Thursday, October 15, 2015

Mirip Menampar Air Di Dulang

Barangkali Manchester City lebih baik meminta Liam dan Noel Gallagher, dua fan fanatik mereka yang juga pentolan grup band Oasis, untuk menggubah lagi himne Liga Champion daripada mencemooh karya musisi bangsa sendiri atau memusuhi UEFA.
Barangkali Manchester City lebih baik meminta Liam dan Noel Gallagher Seperti Menampar Air Di Dulang
Ulah kaum The Cityzen. Parodi atau harapan?
Klub-klub Eropa sangat mendambakan lagu itu bisa diputar di stadion mereka. Para pelatih dan pemain sejagat dari berbagai ras dan bangsa, yang bintang atau bukan; bermimpi mendengarkan sambil berbaris khidmat. Mereka pun rela mengerahkan otak dan tenaga demi tujuan itu. Maka jikalau ada klub hingga menghinanya, niscaya problem sudah bikin ngebul kepala.

Lagu Zadok The Priest, yang menjadi lagu resmi Liga Champion, amat dikenal publik sepak bola semenjak meluncur pertama kali pada Agustus 1992. Adalah komposer Inggris, Tony Britten, yang menggubah salah satu karya komposer terbesar Inggris, George Frideric Handel pada 1727 itu, sekaligus memberi liriknya. Anehnya, orang-orang Inggris pula yang pertama kali melecehkannya.

Pendukung Manchester City tidak mungkin tidak paham sejarah. Barangkali mereka lupa, kebablasan, sehingga dengan bodohnya mengolok-olok himne yang kerap membangunkan bulu kuduk itu di Stadion Etihad, Oktober kemudian. Kejadiannya sebelum mereka mengalahkan Sevilla 2-1 di matchday 3. Akibat pelecehan kelas berat itu, klub kaya mendadak ini diperkarakan UEFA.

UEFA tengah mengumpulkan bukti-bukti lain untuk memutuskan vonis yang menurut rencana diumumkan pada 19 November. Kemungkinan besar berkas-berkas perkara City di UEFA bertambah. Sebelumnya 'pemain baru' di Liga Champion ini dikenai eksekusi pelarangan transfer akhir melanggaran hukum Financial Fair Play (FFP) pada 2013/14.

Dendam pendukung City pada UEFA pantas terjadi mengingat gara-gara larangan membeli bintang gres untuk isu terkini 2014/15, gelar mereka lepas direbut Chelsea. Hukuman itu juga mempengaruhi kiprah mereka di Liga Champion yang dipenuhi ambisi. Namun terseretnya Platini ke dalam polemik FIFA, lewat gosip suap 1,3 juta pound, justru sebagai pemicunya.

Mereka menganggap tindakan presiden UEFA dan Sepp Blatter dalam masalah korupsi di FIFA sebagai kejahatan keji. Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari tampaknya benar adanya. Tapi, kasihannya kenapa Zadok The Priest yang jadi korban? Ternyata di telinga Cityzen, lagu itu dianggap simbol arogansi, provokasi, kemunafikan, dan kriminalitas.

Masak sih? Jangan-jangan memang Cityzen arogan, tidak injak bumi, lupa kacang pada kulitnya dan lagi-lagi, melupakan sejarah. Selama ini para pimpinan klub tidak mau repot-repot menantang UEFA, entah itu manajer, eksekutif, CEO apalagi pemiliknya. Mereka justru tahu diri sebagai klub anak bawang di belantara Liga Champion.

City justru baru memulai tradisinya di Liga Champion. Belum tiga tahun. Mau sukses instan menjadi jawara Eropa mirip di Premier League? Waduh, ini Eropa bung! Manajemen sadar, mereka tidak punya teknokrat, legenda atau tokoh berpengaruh di UEFA yang sanggup melobi atau bisa menghipnotis keputusan. Kontak dan susukan mereka amat minim di sana.

Namun tidak demikian dengan pendukungnya, yang akrab disebut dengan Cityzen. Mereka mudah terbakar, murka sebagai bentuk letupan pengalaman pahit atau bisa juga bablasnya ekspektasi. Mereka amat sensitif, barangkali akhir hatinya kelamaan 'teraniaya' oleh kehebatan Manchester United. Galaknya minta ampun, bahkan lebih galak dari orang-orang lama.

Perlu Batasan
Barangkali Manchester City lebih baik meminta Liam dan Noel Gallagher Seperti Menampar Air Di Dulang
Berani meledek UEFA walau tidak punya tradisi di Liga Champion.
Pendukung City berkata UEFA telah mengekang kebebasan berbicara, berekspresi, serta coba mengubur nilai-nilai demokratis. Di mata mereka, FFP yaitu ironi, bukan bentuk kelaziman hukum tapi satu kezaliman pada kehidupan modern yang cenderung bebas, global, dan tentu saja kapitalis. Mereka mengingatkan UEFA dengan memo berjudul Bedtime Reading.

Fan berharap Le Petit Napoleon Platini, begitu mereka menjuluki presiden UEFA, menghentikan arogansinya dengan melihat pasal 10 dari Konvensi Eropa mengenai hak asasi insan yang berbunyi, 'Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan seterusnya.' Tapi, uniknya, di satu sisi pendukung City juga arogan serta tidak peka dengan lingkungan.

Di periode pendukung Sheffield United atau Watford asyik berkhayal kapan lagu Zadok The Priest diputar di stadion mereka, dengan arogan The Cityzen bertindak mengejutkan. Padahal kurang dari 10 ekspresi dominan lalu, nasib ketiganya seperti: sama-sama berjuang dari degradasi di simpulan ekspresi dominan. Namun sepak bola rupanya perlu batasan yang dijaga oleh pemangku kekuasaan.

UEFA selalu mengacu pada pasal 16 wacana peraturan disiplin yang berisi klub/pihak tuan rumah bertanggung jawab pada sikap tak senonoh atas gangguan lagu kebangsaan atau himne kompetisi. Hukuman untuk jenis pelanggaran ini biasanya diketuk oleh Komisi Disiplin berupa denda uang, atau bermain di stadion kosong alias tanpa penonton.

Uniknya, di animo lalu, City pernah menderita peristiwa serupa dikala diintimidasi sorakan dan hinaan suporter CSKA Moskva saat bertandang ke Rusia, November 2014. Waktu itu yang dijadikan obyek adalah Yaya Toure. Dengan treatment sama, UEFA menghukum CSKA sekali bertanding tanpa penonton. Gara-gara ini, CSKA kalah 0-1 dari Bayern Muenchen.

City cuma sekali lagi jadi tuan rumah, 8 Desember, dengan menjamu Borussia Moenchengladbach. Takut hukuman serupa mensugesti nasib dan kans timnya, Manuel Pellegrini alhasil angkat bicara. Sang manajer meminta UEFA agar menghormati penonton yang telah membayar mahal tiket Liga Champion untuk meramaikan turnamen andalan UEFA ini.

"Fan berhak melakukan protes secara tenang untuk mengekspresikan haknya, perasaannya, asal dengan hormat, mirip dikala menyoraki pemain dalam pertandingan," kata Pellegrini apa adanya, jujur, tapi penuh maksud. "Saya tidak mengerti kenapa UEFA mengincar fan kami. Mereka yang beli tiket, bukan manajer, pemain, atau wasit."

Bukan sepak bola kalau tidak kontroversial. Pada kasus ini terlihat terperinci perasaan megalomania sudah menjangkiti pendukung City, setelah superlatif pada skuadnya. UEFA barangkali berpikir, apa risikonya kalau pelecehan himne itu dibiarkan? Tim ini telah membeli kesuksesan secara instan, tanpa melalui proses sebagaimana layaknya di sepak bola. Bahaya jika tidak digubris.

Andai yang melakukan itu fan Real Madrid, Barcelona atau Bayern Muenchen, mungkinkah UEFA mentolerirnya? Sekarang sukses memang mampu dibeli, apa susahnya? UEFA mirip halnya FIFA, rupanya masih kental jiwa sosialisnya, barangkali untuk mengimbangi tuntutan masyarakat kapitalis. Perbedaan yakni pesan yang tersirat dan berkah. Bayangkan jikalau semuanya similar.

(foto: manchestereveningnews/spanishnewstoday)

Harga Skuad Memilih Juara

Liga Champion identik dengan kepastian, kemapanan. Hanya klub sukses, bahkan paling sukses; klub kaya, kalau perlu terkaya yang pantas menjuarainya. Analogi ini boleh jadi keterlaluan, namun ada dasarnya.

 kalau perlu terkaya yang pantas menjuarainya Harga Skuad Menentukan Juara
Apakah Anda masih ingat kejutan terbesar di Liga Champion, dikala sebuah tim yang tak favoritkan mampu menjuarainya? Pada 1986, Steaua Bucuresti mengalahkan Barcelona dengan adu penalti. Pada 1991, Crvena Zvevda alias Red Star juga menang berkelahi penalti dari Olympique Marseille. Pada 1997 Borussia Dortmund mengatasi Juventus. Setelah itu?

Tentu masih banyak lagi, baik sebelum dan sesudahnya. Tapi tetap saja, namanya kejutan lebih kecil probabilitasnya dibanding yang semestinya. Menanti kejutan adalah sisi paling misterius di sepak bola. Sayangnya Liga Champion gampang diprediksi, terutama saat memasuki sesi perdelapanfinal hingga akhir. Apa yang menjadi penyebab utamanya?

Paling terdepan alasannya adalah nilai skuad di klub itu sendiri. Real Madrid (2014), Barcelona (2015), serta Bayern Muenchen (2013) ialah triumvirat mahsyur nan legendaris di Eropa yang menjadi juara di tiga demam isu terakhir. Catat, ketiganya merupakan klub dengan skuad termahal di dunia. Jika mau ditambah, dua di bawahnya lagi ialah Chelsea dan Manchester City.

Menurut situs Transfermarkt, skuad Real Madrid bernilai 718,80 juta euro atau setara dengan Rp 10,80 trilyun. Disusul oleh Barcelona 657,50 juta euro (Rp 9,9 trilyun), Bayern Muenchen 617,68 juta euro (Rp 9,3 trilyun), dan Chelsea 542,50 juta euro (Rp 8,1 trilyun). Terdekat dengan Chelsea adalah Manchester City senilai 514,50 juta euro atau sekitar Rp 7,75 trilyun.

Kecuali Manchester City, keempat klub di atas ialah kampiun Liga Champion di lima isu terkini terakhir: Barcelona (2011 dan 2015), Chelsea (2012), Bayern (2013), dan Real Madrid (2014). Ada alasan lain yang menguatkan kepantasan mereka? Tentu. Bukankah para pemain mahal mereka mengkonfirmasi kelebihan dalam mengkreasi ilham di permainan?

Dalam cakupan lebih luas, sampai 2010 Bayern, Barca, dan Real mengokupasi 15 dari 24 posisi semifinal (62,5 persen). Ini sebuah dominasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Liga Champion. Besar saldo klub atau tingginya tagihan gaji dianggap menjadi pemicu kesuksesan paling positif di Liga Champion ketimbang di liga domestik.

"Walau tak ada garansinya, namun hadiah terbesar di simpulan kompetisi selalu ada di Liga Champion, bukan di liga domestik," kata Presiden Bayern, Karl-Heinz Rummenigge pada 2013, dikala kejutan di babak signifikan masih banyak terjadi. Namun kini, pandangan itu mulai berubah. Statistik semakin menjelaskan garansi sukses di liga domestik dan Liga Champion.

Kasus PSV
 kalau perlu terkaya yang pantas menjuarainya Harga Skuad Menentukan Juara
Tiga superstar lapangan hijau yang bernilai jual paling tinggi.
Musim ini posisi Atletico Madrid dalam tabel nilai skuad turun cukup dalam. Penyebabnya mereka tak lagi membeli pemain mahal sehingga tagihan gajinya berkurang. Namun sebagai ganjarannya, kreasi ide permainan atau potensi kemenangan jadi menciut. Prestasi pun mengkerut. Pada enam tahun terakhir, ada 18 klub yang menembus semifinal.

Namun semenjak Florentino Perez mendatangkan Cristiano Ronaldo pada 2009 senilai 94 juta euro, sekaligus mentahbiskan klubnya sebagai Los Galacticos, terjadi penyusutan di mana hanya 11 klub yang sukses menembus empat besar Liga Champion. Setelah usianya bertambah enam tahun, nilai Ronaldo kini malah membubung menjadi 120 juta euro.

Gabungan nilai Ronaldo ditambah Lionel Messi, yang juga ditaksir sama 120 juta euro, sebesar 240 juta euro setara dengan 20 klub akseptor Liga Champion animo ini (lihat tabel Harga Skuad). Akumulasi atau konsentrasi bakat selalu menaikkan posisi klub pada kuadran yang seharusnya. Jangan harap dengan membeli pemain murah dan bergaji kecil, mereka akan naik kelas.

Prestasi di Liga Champion tiba dari efek seperti itu. Lihatlah masalah PSV Eindhoven. Pada kurun 1980-an hingga awal 1990-an, mereka klub papan atas Eropa yang karenanya meraih puncak prestasi dengan titel di 1988. PSV selalu ditaburi bintang mahal dengan honor tinggi. Mulai dari Ruud Gullit, Ronald Koeman, Romario Faria sampai Luiz Ronaldo.

Memasuki tahun 2000-an, PSV mulai memasuki kala stagnasi, yang hingga di dekade kedua ini belum mampu juga bersaing di Eropa. Penjualan beruntun Arjen Robben, Ruud van Nistelrooij, Mateja Kezman, Mark van Bommel, Park Ji-sung, Kevin Strootman, Georginio Wijnaldum sampai Memphis Depay langsung meruntuhkan dominasi dan kuadran mereka.

PSV terlalu berat untuk me-restart skuadnya yang menjadi sumber kesulitan untuk mampu bangkit lagi di Eropa. Hal yang sama terjadi pada Ajax setelah kurun emas di tangan Louis van Gaal di pertengahan 1990-an serta generasi Wesley Sneijder di awal 2000-an. Imbasnya, generasi penggemar bola yang kini tidak lagi menoleh kehebatan mereka mirip dulu.

Memelihara sejarah dan tradisinya, menjaga konsistensi dan posisinya menjadi kelebihan Real Madrid, Barcelona serta Bayern Muenchen di level Liga Champion. Sementara yang lain di bawah mereka. Ada yang memulai bangkit lagi mirip Manchester United atau Juventus, ada yang mengecil putaran bisnisnya mirip PSV, Ajax, Porto, dan seterusnya.

BINTANG TERMAHAL/KLUB (dalam juta euro)

Nama
Nilai jual
Lionel Messi (Barcelona)
120
Cristiano Ronaldo (Real Madrid)
120
Eden Hazard (Chelsea)
70
Sergio Aguero (Manchester City)
60
Paul Pogba (Juventus)
55
Thomas Mueller (Bayern Muenchen)
55
Alexis Sanchez (Arsenal)
55
Angel Di Maria (Paris Saint-Germain)
55
Koke Merodio (Atletico Madrid)
50
Wayne Rooney (Manchester United)
40
Hulk Givanildo (Zenit Saint-Petersburg)
37
Alexandre Lacazette (Olypimque Lyon)
30
Ricardo Rodriguez (Wolfsburg)
28
Radja Nainggolan (AS Roma)
27
Nicolas Gaitan (Benfica)
27
Enzo Perez (Valencia)
25
Andriy Yarmolenko (CSKA Moskva)
24
Alex Teixeira (Shakhtar Donetsk)
23
Lars Bender (Bayer Leverkusen)
22
Roman Eremenko (CSKA Moskva)
20
Evgen Konoplyanka (Sevilla)
20
Granit Xhaka (Borussia Moenchengladbach)
20
Yachine Brahimi (FC Porto)
18,5
Fernando Muslera (Galatasaray)
17
Jetro Willems (PSV)
10
Roberto Jimenez (Olympiakos)
8
El Arabi Hillel Soudani (Dinamo Zagreb)
5
Moses Simon (KAA Gent)
4
Eren Zahavi (Maccabi Tel Aviv)
3
Magnus Wolf Eikrem (FC Malmoe)
2
Fexi Kethevoama (FC Astana)
2
Denis Polyakov (BATE Borisov)
1,6

HARGA SKUAD (dalam juta euro)

Klub
Nilai Total
REAL MADRID
715,5
BARCELONA
657,5
BAYERN MUENCHEN
559,1
CHELSEA
531,75
MANCHESTER CITY
480,85
PARIS SAINT-GERMAIN
403,65
ARSENAL
402
JUVENTUS
388,1
MANCHESTER UNITED
377,25
ATLETICO MADRID
340,5
VALENCIA
262,5
ROMA
258,6
WOLFSBURG
205,65
ZENIT ST-PETERSBURG
190,4
BAYER LEVERKUSEN
189,15
SEVILLA
172
OLYMPIQUE LYONNAISE
170,6
PORTO
165,6
BENFICA
153,3
CSKA MOSKVA
152,65
BORUSSIA MOENCHENGLADBACH
144,4
SHAKHKTAR DONETSK
140,1
DYNAMO KYIV
123,25
GALATASARAY
123,25
PSV EINDHOVEN
96,3
OLYMPIAKOS
88,5
DYNAMO ZAGREB
48,25
KAA GENT
47,9
MACCABI TEL AVIV
21,55
MALMOE
20,8
BATE BORISOV
18,2
ASTANA
14,5

(foto: sportcabal/deportes.elpais)

Tuesday, October 6, 2015

Visi: Kisah Albania (1)

SALAM hormat untuk para pendatang gres di Piala Eropa 2016 ialah Islandia, Wales, Irlandia Utara, dan Slowakia. Tapi mohon maaf, selama di Prancis nanti barangkali sorotan pada mereka tidak seterang Albania, yang juga jadi debutan. Tiada keingintahuan paling dicari-cari saat berlangsung di ajang paling bergengsi kecuali dongeng dongeng dari sebuah negeri unik.
SALAM hormat untuk para pendatang baru di Piala Eropa  Visi: Dongeng Albania (1)
Bukan dongeng lagi Albania tampil di Piala Eropa 2016.
Yang perlu dicatat, ini bukan kisah unik dari negeri dongeng. Republik Albania alias Shqiperia, wilayah di jazirah Balkan seluas 28.748 km2 atau kira-kira separonya Provinsi Aceh, akhir Oktober kemudian menggegerkan jagat sepak bola berkat aksi fenomenal: untuk pertama kalinya sepanjang sejarah lolos ke turnamen akbar berupa Piala Eropa 2016 di Prancis. 

Bayangkan ungkapan dan reaksi rakyat. Pasalnya seumur-umur nama Albania selalu tiarap bahkan terkubur di ajang Piala Eropa atau Piala Dunia. Jangankan itu, puluhan kali kualifikasinya saja menghasilkan juru kunci grup nan abadi. Rupanya mereka pantang mengalah mengais-ngais kesempatan. Minggu, 11 Oktober 2015 hasilnya menjadi waktu yang dinantikan-tunggu. 

Di tubruk terakhir Grup I, Shqiponjat (Si Elang) – julukan timnas Albania – membekap tuan rumah Armenia 3-0 di Yerevan. Kemenangan heroik ini melambungkan posisi mereka sebagai runner-up di bawah Portugal sekaligus menggeser posisi Denmark, yang kena apes usai kans lolos otomatis tewas di tangan Cristiano Ronaldo dkk. 0-1 di Braga, tiga hari sebelumnya. 

Belum lagi unjuk gigi di Prancis, banyak orang masih ingin tau dengan Albania, negara tirai besi yang tersisa selain Korea Utara. Mengapa tiba-datang mereka begitu piawai sampai bisa lolos ke Euro 2016? Bukankah di grup itu ada favorit Serbia yang punya pemain beken mirip Aleksandar Kolarov, Aleksandar Mitrovic, Branislav Ivanovic, Nemanja Matic atau Dusan Tadic? 

Orang pantas penasaran mencari kunci sukses Shqiponjat yang sejak 2011 dibesut seorang pelatih kapiran dari Italia, Giovanni De Biasi. Benarkah kekuatan misterius di UEFA yang membelokkan sejarah. Pasalnya kejutan Shqiponjat membuat outcome Grup I meleset dari prediksi awam. Lolos: Portugal dan Albania. Playoff: Denmark. Tersingkir: Serbia dan Armenia. 

Buat FSHF (federasi sepak bola Albania), lolos ke ajang akbar yakni yang pertama kali semenjak dibentuk pada 1930. Sepanjang hidupnya, Albania berkelas taruna di benua biru. Mereka cuma pernah ikut Kejuaraan Eropa U-18 pada 1982 serta Kejuaraan Eropa U-16 pada 1994. Pendek kata, sukses tim Kuq e Zinjtë (merah dan hitam) pantas mengagetkan banyak pihak. 

Lolos ke Prancis 2016 merupakan harapan faktual mantan negeri jajahan Turki yang memerdekakan diri pada 28 November 1912. Hampir semua rakyat turun ke jalan. Bukan untuk berdemo, namun merayakan pujian dan melepaskan perasaan nasionalisme juga jepitan ekonomi dengan main petasan, joget, bernyanyi, dan memuja-muji seluruh skuad Shqiponjat. 

Ingat Albania ingat Enver Halil Hoxha. Ini bukan merek rokok atau kedai kopi. Dia berwujud manusia, ada kepalanya, tepatnya seorang diktator ulung yang memerah-hitamkan Albania selama 41 tahun. Aslinya Hoxha itu sekretaris Partai Buruh. Namun secara de facto dia penguasa tunggal sejak 8 November 1941 hingga 11 April 1985, dikala rohnya benar-benar melayang. 

Di era rezim komunis Hoxha yang amat terkunci, setiap orang Albania dilarang keluar negeri, yang tertangkap tangan nakal sontak digiring ke gulag alias kamp kerja paksa. Yang merasa laki laki dihentikan berjenggot, karena katanya Albania bukan negeri relijius. Kalau masih nekat melawan, maka jenggot Anda akan dikerik paksa hingga licin di situ juga oleh Sigurimi, polisi rahasia. 

Kehidupan Albania yang jumlahnya tidak di bawah 3 juta jiwa di kala kemudian kira-kira seperti Korea Utara sekarang. Dilihat dari peta, negara bernama tulen Republika e Shqiperise ini cuma punya pandangan luas Laut Adriatik yang nun jauh di seberang sana bangkit Italia. Tetangga bersahabat mereka yang dari Balkan kebanyakan tidak ramah. Masedonia, Montenegro, dan Yunani. 

Walau Hoxha telah berada di alam lain, namun Albania baru merasa bebas usai Tembok Berlin roboh pada 1989. Sampai sekarang pun masih ada kejanggalan lain di negara beribukota Tirana ini. Misalnya, seperti dengan Korea Utara, Albania adalah secuil wilayah yang tak pernah nonton Premier League. FA melarang menjual hak siar karena di sana sarangnya pembajakan. 

Namun gara-gara sukses tim Shqiponjat bisa jadi efeknya akan berbeda. Lagi pula kapten nasional Lorik Cana pernah 35 kali membela Sunderland di demam isu 2009/10. Cana, 32 tahun, kini merumput di Nantes di Prancis. Rudi Vata, bek Celtic selama empat musim di abad 1990-an, juga orisinil Albania. Tapi paling populer terang Adnan Januzaj, pemuda Manchester United. 

                                                         *******
SALAM hormat untuk para pendatang baru di Piala Eropa  Visi: Dongeng Albania (1)
Lorik Cana, kapten nasional dan Shqiponjat, elang yang jadi maskot.
PEMAIN berusia 20 tahun yang disewa Borussia Dortmund itu juga orang Albania, blasteran Kosovo. Tapi secara waras, beliau lebih memilih timnas Belgia. Kok? Begini ceritanya. Abidin Januzaj, bapaknya Adnan, pada 1992 kabur sejauh-jauhnya melintasi banyak negara sesudah di-uber-uber kepetangan untuk dijadikan wajib militer atau Sigurimi. 

Abidin akibatnya menetap di Belgia, berkeluarga, punya rumah sampai lahirnya Januzaj tiga tahun kemudian. Kala status kewarganegaraannya belum jelas, tapi alasannya adalah punya akte kelahiran yang dicap rumah sakit di Brussels, Januzaj mampu ditarik tim nasional Belgia atau Les Diables Rouges. Tak usang barulah beliau resmi diberi KTP Belgia. Inilah kesaktian futbollit alias sepak bola! 

Kembali soal imbas sukses Shqiponjat. Bukan Inggris atau Belgia yang jadi sarang pesepak bola Albania. Paling banyak justru di Italia. Soalnya dengan modal berani separo nekat, mereka mampu menyeberangi Laut Adriatik dengan bahtera untuk hingga di pelabuhan Bari atau Lecce. Di awal 2000-an, nama Igli Tare jadi satu-satunya attacante Albania paling jempolan bin terkenal di Serie A. 

Setelah sempat melanglang di Brescia dan Bologna, Tare hinggap di Lazio hingga gantung sepatu. Kini dia bekerja jadi supervisor di Lazio. Erjon Bogdani pernah tampil di Reggina dan Chievo. Trah Albania di Serie A kini dilanjutkan Erit Berisha (Lazio) dan Elseid Hysaj (Napoli). Albania memang lebih akrab dengan Italia, sobat fasis-nya, sejak dari zaman Mussolini. 

Keakraban Italia-Albania menghipnotis kenapa De Biasi mau melatih Shqiponjat, dan Shqiponjat juga yakin dengan orang yang sebelumnya nyaris tiap tahun dipecat itu. Kini hubungan mereka kekal selama empat tahun. Ada ratusan pemain berdarah Albania di semua divisi di Italia, dan mungkin lima ratusan di seluruh Eropa. Tapi mayoritasnya menentukan mirip Adnan Januzaj. 

Jadi pengkhianat bangsa maksudnya? Eit, tunggu dulu. Kini dunia tak dibatasi melulu oleh negara tetapi kemampuan, keterampilan atau keahlian. Budaya ekspatriat dan profesional berkembang kian jago. Kisah Januzaj yang lebih memilih membela Belgia yakni globalisasi. Sebenarnya tren ini sudah terjadi puluhan, entah ratusan tahun di segala kehidupan. 

Istilahnya saja yang belum ada. Sadarkah Anda ketika mahafisikawan Albert Einstein yang ‘kabur’ dari Swiss pada 1945, begitu mendarat di AS sudah jadi KTP barunya? Lalu bedahlah formasi profesional di Google atau skuad sampai board of directors di Arsenal. Owner: AS dan Rusia. Direktur: AS, Inggris. Manajer: Prancis. Skuad: belasan bahkan puluhan negara. 

Di luar Januzaj, ada nama-nama cukup dikenal seperti Valon Behrami (Watford), Blerim Dzemaili (Galatasaray/Genoa), Xherdan Shaqiri (Stoke City) yang berdarah Albania tapi ketiganya dicomot timnas Swiss, kemudian jadi warganegara resmi di sana. Diduga jumlah seperti mereka akan bertambah banyak di kala depan seiring dengan kebangkitan futbollit dari Albania. 

Di tim Black Eagle kini, skuad De Biasi amat kosmopolitan alasannya adalah datang dari Jerman, Prancis, Swiss, Italia atau Yunani. Mereka masih muda namun sarat pengalaman. Sebut saja Berat Djimsiti (22) atau Ergys Kace (22). Di tangan De Biasi dan berbekal generasi baru ranking FIFA Albania terus melonjak yang enam tahun kemudian di kelas 90-an kini di 32 besar dunia. 

Di sepak bola mereka mampu dibilang sekelas dengan Denmark lantaran tim Dinamit itu sudah dua kali tidak mampu menang. Black Eagle juga pernah mengalahkan Portugal dan Prancis. Saat patung-patung Hoxha disingkirkan, yang berarti makin membuka peradabannya, seketika itu pula panorama alam Albania kian indah dan terurus sebagai sumber devisa di pariwisata. 

Kondisi ini pantas bikin iri para tetangganya yang kebanyakan masih hobi perang. Mereka melamun berat setelah tahu di dalam bumi Albania juga berisi bauksit, batu bara, tembaga, gas alam sampai minyak bumi. Lalu lanskap alam yang diapit pegunungan, bahari, dan daratan melahirkan puluhan danau yang menjadi sumber tenaga listrik yang dapat dijual ke investor ajaib. 

Pergaulan Albania dengan tetangga seperti Montenegro, Masedonia, atau Yunani terbilang adem ayem. Tapi tidak demikian dengan Serbia. Gara-gara saling cari pengaruh politik di Kosovo, emosi keduanya kerap meledak. Gawatnya, dari hasil undian kualifikasi mereka malah sekandang di Grup I. Ini menjadi misteri mengingat UEFA dianggap melakukan pembiaran. 

Padahal salah satu ketentuan undian ialah mencegah negara-negara yang lagi konflik politik berada di satu grup. UEFA memilah Spanyol dengan Gibraltar, Armenia dengan Azerbaijan, Inggris dengan Irlandia Utara namun luput memisahkan Serbia dengan Albania yang tengah terlibat perang di Kosovo. Apakah organisasi sebesar UEFA lupa pada sejarah?
                                                             ******* 
SALAM hormat untuk para pendatang baru di Piala Eropa  Visi: Dongeng Albania (1)
Tragedi berdarah di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014.
SERBIA adalah intisari Yugoslavia, republik komunis yang dipimpin oleh Josip Broz Tito. Kematian Tito pada 1980 dan rubuhnya Tembok Berlin pada 1989 mempercepat pecahnya Yugoslavia mulai 1992 menjadi Serbia, Kroasia, Slovenia, Masedonia, Bosnia, Montenegro serta dua otonomi yang jadi sengketa hingga sekarang, Kosovo (vs Albania) dan Vojvodina (vs Kroasia). 

Saat Tito masih hidup, di wilayah itu cuma ada tiga negara; Yugoslavia, Albania dan Yunani. Awal permusuhan Serbia vs Albania tiada lain gara-gara perbedaan pedoman komunis. Hoxha penganut komunis Cina pimpinan Mao Tse-tung, sedangkan Tito bermazhab komunis Uni Soviet. Saat berkuasa, beliau menganggap Albania cuma kurcaci melihat betapa luas negaranya. 

Isu Kosovo plus sejarah jelek masa kemudian terlalu sulit dicegah untuk tidak meledak saat mereka bersua pertama kali di penyisihan Piala Eropa 2016, di Stadion Partizan, Beograd, 14 Oktober 2014. UEFA gres merasa bersalah atas ‘ulahnya’. Inilah awal cerita cerita Albania, sebuah negara terkucil tanpa tradisi sepak bola yang mulai dikenal karena sepak bola. 

Tanda-tanda duel mereka pertama kali itu bakal rusuh sudah terendus sejak awal. Tuan rumah melarang suporter Albania tiba ke Serbia karena tidak mau menjamin keselamatan mereka. Di sisi lain ada kejanggalan. Pihak Serbia juga meminta tim Albania hanya membawa perlengkapan standar dari pada mampu kesulitan di bandara. UEFA terjebak dalam situasi dilematis. 

Ketika menuju stadion, bus tim Albania disambut hujan timpukan kerikil sekepal tangan bahkan pecahan beton! Urung saja beling bus pun remuk. Tiada yang namanya keramahan. Polisi dan petugas tampak tidak maksimal melindungi. Di mana-mana terdengar hardikan, makian atau ancaman penuh teror dari fan Serbia: "bunuh orang Albania, bunuh orang Albania!" 

Di dalam stadion, koin, korek gas, atau kerikil baterai dilemparkan ke lapangan ketika Shqiponjat melakukan pemanasan. Saat pemain Albania berbaris menyanyikan lagu kebangsaaan, para perjaka Serbia itu kembali meneriaki “bunuh Albania!” sambil bersorak keras “boooe” dan memukuli drum kosong sehingga melengkapi penistaan kedaulatan sebuah negara. 

Di menit 15 teror pertama muncul. Roket kecil menghujam lapangan, membakar rumput. Di menit 25 tiba-tiba bendera Yunani dikibarkan grup ultras Serbia. Yunani geram pada Albania sebab merasa garis perbatasannya telah diserobot. NATO sukses mengancam Yunani agar tidak bikin onar. Mungkin itulah ada bendera NATO yang dibakar suporter Serbia. 

Wasit Inggris Martin Atkinson tampak bergidik menyaksikan insiden. Di menit 35, giliran gelandang Albania, Ansi Agolli, kena sambit petasan saat bersiap ambil sepak pojok. Ia tergeletak tapi tetap ditimpuki. Asisten wasit ikut kena getahnya. Sambitan mereda setelah pemain Serbia, Danko Lazovic dan Aleksandar Kolarov turun tangan. Namun tensi terus melesat. 

Di menit 40, kondisi lapangan berubah seperti daerah sampah karena penonton semakin kesetanan main lempar barang apa saja untuk melukai pemain Albania. Atkinson makin galau, pikirannya kisruh sesudah melihat sebuah botol melayang menimpa striker Albania, Bekim Balaj, yang eksklusif terkulai dengan kucuran darah dari belakang telinganya. 

Untuk meredakan ketegangan Atkinson malah mencoba melanjutkan pertandingan. Suasana terus menggila alasannya adalah di seluruh wilayah stadion, para penonton mencoba menerobos untuk menyerang pemain Albania. Walau tubruk berjalan namun simpel kedua tim sudah tidak konsentrasi lagi bermain. Sementara obor kecil, petasan dan benda-benda lain tak henti dilemparkan. 

Episode berikutnya justru kian menggetarkan jiwa. Tiba-datang muncul pemandangan tak lazim. Sebuah drone, semacam helikopter mini, melayang-layang di atas stadion. Yang bikin heboh drone itu membawa bendera besar yang digantungkan dengan tulisan dan peta “Greater Albania” yang sontak mengagetkan seisi stadion, terutama rakyat Serbia yang eksklusif murka. 

Apalagi ada gambar Ismail Qemali dan Isa Boletini. Siapa lagi mereka itu? Keduanya adalah tokoh proklamator kemerdekaan Albania, tokoh dan bapak bangsa Albania. Cerita bergeser liar tak terduga. Bek Serbia, Stefan Mitrović, pribadi berlari mengejar drone untuk merampas bendera. Sesi kedua kerusuhan pun dimulai, kelak akan membelokkan sejarah langgar. 

Tiba-datang dua bek Albania, Andi Lila dan Taulant Xhaka memburu Mitrović karena curiga dia akan merobek-robek bendera. Terjadi agresi kejar mengejar, namun malah Bekim Balaj yang sukses merampas bendera dari Mitrović. Para pemain Serbia dan Albania pun bersitegang. Setelah itu, pemandangan berikutnya sudah bukan tabrak sepak bola lagi. (bersambung) 

(foto: istimewa)