Sunday, August 12, 2012

Timnas Indonesia: Dari Semarang Sampai Senayan

Semarang, Sabtu 7 Agustus 1937. Sebuah laga paling bersejarah buat sepak bola nasional terjadi sore itu. Satu klub top dari Cina bernama Nan Hwa menjadi lawan pertama kali "tim PSSI" (jululan tim nasional sebelum Indonesia merdeka). Begitulah yang dipaparkan Harian Sin Tit Po, edisi Senin 9 Agustus 1937. 
 Sebuah laga paling bersejarah buat sepak bola nasional terjadi sore itu Timnas Indonesia: Dari Semarang Hingga Senayan
Laga PSSI vs Nan Hwa di Semarang, 7 Agustus 1937.
Satu hal yang perlu diingat lagi: justru dengan klub asing-lah, Nan Hwa, timnas kita melaksanakan debutnya, yang berkesudahan 2-2 tersebut. Asal tahu saja, Nan Hwa datang dengan kekuatan penuh antara lain bintangnya Lee Wai Tong, legenda sepak bola Cina, Hong Kong, dan Asia. Jika di periode pra kemerdekaan saja sudah sering ngadu dengan orang luar, apalagi pasca kemerdekaan. Era selanjutnya makin mengagumkan.

Kedatangan klub-klub top Eropa mulai marak ketika Presiden Soekarno menginstruksikan PSSI supaya menyiapkan tim nasional yang handal untuk dua proyek besar: Asian Games II di Manila pada 1954 dan Olimpiade Melbourne 1956. Selain ujicoba ke Asia dan Eropa berbulan-bulan, mengundang klub-klub aneh baik dari Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin jadi tujuan strategis PSSI: mengukur kekuatan permainan, karakter, dan mentalitas pemain nasional.

Di periode 1950-an itu bahkan PSSI bisa mendatangkan klub top Eropa dari Prancis, Stade Reims, yang diperkuat bintang dunia ketika itu, Raymond Kopa. Menurut catatan di buku Kenang-Kenangan 50 Tahun PSSI, klub-klub dari Singapura, Malaysia, Thailand, India, Jepang, Filipina, Cina, Mozambik hingga Austria, Swiss, Cekoslowakia (Slovan Bratislava), dan Yugoslavia (Savel) hingga Brasil (Cruzeiro) juga pernah beranjangsana ke Nusantara.

Yang tak kalah hebohnya, dikala Lokomotiv Moskva juga singgah di Tanah Air. Klub top Uni Soviet ini juga tiba dengan tim inti termasuk bintangnya Valentin Bubukin, seorang penyerang yang punya tendangan sangat keras yang bikin seorang penjaga gawang rasanya ogah bermain di posisinya. Menurut informasi yang penulis dapatkan, dari 7 pertandingan di Tanah Air mulai dari Medan hingga Surabaya, Bubukin 'sukses' membuat pingsan lima orang kiper lawan sebab cedera di kepala atau dada akhir terkena bola gebokan Bubukin!

Dari rentetan ujicoba dengan klub-klub aneh itu, PSSI menuai sukses lahir batin. Paling mengagumkan ialah lolos ke babak 16 besar Olimpiade Melbourne, antara lain sempat menahan Uni Soviet 0-0. Satu prestasi puncak persepak bolaan nasional hingga kini. Di abad 60-an, saat PSSI punya dua timnas (Banteng dan Garuda), giliran Torpedo Moskva (Uni Soviet), FC Malmoe (Swedia), Petrolul Ploiesti (Rumania) dan timnas Yugoslavia yang berkunjung ke Tanah Air.

Hebatnya, timnas Garuda mampu mengalahkan Torpedo, Yugoslavia, dan Petrolul dengan skor 3-1, 5-1, dan 5-3. Sukses juga didapat tim senior Banteng dengan lawan yang sama lewat skor 0-0, 3-2, dan 4-3. Satu-satunya kekalahan Garuda diderita melawan FC Malmoe 2-5. Sedangkan tim Banteng sukses membungkam klub Swedia itu dengan 2-0. Klub asal AS, Tornado, juga pernah bertarung melawan Persija dan kalah 0-2.

Di masa 1970-an, dengan semakin kondusifnya stabilitas politik dan iklim ekonomi bangsa, Indonesia semakin dibanjiri kedatangan klub-klub abnormal. Klub macam Dynamo Moskva (Uni Soviet), FC Brno (Cekoslowakia), Csepel SC (Hongaria), Neuchatel Xamax (Swiss), Santos (Brasil), Esbjerg (Denmark), Kristiandsand (Norwegia), Ajax Amsterdam, Stoke City, Manchester United, hingga timnas Uruguay dan Italia U-21 rela terbang jauh-jauh alasannya penasaran dengan iklim sepak bola Indonesia yang mereka kenal ganas dan ingin merasakan mirip apa berada di sarangnya legenda sepak bola Asia.

Laga melawan Dynamo di Senayan pada 14 Juni 1970 paling menyita perhatian publik. Penyebabnya cuma satu: mereka menyertakan kiper legendaris dunia Lev Yashin! Meski kalah 0-1 namun kiper Indonesia Judo Hadianto dielu-elukan publik. Puluhan evakuasi gemilangnya menghindarkan Indonesia dari kebobolan yang lebih besar. Pelajaran untuk meningkatkan mentalitas bermain selalu jadi motto bagi para pemain nasional. Mereka boleh kalah pada teknik bermain, tapi soal mental jangan sampai.

Begitu juga pada 20 Juni 1972, tatkala Santos hadir di hadapan 85.000-an publik Senayan. Dua tahun silam Lev Yashin, kini giliran orang ingin melihat Pele. Dengan match fee 40 ribu dolar AS, sekitar Rp 15 juta dikala itu Pele cs mendarat di Bandara Kemayoran, dua hari sebelumnya. Untuk menghadapi duel bergengsi ini, PSSI memanggil para bintangnya seperti Ronny Paslah, Anwar Udjang, Mohammad Basri, Muljadi, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Risdianto serta Jacob Sihasale.

Jalannya adu cukup membanggakan penonton karena para pemain nasional tampil bersungguh-sungguh tidak mau kalah. Meski dua menit berlangsung, gawang Ronny dibobol oleh Jade, juga di menit 14 oleh Edu, bahkan ketika Pele mencetak gol lewat tendangan penalti di menit 30 dan menciptakan PSSI tertinggal 0-3, semangat anak-anak asuhan Endang Witarsa tidak pernah surut. Inilah yang membedakan dengan pemain nasional generasi kini. Dengan ikhtiar menyala-nyala, alhasil pun jadi sepadan.

Menit 31, Iswadi yang menggiring bola sendirian berhasil menendang bola namun memantul mistar gawang. Bola jatuh di kaki Risdianto yang serta merta menggenjotnya lagi ke gawang. 1-3. Di menit 70, kembali Risdianto melesakkan gol sehabis bekerja sama dengan Sihasale dan Yuswardi. Namun dikala skor 3-2 ini keadaan memanas.

Tiba-tiba saja Leo tergeletak, Iswadi menariknya untuk segera berdiri lagi. Merasa dihina, seorang pemain Santos menendang punggung Iswadi. Nyaris muncul perkelahian massal. Demi kenyamanan permainan, Iswadi balasannya ditarik keluar. Dengan marah-murka, pujaan penggila bola di masa 70-an itu menendang gelas minuman hancur berkeping-keping yang belingnya nyaris melukai orang-orang yang ada di sekitarnya.

Beckenbauer Di Senayan

Pada Juni 1975, Manchester United dan Ajax Amsterdam menjadi tamu PSSI Tamtama dalam turnamen segitiga di Senayan. United, yang barusan promosi ke Divisi Utama sehabis semusim sebelumnya didegradasi oleh Manchester City, tampil mengecewakan karena ditahan 0-0 oleh Risdianto dkk. pada 1 Juni 1975 di hadapan 70.000 orang.

Menurut Kompas, tabrak Ajax vs United pada 3 Juni di Senayan melahirkan rekor gres kunjungan klub gila ke Indonesia. Laga yang berakhir 3-2 untuk Ajax itu ditonton 100.000 penonton dan menghasilkan pemasukan Rp 300 juta ke kas PSSI. Sebuah sejarah baru dalam pendapatan terbesar dari satu tabrak sepak bola di Indonesia.

Setelah mengarungi putaran hingga tamat Pra-Olimpiade yang akhirnya sangat memilukan, di Desember 1976, Iswadi dkk. yang bernaung di bawah panji PSSI Pre-World Cup 1978, kalah 1-2 dari FC Brno, sebuah tim elite Cekoslowakia yang sebelumnya merontokkan Persebaya 4-0 namun dikalahkan Persib 2-1 di Siliwangi. Dalam tabrak yang juga panas, Iswadi juga sempat menempeleng seorang pemain Brno yang mengasarinya.

Pada 3 Oktober 1979 Senayan juga pernah didatangi Cosmos New York. Bintang dunia macam Johan Neeskens, Wim Rijsbergen, Carlos Alberto, Giorgio Chinaglia serta Franz Beckenbauer ikutan hadir. Meski kalah 1-4, tim PSSI yang dijejali skuad runner-up SEA Games 1979, menerima pelajaran berharga. "Cuma sekali seumur hidup, berhadapan eksklusif dengan Beckenbauer!" cetus (almarhum) Ronny Pattisasarani, yang kebetulan memang mengidolakannya setengah mati. Melimpahnya penonton menciptakan PSSI menangguk untung penghasilan kotor Rp 55 juta.

Sedang dana yang dikeluarkan untuk mendatangkan Cosmos sekitar 40 ribu dolar atau masih sekitar Rp 25 juta. Konon itulah bayaran tertinggi klub ajaib yang pernah main di Jakarta. Saat menjamu anggota NASL itu, bahan inti skuad PSSI yakni Purwono (Niac Mitra); Simson Rumahpasal (Warna Agung), Wayan Diana, Berty Tutuarima (BBSA Tama), Rae Bawa; Rudy Keltjes, Rully Nere, Ronny Patti (Warna Agung); Dede Sulaiman (Indonesia Muda), Risdianto (Warna Agung), Iswadi Idris (Jayakarta).

Kisah dari Semarang hingga Senayan terus merambah ke era 1980-an. Kenangan yang paling aku sulit lupakan ialah saat melihat Johan Cruijff bermain di Senayan, 21 Mei 1984. Meski sudah dimakan umur, Cruijff yang waktu itu berumur 38 tahun dan membela Feyenoord, datang ke Indonesia untuk berujicoba dengan Queens Park Rangers dan Mandala, klub asal Jayapura yang barusan menjuarai Kejuaraan Antarklub Amatir Perserikatan.

Pemain-pemain Mandala yang masih muda dan berotot seperti Leo Kapissa, Panus Korwa, Albert Pahelerang hingga Martin Kaiba pun sulit merebut bola dari kaki sang maestro sepak bola dunia. Feyenoord lantas meremukkan Mandala 5-0, dan kemudian QPR 3-1. Yang paling berkesan buat penggemar bola di Indonesia ketika itu termasuk aku, di Senayan-lah Johan Cruijff mengakhir kariernya sebagai pesepak bola.

(foto: Mengarungi Milenium Baru 70 Tahun PSSI)

Tuesday, August 7, 2012

Bundesliga: Pionir Tontonan Kompetisi Eropa Di Indonesia

Premier League, La Liga, dan Serie A bertarung sebagai liga terbaik di bumi dari banyak sisi. Tapi kalau bicara esensi tontonan bola sejati, maka tengoklah Bundesliga. Menikmati Bundesliga bisa dirasakan dari pengambilan sudut gambar dan gerakan slow motion, baik pemain maupun penonton. Semuanya terkesan mewah. Visualnya di TV juga sangat bersih. Maklumlah, Jerman merupakan produsen lensa terkenal nomor satu di dunia.
 dan Serie A bertarung sebagai liga terbaik di bumi dari banyak sisi Bundesliga: Pionir Tontonan Kompetisi Eropa di Indonesia
Karl-Heinz Rummenigge (Bayern) vs Kevin Keegan (Hamburg). Terbaik di masanya.
Dan satu hal yang tak boleh dilupakan, Bundesliga pula menjadi liga sepak bola Eropa pertama yang disiarkan eksklusif di Indonesia melalui TVRI di simpulan 1970-an. Pada abad ini sampai medio 1980-an, biasanya di program Arena dan Juara, stasiun televisi nasional itu secara berkala juga menayangkan program sepak bola. Entah Piala FA atau Piala Champions. Lalu tiap dua tahun sekali, Piala Eropa dan Piala Dunia.

Semuanya bertipe kejuaraan, sehingga yang murni kompetisi, ya hanya Bundesliga. Semasa bocah, penulis masih ingat bagaimana kepindahan Kevin Keegan dari Liverpool ke Hamburg pada 1977 saja menaikkan rating Bundesliga di Tanah Air.

Kevin Keegan adalah ikon Bundesliga di periode itu. Setiap langgar Hamburg SV nyaris disiarkan TVRI. Selorohan "Keegan, Keegan.. ha ha ha!" sempat populer di Indonesia, mengikuti koor suporter Hamburg di stadion yang menggambarkan tertawaan Keegan kepada wasit sesudah diberi kartu kuning.

Sejak dulu kekuatan Bundesliga adalah tingginya animo penonton di stadion, satu syarat utama disebut kompetisi idaman. Pemain kasar, sponsor pun senang. Hingga kini pun rata-rata penontonnya masih yang terbaik se-Eropa. Walhasil, panorama stadion terlihat sensasional. "Atmosfir penontonnya luar biasa di mana pun anda bermain," kata Raul Gonzalez, yang pernah membela Schalke (2010-12).

Musim lalu rata-rata penonton di Serie A adalah 24.031. La Liga 29.128, dan Premier League 35.283. Bandingkan dengan Bundesliga yang mencapai 42.673 penonton tiap pertandingan. Bila dipilah dari klub, kontributor terbesar adalah Borussia Dortmund sebesar 80.478 penonton yang menjadi rekor Eropa dan dunia. 

Sembilan dari 20 besar pemilik penonton terbesar di dunia ditempati oleh klub-klub Bundesliga. Ini berarti separo dari 18 klub Bundesliga punya penonton lebih baik dari Manchester City, Liverpool, Chelsea, Tottenham, Valencia, Atletico Madrid, Juventus, Roma, Benfica, dan Porto.

Tiket dan Gaji 

Kunci dari sukses Jerman mengemas kompetisinya dari sisi penonton tiada lain tiket masuk stadion yang murah se-Eropa. Tiket biasanya sudah sepaket dengan karcis kereta. Kalau mau lebih murah lagi, belilah tiket terusan. Bayangkan, rakyat biasa sudah bisa menikmati permainan Bayern Muenchen di Allianz Arena hanya berbekal 20 euro (sekitar Rp 250 ribu). Bandingkan dengan tiket Arsenal yang mampu mencapai 100 pound (lebih dari 1,5 juta) di Emirates.

Untuk menyehatkan liganya, Jerman mematok hukum ketat soal kepemilikan klub. Para anggota klub harus menjadi pemegang saham terbesar, sehingga mustahil bagi investor asing untuk mengontrol klub-klub Jerman. Regulasi itu dikenal dengan 50+1. Perkecualian hanya bisa dilakukan oleh investor yang telah 20 tahun lebih punya saham terbesar. Yang sangat mengagumkan lagi yakni kontrol ketat soal pengeluaran untuk honor pemain di tiap klub.

Secara umum di bawah 50 persen dari seluruh pendapatan klub. Hasilnya, setiap demam isu rata-rata 11 klub Bundesliga selalu meraih profit. Sebagai komparasi tengoklah Premier League yang tagihan honor pemainnya mampu mencapai 62 persen dari revenue

Satu lagi argumen Bundesliga disebut liga terbaik jika melihat sangat langkanya klub-klub mereka punya utang. Nah, dari dua faktor tadi yang membuat mingguan Kicker pada Mei silam menyebut Bundesliga sebagai kompetisi liga terbaik di Eropa. Faktor ketiga menurut Kicker ialah daya saing kompetisi.

Beda dengan Inggris, Spanyol, dan Italia yang jadi sentra suburnya dominasi; dalam tujuh animo terakhir, Bundesliga selalu melahirkan juara yang berbeda dengan selisih poin yang amat rapat. Louis van Gaal pernah bilang bahwa Bundesliga adalah liga dengan daya saing paling sulit di Eropa. 

Grafik posisi klub di setiap demam isu mampu acakadul bentuknya. Kelemahan paling telak Bundesliga ada di blantika Liga Champion. Sejak 2001, mereka kesulitan mendongkel sang triumvirat. Kekalahan Muenchen di sangkar sendiri dari Chelsea di selesai terakhir yakni bukti sahih.

Meski secara generik performa wakil Bundesliga di ajang Eropa lumayan memuaskan, yang terbukti mampu menggeser Italia di tangga koefisien UEFA 2012/13, namun masih satu celah yang menjadi pekerjaan rumah bersama. Berbekal keunggulan penonton, kompetitif dan stabilitas keuangan, menurut Matthias Sammer sebenarnya Bundesliga cuma butuh sedikitnya 2-3 klub yang mapan untuk bersaing di Liga Champion agar sah menjadi liga terbaik. Mengandalkan superpower dan imej FC Bayern saja tidaklah cukup.

Makara, mengapa kita harus sepatutnya menyukai Bundesliga? Sebab di sinilah tempatnya untuk menyaksikan tontonan olah raga, murni pertandingan sepak bola; dan bukannya permainan pasar saham atau fenomena bisnis.

(foto: Kicker)