Wednesday, December 6, 2006

Menanti Duet Blatter-Platini

"SAYA lahir di sepak bola. Ayah aku pesepak bola yang amat cantik, mirip halnya orang Italia yang selalu berangasan pada permainan cerdas ini. Sepak bola mengajarkan cara hidup bersama, cara mengembangkan jika anda lebih baik dari orang lain. Sepak bola yakni pendidikan luar biasa untuk seumur hidup."

 seperti halnya orang Italia yang selalu bergairah pada permainan cerdas ini Menanti Duet Blatter-Platini
Pasangan inovator dan stabilisator.
Belakangan, Michel Francois Platini sering memandangi kantornya yang terletak diantara Place Andre Malraux dan Musee du Louvre, museum terkenal yang diceritakan dalam novel Da Vinci Code, di jantung kota Paris. Ia tengah mencari ide sebagai bekal menghadapi duel yang memilih bulan depan. Dia juga amat berharap menerima firasat cantik bahwa tak usang lagi beliau akan pindah kantor ke Bern.

Jumat, 20 Oktober 2006, Platini mendarat di London memulai kampanyenya sebelum menuju Hongaria, Polandia, Spanyol dan Serbia. First thing first, dahulukan yang utama. Untuk itu dia harus pergi ke negeri Mother of Football dan menemui Gary Lineker dan Thierry Henry, dua moralis sepak bola lewat perbuatannya.

Langkah kaki lelaki separo baya itu terlihat cepat dikala memasuki hotel bintang lima di London. Dia menuju ke sudut ruangan hotel, sebuah private dining room. Malam itu Platini mengenakan setelan hitam berjiwa a life-and-soul dan amat klop dengan gestuur-nya yang humoris dan penuh enerjik.

"Thierry, saya memerlukan tunjangan kamu karena rekor saya sebentar lagi akan kau patahkan," sergah Platini usai menyalami Henry. "Wah, ini akan jadi buruk. Bayangkan, bila aku sudah kalah dari kau, berarti isi kepala aku ialah kau! Ah, lihatlah, rambut saya mulai banyak yang bubuk-bubuk tapi ingat, saya bukan figur 20 tahun lalu. Makara inikah saatnya aku jadi presiden, tidak?"

Bagi yang masih ingat betapa cerdiknya ia di Juventus atau di Les Bleus saat mengatur serangan, mengumpan, menendang dan menguasai lini tengah, momen itu bak nostalgia. Selang 20 tahun, ternyata khayalan Platini tetap inspiratif, sulit ditangkap apalagi ditebak. Tipikal jenius. "Anda tahu mengapa saya melakukannya?"

Bak tengah memburu gawang lawan, laki-laki kelahiran 21 Juni 1955 itu terus memacu seluruh imajinasinya. Dengan bakir Platini menempatkan siapa dirinya kala menjelaskan lahirnya peraturan pelarangan handling-pass atau back-pass"Selama 15 tahun aku tak pernah berhenti berlari! Saya kejar bola di kaki bek kiri... ia mengoper bola lalu ditangkap kiper. Saya kejar bola yang dikuasai bek kanan... bola dioper lagi dan ditangkap kipernya. Sejak itu aku bersumpah, andai aku ada di FIFA kelak, saya akan larang cara itu."

Impiannya terkabul, itu terkuak usai World Cup 1990. Sepp Blatter, saat itu sekjen FIFA, menelponnya untuk mendiskusikan kekecewaan pada Piala Dunia yang paling cekak gol sepanjang sejarah itu. "Ini yang pertama aku lakukan. Tiada lagi back-pass," ucap Platini yang gantung sepatu pada Juni 1987 di Juventus.

Bisa jadi Platini menganggap pemilu UEFA sebagai sebuah akhir Piala Eropa dan, lawannya terperinci: Lennart Johansson! Oleh alasannya adalah itu 27 Januari 2007 patut ditunggu. Saatnya melihat sebuah pertarungan antara kreator andal kontra pengatur ulung; seorang fantasista yang dibesarkan klan Agnelli di tanah Romawi versus ketegaran ala Viking.

Yang lebih bau tanah butuh kecerdasan sepak bola sejati.
Seperti ketika main di Juve, imajinasi dan visi selalu menjejali benak Platini, syarat seorang fantasista. Tak heran jika Blatter amat mengandalkan anak Aldo Platini dan cucu Francesco Platini yang asli Italia ini sebagai narasumber periode meletupkan wangsit-idenya di sepak bola, A to Z.

Pemain terbaik Eropa dan dunia 1984 dan 1985 itu sempat bercerita ihwal periode kecilnya yang sangat menghipnotis contoh pikirnya kini. Pada waktu usia 6 tahun, beliau diajak oleh ayahnya menonton pertandingan yang diikuti oleh Ladislao Kubala, bintang Barcelona masa silam.

"Ini ialah hari yang mengubah pandangan saya pada sepak bola. Pada satu momen di lini tengah, Kubala menerima bola dari kanan dan ia pribadi mengoper kepada temannya di sebelah kiri, tanpa melihat! Dan aku bilang 'Papa, bagaimana dia mampu melihat temannya itu' Lalu ayah aku menjawab 'Sebab beliau sudah melihat sebelumnya'. Peristiwa ini tertanam di kepala saya sampai 30 tahun kemudian," terang Platini yang idenya menambah dua ajudan wasit untuk memastikan offside itu masih digodok FIFA.

Aldo Platini ialah seorang guru matematika. Dia dipengaruhi disiplin ilmunya saat mendidik anaknya. Berpikir mudah, jangan basa-kedaluwarsa. Lakukan dengan praktis, tidak bertele-tele. Dia yang mengajari Michel berlatih dengan mata ditutup untuk menajamkan inspirasinya kolam pahlawan silat. "Ada jutaan pemain yang punya teknik dan fisik lebih baik dari saya. Namun saya lebih terlatih dalam membaca permainan dan mengubah permainan," tambah wapres FFF (PSSI-nya Prancis) itu.

Di mata Platini, semenjak dipimpin Lennart Johansson mulai 1990, kondisi sepak bola makin carut marut yang mengubah cita rasanya. Hal-hal kecil bermunculan yang berandil menggembosi nilai sepak bola. Misalnya soal nomor 10. "Selama 100 tahun, siapapun yang ditunjuk menggunakan nomor 10, maka dia identik sebagai seorang pengatur permainan."

Terlebih untuk sesuatu yang besar. Eksplorasi membabi buta siaran televisi sejak 1992 - ditandai dengan kelahiran Liga Champion dan English Premier League - ikut mengubah nafsu dan ambisi orang-orang yang tak mengerti sepak bola selain untuk mencari duit semata. Kenapa ini bisa terjadi?

"Karena kita dipimpin tanpa kepemimpinan yang cukup besar lengan berkuasa. Kita harus dituntun oleh orang yang faham sepak bola. Kita perlu menata lagi organisasi, alasannya bila tidak sepak bola akan kehilangan daya tariknya. Eropa yakni garda terdepan untuk membenahi itu semua!" ujar eks pelatih nasional Prancis 1988-1992 ini.

Platini punya lima planning besar; menyatukan faksi-faksi yang berseteru; mengembalikan kekuasaan kepada masing-masing presiden federasi sepak bola nasional; memperkuat solidaritas sesama anggota federasi; mendesak Uni-Eropa membuat RUU yang melindungi talenta-bakat muda; dan menata kembali kompetisi Eropa khususnya Piala UEFA, Piala Eropa dan Piala Intertoto.

"Klub dan tim nasional harus menaati hukum dan mengontrol globalisasi. Saya bukan calon yang akan memecah belah keadaan, tapi sesesorang yang akan mengadaptasi evolusi sepak bola di periode 21 tanpa harus mengubah prinsip-prinsip permainan itu sendiri," tegas bekas kapten Les Bleus yang punya rekor 41 gol dari 72 partai. "Diskusi bukan untuk menetapkan era depan sepak bola, tapi bagaimana memenuhi rasa tanggung jawab pada sepak bola," kata Platini yang tak tabah ingin membenahi rasisme, xenophobia, doping, dan taruhan ilegal.

"Saya ialah seorang pimpinan. Demi bola, aku rela tinggalkan sekolah pada usia 16. Saya bukan seorang pengacara atau seorang penyandang dana. Saya cuma butuh bantuan sebuah tim mahir yang bekerja di belakang saya. Jika saya jadi presiden, anda-anda akan naik!" sergah Platini.

"Hanya seseorang yang pernah merasakan bermain di level puncak saja yang bisa mengerti kami. Saya tak mau berpolitik, tapi saya pikir kami wajar mendukung Michel Platini," kata Henry tanpa basa-kedaluwarsa. "Modal ia bukan lewat statusnya, tapi lebih kepada kecintaannya pada permainan ini," sambung Lineker.

Jika Platini sukses menduduki bangku bos UEFA, berarti dia menjadi orang terkuat nomor dua di dunia sehabis Sepp Blatter, mentor sekaligus pendukung utamanya. Hampir mampu dipastikan Blatter akan bekerja keras untuk membantu kepindahan kantor Platini di Bern, yang cuma berjarak beberapa menit dari markas besar FIFA di Zuerich. 


(dimuat di Harian Kompas, Jumat 8 Desember 2006)

(foto: naijasilvergold/whoateallthepies)