata, kharismatik, atletis; merupakan hiasan asli publik layaknya matador usai menusuk-nusuk punggung banteng kemudian mengeksekusinya sampai tewas. Penonton pun bersorak kegirangan "ole! ole! ole!". Sungguh pemandangan yang ironis mengingat di abad sepak bola modern, dominasi seharusnya sulit mendapat daerah.

Mencetak gol selalu ditunggu-tunggu dalam sepak bola. Namun terlalu mudah mencetak gol melahirkan banyak pertanyaan. Apakah keduanya terlalu dihormati atau dilindungi? Bagaimana La Liga jika mereka usang cedera barengan? Ada apa dengan sistem permainan? Apa sebab mereka itu pemain Real Madrid dan Barcelona? Seberapa jauh kepentingan para sponsor, pengiklan, bahkan pemegang hak siar atas terciptanya sensasi Messi dan Ronaldo setiap pekan?

Lupakan praduga liar seperti itu. Sistem permainan sepertinya paling disorot. Andai pun bukan Messi atau Ronaldo, maka Karim Benzema, Gareth Bale, Isco, James Rodriguez, Neymar Da Silva atau Luis Suarez bakal bertindak sebagai pengganti mereka secara otomatis. Perlu diingat, lewat talenta dan keterampilannya, seorang Messi mampu bikin gol dari setengah lusin sudut tanpa perlawanan. Di Inggris Messi hanya bisa bikin satu gol. Ketidak-seimbangan permainan di La Liga pun semakin jelas.

Di Premier League, Messi mampu sangat menderita, terutama menghadapi bek-bek Stoke City, West Ham, atau Southampton. Ronaldo, Thierry Henry, Ruud van Nistelrooij hingga Luis Suarez pun merasakannya. Mereka pernah 'dizalimi' bek-bek Premier League. Perbedaan rasa permainan, ditambah dengan kehebatan talenta kadangkala membuat laga-laga di La Liga mirip sepak bola ding-dong.

Boleh disebut semua ini dikarenakan oleh sistem. Gara-gara sistem seperti ini pula lahir anggapan stereotif bahwa bek-bek di Spanyol berkelas rata-rata. Kehebatan pemain butuh kekuatan besar lawan biar terlihat semakin brilyan. Sayang La Liga tidak menyediakan. Inikah yang menjadikan Messi dan Ronaldo menerima nirwana reputasinya?

(foto: isu-mali/soccermaylife)

Sunday, December 21, 2014

Lionel Messi (2): Diimpikan Korea Utara

Ada sebuah cerita dari Korea Utara belum usang ini. Kisah wacana harapan anak-anak negeri itu di kurun depan. Apakah mereka berhasrat menjadi tentara dan siap berperang dengan Korea Selatan? Tidak, belum waktunya. Apakah pada bermimpi pergi ke Eropa untuk menyaksikan pribadi aksi para bintang? Tidak, justru sebaliknya.
Ada sebuah cerita dari Korea Utara belum lama ini Lionel Messi (2): Diimpikan Korea Utara
Fenomena kepopuleran Lionel Messi di Korea Utara.
Menurut seorang pejabat tinggi asosiasi sepak bola Korea Utara, belum dewasa mereka ternyata amat keranjingan dengan Lionel Messi. Singkat kata, sang pejabat itu berniat mengundang bintang Argentina dan Barca itu ke negerinya sesudah mendengar permintaan bawah umur mereka. Ucapan ini mengakibatkan spekulasi terselubung.

Beberapa media massa di Barat menduganya bukan dari impian para bocah, namun bekerjsama kemauan sang pemimpin; Kim Jong-un. Sudah jadi buah bibir di seantero negeri bahwa Kim Jong-un sangat menggemari sepak bola mirip ayahnya, Kim Jong-il dan kakeknya, Kim Il-sung, sang yang kuasa negeri pintu besi.

Ada sebuah cerita dari Korea Utara belum lama ini Lionel Messi (2): Diimpikan Korea Utara
Apakah Lionel Messi juga mengidolai Kim Jong-un, setidaknya gayanya?
Di balik sifat introvert-nya diktator berusia 31 tahun itu amat kondang sering membuat sensasi. Selain aneh bola, putra bungsu mendiang Kim Jong-il itu juga penggemar bola basket. Februari 2013, tanpa diduga Jong-un mengundang bintang basket AS, Dennis Rodman dan rombongan Harlem Globetrotters ke negerinya untuk bereksibisi. Di lalu hari, Jong-un malah berteman dengan Rodman. Kedatangan Messi agaknya menjadi tujuan berikutnya untuk menebar kegemparan.

"Saya ingin undang Messi alasannya adalah belum dewasa kami mencintainya," sebut Han Un-gyong, satu-satunya perempuan se-Korea Utara yang menjadi Exco di AFC, konfederasi sepak bola Asia. Menurut Un-gyong, bawah umur Korea Utara segala umur dan jenis kelamin, selalu menyebut nama Messi saat ditanyakan siapa pemain idola mereka. "Mereka menyayangi alasannya adalah Messi orang yang sangat jujur dan ikhlas ikhlas. Dia menyayangi belum dewasa," tambahnya. Anak-anak yang dimaksud Un-gyong adalah murid di Sekolah Sepak Bola Internasional di PyongYang yang didirikan Kim Jong-un. Popularitas Messi menembus batas terdalam ke negeri paling tertutup sedunia itu. Tidak saja pemimpinnya, tetapi juga semua anak-anaknya mengidolai Messi. Mereka membaca apapun tentangnya, menontonnya via TV dan internet. Apakah nama Messi akan melegenda baka di Korea Utara? Waktulah yang memilih. 

(foto: mid-day/scmp/indiatimes/ibtimes)

Lionel Messi (1): Raja Tanpa Mahkota

Ia merupakan sesuatu di pikiran orang yang tahu sepak bola dan menggilainya; yang juga tidak tahu sepak bola bahkan membencinya; wacana bagaimana seharusnya sepak bola itu dimainkan, bagaimana pesepak bola yang seharusnya. Dia ialah perwujudan dan impian sepak bola itu sendiri, bahkan sebagai simbol, hakikat, atau tujuan permainan.

Ia merupakan sesuatu di pikiran orang yang tahu sepak bola dan menggilainya Lionel Messi (1): Raja Tanpa Mahkota
Dalam lingkup sepak bola, dijuluki manusia setengah yang kuasa.
Inilah cerita wacana seorang satria gol, seorang raja sepak bola. Kita kehabisan kata untuk memuji, membayangkan, atau menggambarkan siapa Lionel Andres Messi Cuccittini itu, kata Gerard Pique. Pujian nan apresiatif, cenderung superlatif. Namun Anda memang akan dicerca dunia andai berani melawan arus.

Membabi buta memujanya? Ya atau tidak bukan masalah. Lagi pula mengapa tidak kalau memang harus? Ada fakta, ada barang buktinya. Pangkal segala si empunya kisah bertumpu pada insan setengah ilahi yang tingginya hanya 169 cm. Seusai mencatat tiga gol ke gawang Espanyol dalam derbi Catalunya, Leo Messi menambah koleksi 21 kali hattrick-nya di Barcelona, begitu fenomenal melihat rangkaian gol-gol kemenangan tuan rumah 5-1.

Golnya ke-400...401...402 lahir semudah membalikkan telapak tangan! Yang perlu diperhatikan, hal ini pun masih akan berlanjut dan berlanjut. Di usia yang masih 27, anak bungsu dari pasangan Jorge Horacio Messi dan Celia Maria Cuccittini itu niscaya terus menambah perbendaharaan golnya entah di angka berapa, syukur-syukur bisa empat digit mirip Pele atau Romario.

Dalam dua tahun terakhir, rekor langsung Messi semakin syur. Pada 2012 beliau menguasai pentas Liga Champion, mulai dari pemegang rekor hattrick terbanyak, beruntun mencetak gol di empat berkelahi sampai bikin lima gol sekali main. Puncaknya di tahun itu Messi menyamai rekor Jose Altafini (AC Milan) sebagai pencetak gol terbanyak Liga Champion (14 gol) yang bertahan sejak 1962/63, serta menggapai pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah di Eropa dengan raihan 73 gol semusim dari aneka macam sumber!

Masih kurang? Betul, di saat yang sama status el-pichichi dengan 50 golnya di La Liga semakin membuat orang menggaruk-garuk kepala. Tahun berikutnya, gelar demi gelar masih membasahi reputasinya. Pada Februari 2013, si kaki kidal kelahiran 24 Juni 1987 menggenapkan rekor 300 golnya di Barcelona. Selang sebulan, di 21 partai terus menerus bikin gol di La Liga menuai rekor.

Maret 2014, King Leo ditulis sejarah menjadi pemain yang paling banyak buat trigol di pentas El Clasico, langgar sepak bola reguler paling wahid di dunia. Pada Oktober dia resmi melesakkan 250 gol-nya di La Liga. Sebulan lalu, hattrick ke gawang Sevilla mendongkrak angka 253 gol yang mengundang dentuman sejarah karena menjadi pembuat gol paling banyak di bumi Spanyol.

Gara-gara itu Messi mengubur rekor Telmo Zarraonandia Montoya, striker Athletic Bilbao 1940-55, yang mengoleksi 251 gol. Di ujung November 2014, giliran rekor pencetak gol terbanyak sepanjang zaman di Liga Champion (74 gol) yang disabetnya. Gol, gol, dan gol identik dengan Messi. Dialah jagoan gol terbaik dikala ini.

Ia merupakan sesuatu di pikiran orang yang tahu sepak bola dan menggilainya Lionel Messi (1): Raja Tanpa Mahkota
Luar biasa andal di klub, belum jago di tim nasional.
Dari sisi prestasi juga berada di atas rata-rata pesepak bola, Messi mengantar Barca enam kali juara La Liga, tiga kali Liga Champion, dua kali juara dunia klub, dua kali Piala Super Eropa, dua kali Copa Del Rey, enam kali Supercopas De Espana, Total 21 gelar bersama BlaugranaDi tim nasional, laki-laki Gemini ini menciptakan Argentina menjuarai Piala Dunia ingusan 2005 dan emas Olimpiade 2008 Beijing. Sejauh ini kontribusinya untuk bangsa dan negara hanya sebatas itu.

Tiga Tahun Lagi

Lainnya? Paling banter pernah jadi runner-up Copa America 2007 dan finalis Piala Dunia 2014. Ini penyebab kadar kelegandaannya masih di bawah Diego Maradona setidaknya menurut separo dunia, tapi mutlak di Argentina. Torehan prestasi Messi di klub dan negara amat timpang. Agaknya ia cuma mampu berkarya untuk Barcelona yang dibelanya semenjak 13 tahun.

Tidak apa-apa, bukankah Pele juga begitu, seumur hidupnya hanya main di Santos kemudian ke Cosmos New York dikala uzur? Tapi, sekali lagi, Pele memberi tiga kali Piala Dunia untuk Brasil. Hmm, sudah terperinci di mana terletak 'malu' Messi. Mesti diingat di dunia ini banyak superbintang bahkan legenda yang erat dikenal di gendang indera pendengaran kita tapi kurang sejati, terasa kurang berjiwa alasannya trophyless di Piala Dunia.

Eric Cantona, Ryan Giggs, Andriy Shevchenko, bahkan Johan Cruijff atau David Beckham. Kalau ditarik ulur ke belakang ada Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, Just Fontaine, Raymond Kopa, dan seterusnya. Abadikah nama-nama mereka? Ya tetap kekal. Namun Pele, Franz Beckenbauer, Maradona, Zinedine Zidane, Ronaldo Nazario, Sir Geoff Hurst sampai Fabio Cannavaro jelas berada di planet berbeda.

Terus terperinci folder Messi seharusnya ada di sini, bersama mereka. Bahkan satu daerah masih 'kosong' disediakan hanya untuk Messi, alasannya dialah yang paling pantas. Kenyataannya lain. Sejarah akan pertanda, apakah kelak Messi hanya berstatus sebagai pendekar bukan legendJika sekarang tahun 1950-1960-an, maka dari Eropa kita akan mengenal Alfredo Di Stefano, Eusebio Ferreira, Raymond Kopa, Stanley Matthews, Bobby Moore, Bobby Charlton dan masih banyak lagi sebagai bintang dunia. 

Ia merupakan sesuatu di pikiran orang yang tahu sepak bola dan menggilainya Lionel Messi (1): Raja Tanpa MahkotaSementara di Amerika Latin muncul Pele, Didi, Garrincha hingga Vava. Namun begitu dipilah jadi legenda sejati, maka seorang juara dunia akan lebih harum. Bobby Moore, Pele, Didi, Vava, Garrincha. Prestasi puncak pesepak bola adalah juara dunia, titel World champion di World Cup! Jika Anda kapten tim yang memenangi World Cup, pasti titel Pemain Terbaik Dunia di tangan Anda. "Kala Anda menjadi juara dunia, otomatis Anda jadi legenda. Di depan orang-orang di seluruh dunia, Anda berbeda. Wow, kami telah berbuat sesuatu: menjadi juara dunia. Kami diarak dua juta orang dikala menuju Colloseum. Kami seperti di cerita Maximus Decimus. Sesudahnya aku merasa tak mirip pemian biasa," kata Fabio Cannavaro - kapten Italia di Piala Dunia 2006.

"Lalu ketika aku memenangkan titel Pemain Terbaik Dunia, tak satupun orang yang protes," lanjut si anak Napoli bernama Muro di Berlino (Tembok Berlin). Inilah pencapaian Cannavaro, yang sayangnya belum bisa dirasakan Messi. Dibanding kemampuan dan kelihaian Messi, maaf, siapalah Cannavaro? Tapi, itulah, fakta yaitu fakta. Barangkali kini ini status Messi seperti seorang raja yang belum boleh duduk di singgasana kebesaran, atau dilarang memakai mahkota. Jika kesempatan selalu jadi harapan, maka satu-satunya jalan meraihnya ada pada Piala Dunia 2018 di Rusia. Saat itu Lionel Messi sempurna 31 tahun, usia yang belum bau tanah-tua amat buat ukuran megabintang.

Messi ialah satu-satunya pesepakbola sejagat yang meraih FIFA/Ballon d'Or sebanyak empat kali. Wajar. Tiada yang bantah jikalau ia megabintang kini ini. Lionel Messi yaitu kapten tim nasional, mirip Bobby Moore, Franz Beckenbauer, Maradona, atau Cannavaro. Bahkan Messi berpotensi lebih besar dari Pele yang tak pernah jadi kapten nasional.

Sayangnya, bak sayur tanpa garam, pencapaian Messi masih status quo. Keajaiban Messi hanya berdampak bagi Barcelona atau daerah Eropa. Bukan kepada Argentina atau lingkup dunia. Ingat, prestasi tertinggi pesepak bola ialah juara dunia. Meski makin sempit, masih ada waktu buat Messi untuk melengkapi statusnya sebagai legenda sejati sepak bola. Tunggu tiga tahun lagi... di Rusia, tidak mampu tidak.

(foto: pinterest/mirror/time/walesonline)

Monday, December 15, 2014

Liga Indonesia 2015: Bagaimana Menciptakan Jadwal Kompetisi Yang Baik Dan Benar?

Di Inggris, tidak akan pernah ada ceritanya Arsenal dan Tottenham, Liverpool dan Everton, atau Manchester United dan Manchester City menjadi tuan rumah di pekan yang sama. Itu ialah enam klub dari tiga kota besar di Inggris yang punya basis massa terkuat di mana gesekan pendukungnya amat sensitif dan berisiko tinggi.
 tidak akan pernah ada ceritanya Arsenal dan Tottenham Liga Indonesia 2015: Bagaimana Membuat Jadwal Kompetisi Yang Baik dan Benar?
Semuanya telah diatur dengan rapi oleh operator liga, The Premier League. Padahal tuntutan khalayak media massa, televisi, pemasang iklan, sampai klub-klub, agenda tersebut harus secepat mungkin biar mereka bisa mengatur kegiatan bisnisnya ke depan. Bahkan mereka terbiasa menyusun agenda sah sebelum hasil playoff di divisi tertentu selesai.

Harus diakui, dalam mengkompilasi finalisasi agenda pertandingan, sang operator jadwal terpaksa menggunakan beberapa persyaratan khusus (golden rules) antara lain: setiap klub tidak boleh main tiga kali beruntun di kandang atau tandang, setiap lima partai harus berisi tiga berkelahi sangkar dan dua tubruk tandang; atau bisa juga sebaliknya. Tujuannya agar pendapatan reguler klub-klub dari tiket masuk bisa dipastikan sehingga menjamin cash-flow dari sisi finansial mereka. Juga menolong lapangan dan rumput mereka agar tidak cepat rusak, serta membantu para suporter tidak terlalu sering berpergian.

Aturan lebih spesifik lagi diberlakukan untuk langgar-adu derbi. Klub macam Arsenal dan Tottenham, atau Everton dan Liverpool - di mana stadion mereka hanya berjarak sekitar 4-5 km - dan juga beberapa klub lainnya, bisa melakukan deal saling pengertian, misalnya siapa dulu yang akan menjadi tuan rumah, menyangkut dengan kepentingan lingkungan sekitar.

Liga Indonesia
 tidak akan pernah ada ceritanya Arsenal dan Tottenham Liga Indonesia 2015: Bagaimana Membuat Jadwal Kompetisi Yang Baik dan Benar?
Belakangan di Indonesia kesadaran betapa ruwetnya bikin agenda mulai dipahami. Pekerjaan membuat acara kompetisi sepak bola dapat diibaratkan mengelola restoran. Mengetahui animo para tetamu yang tak kunjung henti, telpon yang terus berdering, atau tumpukan daftar pesanan makin meninggi, maka sang koki sudah pasti akan menyuruh aneka juru masaknya untuk menyiapkan banyak sekali hidangan gres.

Jangan sampai tamu menunggu lama! Begitu pun tugas fixture-maker itu. Mereka tahu, urusan jadwal melebar ke mana-mana, berdampak dahsyat dan signifikan. Beragam kepentingan bercokol di dalamnya. bukan saja buat klub namun juga televisi, agensi pemasang iklan, pemerintah tempat, kepolisian, seluruh vendor klub, perusahaan aparel, media-media, jurnalis, pemilik klub, manajer, para pemain, penonton, sampai pedagang kuliner-minuman. Pendek kata, kita semua!

Yang terjadi di Indonesia jangan ditanya lagi. Sebagai pengelola kompetisi yang tertinggi di Tanah Air, pelayanan PT Liga Indonesia masih sangat mengecewakan banyak pihak. Di musim 2014, perkara paling menonjol yang berkenaan dengan jadwal yakni penundaan tabrak secara tiba-tiba, bahkan yang sekelas big-match sekalipun. Masih ingat penundan Persija vs Persib gara-gara pemilihan legislatif, April 2014?

Mulai dari pemain, instruktur, wasit, sponsor, pemasang iklan, stasiun TV, hingga penonton atau pendukung klub semua dirugikan. Milyaran uang melayang percuma, dan ini tidak sekali-duakali terjadi, namun berkali-kali. Jika tidak ditunda, pergeseran jam kick-off juga mampu muncul secara tiba-datang. Bayangkan jikalau jadwalnya molor, atau parahnya lagi salah hitung sat membuatnya sehingga di tengah jalan kompetisi jadi berserakan tidak karuan. Banyak partai tunda. Banyak pemain cedera. Banyak kerusuhan antar suporter. Persiapan timnas amburadul. 
 tidak akan pernah ada ceritanya Arsenal dan Tottenham Liga Indonesia 2015: Bagaimana Membuat Jadwal Kompetisi Yang Baik dan Benar?
Ujung-ujungnya, ini yang parah, pengeluaran maupun pendapatan klub juga bisa kolaps. Padahal kasus ini tidak bakal terjadi apabila PT. Liga Indonesia punya persiapan prima saat menciptakan acara liga dengan penuh perhitungan, ketelitian, kesabaran. Selain itu dalam menyusun jadwal, seseorang atau tim tidak saja butuh memahami sepak bola nasional, tapi juga kedalaman, pengetahuan serta wawasan luas sepak bola global dan regional.

AFC selalu punya kalender resmi, begitu juga FIFA. Ada waktunya laga itu jadi panggungnya AFC, misalnya Liga Champion Asia atau Piala AFC. FIFA pun telah menginstruksikan pemain tim nasional di seluruh dunia dalam waktu tertentu di tiga-empat bulan (Maret, Juni, September, November), harus kopi darat berlatih dan menggelar laganya.

Di Indonesia, variabel untuk menciptakan jadwal sangat kompleks. Selain hari libur nasional, yang paling spesial yakni bulan pahala (Ramadhan), serta waktu-waktu khusus di kawasan semisal festival, HUT daerah, acara kesenian dan masih banyak lagi. Melihat kasus yang terjadi selama 2014, boleh jadi PTLI mengabaikan keterkaitan satu sama lainnya. Padahal melihat isi kalender di demam isu 2015 jauh lebih kompleks lagi.

Membuat acara liga tidak sembarangan sebab sebisa mungkin harus berpikir komprehensif. Mau tidak mau, PTLI harus berbenah biar tidak mengecewakan banyak pihak lagi. Sukses tidaknya Liga Super Indonesia 2015, sebagai kala baru kompetisi profesional di Indonesia, bisa dilihat dari kredibilitas dalam menyusun jadwal kompetisinya.

(foto: paddypower/electronicpricex.blogspot/klubpersipura.blogspot)

Thursday, December 4, 2014

Moralitas Macan Kemayoran

"Saya lahir di sepak bola. Ayah saya pesepak bola yang sangat anggun, seperti kebanyakan orang Italia yang selalu garang pada permainan cerdas ini. Sepak bola mengajarkan kita cara hidup bersama, cara mengembangkan bila anda lebih baik dari orang lain. Sepak bola yaitu pendidikan luar biasa seumur hidup." (Michel Platini).
 Ayah saya pesepak bola yang sangat bagus Moralitas Macan Kemayoran
Tidak selamanya sepak bola itu harus selalu menjadi sebuah permainan, tontonan, atau bahkan ajang bisnis. Banyak hal dan kegiatan lain untuk menawarkan betapa bisa mulianya sepak bola dari sisi lain, terutama untuk kegiatan sosial yang rata-rata belum banyak digali lebih dalam oleh kebanyakan klub sepak bola terutama di Indonesia. Mulailah menjadi pionirnya.

Suatu malam di musim masbodoh yang menusuk, di Hotel Claridges, London, digelar satu pesta yang jarang terjadi terutama untuk mengetahui tujuannya dan siapa pencetusnya. Sebuah acara penggalangan dana bagi anak-anak yatim piatu yang melibatkan SOS Children - forum amal terbesar di dunia yang khusus mengurusi anak-anak miskin dan serba-kekurangan.

Keunikan mulai terasa kala di beberapa sudut hotel five stars bergaya art deco itu. Banyak logo sponsor dan juga emblem Arsenal. Arsenal? Ya, Arsenal - salah satu klub top di ibukota. Kesan makin tampak lagi sebab latar belakang backdrobe-nya di panggung bertuliskan The Arsenal SOS Children's Villages Charity Ball.

Klub berjuluk The Gunners itu memang lazim terlibat dalam aktivitas sosial atau amal, terutama sehabis pindah ke Stadion Emirates pada 2006. Mereka sering berkunjung ke rumah sakit, menyantuni penyandang cacat, panti jompo, dan aneka macam acara charity lain. Namun khusus pada tanggal 5 Desember 2010 itu sedikit berbeda kalau Anda tahu siapa kreatornya.

Sepintas acara ini lebih bersahabat kepada glamor alasannya adalah pemain yang hadir mengenakan black tie. Hajatan sosial ini seperti pesta WAG's (istri atau pasangan pesepak bola) atau fashion shows. Beberapa selebritis lokal hadir. Ada pagelaran fesyen, musik yang dipandu DJ Pete Tong, lagu dari The Noisettes, dan lelucon Jack Whitehall serta acara lelang oleh presenter James Corden.

Hajatan itu dipelopori oleh ABC Club, yang didirikan Bouchra Elbali. Nama ABC diambil dari inisial Aimee, Bouchra, Carla. Siapa mereka, ini yang seru. Aimee van Ommen (24) adalah kekasih Thomas Vermaelen. Carla Dona Garcia (24) pacarnya Cesc Fabregas. Sedangkan Bouchra Elbali (27) ialah istri Robin van Persie.

Seperti kerjasama ketiga pemain itu di lapangan, begitu juga ternyata para pasangannya, kompak lahir batin di luar lapangan. Lebih dari itu, mereka ternyata no ordinary people karena out for everything they can get to help the world's poor. Sikap mereka amat mulia sebab peduli dengan kemiskinan belum dewasa dan dunia yatim piatu terutama di Afrika.

"Kesenangan dikala membeli tas mahal hanya beberapa detik saja, tapi dikala memberi sebagian yang didapat untuk mereka yang tidak beruntung mampu selamanya," tutur Bouchra, muslimah Belanda berdarah Maroko yang juga sarjana akuntansi dan komunikasi. Inspirasi munculnya ABC Club dan malam amal itu datang dari keluarga Bouchra. 

Sementara Aimee bersyukur bisa terlibat di SOS Children dan merasa beruntung diajak Bouchra. Sikap sederhana terpancar di wajah wanita Belgia ini. "Perasaan terbaik seseorang yaitu ketika beliau memberi, dan itu sangat penting ketika kita dilimpahi kelebihan," ucap anak dokter spesialis jantung tersebut.

Paparan Carla ihwal kepedulian terhadap sesama lebih dalam dan ilmiah. Maklumlah beliau sarjana psikologi. "Menolong sesama yakni dampak nyata dari sepak bola. Jika Cesc bisa melakukannya, kenapa aku tidak? Kita harus melaksanakan sesuatu. Tadinya ilham aku melelang barang-barang kami, tapi Bouchra punya wangsit yang lebih ahli," ungkap karyawati pemasaran ini.

Peduli Persija

 Ayah saya pesepak bola yang sangat bagus Moralitas Macan KemayoranItu di London, ibukota Inggris, di mana ada banyak klub top selain Arsenal seperti Chelsea, Tottenham Hotspur, West Ham United, Queens Park Rangers dan Crystal Palace. Bagaimana di ibukota Indonesia tercinta? Bayangkan kalau Persija Jakarta melakukan hal yang sama. Sebagai satu-satunya klub legendaris kebanggaan warga ibukota, dampaknya niscaya jauh lebih nendang lagi.

Ide mampu dari siapa saja yang mengaku sebagai pemangku kepentingan Macan Kemayoran. Pengurus, manajemen, instruktur, pemain, sampai Jakmania-nya. Banyak sponsor yang niscaya mau berhubungan. Ada banyak acara sosial yang bisa dibantu, mulai dari anak latih, bea siswa bagi yang tidak bisa, sampai mengunjungi sekolah-sekolah, rumah sakit atau rumah ibadah.

Dengan reputasi menjulang sebagai klub ibukota yang disegani, niscaya banyak pihak yang ingin membantu Persija. Dengan dogma diri yang besar lengan berkuasa, melalui gerakan #Gue Peduli Persija harus cerdas mengelola kepentingan bisnis dan sosialnya. Penggalangan dana publik ditujukan untuk kedua aspek itu. Jika dilakukan dengan sempurna, hampir niscaya imbas signifikan akan terasa.

Setiap 10 persen saja dari pertolongan setiap warga Jakarta misalnya seribu perak setiap pekan, sudah diniatkan sejak awal untuk berbagai program sosial dan program charity. Begitu juga beberapa persen dari laba pemasukan tiket, iklan, hak siar, sponsorship, marketing, ada baiknya bisa dirasakan kembali oleh orang-orang atau golongan yang tidak mampu.

Tidak perlu melek-melek mencontoh keyakinan diri Arsenal dikala menggelar hajatan sosial, namun berbekal reputasi dan dapat dipercaya yang menggunung di Tanah Air, Persija niscaya mampu mendapatkan tujuannya. Semakin banyak punya pemain berstatus bintang, kontribusi juga semakin semakin besar yang berarti besar pula kesempatan untuk mewujudkannya.

Memasuki 2015, kemandirian menjadi kata kunci Persija. Mereka tidak harus melupakan membangun kualitas sumber daya-nya. Tidak ada anak-anak ibukota, bahkan di negeri ini yang tidak mau bermain untuk Persija. Di dalam bukunya yang berjudul Fever Pitch, Nick Hornby mengemukakan sepak bola merupakan metafora kehidupan, karena hidup selalu punya tujuan.

Mulai 2015 Persija mencanangkan tahun prestasi dan berdikari dengan mengutamakan isu moralitas. Perjalanan panjang selalu dimulai dari langkah pertama, dan melalui gerakan #Gue Peduli Persija, bisa meraih sukses hingga semua stakeholder merasakan yang pernah dikatakan Albert Camus: "Apa pun yang aku ketahui soal moralitas, aku berutang pada sepak bola."

(foto: persija.co.id)

Wednesday, November 26, 2014

Catatan Ringan Ihwal Chelsea: John Neal

PENDUKUNG Chelsea sedunia seharusnya sering mengenang tanggal 28 April 1984. Meskipun kelahiran klub, yang pada 10 Maret 1905 itu terlihat lebih bersejarah, namun sebuah kejadian yang muncul 30 tahun lebih dicap sebagai tonggak baru, reborn, buat klub yang sekarang berkembang menjadi menjadi salah satu pilar utama atau simbol kapitalisme olah raga di London, dan juga di Inggris. 

John Neal.
Pendeknya tanpa momen itu tak mungkin, Anda akan mengasihi dan meletupkan mulut pada Chelsea seperti kini. Tanpa peristiwa tersebut, mustahil ada orang mirip Roman Abramovich, Jose Mourinho, Didier Drogba bla bla bla yang mau datang ke Stamford Bridge mengenakan kostum biru. 

Bahkan kejayaan tiga titel Liga Inggris, enam Piala FA, tiga Piala Liga, tiga Piala Community Shield, dua kali Piala Winner, serta sekali Piala Super Eropa, Liga Europa, dan puncaknya di Liga Champion pada 19 Mei 2012, harus mengarungi kejadian tadi. Ini ialah perjalanan sebuah takdir. Dan, pada kesannya tak mungkin sekarang Chelsea punya 400 juta fan sejagat seperti klaim CEO-nya, Ron Gourlay, September 2014 silam. 

Penggemar gres True Blue, yang disinyalir 90%-nya berusia 19-32 tahun – berkebalikan dengan julukan lamanya sebagai klub para pensiunan (The Pensioners) – seharusnya menghargai juga jasa seseorang terlupakan yang bernama John Neal, sama pentingnya seperti pada Kamerad Abramovich atau Senhor Mourinho. Tanpa Mr. John barangkali nasib Chelsea sekarang mirip Brentford atau Millwall, dua klub London yang sulit lagi menggapai piramida tertinggi sepak bola Inggris.

John Neal yakni manajer Chelsea pada 1981-85 yang menggagalkan nasib jelek Chelsea kejeblos ke Divisi Tiga pada animo 1982/83. Di simpulan animo itu, Chelsea hanya terpaut satu kemenangan dari Rotherham United, Bolton Wanderers, dan Burnley yang kesemuanya itu terlempar dari Divisi Dua. 

Di abad pra Premier League ini, hebatnya lagi Neal pula yang meloloskan lagi Chelsea ke Divisi Utama setelah merebut juara Division Two old pada 1983/84. Ibarat roda kehidupan, dikala itulah putaran nasib abad depan Chelsea rupanya ditentukan. Apa yang dilakukan John Neal pada dua ekspresi dominan yang paling memilih itu? 

Sejak terdegradasi dari Divisi Utama di musim 1974/75, reputasi Chelsea yang cuma sekali menjadi juara Inggris pada 1955, jatuh ke titik nadir. Klub ini mulai dilupakan orang, dan sakitnya lagi, juga dilupakan media massa yang berarti dilupakan dunia. 

Secangkir Kopi 

Sebuah kesebelasan ibukota yang pernah melahirkan bintang nasional Ron Bentley, Jimmy Greaves, dan Peter Osgood ini tak kuasa meladeni poros persaingan yang era itu sedang dikuasai Liverpool, Leeds United, atau Arsenal. Tak ada orang yang mau melatih Chelsea, tak ada orang yang peduli, kecuali itu tadi, para pensiunan! 

Sejak dulu, berkat lokasinya, Chelsea hanya didukung kaum manula dan golongan purnakarya yang tinggal di tempat elite London Barat. Chelsea hanyalah hiburan pengisi waktu senggang di hari libur, selain golf, baccarat, atau menonton polo. Yang tidak punya ambisi dan hawa nafsu lagi kecuali menghabiskan umurnya. Populasi mereka tidak banyak, pasif, dan memandang klub di wilayahnya itu sebagai identitas semu yang tidak memberi ruang mulut kecuali impresi. 

Neal hadir mendadak di Stamford Bridge, April 1981 usai pemecatan instruktur Geoffrey Hurst, si jagoan Inggris di Piala Dunia 1966. Pemilik klub ini yaitu Keluarga Mears, yang moyangnya yaitu pendiri Chelsea. Gara-gara harga baja yang meroket, mereka kehabisan duit usai pembangunan tribun East Stand. 
                                                       
Dengan bujet transfer yang amat minim bin mentok, Neal diwanti-wanti supaya bijaksana menggunakan dana pinjaman dari berbagai lintah darat yang siap memanfaatkan kesulitan Keluarga Mears. Pikir punya pikir, peminjaman pemain agaknya jadi sesuatu yang realistis ketimbang membelinya. 

Neal diwarisi skuad yang nyaris tanpa motivasi dan ambisi yang terperinci. Musim pertama Chelsea di bawah Neal sangat tidak berkesan kecuali kemenangan 2-0 di Piala FA atas juara Eropa, Liverpool. Stigma yang menancap di Chelsea waktu itu tidak lain sebagai klub yang banyak hutang, tanpa ambisi dan sekedar ada. Istilahnya bagai kerakap tumbuh di watu, mati segan hidup pun tak mau. 

Saking miskinnya, harga jual klub ini tidak melebihi secangkir teh. Diberi gratis pun orang masih berpikir seribu kali. Stadionnya masih utang, temboknya bolong-bolong sehingga mudah dilewati kucing garong apalagi tikus. Skuad-nya milik klub orang lain alias pemberian. Belum lagi tagihan honor pemain dan staf, serta biaya transportasi yang gali lubang tutup lubang. Semua ini hanya bisa ditutup tiap bulannya dari mengandalkan pemasukan tiket. Benar-benar berjudi. 

Turbulensi di Chelsea sungguh abnormal-gilaan, menyamai pesawat Hercules yang mati baling-balingnya. Dan catat, ini klub divisi dua pula. Yang menggoda cuma satu, lokasinya yang elite. Di bilangan segitiga Kensington - Knightsbridge - Notting Hill. Kalau di Jakarta, barangkali mirip di sekitaran Jalan Pakubuwono - Hang Tuah yang adem itu.

Sampai alhasil pada 1982 Kenneth William Bates, pengusaha kontraktor pemugar The Bridge yang bolong-bolong tadi, jadinya membeli klub itu hanya dengan harga 1 pound. Dibeli karena frustrasi membenahi bangunan dan memikirkan seluk beluk klub orang purnakarya ini. Bayangkan, Bates membelinya dengan harga secangkir kopi! 

Banyak yang bilang Bates sudah sinting dan hilang ingatan mengingat Chelsea dalam kondisi kritis dan krisis serta berisiko tercebur ke Divisi Tiga. Siap-siap saja hutang dan pajaknya makin bertumpuk. Bates seperti menjudikan hidupnya. Namun dalam hidup terkadang orang mesti mundur dulu selangkah biar bisa maju dua langkah. 

Ken Bates mulai mengubah pekerjaan, kebiasaan dan waktunya menjadi pengelola klub, dan beruntungnya, dia punya John Neal. Dalam bulan-bulan ke depan yang memilih, Neal sukses mencegah Chelsea jatuh ke lubang lebih dalam di divisi tiga, hanya di dua tabrak tersisa trend itu! Chelsea menang 1-0 di kandang Bolton dan bermain 0-0 lawan Middlesbrough di kandang sendiri. 

Bates menang “judi”, dan usaha pertama Neal pun, sementara akhir. Chelsea masih bokek memasuki trend 1983/84. Neal kembali harus menyewa pemain atau membeli pemain termurah, yang berisiko seperti menerima kucing dalam karung. Sudah pasti nama-namanya gila dan asing-asing. Salah satu nama yang patut dicatat yaitu Pat Nevin. 

Ditolak Glasgow Celtic, Neal buru-buru menggaet penyerang bertipe “Eden Hazard” dalam bentuk lawas. Nevin – yang disapa Wee Pat – seakan-akan jimatnya Neal. Memulai dengan mencukur Derby County 5-0, Chelsea sukses meraih lima kemenangan di 6 sabung perdana. Malahan merangkak jadi 13 di 17 partainya dan belum terkalahkan. 

Neal juga melahirkan “legenda” lain yang boleh jadi tidak dikenal oleh Chelsea-mania kini. Salah satunya Paul Canoville, pemain kulit gelap pertama sepanjang sejarah di Chelsea. Gelandang sayap ini dicomot dari klub tarkam Hillingdon Borough. Ini risiko besar buat Neal mengingat pendukung Chelsea kebanyakan golongan sayap kanan yang dikenal pemuja rasisme. 

Benar saja, di banyak sekali waktu Canoville menerima perlakuan tak manusiawi saat tampil bersama Chelsea. Konyolnya lagi pendukung Chelsea juga ikut-ikutan menghina. Lebih parah lagi, di kamar ganti sendiri pun, Canoville sering “di-bully” dan dihina oleh pemain Chelsea sendiri! Alamak. Karena dirinya masih yakin sebagai manusia, tak urung Canoville berancang-ancang untuk hengkang. Di saat yang tepat, dengan bijaksana Neal tiba membujuk seraya memberi tips untuk melupakan hal itu dengan berkata: “Abaikan semuanya itu Paul, yang lebih penting yaitu kamu digaji tetap!” Di lalu hari Canoville berandil besar meloloskan Chelsea ke Divisi Utama di berkelahi penentuan. 

Pembelokan Sejarah 

Sabtu 28 April 1984 menyerupai hari koronasi buat Neal. The Bridge yang rata-rata dikunjungi 15 ribu orang, kali ini disesaki 33.447 penonton, sepertiganya yaitu fan Leeds United, lawan Chelsea di langgar ke-38 Divisi Dua. Gejala bakal ada perayaan ajaib-gilaan terlihat ketika Chelsea unggul 3-0 di babak pertama. Tiba-datang jumlah penonton membludak hingga 50-an ribu orang! Ken Bates terpaksa turun panggung. Memakai toa, dia minta supaya penonton jangan masuk lapangan di simpulan sabung. Tapi percuma. Usai Canoville bikin gol kelima di dikala injury-time, ribuan penonton menyerbu lapangan. Suasana kacau balau. 

Karena deg-degan, wasit pribadi menyudahi laga. Uniknya tak satu pun invader menemukan John Neal. Sebelum tubruk usai, rupanya dia menyelusup ke lorong sendirian. Berjalan tertunduk. Walau masih ada empat tabrak sisa, Chelsea dan juga Sheffield Wednesday resmi promosi ke Divisi Utama (“Premier League” sebelum 1992/93). Jelang trend 1984/85, Neal menjalani operasi jantung dan wajib beristirahat, tapi nyatanya dia tetap memandu timnya berlaga di Highbury menjumpai Arsenal di pekan pertama (1-1). Chelsea mengakhiri kompetisi secara fantastis dengan menduduki posisi 6 di atas Arsenal! Di final animo, Neal resmi meninggalkan gelanggang dengan alasan kesehatan. 

Hingga selesai hayatnya, ia menjadi penonton kehormatan di Stamford Bridge. Setiap saat beliau mampu merasakan kini Chelsea telah stabil. Minggu, 23 November 2014, John Neal telah berpulang selama-lamanya dalam usia 82 tahun. Klub berduka dan mengumumkan kepergiannya dengan testimoni di situs resmi. “Tak berlebihan jikalau dikatakan mungkin tidak ada kesuksesan Chelsea FC mirip kini tanpa kesuksesan John Neal dikala mengatasi segala krisis demi menempatkan klub ini sebagaimana mestinya.” 

“Beliau yakni budi sejati yang langka, kata Nevin dengan wajah muram, “bukan saja di sepak bola tetapi juga di kehidupan.” Canoville urun rembug: “Dia pembuat keputusan yang berani, melakukannya dengan benar serta memperlakukan pemain dengan hormat. Saya tidak bisa menemukan satu kata jelek pun darinya, dan tidak yakin ada orang yang lebih baik darinya.” 

Tuah sang mendiang masih ada. Dua hari sebelum pemakamannya, Chelsea tampil kesetanan di pentas Liga Champion dengan menghancurkan tuan rumah Schalke 5-0 di Gelsenkirchen, Rabu dinihari (26/11/2014). Menjelang berkelahi, skuat maupun fan Chelsea mengenang upaya hebat, kehalusan aksara serta kesederhanaan John Neal dengan cara masing-masing. 

Dari yang mulai mengheningkan cipta sampai membaca-baca Wikipedia tentangnya. Sejarah telah menulis begini: tanpa lakon Ken Bates, juga Pat Nevin, Paul Canoville yang amat signifikan, boleh jadi sejarah Chelsea akan berbelok. Namun tanpa orang ini tidak mungkin Roman Abramovich mau membeli Chelsea dan menyulap menjadi gemerlap. Dan jagoan yang terlupakan itu berjulukan John Neal. @riefnatakusumah, November 2014 

(foto: chelseafc)

Monday, November 17, 2014

Inilah Biang Keladi Semua Dilema Arsenal

HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permainan Arsene Wenger, adalah menggunakan seni manajemen tersirat dan energi tersurat. Dua hal itulah titik terlemah Arsenal. Jika ada yang belum bisa menang dari Arsenal, agaknya itu cuma kalah di bujet transfer saja. Tapi kini, Hull City dan Swansea City pun sudah bisa mempraktekkannya. 
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Ngotot memainkan gaya musik klasik di era modern? Silakan saja.
Berulang kali pertanyaan muncul. Bagaimana sih cara Wenger mengemas taktiknya? Apakah taktiknya sudah kadaluwarsa untuk menghadapi agresivitas sepak bola modern? Contoh paling baik mengeksploitasi strategi untuk membunuh gaya Arsenal dibuat Borussia Dortmund di Signal Iduna. Sejak awal, gairah heavy metal Juergen Klopp menyulitkan irama 'musik klasik' karya Wenger. 

Dortmund terlihat kelaparan, energik, dan penuh determinasi menekan Arsenal. Tekanan masif di 45 menit pertama menciptakan klub flamboyan ini sangat ketakutan, kebingungan, dan kehilangan iktikad diri. Apa yang diperagakan Die Borussen disebut Gegenpressing, bahasa Jerman untuk tekanan balik alias counter-pressing

Gaya ini sekarang mulai hot alasannya adalah menjadi senjata mutakhir beberapa klub top selain Dortmund. Namun yang paling perfeksi dilakukan oleh tiga besar Eropa: Real Madrid, Atletico Madrid dan Bayern Muenchen. Inilah cara paling efektif mempecundangi gaya flowing ala Arsenal, bahkan sanggup membunuh tiqui-taka khas Barcelona.

Jika di awal 2000-an, cuma ada satu-dua gelandang yang melakoninya, karena jadi peran khususnya, maka di dekade kedua milenium, hampir semua unit di lini tengah wajib melakukan. Dulu cuma Christian Karembeu (Sampdoria), Edgar Davids (Juventus), atau Gennaro Gattuso (Milan) yang sanggup. Bahkan pers Italia punya julukan untuk menyebut tipe gelandang yang kerjaannya meneror sepanjang waktu yaitu Cavallo Pazzo alias anjing ajaib atau juga pitbull.

Arsenal yakni klub tradisional Liga Champion, setidaknya 18 tahun terakhir. Namun kita cukup gundah melihat pendekatan Wenger yang tidak pernah berubah sepanjang waktu. Gaya efektif menekan lawan, atau menekan balik saat sedang ditekan, ternyata lebih menyakitkan untuk dirasakan ketimbang dibilang indah di hadapan mata. Dengan hampir pastinya mereka kembali jadi runner-up grup Liga Champion 2014/15, yang berarti kemungkinan besar akan bertemu tiga pahlawan tadi, perasaan skeptis jadi lumrah.

Jujur saja, barangkali lebih mujur andaikata Arsenal ketemu Barcelona ketimbang Atletico, Bayern, atau Real di babak 16 besar. Namun lolos pun dari situ, cepat atau lambat, tiga tim besar lengan berkuasa itu pasti datang. Setelah berkali-kali di-bebesin gaya Spanyol, kini rintangan terbaru Arsenal yaitu sepak bola Jerman dengan Gegenpressing-nya itu. Gaya yang tersuguh besar lengan berkuasa dan tangguh, bekerja sebagai tim, bertahan sebagai unit, serta memahami tujuan taktik bermain.

Di tangan Jupp Heynckess, pada isu terkini 2012/13 Bayern menyingkirkan Arsenal di 16 besar melalui permainan yang masterclass di Emirates. Mereka menang 3-1 meskipun kalah 0-1 di Allianz Arena. Arsenal makin hancur ketika Pep Guardiola ganti mengendalikan Bayern di isu terkini berikutnya. Arsenal kembali kalah 0-2 di Emirates dan bermain imbang 1-1 di Allianz Arena. Makin faktual sudah bahwa acuan Arsenal Way tidak berdaya mengatasi gegenpressing apalagi plus tiqui-taka sekaligus.

Kalau gaya Jerman jadi kendala, ini sungguh ironis, alasannya makin memperlihatkan ketidakjelasan seni manajemen dan seni manajemen Wenger. Bukankah Arsenal diperkuat trio Per Mertesacker, Lukas Podolski dan Mesut Oezil? Betul, namun kecuali Mertesacker, manajer Prancis itu sudah menebar dilema duluan karena salah menempatkan posisi main Oezil, bahkan keseringan mencadangkan Podolski. Betapa kuno taktik Wenger mampu dilihat dari caranya menugaskan mereka main, atau melatih fisiknya.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Etihad.
Kita lihat determinasi dan kebugaran fisik Phillip Lahm, Thomas Mueller dan Mario Goetze, atau Bastian Schweinsteiger yang kalau tidak bertubuh atletis, niscaya bernafas kuda dan kasar serta serba bisa. Saat dipermak Dortmund 0-2 di Signal Iduna, September silam, kunci kemenangan diawali dengan duet Sven Bender-Sebastian Kehl yang menang bertarung atas Mikel Arteta-Aaron Ramsey. Sementara itu Kevin Grosskreutz ditugaskan untuk mengunci pergerakan sang kreator serangan, Jack Wilshere.

Klopp sangat hafal luar dalam dengan gaya Wenger yang juga menjadi idolanya. Parahnya lagi ketika itu Arsenal seperti bermain dengan 10 orang alasannya Mesut Oezil tidak berfungsi sama sekali. Setelah kekalahan itu, Wenger diserbu kritikan para pengamat dan media massa dari Inggris maupun dari Jerman alasannya tetap keras kepala menempatkan Oezil di sayap. Siapapun tahu, modal utama pemain sayap yakni kecepatan, dan Oezil bukanlah Theo Walcott atau Alex Oxlade-Chamberlain.

Menebak Nasib

Di Arsenal, pemain Jerman yang biasanya tampil mengalir dan universal, justru jadi kaku dan ragu-ragu. Berkebalikan dengan Schweini, Bender, Kroos, Goetze, Marco Reus, atau Andre Schuerrle yang ditempa dengan pas oleh Klopp, Guardiola, Carlo Ancelotti atau Jose Mourinho. Wenger yang dikenal ahli berinovasi kelihatannya sudah kehabisan inspirasi dan kehilangan eranya. Sekarang ia dalam yang mengejar, posisinya tertinggal di belakang gugusan instruktur yang lebih muda.

Kekalahan dari Swansea City 1-2, Chelsea 0-2 atau Dortmund 0-2 memperlihatkan kelemahan Arsenal menjalani taktiknya, serta yang paling mengkhawatirkan yaitu memberikan arogansi dan kepongahan Wenger ketika membawa timnya bertamu ke rumah orang. Sudah jadi rumusan dikala giliran away, maka konsep bertahan lebih mengemuka dibanding seni manajemen menyerang. Materi skuad Arsenal kini sangat jauh kualitasnya dibanding periode kejayaan The Invincibles 2003/04.

Ketika pola persaingan dan peta kekuatan sudah sedemikian rupa berubah, seharusnya Wenger harus memaksa diri untuk mencoba banyak sekali metode, planning A, planning B, dan seterusnya. Dengan Plan A tidak selamanya berhasil. Dia sudah tak punya lagi formasi paket ajal mirip Ashley Cole-Lauren, Sol Campbell-Kolo Toure, Patrick Vieira-Gilberto Silva, Robert Pires-Fredrik Ljungberg, dan Thiery Henry-Dennis Bergkamp serta Jens Lehmann di bawah gawang.

Dengan bahan pengganti Martin Keown, Pascal Cygan, Gael Clichy, Ray Parlour, Edu, Cesc Fabregas, Jose Reyes, Robin van Persie dan seterusnya, siapapun takjub dengan seni manajemen Wenger dan hanya nasib apes saja yang menggagalkan mayoritas tim ini untuk merengkuh titel Eropa pada 2006. Ironisnya, kekalahan 1-2 dari Barcelona di Paris pada selesai Liga Champion itu justru menjadi awal dari perjalanan titik nadir reputasi Arsenal. Setelah tragedi tersebut, kualitas Wenger pun mulai surut.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Anfield.
Tahu-tahu kini sudah musim 2014/15. Apa yang didapat Gooner sebagai modal pujian? Titel Piala FA? Turun kelas bila euforianya berlebihan. Jangankan titel Eropa, selama 9 animo Arsenal tak berdaya merenggut lagi jawara di Inggris. Parahnya lagi beberapa dilalui dengan hinaan sadis, dibejek Manchester United 2-8, dipermak Manchester City 3-6, di-bully Liverpool 1-5, serta ditelanjangi Chelsea 0-6. Barangkali tinggal menunggu, kapan giliran Tottenham Hotspur?

Menyimak aneka macam kekalahan tandang tersebut, termasuk dari Swansea, Chelsea dan Dortmund, kita makin sadar bahwa pola arogansi ala Wenger mampu terlacak dari strateginya di bursa transfer. Dengan minimnya pemain bertahan berkualitas yang ada, ditambah kesukaannya membeli pemain bertipe menyerang dan bukannya gelandang bertahan world class dan satu bek hebat pengganti Thomas Vermaelen, maaf,  musimnya Arsenal hampir bisa ditebak ada di mana.

Mourinho, Ancelotti, Simeone, atau Guardiola tak pernah gegabah untuk menangguk gol sebanyak-banyaknya di sangkar lawan. Tentu saja menang tetap jadi target. Namun mereka sadar semuanya akan dilalui oleh pertarungan taktis yang ketat sehingga skor dengan selisih satu saja biasanya sudah jadi dambaan. Andai selisih golnya lebih dari itu, boleh jadi itu merupakan hadiah dadakan sebab terbantu oleh kesalahan lawan atau keberuntungan yang datang-tiba.

Mereka tak pernah mau bermain open play seperti ketika menjadi tuan rumah. Seringkali line-up juga suka berubah-ubah, tak seperti yang biasa dilihat. Semakin berat kualitas lawan, biasanya semakin 'aneh' pula komposisi tim utama tergantung siapa lawannya, tradisi pertarungan, atau nilai pertandingan itu sendiri. Ini yang tak langka terjadi di Arsenal. Lawan Barcelona atau Stoke City, main di Emirates atau di Old Trafford, tak ada Plan B atau komposisi kejutan yang bisa dibutuhkan dari Wenger.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Stamford Bridge.
Begitu juga dari persiapan teknis. Hampir tidak pernah Wenger mengajak seluruh pemainnya ke dalam ruangan untuk menganalisis rekaman pertandingan dari tim yang akan dihadapi. Memberi instruksi, diskusi, menganalisis titik kekuatan dan kelemahan lawan secara visual sehingga tahu apa yang akan dilakukan nanti di hari H. Padahal kata Sun Tzu dalam The Art of War, "kenali dirimu kenali lawanmu, 1000 pertempuran, 1000 kemenangan."

Motif dan Alasan

Wenger terlalu sibuk untuk membenahi apa yang harus dilakukan pemainnya nanti, amat tidak seimbang dengan penelahaan mana titik kelemahan lawan atau apa yang akan lawan lakukan. Dia sangat berbeda dengan Sir Alex Ferguson. Dalam buku My Autobiography, Ferguson menyampaikan: "Ketika melawan Arsenal, aku butuh pemain yang bisa intersep bola dan memotong umpan mereka, sebab di situlah kekuatan Arsenal. Setelah itu lakukanlah serangan balik cepat."

Jangan lagi Mourinho atau Klopp yang membenarkan ucapan itu. Sekarang seorang Steve Bruce atau Garry Monk saja mulai fasih melakukannya! Ketika akan menghadapi Arsenal, seperti mereka selalu melaksanakan ucapan Sun Tzu yang satu lagi, "Jika Anda jauh dari lawan, buatlah mereka percaya bahwa Anda sudah akrab." Pendek kata, Wenger sangat sibuk dengan diri sendiri tanpa pernah mau tahu apa yang akan dilakukan Mourinho atau Klopp kepadanya. Sungguh naif.

Dalam laga tingkat tinggi, Anda mesti menyiapkan tim dan menganalisis lawan. Semuanya, termasuk berbagai dampaknya apabila terjadi kemenangan atau kekalahan. Dengan begitu, tujuan latihan atau persiapan akan berfokus kepada lawan, bukan kepada diri sendiri atau penampilan tim sebab tujuan utama mereka adalah mengalahkan lawan. Benar? Mourinho adalah masterclass di setiap waktu. Buat ia, apapun kelemahan pasukannya akan terkoreksi jikalau lawan sudah dikalahkan.

Dalam konteks permainan, jangan melebarkan topik ke arah lainnya, mampu dipastikan Mourinho ialah master strategi sebab kesukaan dan kesuksesannya mempelajari lawan dan menyiapkan seluruh elemen timnya untuk menghadapi lawan. Tidak demikian dengan Wenger. Celakanya, gara-gara kelemahan ini dampak hebat mampu terjadi. Wenger ditinggal pemain terbaiknya, alasannya adalah frustrasi keseringan kalah. Katakanlah Robin van Persie, Samir Nasri, termasuk Cesc Fabregas dulu.

Gaya yang ditampilkan Wenger tidak cukup untuk memenuhi ambisi Arsenal meraih titel, apalagi di level di Liga Champion. Singkat kata, dua pokok persoalannya yaitu kedalaman taktik dan strategi transfer. Pertanyaan seriusnya adalah sampai kapan Wenger terus begini? Tertinggal belasan poin dari pemuncak klasemen ialah persoalan serius bicara soal target. Jika ia terus arogan dengan pendiriannya, maka artinya tujuan Arsenal, juga tujuan pendukungnya, telah dikorbankan.

Terlalu mementingkan filosofi merupakan duduk perkara lain Wenger, sebab tidak selamanya tujuan bisa dicapai hanya dengan filosofi. Apakah Wenger mementingkan kebanggaan? Sama juga. Tujuan tidak diraih dengan pujian. Naifkah beliau? Kalau melihat dari ucapan atau penampilannya, rasa-rasanya tidak. Lugu di perilaku mental boleh jadi memang ada. Keras kepala barangkali? Nah, ini yang hampir niscaya.

Bagaimana mungkin Arsenal mau bersaing di Eropa dengan gelandang bertahan yang kelasnya Arteta atau Flamini? Dari rapor dan statistik, takdir keduanya boleh jadi sudah mampu terendus. Chelsea punya jangkar Nemanja Matic-Fabregas, Manchester City diisi duet Yaya Toure-Fernandinho, Liverpool punya Steven Gerrard-Jordan Henderson. Jika levelnya dinaikkan, maka apa yang dimiliki para jagoan Eropa, sehabis melihat materi lini vital Arsenal itu hati jadi melas, miris, dan nelangsa.

Ramsey dan Wilshere belumlah, mereka masih perlu seseorang yang setiap ketika memberinya acuan langsung, role model. Jika saja Wenger mau mengambil Fabregas lagi, maka perannya terperinci sebab baik Ramsey atau Wilshere amat memuja mantan kapten dan bekas legenda Arsenal tersebut. Sejak cukup umur, Ramsey dan Wilshere tumbuh berkembang bersama Fabregas. Namun hanya alasannya adalah kebablasan bereuforia dengan Mesut Oezil, Wenger telah menutup pintu masukan lain.

HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Kelahiran sejarah pembantaian Arsenal di Old Trafford pada 2014.
Entah terlambat atau tidak, Arsenal masih punya kesempatan untuk mengubah garis nasibnya. Seorang gelandang bertahan, bila perlu yang bertipe baja, harus didatangkan berapapun harganya. Banyak yang mengusulkan agar Sami Khedira atau Blaise Matuidi segera dibeli pada transfer Januari mendatang. Juga sesosok bek tengah kelas dunia, yang belakangan santer disebut-sebut beliau adalah Mats Hummels. Sekarang uang bukan dilema lagi buat Opa Wenger, kecuali sikapnya itu tadi.

Beda Kualitas

Rasanya terlalu sederhana membahas masalah teknis di badan Arsenal, dan tampaknya memang bukan dari situ menemukan jawaban sucinya. Mikel Arteta itu pemain kelas rata-rata; di mana 9 dari 10 fan Arsenal akan mengangguk setuju. Isu transfer Sami Khedira atau William Carvalho cuma jadi isu. Kembali berhitung untuk membarter langsung Chris Smalling dengan Thomas Vermaelen juga bikin hati mangkel. Lucunya, si opa bau tanah perlu 'dikudeta kecil' karena nama Danny Welbeck tak pernah terlintas di benaknya, namun, aneh, ada yang mengirim uang transfer tanpa persetujuan Wenger!

Secara teknis operasional, itulah intisari informasi pentas transfer Arsenal 2014 yang kata banyak pengamat satu-satunya paling mahir yaitu merebut Alexis Sanchez dari tangan Liverpool. Wenger dulu beda dengan Wenger sekarang, semakin keras hati. Semakin ditekan, semakin membaja dan semakin ngawur. Secara akhlak ia tak mengakui ketidakinginan menarik Smalling melihat peran Nacho Monreal sekarang. Keberadaan Arteta, Flamini, sampai posisi main Mesut Oezil.

Kok Arsenal jadi selalu begini, penuh dengan intrik? Saat masih di Real Madrid (2010-13), Jose Mourinho tidak tahan untuk tidak mengomentari tanda-tanda keganjilan itu: "Anda tidak pernah boleh meremehkan Arsenal sebagai tim favorit juara di setiap animo. Lihatlah siapa saja mereka, Van Persie, Walcott, Fabregas, Nasri, Arshavin ... nama-nama mahir dengan kemampuan jago."

Pendek kata, kan ia cuma ingin mengatakan kok dengan materi seperti itu, mampu-bisanya Arsenal gagal juara sih? Jawabannya terperinci, Mourinho membayangkan siluet foto Wenger. Itu kegemasan orang yang andal bikin sejarah di sepak bola lho. Apa lagi yang awam? Berikut siapa, apa, dan bagaimana orang yang dimaksud Mourinho tersebut.

Saat datang di Arsenal pada 1996, Arsene Wenger diwarisi George Graham sekelompok tukang begal paling ditakuti di Inggris, lima sekawan Tony Adams, Martin Keown, Steve Bould, Lee Dixon serta Nigel Winterburn. Mereka sangat berkomitmen melindungi kiper David Seaman. Keenamnya pemain nasional Inggris, atau pernah membela The Three Lions.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Bould, Seaman, Adams, Dixon, dan Winterburn.
Inilah barisan pertahanan terbaik bentukan dan warisan George Graham, steel defending, fabulous four sepanjang sejarah The Gunners yang diantaranya jadi titisan tim Boring Boring Arsenal di kurun pra-Wenger. Istilahnya, separo skuat nasional Inggris sudah dijejali rombongan Highbury. Melihat kekompakan enam pemain beringas di garis pertahanan itu, memang alasannya faktor kebodohan pelatih nasional saja, yang dikala itu lagi dijabat Graham Taylor (1990-1993), karena pada Inggris gagal lolos ke Piala Dunia 1994 di AS.

Lantas pikiran pertama yang terlintas di kepala Wenger dikala datang ke Highbury itu yakni seorang calon petarung yang di AC Milan tersia-siakan, dialah Patrick Vieira, pria asal Senegal berusia 20 tahun. Wenger melihat dirinya dalam sosok Vieira, sebuah ilusi mampu juga obsesi. Tinggi mereka sama, sekitar 193-195 cm, posisi Wenger ketika jadi pemain juga sama, yaitu gelandang bertahan. Saking kesengsemnya dia tak perlu mengetes serius Vieira kecuali formalitas belaka.

David Dein

Di era awal rezimnya, Wenger juga dilimpahi trio timnas Inggris yang saling mengisi satu sama lain, rata-rata diantaranya bertipe artis. Paul Merson, pemabuk insyaf dan sengak tapi mahir mengkreasi serangan; David Platt gelandang tengah yang gemar bikin gol sesudah melaksanakan box to box; serta Ray Parlour, pekerja keras berambut gondrong yang sangat obsesif dengan Pele. Jika diimajinasikan sekarang, lakon Merson dijalani Jack Wilshere, Platt/Parlour diwakili Aaron Ramsey, sedangkan peran Vieira diisi Mikel Arteta. What? Pantas, minta ampun bila begitu.

Dengan formasi 3-5-2 atau 5-3-2 yang fleksibel, si opa Prancis juga dititipi duet penuh talenta di lini depan, adalah seorang pangeran lapangan hijau Belanda, Dennis Bergkamp, serta Ian Wright yang punya hobi memperdaya kiper dan bikin sewot pendukung lawan serta tukang gedor Three Lions. Di pertengahan jalan, Wenger sudah menyiapkan si anak jalanan dari Paris, Nicolas Anelka, sebagai pengganti bapaknya Shaun Wright-Phillips itu.

Ini tips khusus buat masyarakat Gooner sejati. Tariklah nafas Anda dalam-dalam; renungkan kenangan pada ke-13 pemain tersebut yang menjadi skuat awal Wenger, lalu hela nafas Anda pelan-pelan. Terbayang Arsenal 1996-97: sepuluh pemain nasional Inggris, seorang pangeran Belanda dan seorang laki-laki kurus Senegal yang berotot kawat. Seorang anak jalanan. Mereka ialah dua belas pria yang senang 'langgar' demi bola.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Seiring perjalanan waktu, kecerdasan Arsene Wenger mulai luntur.
Bandingkan dengan skuat terakhir sekarang itu, dengan cara head to head langsung. Misalnya Wojciech Szczesny dengan David Seaman, Tony Adams dengan Per Mertesacker dan seterusnya. Apa yang Anda dapat atau pikirkan wacana kualitas skuat Arsenal dulu dan sekarang? Arsenal 2013/14: lini belakang no comment; lini tengah no comment; lini depan tergantung lini belakang dan tengah.

Apalagi dalam dua tahun berikutnya, Wenger - yang dikala itu masih sangat cerdas dan mau mendengar masukan orang - mendatangkan Emmanuel Petit, Mark Overmars, Bisan Lauren, Bobby Pires, Fredrik Ljungberg, Thierry Henry serta Jens Lehmann, juga memoles Ashley Cole hingga jelas. Jujur saja, memang hanya seorang Sir Alex Ferguson yang mampu menggagalkan Arsenal mendominasi Premier League selama satu dekade.

Apa belakang layar itu semua? Semuanya berpulang kepada kecintaan, kepedulian serta perilaku profesional, terutama pada diri seseorang bernama David Dein; Gooner sejati, salah satu pemegang saham dan pebisnis yang segera menimbulkan Wenger sebagai sahabatnya di luar rekan kerja. Menurut banyak cerita, keduanya sering ribut di kantor, saling gebrak meja; namun di luar kantor tak jarang untuk ngopi, makan siang bersama, atau bahkan liburan keluarga bersama.

Jika mau sekalian tuntas, apakah pantas membandingkan tugas David Dein dengan Ivan Gazidis sekarang? Sayangnya sangat tidak mampu dibandingkan. Gazidis bukan pecinta Arsenal, no passion, kecuali pebisnis belaka yang dijadikan CEO oleh pemegang saham mayoritas (66,6%), Stan Kroenke. Pesaing pria AS itu sebagai pemegang saham terbesar berikut (29,25%) yakni Alisher Burkanovich Usmanov, milyarder muslim asal Uzbekistan yang ber-KTP Rusia, yang berjanji akan membawa Dein lagi ke Emirates bila sanggup mengakuisisi saham Kroenke.

Itulah saga Arsenal The Gunner dengan Arsene Wenger, jujur saja; sejatinya persekutuan mereka telah kehilangan makna, bulan madu pun seharusnya sudah berlalu, seharusnya diakhiri segera! Sumber problem mesti segera dibasmi. Ketika lakon kehidupan telah berganti, tujuan Arsenal justru terus disesatkan oleh imajinasi dan utopia yang tidak jelas arahnya. Inilah yang bikin sebagian orang geleng-geleng kepala.

(foto: express/scaryfootball/telegraph/1nildown2oneup/footballparadise/shoot)