Thursday, March 3, 2011

Muammar Al-Qaddafi: Simon Bolivar Arab Dan Raja Afrika

Tampaknya sudah menjadi suratan takdir Muammar Al-Qaddafi dilahirkan jadi pemimpin. Sebab kalau tidak, tidak mungkin ia bisa bertahan selama 42 tahun, terhitung semenjak 1 September 1969. Masa kekuasaannya dicatat sebagai kurun terpanjang dalam sejarah politik modern.
Tampaknya sudah menjadi suratan takdir Muammar Al Muammar Al-Qaddafi: Simon Bolivar Arab dan Raja Afrika
Bagaimana sikap Muammar Al-Qaddafi di depan Silvio Berlusconi.
Lantaran gemar menghadang kapitalisme bin imperialisme di seluruh garis depan perlawanannya, Libya sering diserang dan dijadikan sasaran musuh. Seperti halnya Bung Karno, dia tahu politik dan olah raga saling terkait. Kini ia satu-satunya garda terdepan yang coba meladeni kekuatan Barat di banyak sisi.
Diktator kharismatik, nyentrik, plus kontroversial ini selalu menyuarakan ketidak-adilan, termasuk di sepak bola. 

Menapaki dongeng kehidupannya, tugas Qaddafi secara klasik mampu terlihat sebagai sosok penyeimbang kutub ketimpangan pelbagai ideologi di dunia. Politik, sosial, budaya, ekonomi, doktrin, hingga ke sepak bola. Kontribusinya lebih konkrit, lebih serentak, malahan lebih kompleks dibanding perbuatan Soekarno, salah satu inspiratornya, di periode 1960-an.

Terhadap apa yang diyakininya, laki-laki berjulukan komplit Muammar Muhammad Abu Minyar Al-Qaddafi selalu mengerahkan sumber daya di sekelilingnya. Kekuasaan. Harta. Bahkan nyawa. Dunia mesti melihat Qaddafi di banyak sisi dan persepsi, impian dan perbuatan, harapan dan kenyataan semoga tidak dijebak dalam polarisasi pemikiran.

Saat Aljazair dan Mesir nyaris berperang gara-gara kualifikasi World Cup, November 2009, gugusan moralis di Eropa dan Amerika cuma melongo tanpa daya. Tak satupun jua penguasa dunia yang 'jemput bola' di kala FIFA dibekap kebingungan. Lalu Qaddafi-lah yang berinisiatif dengan memediasi duduk perkara untuk menemukan jalan tengah. Pembelajaran sepak bola mulai didapatkan.

Kemunculan Kolonel Qaddafi di pentas politik laksana Pele di pentas sepak bola. Awalnya tak diperhitungkan, tapi risikonya melegenda. Lihai bin berilmu memanfaatkan peluang ialah keunggulannya. Ini tempaan abad kecilnya hidup di Gurun Syrt, dalam budaya suku Qaddadfa di Sabha, di tengah-tengah Libya. Qaddadfa yaitu salah satu etnis suku Badui yang oleh Qaddafi diabadikan jadi namanya.

Qaddafi mirip penyerang ulung yang banyak akal, sangat percaya diri. Dia amat piawai memerotoli akidah diri bek musuh atau kekuatan lawan, seperti yang dilakoninya pada alam gurun yang keras dan memperabukan. Barat selalu membenci Qaddafi sebab perlawanan sosialnya, solidaritas luar biasa untuk kehidupan yang alamiah.

Tampaknya sudah menjadi suratan takdir Muammar Al Muammar Al-Qaddafi: Simon Bolivar Arab dan Raja Afrika
Muammar Al Qaddafi dan Hugo Chavez.
Dalam aneka macam sisi, pers Barat selalu salah menulis wacana Qaddafi. Padahal itu justru menjauhkan diri dari cara yang bantu-membantu mereka ingin dapatkan. Barat dengan gampang menyetir opini, memutuskan akidah, dan membuat persepsi. Demokrasi semata-mata dipakai untuk menjustifikasi tujuan mereka. Padahal bahu-membahu yang diincar adalah sumur-sumur minyak di gurun-gurun Libya.

Minyak dan gas alam menciptakan Qaddafi besar lengan berkuasa dan berkuasa. Dengan kekayaan tak berbatas, dia mengatur dan menyeimbangkan politik dunia, dan menerobos ke sela-sela yang sulit diduga. Qaddafi mengibarkan nama di Italia dengan membeli 7,5% saham di Juventus melalui FIAT, perusahaan mobil nomor sembilan di dunia yang selama ini menjadi mesin uang Agnelli.

Hingga awal 2000-an saham Qaddafi di FIAT masih 10,6% melalui label LAFICO (Libyan Foreign Investment Company). Desas-desus berkembang karena Al-Saadi, putra tertua Qaddafi, diketahui banyak orang sangat menggilai sepak bola dan mulai berlatih dengan beberapa klub Serie A. Saat yang sama, pada Juni 2001, Silvio Berlusconi memenangi lagi pemilu. Ia kembali menjadi PM Italia.

Pemimpin gila bola ini amat teliti soal investasi ajaib, apalagi yang berafiliasi dengan calcio. Berlusconi sontak menggagalkan harapan LAFICO yang berambisi menambah sahamnya ke angka 20%. Walau dibayangi risiko dan friksi tajam melawan keluarga Agnelli, namun bermodalkan otorisasi politik, Don Silvio memenangi obyektivitas ketika berdebat di dewan legislatif.

Pasalnya dengan 20% saham, berarti Qaddafi semakin punya efek di FIAT. Berlusconi sadar betul, otomotif dan calcio adalah dua industri papan atas di Italia selain masakan, pariwisata, dan fesyen. "Dan FIAT ialah Juventus," begitu kira-kira pikiran Berlusconi. Pasar global FIAT mencengkram besar lengan berkuasa Afrika, India, Cina, Eropa, Amerika Latin termasuk AS.

Namun yang dikuatirkan Berlusconi bukan itu, tetapi bagaimana menjaga policy dan mengontrol biar investor abnormal tidak macam-macam. Dia takut sepak terjang Qaddafi, dengan duit yang tak terbatas, akan memengaruhi atau memecah belah panggung parlemen. Di atas kertas saja, bukankah dengan saham di FIAT berarti juga Qaddafi punya andil dan jalan masuk ke Juventus?

Banyak Berbuat

Bagaimana jika Qaddafi mengguyurkan uangnya untuk menguatkan Juventus dengan membeli para bintang terbaik di dunia? Juga 'berbagi' Bianconeri sebuah stadion yang luks. Tidak ada satu pun klub ahli di Italia yang mempunyai mesin uang berupa stadion sendiri. Terus terperinci, kepedulian Don Silvio terhadap negara berbanding lurus dengan kepentingan pada klubnya.

Sepak terjang Qaddafi mengacak-acak ekonomi Italia, salah satu negara G-8 dan Uni Eropa, belum usai. Qaddafi juga menunjuk Khaled Faruq Zentuti sebagai bos LAFICO. Zentuti eksklusif jajaran board di FIAT dan Juve. Di lain kesempatan, Qaddafi diketahui membeli saham Unicredit, bank AS yang menyoponsori AS Roma. Unicredit dimiliki pengusaha AS berdarah Italia, Thomas Di Benedetto.

Tampaknya sudah menjadi suratan takdir Muammar Al Muammar Al-Qaddafi: Simon Bolivar Arab dan Raja Afrika
Kedekatan Al Saadi dengan sepak bola Italia.
Modal juga ditanam Qaddafi di Eni SpA, korporasi minyak dan gas Italia, yang 30% sahamnya dikuasai pemerintah. Begitu juga di Finmeccanica, perusahaan negara di industri mesin, teknologi, pesawat serta militer. Khusus di Unicredit, Eni, dan Finameccanica, holding-nya adalah LIA (Libyan Investment Authority) yang dikontrol penuh oleh tiga dari tujuh anak lelaki Qaddafi: Saif Al-Islam, Mu'tassim-Billah, dan Hannibal Qaddafi.

Orang bertanya-tanya, kenapa Italia yang dijadikan target Qaddafi? Alasan simpelnya cuma dua, latar belakang historis dan sepak bola. Sejak kecil Qaddafi memahami kultur Italia, negara yang menjajah Libya semenjak 1911 hingga 1947. Dia mengidolakan Omar Mukhtar, pejuang legendaris melawan kolonialisme Italia. Antara 1912-1927, Libya masuk dalam peta negara Italia dengan nama khusus Africa Settentrionale Italiana.

Inspirator lain Qaddafi ialah Idris Al-Mahdi As-Sanussi, orang yang berandil membunuh jutaan etnis Badui sehabis diangkat Italia jadi Raja Idris I. Raja Idris II, keturunannya itulah, yang ditumbangkannya lewat kudeta militer bentukan Italia. Jadi bukan kebetulan jikalau sekarang sejarah itu berulang tapi dengan lakon dan skenario berbeda. Apakah Qaddafi kini membalas dengan perebutan kekuasaan ekonomi?

Pada sebuah artikelnya, Roberto Alvarez-Galloso, seorang martir demokrasi, pernah mempertanyakan kongkalikong para penguasa dan penguasa Italia dengan rezim Qaddafi. Di Inggris, London School of Economics disinyalir telah mendapatkan kontribusi dari Libya. Sementara di Swiss, beberapa bank dikabarkan berbisnis dengan keluarga Qaddafi. Tak perlu memaknai dalam-dalam lagu Money di album The Darks Side of The Moon-nya Pink Floyd untuk memahami kekuatan uang dalam mencapai tujuan. 

Agaknya Qaddafi tahu betul dengan apa beliau harus meladeni Barat. Propaganda saja tidak cukup. Jika Saddam Hussain kebanyakan mengancam, lantas Hosni Mubarrak malah keseringan nurut, maka Qaddafi melaksanakan dengan perbuatan. Tidak semua publik dunia benci Qaddafi. Di Amerika Latin, pemimpin Libya yang lahir pada 7 Juni 1942 ini punya sekutu penting sama-sama dari negeri kaya minyak. Presiden Hugo Chavez paling gigih membelanya. Ini bak kisah balas kebijaksanaan.

Saat dihujat Barat, dan Venezuela nyaris diinvasi AS pada 2004, Qaddafi malah memberi nobel perdamaian sendiri bertitel The Qaddafi Human Rights Prize. "Beliau prajurit revolusi yang berani melawan superlatif Barat. Ia pemimpin Libya, Afrika, dan di Amerika Latin sekaligus. Dia seperti Simon Bolivar buat kami," kata presiden Venezuela ketika memberi replika pedang Simon Boli­var, pejuang legendaris Bolivia-Venezuela. 

Kabarnya Chavez telah menyiapkan istana rahasia buat keluarga Qaddafi kalau suatu dikala pemimpin Libya itu digusur Barat. Saat Chavez berkunjung resmi ke Libya di 2009, Qaddafi memberi hadiah kejutan buat tamunya: menabalkan stadion di Benghazi dengan nama Hugo Chavez StadiumPada 2010 Fidel Castro meramalkan AS dan sekutunya, cepat atau lambat, akan menginvasi Libya untuk menguasai sumber daya alamnya. "Mereka mengincar negara kaya Libya. Kita butuh waktu menunggu kebohongan fakta-fakta mereka," tulis pemimpin legendaris Kuba di harian Granma.

Tampaknya sudah menjadi suratan takdir Muammar Al Muammar Al-Qaddafi: Simon Bolivar Arab dan Raja Afrika
Adriano Galliani, Luciano Moggi, dan Al Saadi Qaddafi.
Namun tiada tempat terbaik untuk memuja Qaddafi selain di Afrika. Tak pelak dialah pemimpin spiritual numero uno se-benua hitam, sejak 200 ketua suku dan semua raja se-Afrika menabalkannya sebagai 'Raja Diraja Afrika', 29 Agustus 2008. Qaddafi memang pemimpin yang peduli dengan kemiskinan dan keadilan. Tiada dilema tipikal Afrika yang luput dari upaya pemecahannya.

Mulai dari AIDS, kelaparan, menyeimbangkan kekuatan, hingga sepak bola, sebab secara formal pantas. Qaddafi yakni ketua presidium Pan-Afrika. Impian 'sang kolonel kekal', yang tanggal kelahirannya misterius itu, amat angker negara-negara Barat. Tak pernah ada pemimpin Afrika, dulu atau kini, yang punya keinginan mendirikan The United States of Africa kecuali ya Qaddafi.

Negara non-Barat lain boleh tidak suka, tapi sulit membenci habis Qaddafi sebab dihadapkan pada fakta: amal kebaikan Qaddafi lebih banyak dari kemungkaran, atau melihat harga minyak yang dijual murah hanya kepada mereka. Orang ini pemimpin yang egaliter, ringan tangan, hobi mendonasi hartanya untuk proyek sosial dan kemanusiaan mulai dari rumah sakit, kawasan ibadah, hingga stadion.

Sikap kontroversial dan temperamentalnya eksklusif menyeruak ke permukaan jikalau melihat ketidak-adilan atau kecurangan. Jangan lagi di ajang politik, soal sepak bola pun beliau menjadi garda terdepan membela kecurangan. Secara langsung, Qaddafi punya pengalaman buruk pada sepak bola modern yang sekarang sarat teknologi dan sains, intrik bisnis, serta kepentingan politik.

Misteri Calciopoli

Tentu saja ini tak jauh-jauh dari dongeng Al-Saadi, anak ketiganya. Al-Saadi tercatat menjadi pemain Serie A 2003-2006 di Perugia, Udinese, Sampdoria, dan suatu saat ngotot mau ke Juve. Banyak klub Serie A berlomba-lomba meminangnya sebab tahu siapa bapaknya Al-Saadi. Qaddafi mendukung talenta putranya yang kebetulan memang pesepak bola. Dia mengucurkan uang ke klub-klub itu dengan harapan Al-Saadi dapat kesempatan. Sayang harapannya jauh panggang dari api.

Tampaknya sudah menjadi suratan takdir Muammar Al Muammar Al-Qaddafi: Simon Bolivar Arab dan Raja Afrika
Al Saadi ketika bermain di Perugia.
Anaknya terseret dalam sebuah konspirasi. Pada isu terkini perdananya di Perugia, Al-Saadi dijebak menelan Nandrolone! Walhasil ia dihukum FIGC tiga bulan. Selama semusim, anak ketiga Qaddafi itu cuma tampil 15 menit. Walhasil, bukan saja Qaddafi yang terkejut, tapi juga Berlusconi. Jauh-jauh hari, PM Italia sudah minta Serse Cosmi semoga dia memainkan Al-Saadi. Hah, benarkah begitu?

Inilah menariknya budaya polemik dan konspirasi di Italia. Benarkah jika di politik sang PM takut dengan Qaddafi tapi di sepak bola membutuhkannya? "Serse, tahukah kau, adanya Al-Saadi di sini akan membantu eratnya korelasi kita dengan Libya. Dia memang buruk mainnya, tapi berharaplah dia main anggun. Tapi kini apa mau dikata?" saya allenatore Perugia soal ucapan PM Italia.

Bangkai mulai tercium. Boleh jadi Berlusconi memang punya agenda Istimewa. Dalam buku Winning at All Costs: A Scandalous History of Italian Soccer karya John Foot, profesor sejarah Italia pada Universitas College di London, jadinya terungkap kepentingan rezim Partai Forza Italia dengan Qaddafi. Inikah awal kehancuran Serie A? Intinya, Serie A menerima duit Libya atas usulan PM-nya.

Standar Italia untuk sepak bola sangat ketat. Pemain yaitu mirip susu khusus untuk membuat keju Parmesan atau kulit untuk bahan dasar jok, door trim, dan dashboard Ferrari. Al-Saadi bukan golongan ini. Namun beliau tetap diterima, dimainkan, dan hasilnya dienyahkan dengan cara tidak etis, konspiratif. Qaddafi merasa ditohok. Knowledge-nya pada sepak bola benar-benar tak seujung kukunya orang Italia.

Yang ada Qaddafi pun murka. "Jangan bermain bola lagi! Kamu lebih besar dari itu. Pulanglah Nak! Lebih baik saya jadikan kau duta besar di AS, atau posisi apapun yang layak yang kau inginkan," ucap Qaddafi mirip dituturkan Al-Saadi pada satu wawancara. Darah bola Al-Saadi ternyata paten. Eks gelandang Al-Ahly Tripoli dan Birkirkara FC (Malta) itu masih ngotot bertahan di Italia.

Selama tiga tahun di Serie A, Al-Saadi yang punya kaki kiri tidak mengecewakan itu cuma tampil dua kali. Statistiknya: 8 kali passing, sekali shot, dan dua kali winning-tackles. Akhirnya perjuangan Qaddafi untuk menarik pulang anaknya kesampaian juga. "Berhenti jadi pesepak bola profesional ialah keputusan terbesar hidupku. Aku asing bola. Aku selalu ingin main. Itu dorongan hati," kenang Al-Saadi, 38 tahun, yang pernah latihan di Lazio bersama Paul Gascoigne di 1990-an.

Tampaknya sudah menjadi suratan takdir Muammar Al Muammar Al-Qaddafi: Simon Bolivar Arab dan Raja Afrika
Melawan juara dunia Argentina sebagai kapten nasional.
Kini Al-Saadi masih jadi kapten tim nasional Libya sekaligus Presiden LFF (PSSI-nya Libya). Kisah Al-Saadi berlalu, tapi konspirasi tetap berkembang makin liar. Di simpulan 2005/06, bobrok dan borok besar Serie A risikonya terkuak dikala skandal Calciopoli jadi buah bibir sedunia. Salah satu analisis tidak resmi tapi menarik adalah terkaitnya nama Qaddafi yang terbukti mengguyurkan uang di Serie A.

Biang kerok yang diciduk carabinieri yakni Luciano Moggi, CEO Juventus sehingga kasus itu kerap disebut Moggiopoli atau Calciocaos. Di satu sisi, Moggi pula yang sukses melobi sehingga tamat Piala Super Italia 2002 antara Juve vs Parma digelar di Tripoli, ibukota Libya. Citra Bianconeri tercoreng bukan saja dari Calciopoli, tapi juga dari sosok Qaddafi, yang sesuai fakta, mulai masuk masuk ke Italia dan berkiprah di Serie A melalui Juventus.

Eksesnya ke mana-mana. Bisa ditebak, Roma dan klub satelitnya, Perugia, juga terlibat. Begitu juga Milan, Lazio, Fiorentina, dan Reggina. Titel scudetto yang disandang Juventus di demam isu itu pribadi dicabut, diberikan kepada Inter yang bak orang sedang menganga lalu kejatuhan sekarung emas. Drama berguliran. Karena malunya, tertekan sudah hingga ubun-ubun, manajer Juve Gianluca Pessotto kemudian menetapkan harakiri. Dia loncat dari kantornya, eh 'sayangnya' tidak mati!

Meski Calciopoli sudah berlalu, hingga kini banyak pihak tak puas. Kenapa Roma serta Perugia lolos dari hukuman? Siapa yang dilindungi Moggi yang rela pasang tubuh? Bisa-bisanya Silvio Berlusconi, minimal Adriano Galliani, tidak tersentuh sama sekali? Di sisi lain skandal ini mengambarkan Qaddafi, dengan kenaifan calcio-nya, sanggup juga mengacak-acak salah satu industri besar di Eropa.

Barangkali Qaddafi mesem-mesem membaca cerita Calciopoli lewat kaca mata politik. Barangkali ia merasa telah membalas kezaliman Italia sewaktu menjajah Libya. Suatu dikala Qaddafi mulai mengakui juga kurotul qodam merupakan medan pertempuran modern. Buktinya masa Afrika kebagian jatah jadi penyelenggara World Cup 2010, Qaddafi ngotot berusaha memenangi Libya, tapi gagal. Ini pelajaran mahal lagi baginya, dan menyadarkan mirip apa dunia itu.

Proposal Libya dan Tunisia, yang ingin menjadi tuan rumah bersama, eksklusif ditolak FIFA dibanding Mesir, Maroko, dan Afrika Selatan. Lalu Qaddafi sadar ternyata menjadi tuan rumah Piala Dunia "diarahkan" seperti pengemis yang minta diborgol. Dia bersyukur tidak harus mengorbankan reputasi atau kehormatan ideologi, juga menggadaikan kedaulatan untuk sesuatu yang tidak mungkin dimenangkan.

Buat negara yang telah menjadikannya industri, terkadang fungsi sepak bola bermetamorfosis investasi politik. Ada lobi, ada prestasi, dan ada tradisi. Libya belum memiliki itu semua. Apalagi dalam konteks ini FIFA ialah sebuah mega-korporasi politik terbesar, yang lebih besar lengan berkuasa dari PBB. Dia tak kecewa Libya tidak terpilih kecuali sesudah tahu seperti apa FIFA itu. Oleh hasilnya di situs resmi Qaddafi, algathafi.org, tertulislah judul: The FIFA: Reform or Abolition?

(foto: thetimes/ limmattalerzeitung/numer10.bloxy)