Saturday, July 25, 2015

Hak Siar Premier League 2016-2019: Hasrat Pemilik Sepak Bola

Premier League yakni salah satu kisah produk tersukses bangsa Inggris selain musik, internet, atau kereta api. Tapi tidak seperti musik yang menyenangkan hati, internet atau kereta api yang memudahkan umat insan, kompetisi sepak bola paling bersejarah di dunia ini justru sering menuai cemoohan. Kenapa?

Premier League adalah salah satu kisah produk tersukses bangsa Inggris selain musik Hak Siar Premier League 2016-2019: Hasrat Pemilik Sepak Bola
Tujuh lapak besar memperebutkan satu masakan yummy.
Bayangkan dunia ini tanpa Premier League. Sepi? Suram? Apapun. Sehingga, tak syak lagi, seperti sudah jadi suratannya, liga ini pun bak dua sisi mata uang. Di satu sisi memperlihatkan kualitas kompetisi akhir tempaan sejarah dan motif, sisanya lagi menjadi simbol kerakusan atas dominasi ekonomi sepak bola, yang memang mereka kreasi sejak awal. Sebenarnya Inggris bukan penemu sepak bola kecuali merapikannya, si pembuat hukum pertama untuk mengurangi kebiadabannya.

Terus terang, motif awal dari semuanya memang bisnis. Simak sejarah berdirinya FA yang diotaki Universitas Cambridge pada 1848 yang ujungnya mencari keuntungan dari bisnis tontonan. Tujuan bisnis selalu menguntungkan negara dan menghidupi masyarakat. Ketika hasilnya ratusan bisnis yang tersangkut berkembang menjadi satu industri di masa informasi dan jagat hiburan mirip sekarang, kesan olah raga yang terkandung di dalam Premier League pelan-pelan menjadi sirna.

Masuk di pertengahan dekade kedua milenium baru, globalisasi Premier League menuju abad puncaknya. Banyak yang senang, tidak sedikit pula yang berang. Kita di Indonesia kebanyakan belum ngeh dengan pengaruh kenaikan hak siar Liga Primer Inggris mulai tahun depan, tepatnya mulai musim 2016/17, yang nilainya mencapai 5,136 milyar pound atau Rp 100 trilyun lebih! Yang membenci kapitalisme menuding, sepak bola selalu jadi ajang kepentingan dan cari untung semata.

Sesuai sejarahnya, Inggris berhak mengoyog-oyog lanskap sepak bola. Ini seperti rebutan lapak, cara FA untuk memenangi persaingan masa depannya. Walau di atas kertas FIFA penguasa dunia dan UEFA penguasa Eropa, tapi kronologis historisnya tidak demikian. Inggris selalu besar hati dan cendekia memanfaatkan sejarah periode lalunya. Premier League - sebagai anak emas FA - kini bersaing besar lengan berkuasa dengan Liga Champion sebagai ikon kompetisi bermutu yang paling komersial. 

Piala Eropa dan Piala Dunia digelar empat tahun sekali. Namun Premier League setiap tahun. Bisa dibayangkan betapa cepatnya putaran roda bisnisnya. Ketika David Dein dkk., merancang Premier League pertama kali pada 1991, nilai hak siarnya yang ditawarkan ke Rupert Murdoch lewat Sky Network cuma 112 juta pound. Malahan seusai kejadian Heysel 1985, titik nadir bisnis sepak bola Inggris, tak satupun TV lokal mau menayangkan Liga Inggris walaupun digratiskan!

Premier League adalah salah satu kisah produk tersukses bangsa Inggris selain musik Hak Siar Premier League 2016-2019: Hasrat Pemilik Sepak Bola
Tayangan bergerak sesuai tuntutan konsumen.
Kini kontrak baru yang naik 70% dibanding termin sebelumnya menciptakan 20 klub Premier League tercatat sebagai 40 klub terkaya di dunia. Dengan kontrak gres itu pula penghasilan Burnley kelak jauh lebih banyak dari Ajax Amsterdam. Banjuran dana 100 trilyun perak membuat juru kunci Premier League 2016/17 masih menangguk hadiah 99 juta pound (hampir Rp 1,9 trilyun). Lalu juaranya? Tambahkan sekitar 51 juta pound lagi sehingga didapat fulus sebesar Rp 2,85 trilyun.

Belum lagi jatah hak siar dan opsi lain dari pendapatan iklan. Dari mana klub-klub EPL itu basah kuyup uang? Ya dari mana lagi bila bukan dari dua stasiun TV pemenang rights Premier League 2016-2019, Sky Sports dan British Telecommunication (BT). Sky membeli hak siar Premier League pertama kali pada era 1992-97 dengan nilai nominal hanya sebesar 190 juta pound.

Rp 88 Milyar Per-Laga

Kesuksesan Premier League tiba-datang meroket gara-gara kasus kungfu-kick Eric Cantona, kedigdayaan Manchester United, sensasi Blackburn Rovers, dan revolusi awal Chelsea melalui Ruud Gullit dan Gianluca Vialli. Lantaran kian disusupi drama di banyak sekali laganya, kontrak kedua (1997-2001) naik menjadi 670 juta pound. Kedatangan Arsene Wenger, agresi fenomenal David Ginola, peran mahir Leeds United, atau sepak terjang Newcastle United dianggap sebagai pemicunya.

Efeknya makin aktual karena di saat yang sama di Serie A mulai aneka macam skandal skor. Pada termin 2001-2004, nilai tontonan Premier League dihargai TV 1,2 milyar pound, lebih banyak karena pengaruh dibelinya Chelsea oleh Roman Abramovich. Di era ini Premier League dicap sebagai marketer terhebat buat pengiklan di industri sepak bola. Meskipun sempat turun nilainya menjadi 1,024 milyar di era 2004-07, namun di periode 2007-10 melesak lagi ke angka 1,706 milyar pound.

Pada 2010-2013 dan 2013-2016, angkanya kian fantastis sebab bernilai 1,782 milyar lalu naik dua kali lipat: 3,018 milyar pound. Di era masa 2016 belum usai, gontok-gontokan BT, Sky, MP Silva, dan Discovery Channel untuk tender 2016-19 menjulangkan nilai hak siar Premier League. Artinya mulai 2016/17, value Premier League - ditonton di 212 teritori sejagat, 643 juta pelanggan dan 5 milyar penonton di bumi - berharga 4,5 juta pound (Rp 88 milyar) lebih setiap laganya!

Dari mana? Bagi saja angka 5,136 milyar dengan total berkelahi Premier League yang mencapai 1.140 (3 x 380) untuk tiga trend. Jika keuntungan yang dibidik operator ingin dua kali lipatnya, keluarlah angka Rp 170 milyar per-laganya. Bagaimana cara TV menutup sasaran itu untuk sebuah tontonan berdurasi paling lama dua jam itu? Selama ini big-match di EPL setiap musimnya, yang diikuti 8-9 klub top, paling banter berjumlah 56-72 berkelahi saja. Bagaimana dengan dua ratusan sisanya?

Premier League adalah salah satu kisah produk tersukses bangsa Inggris selain musik Hak Siar Premier League 2016-2019: Hasrat Pemilik Sepak Bola
Premier League di Amerika Serikat.
Itu duduk perkara mereka. Problem kita di Indonesia sebagai penonton atau konsumen juga tidak enak. Tak ayal, mulai 2016 siap-siap Anda membayar kenaikan dengan mahal yang dikenakan kanal televisi kabel selama ini, atau... mencopotnya. Tajuk The Greatest Show On Earth yang dikumandangkan Premier League rupanya menjadi bumerang buat penontonnya, tidak saja di stadion juga melalui televisi. pastinya kenaikan kontrak itu menjadikan efek macam-macam.

Ada yang untung dan tapi lebih banyak yang rugi. Bukan lagi Liga Skotlandia gulung tikar kemudian Celtic atau Rangers bergabung dengan Premier League, namun masa depan La Liga ikut terancam. Menarik ditunggu respons La Liga untuk mencegah Neymar, Messi, Bale dan Ronaldo agar mampu bertahan di Spanyol. Kontrak sebesar itu mendadak bikin klub-klub Premier League kaya raya dan berpotensi memiskinkan banyak sekali liga di Eropa bahkan di kompetisi lain di Inggris sendiri.

Yang telah kaya semakin lebih tajir lagi sebab 50 persen dari nilai kontrak sealaihim itu dibagi kepada 20 klub menurut potensi atau skala bisnisnya yang urutannya tak jauh dari Manchester United, Arsenal, Chelsea, Manchester City, Liverpool, Tottenham Hotspur, Everton, dan Newcastle atau Southampton. Dengan kebanjiran uang hak siar, klub-klub Premier League mampu menggaji tinggi manajer dan pemainnya, membeli pemain mahal dari seluruh dunia dari pasar transfer.

Premier League yaitu senjata ekonomi FA, World Cup ladang kekayaan FIFA, dan Champions League dan EURO gudang uang milik UEFA. Andai Liga Champion disebut Piala Dunia setiap tahun, maka Premier League bisa dijuluki Liga Champion setiap musim. Lihat saja betapa serunya perebutan empat besar yang diikuti hampir separo dari pesertanya. Karena terlahir sebagai anak sulung di sepak bola, langkah FA ke depan selalu disetir oleh hasrat berkuasa.

6 PAKET TAYANGAN PREMIER LEAGUE 2016-2019


Premier League adalah salah satu kisah produk tersukses bangsa Inggris selain musik Hak Siar Premier League 2016-2019: Hasrat Pemilik Sepak Bola
Paul Scholes, David James, Steve McManaman. Paket komentator di BT.
Musim ini merupakan edisi kedua dari paket kontrak hak siar Premier League 2013-2016 yang bernilai 3,018 milyar pound (setara dengan Rp 59 trilyun). Masih tersisa satu animo lagi, 2015/16, sebelum jadinya memasuki era gres nan fantastis termin berikutnya 2016-2019 (isu terkini 2016/17, 2017/18, dan 2018/19). Apa saja perubahan yang terjadi pada ketika itu?

Sebenarnya tak banyak penambahan kecuali satu yang hal saja namun hebohnya cukup mengubah kebiasaan menonton cukup signifikan. Apakah itu? Yakni adanya sabung pada hari Jumat malam (atau Sabtu dinihari WIB). Alhasil penambahan menciptakan tayangan live Premier League mulai isu terkini 2016/17 menjadi enam program tontonan. Berikut uraiannya.

Super Sunday. Sama seperti kini, laga paling prestisius ini merupakan paket termahal Premier League yang belum tergoyahkan. Namun mulai Agustus 2016, nilainya makin membubung enam kali lipat sehingga setiap adu Super Sunday, pasti berisi tubruk sesama klub lima besar (Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City dan Manchester United) berharga 10 juta pound! Saking mahalnya tajuk sabung ini disebut dengan Super Mega Triple Double Extra Bacon Awesome Sunday! Untuk diingat, di kala ini duel Super Sunday terdiri dari dua sabung dimulai Minggu jam makan siang yang diambil BT, dan tabrak jam 16.00 yang dimiliki Sky Sports. Total Super Sunday yang dijual yakni 18 pertandingan.

Friday Night. Sky Sports memenangi program baru cara menonton Premier League yang totalnya mencapai 18 berkelahi. Duel EPL di Jumat malam (atau Sabtu dinihari WIB) dipastikan diisi oleh barisan papan atas, salah satu tim lima besar melawan tim semisal Tottenham Hotspur, Everton, Newcastle United hingga Southampton. Penjualan paket ini dibundel bersamaan dengan Monday Night Football.

Monday Night Football. Juga milik Sky Sports, tepatnya ditayangkan melalui akses Sky Sports 1. Nilai jual acara yang diperkenalkan pertama kali oleh Richard Keys (sudah dipecat Sky) ada pada dua komentatornya, Gary Neville dan Jamie Redknapp.

Saturday. Suka tidak suka, sabung Sabtu sudah jadi trademark Liga Inggris sejak 1980-an. Hari Sabtu dipilih alasannya diyakini akan menghentikan orang untuk bepergian. Hak tabrak klasik di hari ini dibelah dua oleh Sky Sports dan BT dan terdiri dari enam langgar dalam seminggu. Sky mengambil kick-off awal pada pukul 12.30 waktu lokal, sedangkan BT menutup pada pukul 17.30 waktu setempat.

Weekdays. Kadang disebut juga midweek match. Laga di puncak hari kerja ini menjadi paket terkecil, hanya 6 kali. Program ini dimiliki oleh BT.

Bank Holidays. Hari libur nasional atau libur hari kerja di Indonesia tentu berbeda dengan di Inggris. Namun tidak demikian di mata Premier League. Tersedia delapan hari Bank Holiday sehingga sebanyak itu pula laga yang dibeli dan ditayangkan Sky Sports mulai musim 2016/17.

SEKILAS PREMIER LEAGUE 2016-2019


👉 Sky Sports mempunyai paket A, C, D, E, total 126 adu selama semusimnya

👉 BT Sport mendapat paket B dan F yang berisi 28 tabrak dengan kick-off 17.30 setiap Sabtu

👉 Kesepakatan £5,136 milyar untuk 1.440 sabung berarti setiap laganya bernilai £10,2 juta

👉 Demi mempertahankan pasarnya, Sky berani menutup per tabrak £11,05 juta

👉 Sementara BT Sport membayar £7,6 juta per-laganya

👉 Secara keseluruhan termin baru EPL untuk tiga isu terkini naik 70%

(foto: sportbible/totalsportek/umaxit/dailymail)

Monday, July 6, 2015

Max Allegri: Bakal Juarai Serie A 2015-16

Italia menyambut Serie A isu terkini 2015/16. Belum lagi dimulai, perang urat syaraf sudah bertebaran di mana-mana. Iyalah kalau yang ikutan perang itu klub-klub kandidat juara. Belakangan, ada juga yang tidak. Klubnya mampu dibilang tidak mungkin menjadi scudetto, tapi ocehan sang pemilik begitu menggugah perasaan.
 perang urat syaraf sudah bertebaran di mana Max Allegri: Bakal Juarai Serie A 2015-16
Langsung juara di musim pertamanya bersama Juventus.
Yang dibidik ajaib, yang membidik bikin kita melamun. Apa relasi Maurizio Zamparini mengobok-obok reputasi Max Allegri? Maurizio Zamparini merupakan pemilik Palermo yang perilaku kontroversialnya sejajar dengan Silvio Berlusconi (Milan) atau Aurelio De Laurentiis (Napoli). Ocehannya sering bikin kuping panas dan mati kutu orang.

Seorang Massimiliano Allegri yang barusan meraih titel langsung menjadi kampiun Serie A 2014/15 pun tak luput direndahkan bos Palermo itu. Tapi boleh percaya atau tidak, inilah justru tanda-tanda ia akan sukses lagi. Zamparini dikenal punya kharisma luar biasa mengingat beliau cuma memiliki Palermo, bukan Milan atau Napoli. Tipikal hujatan pebisnis 74 tahun jadinya sentimental pribadi bahkan rasis.

Saat masih di Inter, Jose Mourinho pun mengaku tobat meladeni lelaki kelotokan ini sesudah disindir begini: “Orang (Mourinho) ini cuma tiba dari negeri 10 juta instruktur lalu beliau sedang berusaha menjadi pelatih yang baik di negeri 60 juta instruktur.”

Portugal berpenduduk 10 juta dan hampir semuanya menggilai sepak bola. Populasi Italia lebih dari 60 juta dan seluruhnya memahami sepak bola. Awalnya tujuan Don Mauri seperti itu tak lain untuk melucuti mental instruktur lawan sebelum atau setelah mereka bermain di Renzo Barbera. Sulit cari alasan kenapa pria ikal yang mulai memiliki klub berjuluk Rosanera semenjak 2002 ini suka sekali menyemprot instruktur lawan juga pelatihnya sendiri.

Terhadap seseorang intuisi Zamparini dikenal amat tajam, setajam ia menemukan dan menempa kemudian menjual mahal formasi pemain berikut ini: Andrea Barzagli, Fabio Grosso, Luca Toni, Fabrizio Miccoli, Javier Pastore, Fabio Simplicio, Salvatore Sirigu, Amauri Carvalho, Edinson Cavani, Abel Hernandez, dan yang terakhir adalah... Paulo Dybala, yang sekarang menjadi anak bimbing Allegri di Juve. Sisi buruknya, Zamparini telah belasan kali menghardik allenatore di Palermo sebelum memecatnya.

Uniknya, tanpa banyak yang menyadari, kicauan Zamparini menyimpan misteri. Biasanya deretan pelatih yang disindir atau dimusuhinya bukannya menukik kariernya tapi malah tambah sukses! Mourinho salah satunya. Nah, apakah kilasan kejadian silam, dengan meminjam daya intuitif bin spiritual dari Zamparini mampu digunakan untuk mengeker sukses Allegri demam isu ini? Sinyal justru diletupkan Zamparini pada saat Juve dan Allegri lagi berbulan madu dengan mesra.

Pada ketika mereka sedang menikmati kedigdayaan 2015 sebagai Il Vincitore Triplo berupa Scudetto, Coppa Italia, dan SuperCoppa Italiana. Apa kata Zamparini? “Siapa juara 2015/16? Saya tempatkan Roma dulu, baru Juventus. Catat, bukan Juve gres Roma! Mau tahu sebab? Karena Roma punya instruktur lebih bagus. Ada sosok Antonio Conte pada diri Rudy Garcia. Allegri? Aha, justru dialah satu-satunya titik kelemahan Juve terbesar,” tukas Zamparini kalem.
Tanpa rendah hati dan mau belajar, tidak mungkin Max Allegri merasakan ini.
Rupanya di mata dia tak ada kelebihan sama sekali dari seorang master berjulukan Allegri Il Vincitore. Mau dibilang psikopat atau gendeng, ungkapan Zamparini sekali lagi perlu dipandang dengan beda beling mata. Ingat, apa yang dicuatkannya biasanya sesuatu yang “benar”. Inter juga pernah berasyik-mahsyuk dengan kekuasaan saat dipimpin Mourinho Il Vincitore. Namun apakah ucapan sentimen atau intuisi Zamparini tentang sikap Mourinho juga salah?

Makara, apakah Allegri bakal gagal trend ini dan Juventus kehilangan gelar? Dimohon Anda jangan terburu-buru memastikannya sebelum membaca beberapa genggam cerita berikut. Namanya memang tidak sesuai dengan nuansa musik, allegro – kesenangan atau kegembiraan – tapi, begitulah Allegri yang kita tahu apa adanya. Selalu paradoks. Perhatikan wajahnya yang sayu, dan jikalau Anda berkenan, perhatikan pula dongeng suksesnya yang cenderung mendayu-dayu.

Episode 1, Maret 2013. Di depan jurnalista, seseorang pendatang gres di Serie A bernama Giorgio Squinzi bikin heboh seusai bersua Berlusconi dalam satu kesempatan. “Saya ingat beliau mengeluh soal Allegri yang tidak becus apa-apa alasannya sering menyia-nyiakan Stephan El Shaarawy. Di mata aku, kans terbaik Allegri itu jika beliau menangani skuad buangan, bukan skuad harapan,” kata bos klub Sassuolo yang juga seorang Milanisti ini.

Episode dua, Desember 2013. Berlusconi kembali mempermalukan Allegri di depan umat, sekaligus mengiyakan Zamparini bahwa Italia itu negeri dengan 60 juta pelatih bola. “Seperti biasanya, tim ini lebih butuh perhatian dan perawatan dari saya. Tahun lalu tahun peristiwa, saya yang membenahi mental tim. Taktik Allegri sulit dipahami. Bagaimana bek lamban Cristian Zapata diduetkan dengan Phillipe Mexes yang demotivasi?” ucap Don Silvio sengit.

“Latihan fisik tim amat payah dan gaya permainannya menyedihkan. Kita juga belum lupa atas kepergian Andrea Pirlo di selesai 2010/11. Dia pergi alasannya tidak tahan setelah dipaksa main oleh Allegri sebagai gelandang biasa, padahal satu Italia pun tahu: takdir Pirlo yaitu dirigen, administrator permainan,” lanjut bos dari segala bos di Rossoneri itu yang tampak masih geram dan dendam walau sang pemain kesayangannya itu telah dua tahun tiada dari Milanello.

Ambisi Pribadi
Mimik resah Antonio Conte di depan Max Allegri sewaktu di Juventus.
Selang dua minggu sesudah pidato raja, saat itu Allegri pun resign. Awal trend 2014/15 ucapan Berlusconi bertuah mirip Zamparini. Pirlo ketiban sial karena dadakan Allegri dicokok ke Juve. Sejarah terulang, Pirlo mulai dinomor-duakan. Ketika alhasil beliau merasakan bulan madu Allegri dan klubnya makin membara, Pirlo Il Corifeo pribadi mundur dari panggung Juve dan arena Serie A untuk memulai hidup gres di Amerika Serikat. Gara-gara Allegri lagi?

Sudah tipikal Italiano suka membahas detil langsung orang, bukan apa yang dihasilkannya untuk kemashalatan publik. Banyak contoh dalam hidup, orang mirip Allegri ini tetap punya rejeki dan nasib baik walau datangnya lelet dan bikin empot-empotan orang. Sikapnya ke Pirlo, serapahan Berlusconi, atau kesan negatif Squinzi terbukti justru jadi ‘bekal’ utama berprestasi luar biasa di 2015. Bagaimana di 2016, manakala Zamparini dengan ceplas-ceplos menyatakan sikapnya?

Orang yang di tubuhnya mengalir adrenalin cepat menggelegak biasanya memang sebal pada Allegri. Gayanya yang alon-alon tidak ketulungan, apalagi di langgar-tabrak perdana atau sebulan pertama. Panasnya selalu belakangan, padahal ia bukan Jerman. Tapi itu dulu. Berlusconi saja yang sial. Waktu debut di Rossoneri, Allegri hanya menuai lima poin dari 5 langgar, artinya semua pertarungannya seri. Tampaknya suratan nasib Allegri harus selalu ditendang pantatnya.

Setelah banyak dikecam, baru Allegri bikin kejutan. Selang tiga bulan berikut, Milan hanya sekali kalah dan sekali seri. Begitu juga di trend keduanya. Lima poin dari empat laga. Tiga bulan berikutnya, cuma dua kali kalah dan sekali seri. Kebiasaan Allegri yakni mulai hangat dikala salju mulai turun, alias di sekitar Desember. Nah bisa Anda maklumi jikalau beliau bikin banyak mulut orang menganga lantaran demam isu lalu di lima berkelahi awalnya Juve mampu meraup 15 poin. Wow!

Apakah Allegri telah menemukan formula gres? Atau, karena duet Andrea Agnelli dan Pavel Nedved sering menepuk-nepuk bahunya? Pastinya Allegri punya motivasi gres, dan amat terang pula, Agnelli-Nedved yang kalah tua darinya, punya treatment atau cara berbeda dengan Berlusconi. Ini agaknya lebih kepada hal-hal non-teknis. Boleh jadi Allegri eksklusif merasa nyaman di Juve sehingga dengan mudahnya dia berkreasi dan bekerja.

Karena secara taktik, sejumlah pakar di Italia mematok Allegri sebagai mahir siasat yang manis. Dibanding substitusinya, Allegri ada di tengah-tengah. Dia terang bukan kelas Marcello Lippi yang tetap tenang dan selalu yakin mencapai tujuan walau diberi Fiat 500. Tapi lelaki kurus itu juga bukan tipe Ciro Ferrara, allenatore Juve terparah, yang jika bisa ingin punya Ferrari 488 Spider, dengan cadangannya Lamborghini Aventador LP 750.

Barangkali Allegri minimal kelasnya Alfa Romeo, atau katakanlah Maserati. Di beberapa segi beliau malah lebih mudah bermanuver. Di pekan padat merayap misalnya, Allegri memperlihatkan kekayaan variasi taktiknya. Lolosnya Juventus ke akhir Liga Champion isu terkini lalu, sehabis ngik-ngikan di penyisihan grup, merupakan bukti kasatmata permainan Allegri dipenuhi sajian dan manuver yang kerap mengecoh instruktur-instruktur top Eropa lainnya.

Dari pentas Serie A demam isu ini tampaknya Allegri tidak perlu terlalu kuatir ke Liga Champion animo depan. Hampir pasti satu tiket telah digapai. Yang seru dua sisanya yang akan melahirkan rebutan ‘tangkap ayam’ antara Roma, Fiorentina, Inter, Napoli, Lazio dan mungkin eks klubnya, Milan. Namun mengenang perjalanan Capello atau Ancelotti, agaknya begitu juga Allegri. Tanpa harus menyelidikinya pun orang tahu bahwa ambisi dia ialah Eropa, Liga Champion!

Pola kerja dan peluang Allegri di ekspresi dominan 2015/16 tergantung dari sasaran klub. Yang niscaya kini saatnya Juve menguasai tatanan global, bukan lagi lokal atau regional. Dan satu-satunya cara paling smart meraihnya yakni dengan menjuarai Liga Champion. Titik. Kaprikornus, hampir niscaya sasaran eksklusif Allegri musim ini ialah, [1] Liga Champion, [2] Serie A. Jika skenario ini benar adanya, maka Allegri akan jauh lebih letih dibanding demam isu kemudian.

Usai menang dramatis 3-2 atas Olympiacos yang meloloskan Bianconeri dari babak grup, tak dinyana beliau berkicau via Twitter untuk menunjukkan perjuangan beratnya dengan menulis “#fiuuu” yang bermakna ‘fuuuh!’ atau phew dalam bahasa Inggris, alias ungkapan lega. Liga Champion trend lalu kelak menjadi modal berharga yang dapat mendekati keinginan pribadinya ke depan. Final di Berlin, Mei silam sudah akrab, tapi tetap belum cukup karena faktor jam terbang.

Apakah ucapan Zamparini akan jadi kenyataan? Titel Serie A bakal lepas ke tangan orang lain alasannya obsesi Allegri dan Juve ada di Liga Champion? Catat, jika jadi kenyataan hal ini bukan sebab Allegri tak becus menahan gelarnya akan tetapi lebih kepada prioritas dan konsentrasi. Pengenalan dan pemaknaan Allegri terhadap pesaing di Eropa terbilang minor karena beliau hanya seorang andal sangkar, seluruh darma baktinya habis di dalam negeri.

Pragmatis Tulen

Pria kelahiran 11 Agustus 1967 ini bukan petualang sejati mirip Fabio Capello dan Carlo Ancelotti, bahkan mendekati Claudio Ranieri pun tidak. Tapi dia selalu terobsesi seperti mereka. Itu hasrat terdalamnya. Untuk dapat melanglang buana ia tahu syaratnya, CV-nya harus diisi dengan rekor Eropa. Gara-gara jam terbangnya di Eropa yang belum mumpuni itulah yang jadi alasannya Milan di eranya tidak berkutik di ajang Eropa, ya termasuk dengan Juve demam isu kemarin.
 perang urat syaraf sudah bertebaran di mana Max Allegri: Bakal Juarai Serie A 2015-16
Andrea Agnelli dan Pavel Nedved, pengontrol pekerjaan Max Allegri.
Ambisi eksklusif Allegri tidak setinggi Capello dan Ancelotti. Sejarah kala muda tidak bisa dibohongi. Saat aktif, Allegri hanya gelandang gurem dan satu-satunya klub top yang dibelanya hanya Napoli, itu pun cuma tujuh kali main. Sebelum dan sesudahnya, klub yang memakai tenaga Allegri bermerek asing-ajaib: Cuoiopelli, Pavia, Pistoiese atau Aglianese. Bandingkan dengan karier Capello (Roma, Juve, Milan) dan Ancelotti (Roma, Milan).

Tempat terbaik untuk Allegri tetap di Serie A, dan ia pun masih merasa haus. Situasi bisa berbahaya andai Agnelli dan juga Allegri terlalu menekan dirinya habis-habisan. Musim depan dapur serangan Juve hanya mengandalkan Paul Pogba, Claudio Marchisio serta debutan Sami Khedira sehabis Pirlo dan Arturo Vidal pergi. Sepintas melihat komposisi gelandangnya kini, Juve sulit bersaing di Eropa. Satu catatan penting, Khedira sangat rentan cedera.

Organ terpenting buat Allegri bukan perut kelaparan seperti yang jadi prinsip Conte akan tetapi kecerdasan otak. Ini kunci sukses Allegri bahu-membahu. Allegri tahu, dalam sepak bola ada ratusan cara untuk sukses. Usai memberi scudetto pada Juve musim kemudian, Allegri tercatat dalam buku besar calcio sebagai salah satu dari enam legenda pelatih yang memberi titel di dua klub berbeda. Dalam satu sisi saja ia sudah mengalahkan Mister Conte, sang pujaan Juventini.

Apakah Allegri akan sukses, mampu mempertahankan titel Serie A di isu terkini depan? Jawabannya ya mengingat probabilitas dia jauh lebih besar melihat reputasinya, pengalamannya, kedalaman skuadnya, doktrin para pemain, manajemen sampai gelombang pertolongan dari Juventini. Faktor tifosi yang kini mendukungnya jadi titik balik motivasi Allegri yang terpenting. Masih terngiang dalam ingatan apa yang didapat Allegri sehabis resmi menggantikan Conte.

Juli 2014, hari pertama Allegri muncul di markas latihan Vinovo amat nista dan terasa gila. Mobilnya digebrak, ditendang, diludahi serta dilempari telur oleh suporter fanatik Juve. Mereka ini masih sangat dendam dengan Milan dan Allegri, dua pihak yang dianggap sebagai biang keladi yang mengakibatkan Juventus didegradasi paksa ke Serie B di demam isu 2006/07 gara-gara skandal Calciopoli. Namun 10 bulan lalu, situasi berbalik 180 derajat. Allegri sepertinya dimaafkan.

Pesta juara berlangsung semalam suntuk sampai subuh. Beberapa pemain masih berkutat dengan mabuk tatkala dengan sempoyongan mereka berterima kasih pada Allegri. Dunia mirip runtuh sesudah Conte pergi, namun realita yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bahkan Agnelli masih tidak percaya sampai-hingga mengirim ucapan ke Twitter. “Terima kasih Max untuk membawa tim ini semenjak 15 Juli 2014 dan memimpin mereka menjadi juara!”
Format gres Juventus di tangan Max Allegri.
Scudetto 2014/15 disebut-sebut sebagai kemenangan sejati Allegri. Seluruh pengurus dan pemain pasrah dan frustasi sesudah ditinggal Conte secara mendadak. Allegri tiba di ketika tepat. Tiada yang mampu mencegah atau merecoki. Dia leluasa berekspresi dan bereksperimen, termasuk menukar-nukar denah 3-5-2 ala Conte dengan 4-3-1-2 kesukaannya. Ini salah satu kelebihan Allegri yang lalu dipahami Juventus: pragmatis.

Dari ratusan cara untuk sukses di sepak bola, yang terpenting bukan soal cita-cita atau pandangan tetapi tujuannya. Allegri juga memegang teguh prinsip sepak bola Italia: Kalau tidak bisa menang setidaknya jangan kalah, namun dengan aplikasi yang jauh lebih rumit ketimbang cara Conte. Berlusconi selalu dianggap ayah oleh Allegri sehingga beliau tabu membantahnya. Beda dengan Agnelli junior dan Nedved yang menganggap dirinya sebagai kakak tertua.

Perekrutan Daniele Rugani (bek), Khedira (gelandang) serta trio penyerang Dybala, Simone Zaza dan Mario Mandzukic merupakan murni harapan Allegri yang makin memberikan pola 4-3-1-2 atau 4-3-2-1 akan berkumandang di demam isu depan. Skema ini menuntut peranan seorang trequartista. Marchisio, Roberto Pereyra atau Kingsley Coman. Berbekal pengalaman vital dikala mengalahkan Olympiacos, Allegri yakin pasukannya kini telah paham bedanya dengan 3-5-2.

“Kita selalu mulai dengan anggapan. Saya pikir sepak bola soal kesenangan belaka, tetapi Anda butuh tujuan, yakni kemenangan sebab hanya inilah yang akan dicatat sejarah dan diingat orang,” kata Allegri seakan-akan mengirim pesan buat orang semacam Zamparini atau Berlusconi. “Mourinho itu manajer yang luar biasa, tapi dalam sepak bola ia mampu saja tidak disukai. Begitu pun aku. Namun pada risikonya yang terpenting yaitu apa yang telah dicapainya.”

“Di sepak bola tidak ada kata sejati untuk terbaik atau terburuk alasannya adalah perbedaan budaya dan abjad, yang jauh lebih penting yakni bagaimana intensitas kita dalam bekerja dengan banyak aspek,” papar Allegri lagi. Semoga Zamparini memahami ucapan ini.

(foto: gazzettaworld/goal/provenquality/gazzetta)

Saturday, July 4, 2015

La Liga Dan Bundesliga: Meradang Dan Menendang

Meroketnya hak siar Barclay Premier League (BPL), akibat peperangan Sky Sports vs BT Sport, sangat mengguncangkan dunia bisnis olah raga di AS dan Eropa secara keseluruhan. Kenaikan super masif yang mencapai 70% itu membuat banyak lisan orang menganga saking terkejutnya. Kalau nilai dasarnya saja sudah £ 5,136 milyar bagaimana harga internasionalnya? Bayangkan berapa angka rupiahnya di Indonesia saat kurs mata uang euro, poundsterling dan dollar makin membubung.

Meroketnya hak siar Barclay Premier League  La Liga dan Bundesliga: Meradang dan Menendang
Angka £5,136 milyar yang berarti $7,9 milyar buat orang Amrik tentu mencengangkan sebab melebihi adonan nilai hak siar tahunan dua olah raga pujian mereka sekaligus, rugbi dan bola basket. NFL (National Football League) bernilai $3 milyar, sedangkan NBA (National Basketball Association) dihargai $2,66 milyar. Meski masih di bawah asumsi total harga tiga animo NFL yaitu $9 milyar, namun tetapi saja Premier League bakal lebih sensasional di pasar internasional.

Rakyat AS menyelidik wacana keberanian Sky Sports dan BT Sport menutup penawaran ajaib Premier League, bertanya-tanya tentang karakteristik Premier League. Mereka juga gundah berat alasannya BPL masih mengalokasikan uang cuma-cuma buat klub juru kunci senilai $152 juta selama tiga tahun, dianggap tidak sebanding dengan juaranya ($240 juta). Pikiran pun menerawang, kalau klub terbawah kebanjiran sebesar itu uang, bukankah artinya standar gaji pemain otomatis naik?

Soal olah raga, AS yakni planet tersendiri. Mayoritas rakyatnya malahan mengklaim rugbi, bisbol dan basket sebagai olah raga nomor satu, meski sulit dikonsumsi bangsa lain. Realitanya, di luar AS, NFL dan NBL sulit dijual ekslusif kecuali diobral. Brand NBA tidak mengecewakan berkibar meski Eropa juga punya Liga Champion bola basket yang cukup prestisius. Dasar AS, mereka pun menjuluki EPL sebagai 'NBA-nya'' sepak bola. Di luar AS, deal BPL 2016-2019 juga mengobok-obok benua biru.

Menghentaknya skala bisnis Premier League sampai 70% berpotensi meruntuhkan bisnis empat liga yang menjadi pesaing La Liga, Bundesliga, Ligue 1 dan Serie A. Dikhawatirkan semua pesepakbola top sejagat akan menjejali tanah Inggris. Rumor yang berkembang untuk era Premier League 2016-2019 yaitu bakal merumputnya Lionel Messi ke Manchester City, Cristiano Ronaldo ke Manchester United, Luis Suarez ke Liverpool, serta kemungkinan Neymar Junior ke Chelsea. Nasib La Liga pun di ujung tanduk!

Rakyat Spanyol meradang takut alasannya mampu-mampu industri sepak bola mereka mati suri. Javier Tebas, Presiden La Liga, menyuarakan kekhawatiran negaranya. "Kita menghadapi masalah serius alasannya adalah Premier League telah mencuri start duluan dalam persaingan TV global dengan menaikkan kontrak. La Liga akan banyak kehilangan nilai di pasar karena kita tidak lagi jadi liga terbaik selama setahun," ucap Tebas. Perbedaan model bisnis La Liga terhadap kontrak TV adalah biang keladinya.

Derita Spanyol

Meroketnya hak siar Barclay Premier League  La Liga dan Bundesliga: Meradang dan Menendang
Selama ini klub-klub La Liga melaksanakan kontrak individual di pasar internasional via jaringan televisi sendiri. Misalnya Real Madrid TV dan Barcelona TV, yang menguasai 90% bisnis hak siar La Liga. Jika kedua klub raksasa ini saja rugi besar gara-gara gebrakan EPL, apalagi 18 klub sisanya? Bukan rugi lagi, tapi juga bahaya bangkrut. Kelemahan model bisnis yang menimbulkan Real Madrid dan Barcelona sebagai raja dan ratu sepak bola Spanyol seperti kena batunya.

Presiden klub Espanyol Joan Collet memohon pada pemerintah segera mengubah undang-undang agar pintu perundingan ke pasar internasional dikembalikan kepada La Liga tapi tanpa harus dikomandoi dua klub besar tersebut. Tujuannya yakni agar penerimaan hak siar bisa setara sesuai skala bisnis klub masing-masing. Lebih celakanya lagi, wilayah yang dihajar oleh EPL yaitu pasar Amerika andalan La Liga, terutama di tengah dan selatan benua Amerika.

Bertaburannya bintang-bintang baru Latin di ekspresi dominan 2015 yang datang dari aneka macam negara, katakanlah Alexis Sanchez (Chile), Gabriel Paulista (Brasil), David Ospina, Radamel Falcao, Juan Cuadrado (Kolombia), Angel Di Maria, Marcos Rojo (Argentina), dan Abel Hernandez (Uruguay) semakin jelas memantapkan posisi BPL sekaligus semakin menjepit pasar La Liga di area itu. Tak pelak, kita juga semakin paham dengan taktik yang dilakukan klub-klub top Inggris.

Ligue 1, yang tengah membangun reputasinya melalui kebangkitan ekonomi AS Monaco dan Paris Saint-Germain, ikut terpukul dengan kesepakatan kontrak gres EPL. Di mata Bernard Caiazzo, wakil presiden Saint-Etienne, Premier League sungguhan berubah menjadi menjadi NBA-nya sepak bola. "Bayangkan orang semakin sadar mereka itu lebih besar dari Liga Champion sekalipun. Klub macam Chelsea dan Manchester United punya bujet operasional 700-800 juta euro setahun," kilah Caiazzo.

Jangankan itu, deal baru EPL bahkan dapat mematikan sepak bola Inggris sendiri terutama di barisan akar rumput, divisi bawah. "Kesepakatan itu akan mematikan permainan dan membunuh klub-klub mirip kami ini," kata Peter Marsden, Presiden Accrington Stanley, klub anggota League Two (divisi empat). Penjelasannya amat miris. Accrington, yang punya 23 pemain, rata-rata setiap pemainnya 50 ribu pound. Bandingkan dengan Manchester City yang rata-ratanya 16 juta pound.

Artinya setiap pemain City setara 320 pemain Accrington. Sedangkan pemain termahalnya, Sergio Aguero yang keahlian dan kemampuannya dibanderol 44 juta pound mampu disetarakan dengan 880 orang pemain Accrington! Jika setiap tahunnya klub divisi empat ini punya 25 pemain, maka nilai seorang Aguero itu sederajat dengan stok satu skuad Accrington selama 35 tahun! Nilai Aguero juga masih lebih mahal dibanding skuad Burnley yang 41,14 juta pound. Oh my God.

Dampak negatif juga terasa di kompetisi non-Premier League secara keseluruhan. Untuk menjaga kualitas atau memelihara eksistensinya, berbagai klub Premier League akan mencaplok seluruh pemain terbaik mulai dari League Two, League One, sampai divisi Championship, sehingga tontonan ketiga liga ini akan terasa kering alasannya adalah tidak ada bintang yang memadai. Rating TV juga melempem, penonton di stadion sepi, dan ujung-ujungnya iklan sulit didapat.

Pendapatan klub yang macet dan tersendat akan menghasilkan gaji pemain yang minim, dan yang terparah klub-klub divisi bawah makin sulit bersaing ke pentas lebih tinggi sebab kualitas skuadnya begitu rendah. Lingkaran setan pun terjadi. Untuk terus bertahan, mau tak mau, mereka akibatnya menjual aset terbaiknya ke klub Premier League. Keuangan yang cekak itu menjadikan klub-klub lower division kesulitan membayar instruktur atau manajer yang manis.

Jerman Realistis

Meroketnya hak siar Barclay Premier League  La Liga dan Bundesliga: Meradang dan Menendang
Bukan belakang layar sebuah klub amat kuat suaranya di blantika UEFA terutama yang punya basis massa berpengaruh dan reputasi andal, contohnya Real Madrid, Barcelona atau Bayern Muenchen. Namun realitanya legiun Premier League pun tetap unggul di pasar bebas. Pasalnya pasar bebas belakangan lebih suka melihat atmosfir kompetisinya, bukan melulu reputasi klubnya yang berpotensi bikin bosan. Jika mereka melulu bicara kualitas, maka Premier League bilang kualitas plus kuantitas. Tidak saja reputasi atau eksistensi, tapi reputasi plus keberadaan.

Semua paham, betapa tingginya value Premier League. Sesuai kapasitasnya, Anda dijamin tak harus keseringan mengandalkan Real Madrid atau Barcelona, Bayern Muenchen atau Juventus, Paris Saint-Germain atau Monaco, namun mindset orang eksklusif terpecah setidaknya kepada 7-8 klub, kemungkinan bertambah setiap 2-3 tahun, ketika bicara Liga Inggris. Premier League adalah sekumpulan superteam yang berisikan banyak superman.

Apa yang terjadi di Inggris berdampak besar pada Jerman, Italia, Spanyol, Prancis, apalagi negara-negara lain yang business-value kompetisinya di bawah mereka. Bahkan inventory lain semacam Liga Champion atau Liga Europa ikut siaga kuning. Di sisi lain semakin mahal dan populernya klub-klub Premier League justru semakin menaikkan daya tawar mereka di kancah Liga Champion dan Liga Europa. Bisa-mampu tanpa wakil Inggris, sponsor dan pengiklan akan menepi teratur, penonton pun jadi sepi.

Premier League berarti Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, atau Manchester City. Tunggu 2-3 tahun, maka Anda punya Tottenham Hotspur, Everton, Southampton, Newcastle United, Swansea City, atau Stoke City sebagai jagoan gres. Siapa yang mampu melawan BPL kalau di Indonesia saja enam klub ini sudah punya basis massa atau komunitas di Indonesia? Tidak salah jika Caiazzo bahkan perlu memohon pada UEFA untuk segera menghentikan kekuasaan British Empire edisi futuristik.

Benarkah gemebyar BPL akan mematikan sepak bola bangsa lain? Tidaklah. Tengok Jerman, yang sejak dulu memang paling memahami hasrat bangsa Inggris. Kubu Bundesliga emoh ambil pusing untuk masuk ke putaran drama kecuali bekerja keras dan bekerja cerdas. Sebagaimana siluet logo DFL yang menggambarkan pemain sedang menendang bola, agaknya begitu juga prinsip Jerman menghadapi masa depan.

Bukankah selama bola terus ditendang, artinya keinginan dan peluang selalu ada? "Masa depan Premier League menjadi tantangan periode depan kompetisi kami, tantangan Bundesliga, dan tangan klub-klub yang mau tak mau harus kita hadapi," tukas Christian Seifert, CEO DFL - operator Bundesliga. Berani menantang Herr Seifert? Mengapa tidak.

(foto: tvbeurope/dw)