Friday, November 13, 2015

Visi: Dongeng Albania (2)

DI KALA situasi makin dipenuhi kekalutan, sekonyong-konyong seorang ofisial dari Serbia berlari ke arah Balaj yang sedang membawa bendera. Tanpa ragu dia menghantamkan kursi plastik itu ke tengkuk Balaj, yang langsung tumbang. Melihat itu serta merta kapten Shqiperia, Lorik Cana, murka kemudian mengirim ketupat bengkulu ke wajah si penyerang liar.
Awal kericuhan: memperebutkan bendera.
Dari banyak sekali penjuru, para penonton mulai menyelusup ke lapangan dengan niat dan tekad lingkaran: menyerang para pemain Albania. Sementara itu Cana masih bergumul dengan si penyerang liar yang ternyata berbadan jauh lebih besar darinya serta berkepala plontos. Cana sempat dipukul beberapa pemain cadangan Serbia yang mulai terbakar emosi nasionalismenya.

Di menit 42, kesannya Atkinson tak tahan dengan keadaan. Ia meniup panjang tanda berkelahi dilarang. Pemandangan lain memberikan segelintir pemain kedua negara baku pukul. Begitu juga para ofisial. Gilanya, ofisial lapangan yang harusnya netral malah ikutan sabung otot melawan kontingen Albania.  Seseorang tampak mendorong Atkinson agar keluar lapangan. 

Aksi penonton yang tetap di tribun tidak mau kalah. Mereka kompak meneriakan "Vritini! vritini! Shqiptaret dhe vritini, vritini! Pritini! Shqiptaret nuk egzistojne!" (Bunuh! Bunuh! Bunuh orang Albania! Bunuh! Potong mereka! Albania tidak ada!). Mereka juga membakari bendera NATO, di era poster Sesejl dan Radenovic diacung-acungi pendukung tuan rumah.

Tak pelak lagi, Stadion Partizan sudah diguyur aroma politik. Jenderal Vojislav Sesejl ialah panglima Serbia pada Perang Kosovo, yang ditahan NATO dengan status penjahat perang setelah diadili di Den Hague , Belanda. Begitu juga Jenderal Veljko Radenovic, komandan polisi di Prizren. Poster-poster lain yang terlihat ialah “Glory to Putin” serta “Kosovo yakni Serbia.” 

Tidak henti-hentinya koor seisi stadion yang berteriak: “Bunuh, bunuh mereka, tusuk mereka, jangan hingga ada orang Albania yang keluar dari lapangan,” juga jadi kekuatiran tersendiri alasannya dianggap menjadi provokasi, bahan bakar bagi para pengacau di adu yang berbau rasial itu. Orang-orang UEFA yang hadir di situ terlihat tak berdaya dan telah dipermalukan.

Melihat kurang seriusnya petugas keamanan, keselamatan stadion yang minim dan menyeruaknya tensi kemarahan dari penonton tuan rumah, bisa jadi Stadion Partizan berpotensi menjadi killing field, ladang pembantaian. Bisa dipastikan, hanya berkat kasih sayang-Nya atau perlindungan Illahi saja, tim Albania terhindar dari peristiwa penyerbuan puluhan ribu ke lapangan!

Beruntung bintang internasional Serbia seperti Kolarov, Ivanovic, atau Tadic malah bersikap akrab. Mereka malah menolong pemain Albania dengan cara mencegah para penyusup yang ingin memukuli mereka. Ofisial pertandingan akibatnya memikirkan hal terburuk di atas. Maka berlarianlah seluruh tim Albania ke lorong pemain yang terletak di sudut lapangan.

Celaka dua belas, rupanya di sudut itu grup ultras Serbia berada! Maka tak terhindarkan lagi saat satu-dua penyusup dengan nekat menghantam dan menendangi para pemain Black Eagle yang berlarian ketakutan. Kolarov kembali memperlihatkan pengabdian internasional dan logika sehatnya dengan cara mengawal sisa tim Albania yang lain. Setelah 30 menit kondisi mulai hening.

Uniknya UEFA dan Atkinson berniat melanjutkan tubruk. Tentu saja tim Shqiponjat ogah alasannya adalah psikologis mereka sudah terganggu. Albania tak mau meneruskan tubruk. Hanya tim Serbia yang memasuki lapangan. Maka sesuai aturan, Albania dinyatakan kalah Walk Over (WO) dengan skor 0-3. Setelah diurai ofisial pertandingan, masalah drone dianggap sebagai biang keladi kerusuhan.

Suasana kamar ganti pemain Albania jadi menegangkan. Banyak yang menderita memar dan luka di leher dan wajah. Episode ketiga peperangan antara dua etnis pun muncul lagi. Kepolisian Serbia menggeledah tas anggota skuad Albania untuk menemukan alat pengendali drone. Ruangan digeledah. Laci, dingklik, toilet, sampai jendela namun remote-control tetap nihil didapat.

Tak lama muncul klaim tak terduga dari Shvercerat, grup pendukung FK Shkupi, anggota Liga Masedonia yang dimiliki orang Albania, mengaku sebagai operator drone. Tapi pihak berwenang tak menemukan bukti. Aksi penzaliman Shqiponjat melahirkan reaksi beragam. “Serbia menawarkan perilaku rasis dan fasis-nya,” kecam Agim Cana, ayah dari Lorik Cana.

Michel Platini dan Sepp Blatter juga mengutarakan kecaman similar atas masuknya pengaruh politik dalam sepak bola yang dilakukan Albania dan Serbia. Pernyataan resmi Serbia adalah mereka jadi korban provokasi sambil menuduh drone itu dikendalikan Olsi Rama, adik dari PM Albania Edi Rama dari daerah beliau menonton: di ruangan VIP Stadion Partizan!
                                                               *******

Pemain Albania berlari ke arah yang salah.
TAK AYAL, perselisihan politik eksklusif merebak. Pemerintah Serbia eksklusif menuding Albania sengaja memprovokasi negaranya melalui tim Shqiponjat. PM Serbia Aleksandar Vucic juga bilang Olsi sempat ditangkap meski lalu dikirim pulang. Olsi Rama membantah dengan mengakui ia keluar lebih dulu dari stadion sebelum kerusuhan di lapangan merebak.

“Dengan alasan keamanan saya pergi lebih dulu. Saya sempat dipersulit abdnegara yang menjaga di luar stadion. Namun alasannya saya memegang paspor Amerika mereka tak berdaya menahan,” aku Olsi yang saat itu rupanya ditemani Ighli Tare, bekas kapten timnas Albania. “Saya berani sumpah, ia hanya membawa kamera,” timpal Tare, direktur olah raga klub Serie A Lazio.

Entah mana yang benar. Namun Perdana Menteri Shqiperia, Edi Rami, memprotes keras adiknya dituduh sebagai dalang kerusuhan 14 Oktober 2014. Dampak keributan menjalar amat cepat. Di selatan Albania, pemukiman warga keturunan Yunani diserbu massa. Di Austria, 50-an orang Albania menghancurkan kafe milik orang Serbia, termasuk kendaraan beroda empat polisi.

Menteri Luar Negeri Serbia, Ivica Dacic, mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Albania telah melaksanakan provokasi politik melalui pengibaran bendera terlarang di negerinya. “Kami menunggu reaksi dari Uni Eropa dan UEFA Anda mampu bayangkan apa yang kami terima jikalau bendera Serbia Raya dikibarkan di Tirana dan Pristina (ibukota Kosovo),” kata Dacic.

Sementara Menteri Dalam Negeri Nebojsa Stefanovic menuding aksi provokasi Albania itu menunjukkan ketidak-matangannya sebagai calon anggota Uni Eropa. Diserang secara politis, Albania berjuang di pentas UEFA. Kegagalan abdnegara Serbia mengamankan, bahkan ikut menzalimi para pemain Albania di tabrak internasional diungkap, dan kelak mengubah sejarah.

Tragedi 14 Oktober 2014 itu hanya sepekan sebelum PM Edi Rama datang di Beograd, kunjungan resmi pertama tokoh Shqiperi dalam 70 tahun terakhir. Menurut media massa tuduhan Serbia amat berkebalikan dengan realita di Kosovo, di mana justru Serbia lebih kasar. Albania tidak mengungkit-ungkit info panas Kosovo sehingga UEFA jadi curiga dengan motif lebay Serbia.

“Saya kecewa harus melakukan banding melihat keputusan UEFA yang bakal menjadi skandal dan preseden buruk ke depan,” kata Presiden FSHF (Federata Shqiptare E Futbollit) Armand Duka. “Rasisme dalam sepak bola yakni sebuah parodi. Ini bukan soal menang kalah, tapi bagaimana melawan rasisme,” tambah Cimi Shakohoxha, seorang anggota legal FSFH.

Dengan bahasa diplomasi tingkat tinggi, PM Edi Rama menyatakan sikap kecewanya. “Keputusan UEFA dengan mengalahkan Shqiperia lewat cara mirip itu merupakan tindakan yang tidak adil. Yang aku mampu pastikan, hanyalah persiapan giliran menjamu Serbia. Kami telah menaikkan kapasitas Stadion Lori Borici menjadi 20 ribu penonton,” ucap sang pemimpin.

Setelah dinyatakan menang 3-0 oleh wasit Martin Atkinson, aksi Serbia di pentas politik semakin menggila. Ini jadi bumerang. “Bagaimana kami bisa kalah 0-3? Wasit tidak memberi tahu kami pertandingan akan dilanjutkan,” protes kapten tim Lorik Cana. “UEFA tahu tidak ada 'gadis baik-baik' bila ada di rumah bordil,” kecam Sokol Kushta, eks bintang Albania, penuh makna mendalam tapi terperinci sinis.

Kushta memelopori persatuan pemain keturunan Albania di Eropa dan Amerika untuk melaksanakan aksi protes. UEFA dikutuk sebagai organisasi yang tidak adil dan rasis dalam mengambil keputusan. Bos UEFA, Michel Platini, yang tidak membela usaha Albania, ikut dikecam. Sekitar 100 orang Albania di Finlandia menjuluki Platini sebagai politisi durjana. Di mana-mana orang-orang Albania turun berdemo. Mulai dari Tirana, Kosovo, Podgorica, Masedonia, hingga di markas UEFA di Nyon, Swiss. 

Albanian Roots dan Albania-American Organization (AAO), dua organisasi resmi keturunan Albania melaksanakan protes, petisi, boikot, juga menyurati organisasi hak asasi manusia, UEFA, FIFA, termasuk kepada Platini. Selebriti top Albania, Ardit Gjebrea, melaksanakan aksi lapangan dengan mengajak rakyat Albania memboikot produk-produk Serbia di pasar-pasar.  Harapan Menlu Dacic untuk meraih kemenangan politis karenanya urung lahir alias gatot, gagal total! 

Serbia malah ketiban sial seusai sidang sengit Komisi Kontrol, Etik dan Disiplin, UEFA menganulir kemenangan WO 3-0 menjadi kekalahan indisipliner 0-3! Dakwaan utamanya tiada lain sebab Serbia dinilai tidak bisa mengatasi invasi penonton yang menjadi sebab musabab kerusuhan. Perolehan nilai tim Oriovi, julukan timnas Serbia, juga dikurangi tiga poin. Duka berlanjut. Dua tubruk sangkar berikut harus dilalui tanpa penonton dan denda 100 ribu euro. Sepak bola terkadang bergantung pada nasib baik, dan Albania meraihnya.
                                                          *******
PM Albania Edi Rama.
SAKING gembira dan puasnya, Bekim Balaj – striker Shqiperia yang menjadi pemicu kerusuhan dengan merampas bendera Albania Raya dari tangan pemain Serbia – berkomentar dengan sarkas di akun Facebook-nya. “Maaf Platini untuk dingklik yang hampir aku hancurkan dengan kepala aku, dan bravo UEFA!” tulis pemain yang merumput di HJK Rijeka (Kroasia). 

Keberuntungan Albania meraih hadiah ganda itu membantu mereka melangkahi Denmark di klasemen Grup I. Selain itu, kemenangan diplomasi Albania sanggup menaikkan watak tim Shqiponjat serta meruntuhkan budpekerti Oriovi, julukan timnas Serbia. Di tiga berkelahi ke depan, Serbia kalah beruntun dua kali dari Denmark (1-3 dan 0-2) serta Portugal (1-2). 

Sebaliknya dengan penambahan tri poin, Albania lebih bersemangat, terbukti dengan raihan empat poin dari tiga sabung. Shqiperia mengalahkan Armenia 2-1, seri 0-0 lawan Denmark, dan kalah 0-1 dari Portugal. Langkah bersejarah mereka sempat tertahan dengan kekalahan 0-2 dari Serbia di kandang sendiri yang kali ini tanpa kerusuhan sama sekali.

Setelah Denmark kalah 0-1 dari Portugal, kepastian Shqiperia meraih sejarah besarnya ditentukan di Yerevan, dengan mengalahkan tuan rumah Armenia 3-0. Apakah Albania pantas menerima itu semua dari perjalanan dongengnya? Upaya yang ditempuh dari semua jurusan terbukti menuai hasil fantastis sehingga Shqiperia pantas menjemput takdirnya. Itulah jawabannya.

Seperti Turki atau Tiongkok, ras Albania juga bertebaran di penjuru dunia. Dukungan masif itu bakal menjadi modal besar lengan berkuasa Shqiperia di Prancis 2016 mendatang. Bangsa ini, dari segala paspor, kalangan dan jabatan, teruji bersatu padu dalam kedukaan dan pasti lebih heboh lagi saat merayakan kesenangan. Edi Rama tahu betul memanfaatkan situasi dan peluang. 

Pada malam kebahagiaan sehabis Shqiperia membungkam Armenia, sang perdana menteri sibuk menelpon ke sana ke sini. Rumahnya masih diguyur suka cita dan teriakan anggota keluarga yang menonton siaran eksklusif sabung bersejarah. Rupanya tuan Rama sibuk membatalkan banyak kesepakatan, atau sedang memberi perintah begini-begitu pada bawahannya. 

Pekerjaan pertama sang pemimpin pada Senin pagi, 12 Oktober 2015 adalah menjemput para pendekar bangsa di Bandara Bunda Teresa (Nene Tereza) di Tirana. Pekerjaan kedua mengikuti kirab keliling ibukota dengan kendaraan terbuka bersama Shqiponjat. Siang istirahat sebentar di rumah, sebelum melakukan pekerjaan ketiga di sore hari: berpidato resmi di istana.

Pidato ini disiarkan pribadi oleh aneka macam jaringan televisi ke seluruh negeri, sehingga getaran nasionalismenya mampu dinikmati tiga juta penduduk. “Kepahlawanan kalian menjadi sumber inspirasi yang telah memberi harapan kepada jutaan orang di negeri ini,” demikian pecahan pidato Edi Rama di depan rakyatnya. Pesta rakyat berlangsung sampai malam hari. 

Albania sedang menikmati cerita sepak bolanya. Bayangkan, barisan manusia yang menyemut tidak putus mulai dari bandara sampai ke tengah kota. Semua mengelu-elukan pemain. Rakyat bergembira di jalanan, menari, bernyanyi layaknya. Mudah, di hari Senin itu rakyat Albania dan juga Kosovo dilanda suka-cita luar biasa hingga-hingga melupakan rutinitasnya. 

Seluruh rakyat tak menduga negaranya bisa bersaing di grup yang diisi tiga kekuatan besar; Portugal, Denmark, dan Serbia. Sehingga menembus Piala Eropa pertama kali lebih seperti dengan menjuarainya. Apalagi jikalau jadi juara Eropa beneran?  Benarlah apa yang diucap Bill Shankly. “Sepak bola adalah dilema hidup dan mati, bahkan jauh lebih penting dari itu.”

Edi Rama masih mengenang dongeng sulit tidur yang menerpa dirinya sesudah Albania dikalahkan Serbia 0-2 di kandang sendiri, tiga hari sebelum terbang ke Yerevan untuk melakoni langgar terakhir. Ia memanggil seluruh anggota tim ke rumahnya untuk diberikan audiensi spiritual. “Mereka amat terpukul, begitu juga saya. Satu kekalahan yang menyakitkan,” paparnya.

Selama tiga hari, sang perdana menteri tidak mampu tidur nyenyak alasannya terlalu memikirkan nasib tim nasionalnya. Namun ia merasa lega telah memberi pesan penting buat para pemain. “Saya katakan pada mereka, kalau ingin mencapai puncak gunung maka kalian harus mengatasi angin yang berpengaruh. Tunjukkanlah aksara kalian nanti di Yerevan!” kata Rama dikala itu.

Albania mesti menang untuk menggeser Denmark di peringkat  kedua. Falsafah ‘naik-naik ke puncak gunung’ ala Edi Rama diresapi para pemain luar dalam. Armenia memang negeri yang dipenuhi pegunungan tinggi dan berangin, namun semangat dan aksara Shqiperia lebih dicurahkan di atas lapangan hijau. Albania sukses menaklukkan Armenia 3-0. (bersambung)

(foto: balkineu)

Thursday, October 15, 2015

Mirip Menampar Air Di Dulang

Barangkali Manchester City lebih baik meminta Liam dan Noel Gallagher, dua fan fanatik mereka yang juga pentolan grup band Oasis, untuk menggubah lagi himne Liga Champion daripada mencemooh karya musisi bangsa sendiri atau memusuhi UEFA.
Barangkali Manchester City lebih baik meminta Liam dan Noel Gallagher Seperti Menampar Air Di Dulang
Ulah kaum The Cityzen. Parodi atau harapan?
Klub-klub Eropa sangat mendambakan lagu itu bisa diputar di stadion mereka. Para pelatih dan pemain sejagat dari berbagai ras dan bangsa, yang bintang atau bukan; bermimpi mendengarkan sambil berbaris khidmat. Mereka pun rela mengerahkan otak dan tenaga demi tujuan itu. Maka jikalau ada klub hingga menghinanya, niscaya problem sudah bikin ngebul kepala.

Lagu Zadok The Priest, yang menjadi lagu resmi Liga Champion, amat dikenal publik sepak bola semenjak meluncur pertama kali pada Agustus 1992. Adalah komposer Inggris, Tony Britten, yang menggubah salah satu karya komposer terbesar Inggris, George Frideric Handel pada 1727 itu, sekaligus memberi liriknya. Anehnya, orang-orang Inggris pula yang pertama kali melecehkannya.

Pendukung Manchester City tidak mungkin tidak paham sejarah. Barangkali mereka lupa, kebablasan, sehingga dengan bodohnya mengolok-olok himne yang kerap membangunkan bulu kuduk itu di Stadion Etihad, Oktober kemudian. Kejadiannya sebelum mereka mengalahkan Sevilla 2-1 di matchday 3. Akibat pelecehan kelas berat itu, klub kaya mendadak ini diperkarakan UEFA.

UEFA tengah mengumpulkan bukti-bukti lain untuk memutuskan vonis yang menurut rencana diumumkan pada 19 November. Kemungkinan besar berkas-berkas perkara City di UEFA bertambah. Sebelumnya 'pemain baru' di Liga Champion ini dikenai eksekusi pelarangan transfer akhir melanggaran hukum Financial Fair Play (FFP) pada 2013/14.

Dendam pendukung City pada UEFA pantas terjadi mengingat gara-gara larangan membeli bintang gres untuk isu terkini 2014/15, gelar mereka lepas direbut Chelsea. Hukuman itu juga mempengaruhi kiprah mereka di Liga Champion yang dipenuhi ambisi. Namun terseretnya Platini ke dalam polemik FIFA, lewat gosip suap 1,3 juta pound, justru sebagai pemicunya.

Mereka menganggap tindakan presiden UEFA dan Sepp Blatter dalam masalah korupsi di FIFA sebagai kejahatan keji. Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari tampaknya benar adanya. Tapi, kasihannya kenapa Zadok The Priest yang jadi korban? Ternyata di telinga Cityzen, lagu itu dianggap simbol arogansi, provokasi, kemunafikan, dan kriminalitas.

Masak sih? Jangan-jangan memang Cityzen arogan, tidak injak bumi, lupa kacang pada kulitnya dan lagi-lagi, melupakan sejarah. Selama ini para pimpinan klub tidak mau repot-repot menantang UEFA, entah itu manajer, eksekutif, CEO apalagi pemiliknya. Mereka justru tahu diri sebagai klub anak bawang di belantara Liga Champion.

City justru baru memulai tradisinya di Liga Champion. Belum tiga tahun. Mau sukses instan menjadi jawara Eropa mirip di Premier League? Waduh, ini Eropa bung! Manajemen sadar, mereka tidak punya teknokrat, legenda atau tokoh berpengaruh di UEFA yang sanggup melobi atau bisa menghipnotis keputusan. Kontak dan susukan mereka amat minim di sana.

Namun tidak demikian dengan pendukungnya, yang akrab disebut dengan Cityzen. Mereka mudah terbakar, murka sebagai bentuk letupan pengalaman pahit atau bisa juga bablasnya ekspektasi. Mereka amat sensitif, barangkali akhir hatinya kelamaan 'teraniaya' oleh kehebatan Manchester United. Galaknya minta ampun, bahkan lebih galak dari orang-orang lama.

Perlu Batasan
Barangkali Manchester City lebih baik meminta Liam dan Noel Gallagher Seperti Menampar Air Di Dulang
Berani meledek UEFA walau tidak punya tradisi di Liga Champion.
Pendukung City berkata UEFA telah mengekang kebebasan berbicara, berekspresi, serta coba mengubur nilai-nilai demokratis. Di mata mereka, FFP yaitu ironi, bukan bentuk kelaziman hukum tapi satu kezaliman pada kehidupan modern yang cenderung bebas, global, dan tentu saja kapitalis. Mereka mengingatkan UEFA dengan memo berjudul Bedtime Reading.

Fan berharap Le Petit Napoleon Platini, begitu mereka menjuluki presiden UEFA, menghentikan arogansinya dengan melihat pasal 10 dari Konvensi Eropa mengenai hak asasi insan yang berbunyi, 'Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan seterusnya.' Tapi, uniknya, di satu sisi pendukung City juga arogan serta tidak peka dengan lingkungan.

Di periode pendukung Sheffield United atau Watford asyik berkhayal kapan lagu Zadok The Priest diputar di stadion mereka, dengan arogan The Cityzen bertindak mengejutkan. Padahal kurang dari 10 ekspresi dominan lalu, nasib ketiganya seperti: sama-sama berjuang dari degradasi di simpulan ekspresi dominan. Namun sepak bola rupanya perlu batasan yang dijaga oleh pemangku kekuasaan.

UEFA selalu mengacu pada pasal 16 wacana peraturan disiplin yang berisi klub/pihak tuan rumah bertanggung jawab pada sikap tak senonoh atas gangguan lagu kebangsaan atau himne kompetisi. Hukuman untuk jenis pelanggaran ini biasanya diketuk oleh Komisi Disiplin berupa denda uang, atau bermain di stadion kosong alias tanpa penonton.

Uniknya, di animo lalu, City pernah menderita peristiwa serupa dikala diintimidasi sorakan dan hinaan suporter CSKA Moskva saat bertandang ke Rusia, November 2014. Waktu itu yang dijadikan obyek adalah Yaya Toure. Dengan treatment sama, UEFA menghukum CSKA sekali bertanding tanpa penonton. Gara-gara ini, CSKA kalah 0-1 dari Bayern Muenchen.

City cuma sekali lagi jadi tuan rumah, 8 Desember, dengan menjamu Borussia Moenchengladbach. Takut hukuman serupa mensugesti nasib dan kans timnya, Manuel Pellegrini alhasil angkat bicara. Sang manajer meminta UEFA agar menghormati penonton yang telah membayar mahal tiket Liga Champion untuk meramaikan turnamen andalan UEFA ini.

"Fan berhak melakukan protes secara tenang untuk mengekspresikan haknya, perasaannya, asal dengan hormat, mirip dikala menyoraki pemain dalam pertandingan," kata Pellegrini apa adanya, jujur, tapi penuh maksud. "Saya tidak mengerti kenapa UEFA mengincar fan kami. Mereka yang beli tiket, bukan manajer, pemain, atau wasit."

Bukan sepak bola kalau tidak kontroversial. Pada kasus ini terlihat terperinci perasaan megalomania sudah menjangkiti pendukung City, setelah superlatif pada skuadnya. UEFA barangkali berpikir, apa risikonya kalau pelecehan himne itu dibiarkan? Tim ini telah membeli kesuksesan secara instan, tanpa melalui proses sebagaimana layaknya di sepak bola. Bahaya jika tidak digubris.

Andai yang melakukan itu fan Real Madrid, Barcelona atau Bayern Muenchen, mungkinkah UEFA mentolerirnya? Sekarang sukses memang mampu dibeli, apa susahnya? UEFA mirip halnya FIFA, rupanya masih kental jiwa sosialisnya, barangkali untuk mengimbangi tuntutan masyarakat kapitalis. Perbedaan yakni pesan yang tersirat dan berkah. Bayangkan jikalau semuanya similar.

(foto: manchestereveningnews/spanishnewstoday)

Harga Skuad Memilih Juara

Liga Champion identik dengan kepastian, kemapanan. Hanya klub sukses, bahkan paling sukses; klub kaya, kalau perlu terkaya yang pantas menjuarainya. Analogi ini boleh jadi keterlaluan, namun ada dasarnya.

 kalau perlu terkaya yang pantas menjuarainya Harga Skuad Menentukan Juara
Apakah Anda masih ingat kejutan terbesar di Liga Champion, dikala sebuah tim yang tak favoritkan mampu menjuarainya? Pada 1986, Steaua Bucuresti mengalahkan Barcelona dengan adu penalti. Pada 1991, Crvena Zvevda alias Red Star juga menang berkelahi penalti dari Olympique Marseille. Pada 1997 Borussia Dortmund mengatasi Juventus. Setelah itu?

Tentu masih banyak lagi, baik sebelum dan sesudahnya. Tapi tetap saja, namanya kejutan lebih kecil probabilitasnya dibanding yang semestinya. Menanti kejutan adalah sisi paling misterius di sepak bola. Sayangnya Liga Champion gampang diprediksi, terutama saat memasuki sesi perdelapanfinal hingga akhir. Apa yang menjadi penyebab utamanya?

Paling terdepan alasannya adalah nilai skuad di klub itu sendiri. Real Madrid (2014), Barcelona (2015), serta Bayern Muenchen (2013) ialah triumvirat mahsyur nan legendaris di Eropa yang menjadi juara di tiga demam isu terakhir. Catat, ketiganya merupakan klub dengan skuad termahal di dunia. Jika mau ditambah, dua di bawahnya lagi ialah Chelsea dan Manchester City.

Menurut situs Transfermarkt, skuad Real Madrid bernilai 718,80 juta euro atau setara dengan Rp 10,80 trilyun. Disusul oleh Barcelona 657,50 juta euro (Rp 9,9 trilyun), Bayern Muenchen 617,68 juta euro (Rp 9,3 trilyun), dan Chelsea 542,50 juta euro (Rp 8,1 trilyun). Terdekat dengan Chelsea adalah Manchester City senilai 514,50 juta euro atau sekitar Rp 7,75 trilyun.

Kecuali Manchester City, keempat klub di atas ialah kampiun Liga Champion di lima isu terkini terakhir: Barcelona (2011 dan 2015), Chelsea (2012), Bayern (2013), dan Real Madrid (2014). Ada alasan lain yang menguatkan kepantasan mereka? Tentu. Bukankah para pemain mahal mereka mengkonfirmasi kelebihan dalam mengkreasi ilham di permainan?

Dalam cakupan lebih luas, sampai 2010 Bayern, Barca, dan Real mengokupasi 15 dari 24 posisi semifinal (62,5 persen). Ini sebuah dominasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Liga Champion. Besar saldo klub atau tingginya tagihan gaji dianggap menjadi pemicu kesuksesan paling positif di Liga Champion ketimbang di liga domestik.

"Walau tak ada garansinya, namun hadiah terbesar di simpulan kompetisi selalu ada di Liga Champion, bukan di liga domestik," kata Presiden Bayern, Karl-Heinz Rummenigge pada 2013, dikala kejutan di babak signifikan masih banyak terjadi. Namun kini, pandangan itu mulai berubah. Statistik semakin menjelaskan garansi sukses di liga domestik dan Liga Champion.

Kasus PSV
 kalau perlu terkaya yang pantas menjuarainya Harga Skuad Menentukan Juara
Tiga superstar lapangan hijau yang bernilai jual paling tinggi.
Musim ini posisi Atletico Madrid dalam tabel nilai skuad turun cukup dalam. Penyebabnya mereka tak lagi membeli pemain mahal sehingga tagihan gajinya berkurang. Namun sebagai ganjarannya, kreasi ide permainan atau potensi kemenangan jadi menciut. Prestasi pun mengkerut. Pada enam tahun terakhir, ada 18 klub yang menembus semifinal.

Namun semenjak Florentino Perez mendatangkan Cristiano Ronaldo pada 2009 senilai 94 juta euro, sekaligus mentahbiskan klubnya sebagai Los Galacticos, terjadi penyusutan di mana hanya 11 klub yang sukses menembus empat besar Liga Champion. Setelah usianya bertambah enam tahun, nilai Ronaldo kini malah membubung menjadi 120 juta euro.

Gabungan nilai Ronaldo ditambah Lionel Messi, yang juga ditaksir sama 120 juta euro, sebesar 240 juta euro setara dengan 20 klub akseptor Liga Champion animo ini (lihat tabel Harga Skuad). Akumulasi atau konsentrasi bakat selalu menaikkan posisi klub pada kuadran yang seharusnya. Jangan harap dengan membeli pemain murah dan bergaji kecil, mereka akan naik kelas.

Prestasi di Liga Champion tiba dari efek seperti itu. Lihatlah masalah PSV Eindhoven. Pada kurun 1980-an hingga awal 1990-an, mereka klub papan atas Eropa yang karenanya meraih puncak prestasi dengan titel di 1988. PSV selalu ditaburi bintang mahal dengan honor tinggi. Mulai dari Ruud Gullit, Ronald Koeman, Romario Faria sampai Luiz Ronaldo.

Memasuki tahun 2000-an, PSV mulai memasuki kala stagnasi, yang hingga di dekade kedua ini belum mampu juga bersaing di Eropa. Penjualan beruntun Arjen Robben, Ruud van Nistelrooij, Mateja Kezman, Mark van Bommel, Park Ji-sung, Kevin Strootman, Georginio Wijnaldum sampai Memphis Depay langsung meruntuhkan dominasi dan kuadran mereka.

PSV terlalu berat untuk me-restart skuadnya yang menjadi sumber kesulitan untuk mampu bangkit lagi di Eropa. Hal yang sama terjadi pada Ajax setelah kurun emas di tangan Louis van Gaal di pertengahan 1990-an serta generasi Wesley Sneijder di awal 2000-an. Imbasnya, generasi penggemar bola yang kini tidak lagi menoleh kehebatan mereka mirip dulu.

Memelihara sejarah dan tradisinya, menjaga konsistensi dan posisinya menjadi kelebihan Real Madrid, Barcelona serta Bayern Muenchen di level Liga Champion. Sementara yang lain di bawah mereka. Ada yang memulai bangkit lagi mirip Manchester United atau Juventus, ada yang mengecil putaran bisnisnya mirip PSV, Ajax, Porto, dan seterusnya.

BINTANG TERMAHAL/KLUB (dalam juta euro)

Nama
Nilai jual
Lionel Messi (Barcelona)
120
Cristiano Ronaldo (Real Madrid)
120
Eden Hazard (Chelsea)
70
Sergio Aguero (Manchester City)
60
Paul Pogba (Juventus)
55
Thomas Mueller (Bayern Muenchen)
55
Alexis Sanchez (Arsenal)
55
Angel Di Maria (Paris Saint-Germain)
55
Koke Merodio (Atletico Madrid)
50
Wayne Rooney (Manchester United)
40
Hulk Givanildo (Zenit Saint-Petersburg)
37
Alexandre Lacazette (Olypimque Lyon)
30
Ricardo Rodriguez (Wolfsburg)
28
Radja Nainggolan (AS Roma)
27
Nicolas Gaitan (Benfica)
27
Enzo Perez (Valencia)
25
Andriy Yarmolenko (CSKA Moskva)
24
Alex Teixeira (Shakhtar Donetsk)
23
Lars Bender (Bayer Leverkusen)
22
Roman Eremenko (CSKA Moskva)
20
Evgen Konoplyanka (Sevilla)
20
Granit Xhaka (Borussia Moenchengladbach)
20
Yachine Brahimi (FC Porto)
18,5
Fernando Muslera (Galatasaray)
17
Jetro Willems (PSV)
10
Roberto Jimenez (Olympiakos)
8
El Arabi Hillel Soudani (Dinamo Zagreb)
5
Moses Simon (KAA Gent)
4
Eren Zahavi (Maccabi Tel Aviv)
3
Magnus Wolf Eikrem (FC Malmoe)
2
Fexi Kethevoama (FC Astana)
2
Denis Polyakov (BATE Borisov)
1,6

HARGA SKUAD (dalam juta euro)

Klub
Nilai Total
REAL MADRID
715,5
BARCELONA
657,5
BAYERN MUENCHEN
559,1
CHELSEA
531,75
MANCHESTER CITY
480,85
PARIS SAINT-GERMAIN
403,65
ARSENAL
402
JUVENTUS
388,1
MANCHESTER UNITED
377,25
ATLETICO MADRID
340,5
VALENCIA
262,5
ROMA
258,6
WOLFSBURG
205,65
ZENIT ST-PETERSBURG
190,4
BAYER LEVERKUSEN
189,15
SEVILLA
172
OLYMPIQUE LYONNAISE
170,6
PORTO
165,6
BENFICA
153,3
CSKA MOSKVA
152,65
BORUSSIA MOENCHENGLADBACH
144,4
SHAKHKTAR DONETSK
140,1
DYNAMO KYIV
123,25
GALATASARAY
123,25
PSV EINDHOVEN
96,3
OLYMPIAKOS
88,5
DYNAMO ZAGREB
48,25
KAA GENT
47,9
MACCABI TEL AVIV
21,55
MALMOE
20,8
BATE BORISOV
18,2
ASTANA
14,5

(foto: sportcabal/deportes.elpais)