Wednesday, November 26, 2014

Catatan Ringan Ihwal Chelsea: John Neal

PENDUKUNG Chelsea sedunia seharusnya sering mengenang tanggal 28 April 1984. Meskipun kelahiran klub, yang pada 10 Maret 1905 itu terlihat lebih bersejarah, namun sebuah kejadian yang muncul 30 tahun lebih dicap sebagai tonggak baru, reborn, buat klub yang sekarang berkembang menjadi menjadi salah satu pilar utama atau simbol kapitalisme olah raga di London, dan juga di Inggris. 

John Neal.
Pendeknya tanpa momen itu tak mungkin, Anda akan mengasihi dan meletupkan mulut pada Chelsea seperti kini. Tanpa peristiwa tersebut, mustahil ada orang mirip Roman Abramovich, Jose Mourinho, Didier Drogba bla bla bla yang mau datang ke Stamford Bridge mengenakan kostum biru. 

Bahkan kejayaan tiga titel Liga Inggris, enam Piala FA, tiga Piala Liga, tiga Piala Community Shield, dua kali Piala Winner, serta sekali Piala Super Eropa, Liga Europa, dan puncaknya di Liga Champion pada 19 Mei 2012, harus mengarungi kejadian tadi. Ini ialah perjalanan sebuah takdir. Dan, pada kesannya tak mungkin sekarang Chelsea punya 400 juta fan sejagat seperti klaim CEO-nya, Ron Gourlay, September 2014 silam. 

Penggemar gres True Blue, yang disinyalir 90%-nya berusia 19-32 tahun – berkebalikan dengan julukan lamanya sebagai klub para pensiunan (The Pensioners) – seharusnya menghargai juga jasa seseorang terlupakan yang bernama John Neal, sama pentingnya seperti pada Kamerad Abramovich atau Senhor Mourinho. Tanpa Mr. John barangkali nasib Chelsea sekarang mirip Brentford atau Millwall, dua klub London yang sulit lagi menggapai piramida tertinggi sepak bola Inggris.

John Neal yakni manajer Chelsea pada 1981-85 yang menggagalkan nasib jelek Chelsea kejeblos ke Divisi Tiga pada animo 1982/83. Di simpulan animo itu, Chelsea hanya terpaut satu kemenangan dari Rotherham United, Bolton Wanderers, dan Burnley yang kesemuanya itu terlempar dari Divisi Dua. 

Di abad pra Premier League ini, hebatnya lagi Neal pula yang meloloskan lagi Chelsea ke Divisi Utama setelah merebut juara Division Two old pada 1983/84. Ibarat roda kehidupan, dikala itulah putaran nasib abad depan Chelsea rupanya ditentukan. Apa yang dilakukan John Neal pada dua ekspresi dominan yang paling memilih itu? 

Sejak terdegradasi dari Divisi Utama di musim 1974/75, reputasi Chelsea yang cuma sekali menjadi juara Inggris pada 1955, jatuh ke titik nadir. Klub ini mulai dilupakan orang, dan sakitnya lagi, juga dilupakan media massa yang berarti dilupakan dunia. 

Secangkir Kopi 

Sebuah kesebelasan ibukota yang pernah melahirkan bintang nasional Ron Bentley, Jimmy Greaves, dan Peter Osgood ini tak kuasa meladeni poros persaingan yang era itu sedang dikuasai Liverpool, Leeds United, atau Arsenal. Tak ada orang yang mau melatih Chelsea, tak ada orang yang peduli, kecuali itu tadi, para pensiunan! 

Sejak dulu, berkat lokasinya, Chelsea hanya didukung kaum manula dan golongan purnakarya yang tinggal di tempat elite London Barat. Chelsea hanyalah hiburan pengisi waktu senggang di hari libur, selain golf, baccarat, atau menonton polo. Yang tidak punya ambisi dan hawa nafsu lagi kecuali menghabiskan umurnya. Populasi mereka tidak banyak, pasif, dan memandang klub di wilayahnya itu sebagai identitas semu yang tidak memberi ruang mulut kecuali impresi. 

Neal hadir mendadak di Stamford Bridge, April 1981 usai pemecatan instruktur Geoffrey Hurst, si jagoan Inggris di Piala Dunia 1966. Pemilik klub ini yaitu Keluarga Mears, yang moyangnya yaitu pendiri Chelsea. Gara-gara harga baja yang meroket, mereka kehabisan duit usai pembangunan tribun East Stand. 
                                                       
Dengan bujet transfer yang amat minim bin mentok, Neal diwanti-wanti supaya bijaksana menggunakan dana pinjaman dari berbagai lintah darat yang siap memanfaatkan kesulitan Keluarga Mears. Pikir punya pikir, peminjaman pemain agaknya jadi sesuatu yang realistis ketimbang membelinya. 

Neal diwarisi skuad yang nyaris tanpa motivasi dan ambisi yang terperinci. Musim pertama Chelsea di bawah Neal sangat tidak berkesan kecuali kemenangan 2-0 di Piala FA atas juara Eropa, Liverpool. Stigma yang menancap di Chelsea waktu itu tidak lain sebagai klub yang banyak hutang, tanpa ambisi dan sekedar ada. Istilahnya bagai kerakap tumbuh di watu, mati segan hidup pun tak mau. 

Saking miskinnya, harga jual klub ini tidak melebihi secangkir teh. Diberi gratis pun orang masih berpikir seribu kali. Stadionnya masih utang, temboknya bolong-bolong sehingga mudah dilewati kucing garong apalagi tikus. Skuad-nya milik klub orang lain alias pemberian. Belum lagi tagihan honor pemain dan staf, serta biaya transportasi yang gali lubang tutup lubang. Semua ini hanya bisa ditutup tiap bulannya dari mengandalkan pemasukan tiket. Benar-benar berjudi. 

Turbulensi di Chelsea sungguh abnormal-gilaan, menyamai pesawat Hercules yang mati baling-balingnya. Dan catat, ini klub divisi dua pula. Yang menggoda cuma satu, lokasinya yang elite. Di bilangan segitiga Kensington - Knightsbridge - Notting Hill. Kalau di Jakarta, barangkali mirip di sekitaran Jalan Pakubuwono - Hang Tuah yang adem itu.

Sampai alhasil pada 1982 Kenneth William Bates, pengusaha kontraktor pemugar The Bridge yang bolong-bolong tadi, jadinya membeli klub itu hanya dengan harga 1 pound. Dibeli karena frustrasi membenahi bangunan dan memikirkan seluk beluk klub orang purnakarya ini. Bayangkan, Bates membelinya dengan harga secangkir kopi! 

Banyak yang bilang Bates sudah sinting dan hilang ingatan mengingat Chelsea dalam kondisi kritis dan krisis serta berisiko tercebur ke Divisi Tiga. Siap-siap saja hutang dan pajaknya makin bertumpuk. Bates seperti menjudikan hidupnya. Namun dalam hidup terkadang orang mesti mundur dulu selangkah biar bisa maju dua langkah. 

Ken Bates mulai mengubah pekerjaan, kebiasaan dan waktunya menjadi pengelola klub, dan beruntungnya, dia punya John Neal. Dalam bulan-bulan ke depan yang memilih, Neal sukses mencegah Chelsea jatuh ke lubang lebih dalam di divisi tiga, hanya di dua tabrak tersisa trend itu! Chelsea menang 1-0 di kandang Bolton dan bermain 0-0 lawan Middlesbrough di kandang sendiri. 

Bates menang “judi”, dan usaha pertama Neal pun, sementara akhir. Chelsea masih bokek memasuki trend 1983/84. Neal kembali harus menyewa pemain atau membeli pemain termurah, yang berisiko seperti menerima kucing dalam karung. Sudah pasti nama-namanya gila dan asing-asing. Salah satu nama yang patut dicatat yaitu Pat Nevin. 

Ditolak Glasgow Celtic, Neal buru-buru menggaet penyerang bertipe “Eden Hazard” dalam bentuk lawas. Nevin – yang disapa Wee Pat – seakan-akan jimatnya Neal. Memulai dengan mencukur Derby County 5-0, Chelsea sukses meraih lima kemenangan di 6 sabung perdana. Malahan merangkak jadi 13 di 17 partainya dan belum terkalahkan. 

Neal juga melahirkan “legenda” lain yang boleh jadi tidak dikenal oleh Chelsea-mania kini. Salah satunya Paul Canoville, pemain kulit gelap pertama sepanjang sejarah di Chelsea. Gelandang sayap ini dicomot dari klub tarkam Hillingdon Borough. Ini risiko besar buat Neal mengingat pendukung Chelsea kebanyakan golongan sayap kanan yang dikenal pemuja rasisme. 

Benar saja, di banyak sekali waktu Canoville menerima perlakuan tak manusiawi saat tampil bersama Chelsea. Konyolnya lagi pendukung Chelsea juga ikut-ikutan menghina. Lebih parah lagi, di kamar ganti sendiri pun, Canoville sering “di-bully” dan dihina oleh pemain Chelsea sendiri! Alamak. Karena dirinya masih yakin sebagai manusia, tak urung Canoville berancang-ancang untuk hengkang. Di saat yang tepat, dengan bijaksana Neal tiba membujuk seraya memberi tips untuk melupakan hal itu dengan berkata: “Abaikan semuanya itu Paul, yang lebih penting yaitu kamu digaji tetap!” Di lalu hari Canoville berandil besar meloloskan Chelsea ke Divisi Utama di berkelahi penentuan. 

Pembelokan Sejarah 

Sabtu 28 April 1984 menyerupai hari koronasi buat Neal. The Bridge yang rata-rata dikunjungi 15 ribu orang, kali ini disesaki 33.447 penonton, sepertiganya yaitu fan Leeds United, lawan Chelsea di langgar ke-38 Divisi Dua. Gejala bakal ada perayaan ajaib-gilaan terlihat ketika Chelsea unggul 3-0 di babak pertama. Tiba-datang jumlah penonton membludak hingga 50-an ribu orang! Ken Bates terpaksa turun panggung. Memakai toa, dia minta supaya penonton jangan masuk lapangan di simpulan sabung. Tapi percuma. Usai Canoville bikin gol kelima di dikala injury-time, ribuan penonton menyerbu lapangan. Suasana kacau balau. 

Karena deg-degan, wasit pribadi menyudahi laga. Uniknya tak satu pun invader menemukan John Neal. Sebelum tubruk usai, rupanya dia menyelusup ke lorong sendirian. Berjalan tertunduk. Walau masih ada empat tabrak sisa, Chelsea dan juga Sheffield Wednesday resmi promosi ke Divisi Utama (“Premier League” sebelum 1992/93). Jelang trend 1984/85, Neal menjalani operasi jantung dan wajib beristirahat, tapi nyatanya dia tetap memandu timnya berlaga di Highbury menjumpai Arsenal di pekan pertama (1-1). Chelsea mengakhiri kompetisi secara fantastis dengan menduduki posisi 6 di atas Arsenal! Di final animo, Neal resmi meninggalkan gelanggang dengan alasan kesehatan. 

Hingga selesai hayatnya, ia menjadi penonton kehormatan di Stamford Bridge. Setiap saat beliau mampu merasakan kini Chelsea telah stabil. Minggu, 23 November 2014, John Neal telah berpulang selama-lamanya dalam usia 82 tahun. Klub berduka dan mengumumkan kepergiannya dengan testimoni di situs resmi. “Tak berlebihan jikalau dikatakan mungkin tidak ada kesuksesan Chelsea FC mirip kini tanpa kesuksesan John Neal dikala mengatasi segala krisis demi menempatkan klub ini sebagaimana mestinya.” 

“Beliau yakni budi sejati yang langka, kata Nevin dengan wajah muram, “bukan saja di sepak bola tetapi juga di kehidupan.” Canoville urun rembug: “Dia pembuat keputusan yang berani, melakukannya dengan benar serta memperlakukan pemain dengan hormat. Saya tidak bisa menemukan satu kata jelek pun darinya, dan tidak yakin ada orang yang lebih baik darinya.” 

Tuah sang mendiang masih ada. Dua hari sebelum pemakamannya, Chelsea tampil kesetanan di pentas Liga Champion dengan menghancurkan tuan rumah Schalke 5-0 di Gelsenkirchen, Rabu dinihari (26/11/2014). Menjelang berkelahi, skuat maupun fan Chelsea mengenang upaya hebat, kehalusan aksara serta kesederhanaan John Neal dengan cara masing-masing. 

Dari yang mulai mengheningkan cipta sampai membaca-baca Wikipedia tentangnya. Sejarah telah menulis begini: tanpa lakon Ken Bates, juga Pat Nevin, Paul Canoville yang amat signifikan, boleh jadi sejarah Chelsea akan berbelok. Namun tanpa orang ini tidak mungkin Roman Abramovich mau membeli Chelsea dan menyulap menjadi gemerlap. Dan jagoan yang terlupakan itu berjulukan John Neal. @riefnatakusumah, November 2014 

(foto: chelseafc)

Monday, November 17, 2014

Inilah Biang Keladi Semua Dilema Arsenal

HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permainan Arsene Wenger, adalah menggunakan seni manajemen tersirat dan energi tersurat. Dua hal itulah titik terlemah Arsenal. Jika ada yang belum bisa menang dari Arsenal, agaknya itu cuma kalah di bujet transfer saja. Tapi kini, Hull City dan Swansea City pun sudah bisa mempraktekkannya. 
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Ngotot memainkan gaya musik klasik di era modern? Silakan saja.
Berulang kali pertanyaan muncul. Bagaimana sih cara Wenger mengemas taktiknya? Apakah taktiknya sudah kadaluwarsa untuk menghadapi agresivitas sepak bola modern? Contoh paling baik mengeksploitasi strategi untuk membunuh gaya Arsenal dibuat Borussia Dortmund di Signal Iduna. Sejak awal, gairah heavy metal Juergen Klopp menyulitkan irama 'musik klasik' karya Wenger. 

Dortmund terlihat kelaparan, energik, dan penuh determinasi menekan Arsenal. Tekanan masif di 45 menit pertama menciptakan klub flamboyan ini sangat ketakutan, kebingungan, dan kehilangan iktikad diri. Apa yang diperagakan Die Borussen disebut Gegenpressing, bahasa Jerman untuk tekanan balik alias counter-pressing

Gaya ini sekarang mulai hot alasannya adalah menjadi senjata mutakhir beberapa klub top selain Dortmund. Namun yang paling perfeksi dilakukan oleh tiga besar Eropa: Real Madrid, Atletico Madrid dan Bayern Muenchen. Inilah cara paling efektif mempecundangi gaya flowing ala Arsenal, bahkan sanggup membunuh tiqui-taka khas Barcelona.

Jika di awal 2000-an, cuma ada satu-dua gelandang yang melakoninya, karena jadi peran khususnya, maka di dekade kedua milenium, hampir semua unit di lini tengah wajib melakukan. Dulu cuma Christian Karembeu (Sampdoria), Edgar Davids (Juventus), atau Gennaro Gattuso (Milan) yang sanggup. Bahkan pers Italia punya julukan untuk menyebut tipe gelandang yang kerjaannya meneror sepanjang waktu yaitu Cavallo Pazzo alias anjing ajaib atau juga pitbull.

Arsenal yakni klub tradisional Liga Champion, setidaknya 18 tahun terakhir. Namun kita cukup gundah melihat pendekatan Wenger yang tidak pernah berubah sepanjang waktu. Gaya efektif menekan lawan, atau menekan balik saat sedang ditekan, ternyata lebih menyakitkan untuk dirasakan ketimbang dibilang indah di hadapan mata. Dengan hampir pastinya mereka kembali jadi runner-up grup Liga Champion 2014/15, yang berarti kemungkinan besar akan bertemu tiga pahlawan tadi, perasaan skeptis jadi lumrah.

Jujur saja, barangkali lebih mujur andaikata Arsenal ketemu Barcelona ketimbang Atletico, Bayern, atau Real di babak 16 besar. Namun lolos pun dari situ, cepat atau lambat, tiga tim besar lengan berkuasa itu pasti datang. Setelah berkali-kali di-bebesin gaya Spanyol, kini rintangan terbaru Arsenal yaitu sepak bola Jerman dengan Gegenpressing-nya itu. Gaya yang tersuguh besar lengan berkuasa dan tangguh, bekerja sebagai tim, bertahan sebagai unit, serta memahami tujuan taktik bermain.

Di tangan Jupp Heynckess, pada isu terkini 2012/13 Bayern menyingkirkan Arsenal di 16 besar melalui permainan yang masterclass di Emirates. Mereka menang 3-1 meskipun kalah 0-1 di Allianz Arena. Arsenal makin hancur ketika Pep Guardiola ganti mengendalikan Bayern di isu terkini berikutnya. Arsenal kembali kalah 0-2 di Emirates dan bermain imbang 1-1 di Allianz Arena. Makin faktual sudah bahwa acuan Arsenal Way tidak berdaya mengatasi gegenpressing apalagi plus tiqui-taka sekaligus.

Kalau gaya Jerman jadi kendala, ini sungguh ironis, alasannya makin memperlihatkan ketidakjelasan seni manajemen dan seni manajemen Wenger. Bukankah Arsenal diperkuat trio Per Mertesacker, Lukas Podolski dan Mesut Oezil? Betul, namun kecuali Mertesacker, manajer Prancis itu sudah menebar dilema duluan karena salah menempatkan posisi main Oezil, bahkan keseringan mencadangkan Podolski. Betapa kuno taktik Wenger mampu dilihat dari caranya menugaskan mereka main, atau melatih fisiknya.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Etihad.
Kita lihat determinasi dan kebugaran fisik Phillip Lahm, Thomas Mueller dan Mario Goetze, atau Bastian Schweinsteiger yang kalau tidak bertubuh atletis, niscaya bernafas kuda dan kasar serta serba bisa. Saat dipermak Dortmund 0-2 di Signal Iduna, September silam, kunci kemenangan diawali dengan duet Sven Bender-Sebastian Kehl yang menang bertarung atas Mikel Arteta-Aaron Ramsey. Sementara itu Kevin Grosskreutz ditugaskan untuk mengunci pergerakan sang kreator serangan, Jack Wilshere.

Klopp sangat hafal luar dalam dengan gaya Wenger yang juga menjadi idolanya. Parahnya lagi ketika itu Arsenal seperti bermain dengan 10 orang alasannya Mesut Oezil tidak berfungsi sama sekali. Setelah kekalahan itu, Wenger diserbu kritikan para pengamat dan media massa dari Inggris maupun dari Jerman alasannya tetap keras kepala menempatkan Oezil di sayap. Siapapun tahu, modal utama pemain sayap yakni kecepatan, dan Oezil bukanlah Theo Walcott atau Alex Oxlade-Chamberlain.

Menebak Nasib

Di Arsenal, pemain Jerman yang biasanya tampil mengalir dan universal, justru jadi kaku dan ragu-ragu. Berkebalikan dengan Schweini, Bender, Kroos, Goetze, Marco Reus, atau Andre Schuerrle yang ditempa dengan pas oleh Klopp, Guardiola, Carlo Ancelotti atau Jose Mourinho. Wenger yang dikenal ahli berinovasi kelihatannya sudah kehabisan inspirasi dan kehilangan eranya. Sekarang ia dalam yang mengejar, posisinya tertinggal di belakang gugusan instruktur yang lebih muda.

Kekalahan dari Swansea City 1-2, Chelsea 0-2 atau Dortmund 0-2 memperlihatkan kelemahan Arsenal menjalani taktiknya, serta yang paling mengkhawatirkan yaitu memberikan arogansi dan kepongahan Wenger ketika membawa timnya bertamu ke rumah orang. Sudah jadi rumusan dikala giliran away, maka konsep bertahan lebih mengemuka dibanding seni manajemen menyerang. Materi skuad Arsenal kini sangat jauh kualitasnya dibanding periode kejayaan The Invincibles 2003/04.

Ketika pola persaingan dan peta kekuatan sudah sedemikian rupa berubah, seharusnya Wenger harus memaksa diri untuk mencoba banyak sekali metode, planning A, planning B, dan seterusnya. Dengan Plan A tidak selamanya berhasil. Dia sudah tak punya lagi formasi paket ajal mirip Ashley Cole-Lauren, Sol Campbell-Kolo Toure, Patrick Vieira-Gilberto Silva, Robert Pires-Fredrik Ljungberg, dan Thiery Henry-Dennis Bergkamp serta Jens Lehmann di bawah gawang.

Dengan bahan pengganti Martin Keown, Pascal Cygan, Gael Clichy, Ray Parlour, Edu, Cesc Fabregas, Jose Reyes, Robin van Persie dan seterusnya, siapapun takjub dengan seni manajemen Wenger dan hanya nasib apes saja yang menggagalkan mayoritas tim ini untuk merengkuh titel Eropa pada 2006. Ironisnya, kekalahan 1-2 dari Barcelona di Paris pada selesai Liga Champion itu justru menjadi awal dari perjalanan titik nadir reputasi Arsenal. Setelah tragedi tersebut, kualitas Wenger pun mulai surut.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Anfield.
Tahu-tahu kini sudah musim 2014/15. Apa yang didapat Gooner sebagai modal pujian? Titel Piala FA? Turun kelas bila euforianya berlebihan. Jangankan titel Eropa, selama 9 animo Arsenal tak berdaya merenggut lagi jawara di Inggris. Parahnya lagi beberapa dilalui dengan hinaan sadis, dibejek Manchester United 2-8, dipermak Manchester City 3-6, di-bully Liverpool 1-5, serta ditelanjangi Chelsea 0-6. Barangkali tinggal menunggu, kapan giliran Tottenham Hotspur?

Menyimak aneka macam kekalahan tandang tersebut, termasuk dari Swansea, Chelsea dan Dortmund, kita makin sadar bahwa pola arogansi ala Wenger mampu terlacak dari strateginya di bursa transfer. Dengan minimnya pemain bertahan berkualitas yang ada, ditambah kesukaannya membeli pemain bertipe menyerang dan bukannya gelandang bertahan world class dan satu bek hebat pengganti Thomas Vermaelen, maaf,  musimnya Arsenal hampir bisa ditebak ada di mana.

Mourinho, Ancelotti, Simeone, atau Guardiola tak pernah gegabah untuk menangguk gol sebanyak-banyaknya di sangkar lawan. Tentu saja menang tetap jadi target. Namun mereka sadar semuanya akan dilalui oleh pertarungan taktis yang ketat sehingga skor dengan selisih satu saja biasanya sudah jadi dambaan. Andai selisih golnya lebih dari itu, boleh jadi itu merupakan hadiah dadakan sebab terbantu oleh kesalahan lawan atau keberuntungan yang datang-tiba.

Mereka tak pernah mau bermain open play seperti ketika menjadi tuan rumah. Seringkali line-up juga suka berubah-ubah, tak seperti yang biasa dilihat. Semakin berat kualitas lawan, biasanya semakin 'aneh' pula komposisi tim utama tergantung siapa lawannya, tradisi pertarungan, atau nilai pertandingan itu sendiri. Ini yang tak langka terjadi di Arsenal. Lawan Barcelona atau Stoke City, main di Emirates atau di Old Trafford, tak ada Plan B atau komposisi kejutan yang bisa dibutuhkan dari Wenger.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Stamford Bridge.
Begitu juga dari persiapan teknis. Hampir tidak pernah Wenger mengajak seluruh pemainnya ke dalam ruangan untuk menganalisis rekaman pertandingan dari tim yang akan dihadapi. Memberi instruksi, diskusi, menganalisis titik kekuatan dan kelemahan lawan secara visual sehingga tahu apa yang akan dilakukan nanti di hari H. Padahal kata Sun Tzu dalam The Art of War, "kenali dirimu kenali lawanmu, 1000 pertempuran, 1000 kemenangan."

Motif dan Alasan

Wenger terlalu sibuk untuk membenahi apa yang harus dilakukan pemainnya nanti, amat tidak seimbang dengan penelahaan mana titik kelemahan lawan atau apa yang akan lawan lakukan. Dia sangat berbeda dengan Sir Alex Ferguson. Dalam buku My Autobiography, Ferguson menyampaikan: "Ketika melawan Arsenal, aku butuh pemain yang bisa intersep bola dan memotong umpan mereka, sebab di situlah kekuatan Arsenal. Setelah itu lakukanlah serangan balik cepat."

Jangan lagi Mourinho atau Klopp yang membenarkan ucapan itu. Sekarang seorang Steve Bruce atau Garry Monk saja mulai fasih melakukannya! Ketika akan menghadapi Arsenal, seperti mereka selalu melaksanakan ucapan Sun Tzu yang satu lagi, "Jika Anda jauh dari lawan, buatlah mereka percaya bahwa Anda sudah akrab." Pendek kata, Wenger sangat sibuk dengan diri sendiri tanpa pernah mau tahu apa yang akan dilakukan Mourinho atau Klopp kepadanya. Sungguh naif.

Dalam laga tingkat tinggi, Anda mesti menyiapkan tim dan menganalisis lawan. Semuanya, termasuk berbagai dampaknya apabila terjadi kemenangan atau kekalahan. Dengan begitu, tujuan latihan atau persiapan akan berfokus kepada lawan, bukan kepada diri sendiri atau penampilan tim sebab tujuan utama mereka adalah mengalahkan lawan. Benar? Mourinho adalah masterclass di setiap waktu. Buat ia, apapun kelemahan pasukannya akan terkoreksi jikalau lawan sudah dikalahkan.

Dalam konteks permainan, jangan melebarkan topik ke arah lainnya, mampu dipastikan Mourinho ialah master strategi sebab kesukaan dan kesuksesannya mempelajari lawan dan menyiapkan seluruh elemen timnya untuk menghadapi lawan. Tidak demikian dengan Wenger. Celakanya, gara-gara kelemahan ini dampak hebat mampu terjadi. Wenger ditinggal pemain terbaiknya, alasannya adalah frustrasi keseringan kalah. Katakanlah Robin van Persie, Samir Nasri, termasuk Cesc Fabregas dulu.

Gaya yang ditampilkan Wenger tidak cukup untuk memenuhi ambisi Arsenal meraih titel, apalagi di level di Liga Champion. Singkat kata, dua pokok persoalannya yaitu kedalaman taktik dan strategi transfer. Pertanyaan seriusnya adalah sampai kapan Wenger terus begini? Tertinggal belasan poin dari pemuncak klasemen ialah persoalan serius bicara soal target. Jika ia terus arogan dengan pendiriannya, maka artinya tujuan Arsenal, juga tujuan pendukungnya, telah dikorbankan.

Terlalu mementingkan filosofi merupakan duduk perkara lain Wenger, sebab tidak selamanya tujuan bisa dicapai hanya dengan filosofi. Apakah Wenger mementingkan kebanggaan? Sama juga. Tujuan tidak diraih dengan pujian. Naifkah beliau? Kalau melihat dari ucapan atau penampilannya, rasa-rasanya tidak. Lugu di perilaku mental boleh jadi memang ada. Keras kepala barangkali? Nah, ini yang hampir niscaya.

Bagaimana mungkin Arsenal mau bersaing di Eropa dengan gelandang bertahan yang kelasnya Arteta atau Flamini? Dari rapor dan statistik, takdir keduanya boleh jadi sudah mampu terendus. Chelsea punya jangkar Nemanja Matic-Fabregas, Manchester City diisi duet Yaya Toure-Fernandinho, Liverpool punya Steven Gerrard-Jordan Henderson. Jika levelnya dinaikkan, maka apa yang dimiliki para jagoan Eropa, sehabis melihat materi lini vital Arsenal itu hati jadi melas, miris, dan nelangsa.

Ramsey dan Wilshere belumlah, mereka masih perlu seseorang yang setiap ketika memberinya acuan langsung, role model. Jika saja Wenger mau mengambil Fabregas lagi, maka perannya terperinci sebab baik Ramsey atau Wilshere amat memuja mantan kapten dan bekas legenda Arsenal tersebut. Sejak cukup umur, Ramsey dan Wilshere tumbuh berkembang bersama Fabregas. Namun hanya alasannya adalah kebablasan bereuforia dengan Mesut Oezil, Wenger telah menutup pintu masukan lain.

HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Kelahiran sejarah pembantaian Arsenal di Old Trafford pada 2014.
Entah terlambat atau tidak, Arsenal masih punya kesempatan untuk mengubah garis nasibnya. Seorang gelandang bertahan, bila perlu yang bertipe baja, harus didatangkan berapapun harganya. Banyak yang mengusulkan agar Sami Khedira atau Blaise Matuidi segera dibeli pada transfer Januari mendatang. Juga sesosok bek tengah kelas dunia, yang belakangan santer disebut-sebut beliau adalah Mats Hummels. Sekarang uang bukan dilema lagi buat Opa Wenger, kecuali sikapnya itu tadi.

Beda Kualitas

Rasanya terlalu sederhana membahas masalah teknis di badan Arsenal, dan tampaknya memang bukan dari situ menemukan jawaban sucinya. Mikel Arteta itu pemain kelas rata-rata; di mana 9 dari 10 fan Arsenal akan mengangguk setuju. Isu transfer Sami Khedira atau William Carvalho cuma jadi isu. Kembali berhitung untuk membarter langsung Chris Smalling dengan Thomas Vermaelen juga bikin hati mangkel. Lucunya, si opa bau tanah perlu 'dikudeta kecil' karena nama Danny Welbeck tak pernah terlintas di benaknya, namun, aneh, ada yang mengirim uang transfer tanpa persetujuan Wenger!

Secara teknis operasional, itulah intisari informasi pentas transfer Arsenal 2014 yang kata banyak pengamat satu-satunya paling mahir yaitu merebut Alexis Sanchez dari tangan Liverpool. Wenger dulu beda dengan Wenger sekarang, semakin keras hati. Semakin ditekan, semakin membaja dan semakin ngawur. Secara akhlak ia tak mengakui ketidakinginan menarik Smalling melihat peran Nacho Monreal sekarang. Keberadaan Arteta, Flamini, sampai posisi main Mesut Oezil.

Kok Arsenal jadi selalu begini, penuh dengan intrik? Saat masih di Real Madrid (2010-13), Jose Mourinho tidak tahan untuk tidak mengomentari tanda-tanda keganjilan itu: "Anda tidak pernah boleh meremehkan Arsenal sebagai tim favorit juara di setiap animo. Lihatlah siapa saja mereka, Van Persie, Walcott, Fabregas, Nasri, Arshavin ... nama-nama mahir dengan kemampuan jago."

Pendek kata, kan ia cuma ingin mengatakan kok dengan materi seperti itu, mampu-bisanya Arsenal gagal juara sih? Jawabannya terperinci, Mourinho membayangkan siluet foto Wenger. Itu kegemasan orang yang andal bikin sejarah di sepak bola lho. Apa lagi yang awam? Berikut siapa, apa, dan bagaimana orang yang dimaksud Mourinho tersebut.

Saat datang di Arsenal pada 1996, Arsene Wenger diwarisi George Graham sekelompok tukang begal paling ditakuti di Inggris, lima sekawan Tony Adams, Martin Keown, Steve Bould, Lee Dixon serta Nigel Winterburn. Mereka sangat berkomitmen melindungi kiper David Seaman. Keenamnya pemain nasional Inggris, atau pernah membela The Three Lions.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Bould, Seaman, Adams, Dixon, dan Winterburn.
Inilah barisan pertahanan terbaik bentukan dan warisan George Graham, steel defending, fabulous four sepanjang sejarah The Gunners yang diantaranya jadi titisan tim Boring Boring Arsenal di kurun pra-Wenger. Istilahnya, separo skuat nasional Inggris sudah dijejali rombongan Highbury. Melihat kekompakan enam pemain beringas di garis pertahanan itu, memang alasannya faktor kebodohan pelatih nasional saja, yang dikala itu lagi dijabat Graham Taylor (1990-1993), karena pada Inggris gagal lolos ke Piala Dunia 1994 di AS.

Lantas pikiran pertama yang terlintas di kepala Wenger dikala datang ke Highbury itu yakni seorang calon petarung yang di AC Milan tersia-siakan, dialah Patrick Vieira, pria asal Senegal berusia 20 tahun. Wenger melihat dirinya dalam sosok Vieira, sebuah ilusi mampu juga obsesi. Tinggi mereka sama, sekitar 193-195 cm, posisi Wenger ketika jadi pemain juga sama, yaitu gelandang bertahan. Saking kesengsemnya dia tak perlu mengetes serius Vieira kecuali formalitas belaka.

David Dein

Di era awal rezimnya, Wenger juga dilimpahi trio timnas Inggris yang saling mengisi satu sama lain, rata-rata diantaranya bertipe artis. Paul Merson, pemabuk insyaf dan sengak tapi mahir mengkreasi serangan; David Platt gelandang tengah yang gemar bikin gol sesudah melaksanakan box to box; serta Ray Parlour, pekerja keras berambut gondrong yang sangat obsesif dengan Pele. Jika diimajinasikan sekarang, lakon Merson dijalani Jack Wilshere, Platt/Parlour diwakili Aaron Ramsey, sedangkan peran Vieira diisi Mikel Arteta. What? Pantas, minta ampun bila begitu.

Dengan formasi 3-5-2 atau 5-3-2 yang fleksibel, si opa Prancis juga dititipi duet penuh talenta di lini depan, adalah seorang pangeran lapangan hijau Belanda, Dennis Bergkamp, serta Ian Wright yang punya hobi memperdaya kiper dan bikin sewot pendukung lawan serta tukang gedor Three Lions. Di pertengahan jalan, Wenger sudah menyiapkan si anak jalanan dari Paris, Nicolas Anelka, sebagai pengganti bapaknya Shaun Wright-Phillips itu.

Ini tips khusus buat masyarakat Gooner sejati. Tariklah nafas Anda dalam-dalam; renungkan kenangan pada ke-13 pemain tersebut yang menjadi skuat awal Wenger, lalu hela nafas Anda pelan-pelan. Terbayang Arsenal 1996-97: sepuluh pemain nasional Inggris, seorang pangeran Belanda dan seorang laki-laki kurus Senegal yang berotot kawat. Seorang anak jalanan. Mereka ialah dua belas pria yang senang 'langgar' demi bola.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Seiring perjalanan waktu, kecerdasan Arsene Wenger mulai luntur.
Bandingkan dengan skuat terakhir sekarang itu, dengan cara head to head langsung. Misalnya Wojciech Szczesny dengan David Seaman, Tony Adams dengan Per Mertesacker dan seterusnya. Apa yang Anda dapat atau pikirkan wacana kualitas skuat Arsenal dulu dan sekarang? Arsenal 2013/14: lini belakang no comment; lini tengah no comment; lini depan tergantung lini belakang dan tengah.

Apalagi dalam dua tahun berikutnya, Wenger - yang dikala itu masih sangat cerdas dan mau mendengar masukan orang - mendatangkan Emmanuel Petit, Mark Overmars, Bisan Lauren, Bobby Pires, Fredrik Ljungberg, Thierry Henry serta Jens Lehmann, juga memoles Ashley Cole hingga jelas. Jujur saja, memang hanya seorang Sir Alex Ferguson yang mampu menggagalkan Arsenal mendominasi Premier League selama satu dekade.

Apa belakang layar itu semua? Semuanya berpulang kepada kecintaan, kepedulian serta perilaku profesional, terutama pada diri seseorang bernama David Dein; Gooner sejati, salah satu pemegang saham dan pebisnis yang segera menimbulkan Wenger sebagai sahabatnya di luar rekan kerja. Menurut banyak cerita, keduanya sering ribut di kantor, saling gebrak meja; namun di luar kantor tak jarang untuk ngopi, makan siang bersama, atau bahkan liburan keluarga bersama.

Jika mau sekalian tuntas, apakah pantas membandingkan tugas David Dein dengan Ivan Gazidis sekarang? Sayangnya sangat tidak mampu dibandingkan. Gazidis bukan pecinta Arsenal, no passion, kecuali pebisnis belaka yang dijadikan CEO oleh pemegang saham mayoritas (66,6%), Stan Kroenke. Pesaing pria AS itu sebagai pemegang saham terbesar berikut (29,25%) yakni Alisher Burkanovich Usmanov, milyarder muslim asal Uzbekistan yang ber-KTP Rusia, yang berjanji akan membawa Dein lagi ke Emirates bila sanggup mengakuisisi saham Kroenke.

Itulah saga Arsenal The Gunner dengan Arsene Wenger, jujur saja; sejatinya persekutuan mereka telah kehilangan makna, bulan madu pun seharusnya sudah berlalu, seharusnya diakhiri segera! Sumber problem mesti segera dibasmi. Ketika lakon kehidupan telah berganti, tujuan Arsenal justru terus disesatkan oleh imajinasi dan utopia yang tidak jelas arahnya. Inilah yang bikin sebagian orang geleng-geleng kepala.

(foto: express/scaryfootball/telegraph/1nildown2oneup/footballparadise/shoot)

Monday, November 10, 2014

Liga Ekstraklasa: Psikososial Warisan Sejarah

Eskalasi kerusuhan sepak bola Polandia sebangun dengan Inggris di era 1980 dan 1990-an. Malahan dikala onar di Inggris sudah mereda, bahkan sekarang nyaris punah di pentas Premier League, di Liga Ekstraklasa masih berlangsung terutama di laga derbi atau big-match atau wielki mecz - yang melibatkan empat klub raksasanya.
Eskalasi kerusuhan sepak bola Polandia sebangun dengan Inggris di era  Liga Ekstraklasa: Psikososial Warisan Sejarah
Salah satu pertunjukan mencekam dari Ustawka, gerombolan ultras.
Dahulu atmosfir berkelahi Cracovia vs Wisla Kraków sangat angker warga. Inilah langgar horor paling klasik di Polandia yang sudah ada sebelum Perang Dunia I. Saking sakralnya derbi sekota ini disebut swieta wojna, holy war alias perang suci. Bayangkan di tengah-tengah kontrol tentara Jerman pun, sesudah Polandia dianeksasi Nazi semenjak 1939, mereka hambar dan lupa dengan keadaan.

Pada 17 Oktober 1943, Krakow dilanda kerusuhan besar gara-gara perkelahiran berjam-jam kedua pendukung mulai dari dalam stadion sampai ke Ludminow di sentra kota. Kejadian ini rada mengagetkan tentara Schutzstaffel (SS) Nazi yang berpatroli. Namun kemudian mereka sengaja membiarkan saja amuk massa tersebut. “Syukur-syukur banyak yang mati,” harap mereka.

Kisah hooliganisme dilaporkan pertama kali secara terbuka pada 2 Juni 1935. Saat Cracovia dan Ruch Chorzów berlaga, para polisi dikabarkan kewalahan memisahi tawuran yang menjalar ke dalam lapangan. Pada 15 Juni 1936, harian Przegląd Sportowy sampai menghimbau klub Slask Swietochłowice biar bisa mengatur pendukungnya dan menjaga ketertiban umum.

Setelah dibebaskan Sekutu selepas Perang Dunia II, karut marut keributan sepak bola tak juga hilang. Pada 29 September 1947 di kota Sosnowiec, pada tubruk RKU Sosnowiec vs AKS Chorzów, terjadi pemandangan mengerikan ketika petugas pemadam kebakaran dan Milicja Obywatelska, polisi militer didikan Uni Soviet, menggiring 20.000-an orang keluar dari stadion.

Dengan memakai semprotan dan senapan, mereka coba menahan ribuan pendukung tuan rumah yang mengamuk sesudah RKU hanya menang 3-2 atas AKS sehingga gagal promosi ke divisi utama. Publik Sosnowiec yang tadinya mau menghajar wasit dan para pemain AKS, malahan banting stir dengan berperang dengan polisi selama dua jam lebih.

Karena ada rivalitas baka antar-etnis di balik kerusuhan antara Sosnowiec dan Chorzów, dilema pun mudah tersulut. Memang cuma seorang yang tewas, tapi puluhan korban terluka parah. Secara umum amuk massa sepak bola Polandia hingga 1960-an masih bersifat spontan dari permainan, tak menerima kekalahan atau gara-gara keseringan nenggak alhokol. Itu saja.

Fenomena berubah di kurun 1970-an. Efek dari Perang Dingin, rezim komunis yang represif serta kondisi sosial yang serba minus meletupkan kombinasi dahsyat kekerasan tontonan. Klub-klub dijarah pejabat negara dan komunitasnya dibajak untuk kepentingan penggalangan massa. Buntutnya, suporter beberapa klub sering bentrok, biasanya di bersahabat stadion atau stasiun kereta.

Di abad ini masyarakat mengenal istilah szalikowcy, bahasa lokal untuk bilang “pendukung fanatik”. Seorang wartawan, Grzegorz Aleksandrowicz, lalu mengenalkan istilah “fan clubs” untuk mempopulerkan keberadaan mereka sekaligus klub-klub Polandia di Eropa. Namun sejak awal 1980-an dihentikan keras oleh rezim baru penguasa militer alasannya adalah dirasa bisa memotret situasi negara.

Uniknya di balik sikap antipati antar suporter klub, muncul pula aliansi antar pendukung yang bertujuan saling dukung dan cari pengaruh. Mereka memilih satu klub yang paling sejalan. Misalnya aliansi Legia Warszawa dan Zaglebie Sosnowiec atau Polonia Warszawa dan Cracovia. Persekutuan tertua diketahui antara loyalis Slask Wroclaw dengan Lechia Gdanks pada 1977.

Ketika Ruch Chorzow bertanding melawan Lomba Kompetensi Siswa Lodz, 3 Mei 2004, grup radikal mereka yang bernama “Psycho Fans” menerima pertolongan tenaga dari para pendukung Widzew Lodz, musuh bebuyutan Lomba Kompetensi Siswa. Bentrokan pendukung tiga klub dan polisi di stadion Miejski itu menghasilkan ratusan korban termasuk para polisi, 55 orang diantaranya dibawa ke rumah sakit.

Kelakuan Legionisci
Eskalasi kerusuhan sepak bola Polandia sebangun dengan Inggris di era  Liga Ekstraklasa: Psikososial Warisan Sejarah
Aksi Szalikowcy Legia, grup fanatik Legia Warszawa. Punya faksi menakutkan, Jihad Legia.
Tawuran penonton di Polandia memang tak mengenal medan. Contohnya jelang simpulan Piala Polandia antara Legia vs Lech Poznań, 9 Mei 1980. Kota Częstochowa awut-awutan alasannya ratusan fan baku hantam di jalanan. Sebelum ditayangkan ke dalam berita, pemerintah eksklusif menyita rekaman TV tersebut pasalnya siapapun tahu, Legia Warszawa yaitu klub tentara.

Selang dua dekade lebih, Mei 2006, 230 fan Legia ditahan karena berandil besar melukai 50 polisi dan 30 suporter lawan. Tragedi berdarah ini muncul dikala berlangsungnya tubruk memilih Legia vs Wisla. Di luar, ribuan suporter tuan rumah mengacak-ngacak restoran serta bar, dan menjarah toko-toko untuk merayakan tampilnya Legia menjadi juara liga.

Merasa di-beking aparat, Legioniscisuporter Legia - diketahui terbanyak jadi biang kerok keonaran. Satu faksi berjulukan “Jihad Legia” paling ditakuti. Musuh besar mereka yaitu Polonia, Wisla Krakow, Lech Poznan, dan Widzew Lodz. Laga menakutkan buat Legia tak lain derbi lawan Polonia. Meski jauh lebih ahli, Legia belum mampu mengungguli seterunya bila melihat rekor duel 29-20-29 dari 78 tabrak.

Pada derbi di April 2006, dengan gas CS dan peluru karet, polisi menerjunkan 1.300 personilnya untuk mengontrol 3.000 fan Legia garis keras. Tanpa diketahui, beberapa pejabat UEFA mengamati insiden itu pribadi on the spot. Namun tidak ada hukuman alasannya langgar tersebut berkategori liga domestik. Hingga sekarang Legia Warszawa menjadi klub incaran UEFA.

Belum lama ini pendukung mereka clash dengan UEFA gara-gara dicoret dari Liga Champion karena Legia tertangkap tangan menurunkan pemain tak terdaftar dikala mengalahkan Glasgow Celtic. Legia dicoret dari Liga Champion dan dilempar ke Liga Europa. September silam, fan Legia menghina UEFA lewat banner raksasa di stadion Pepsi Arena. Akibatnya klub itu didenda 80.000 euro.

Hooliganisme sepak bola di Polandia mencapai kesuburan pada 1984-89 sebab terjadi 99 kali keributan dan kebanyakan terjadi di kota-kota besar. Tapi laporan resmi pemerintah cuma bilang dua orang saja yang tewas. Masuk kala 1990-an, muncul berbagai perusahaan “hooligan” hasil bekingan para politisi yang memakai spektrum klub untuk mengalahkan pesaingnya.

Aktivis grup ultras yang dikenal konservatif, religius, dan berorientasi sayap kanan mirip halnya secara umum dikuasai rakyat Polandia, bak mendapat angin. Slask Wroclaw, Lechia Gdańsk, Lech Poznań dan Legia merupakan golongan paling patriotik di mana kebanyakan anggotanya berpotongan tentara. Ciri khas mereka adalah selalu menyanyikan yel-yel nasionalis di stadion.

Di Polandia, jenis kerusuhan bola berbeda dengan di Eropa Barat. Selain menjinjing aneka pentungan hingga tongkat bisbol, botol bir, bayonet, atau bom molotov, kedua fan biasanya juga membawa-bawa panji identitas, politik, sampai agama. Biasanya kondisi tamat lebih dari sekedar babak belur. Kematian atau kehancuran kota merupakan risiko yang hampir pasti terjadi.

Ketika internet mulai lahir pada 1994, peperangan antar suporter makin variatif. Modus baru berupa provokasi, bahaya, agitasi, hinaan bertebaran di banyak sekali situs sebelum laga panas berlangsung. Saking maraknya, satu fanzines yang bertitel “Polish Hooligan League” diresmikan. Bukan main, di negara ini tawuran antar pendukung rupanya menjadi bab penting sepak bola!

Kaum hooligan Polandia mengadaptasi gaya kolega-kolega mereka dari Inggris, Jerman, dan tentu saja, kaum skinhead. Sejak 1990-an, pemerintah mendirikan unit Komenda Glówna Policji yang khusus menangani kerusuhan sepak bola. Tugas mereka tidak lagi di lapangan, namun juga menyortir internet dan jaringan seluler yang dimiliki 70-80 perusahaan hooligan seantero negeri.

Korban Sejarah

Di Polandia perusuh berkategori berat ini dinamakan ustawka. Gerombolan ultras ini paling rapi modusnya karena punya unit khusus untuk meladeni polisi atau mengatasi kelompok musuh. Mereka sudah menentukan medan “peperangan” dengan perhitungan strategis. Latihan fisik juga dilakukan jauh “lebih berat” saat yang akan dihadapi ialah kelompok yang dianggap militan.
Eskalasi kerusuhan sepak bola Polandia sebangun dengan Inggris di era  Liga Ekstraklasa: Psikososial Warisan Sejarah
Suasana perang pada duel mengerikan Lech Poznań vs Legia Warszawa.
Uniknya lagi perasaan nasionalisme kaum hooligan ini dikenal cukup tinggi jikalau sabung sepak bola berpindah ke tema kebangsaan. Kesan inferior eksklusif berubah tatkala Biale Orly (Elang Putih) alias tim nasional Polandia berlaga. Bahkan secara global, barangkali mereka yaitu “juara dunia-nya” kelompok kerusuhan di sepak bola.

Beberapa kelompok yang sepaham membentuk faksi dadakan saat tim nasional Polandia akan bertanding. Hasilnya, mereka bikin kerusuhan di Rotterdam 1992, Chorzow 1993, Zabrze 1994, dan Bratislava 1995. Secara khusus, musuh turun-temurun szalikowcy ialah pendukung Inggris dan Jerman. Namun pada dasarnya, mereka sangat potensial untuk bikin onar di mana saja.

Ketika Polandia kalah 0-1 dari Jerman di Dortmund pada Piala Dunia 2006, kerusuhan muncul di Frankfurt yang berjarak 178 km. Lalu di sekitar Stadion Signal Iduna Park, polisi Jerman menangkap 300-an pengacau. Ini adalah lanjutan dendam Desember 2005, saat mereka yang tiba untuk melihat undian Piala Dunia berperang dengan polisi di satu hutan erat Frankfurt.

Menurut Przemyslaw Piotrowski dari Fakultas Psikologi Universitas Jagiellonian, motif dari semua kekacauan ini tidak lain dari dehumatarian alias penyimpangan sosial masyarakat balasan tekanan bertahun-tahun bahkan berabad-abad! Zaman berganti, kehidupan juga berubah namun intensitas justru kian meruyak dan variatif tanpa ada jaminan kapan pastinya akan berakhir.

Jika masalah ditelisik maka akan terkuak latar belakang sesungguhnya, yang tidak lain dari faktor sejarah. Lihatlah posisi geografis Polandia yang terjepit Rusia dan Jerman. Dua peradaban besar ini secara bergiliran memperkosa negeri bernama asli Rzeczpospolita Polska ini. Pertama, oleh Rusia pada Perang Dunia I, kemudian berikutnya Jerman di Perang Dunia II.

Inilah alasan utama kenapa suporter Polandia selalu bermusuhan dengan apapun yang berbau Rusia dan Jerman, meski tempat-tempat mirip Szczecin dan Poznan “berbau” Jerman, sementara Warsawa dan Krakow secara geografis lebih dekat dengan Rusia. Kebencian pada Jerman dan Rusia telah mendarah daging, turun temurun dan terbawa-bawa ke sepak bola.

Terlebih lagi dengan Jerman, yang pada 18 berkelahi sebelumnya Polandia tak pernah menang. Kaitan sejarah di Perang Dunia I dan II ikut membentuk perilaku Polandia atas abjad Inggris. Sebagai bapak moyangnya hooliganisme, tentu saja Inggris dijadikan Polandia sebagai role model baik dari sisi permainan maupun persaingan yang meningkat pesat semenjak abad 1970-an.

Sudah ditetapkan bahwa hooliganisme di sepak bola berakar dalam kondisi psikososial. Fenomena ini mampu dijelaskan dengan menyoroti cara mengatasi keterasingan faktor internal dan individual mirip kepribadian, karakter, atau faktor biologis yang puluhan tahun berkutat di tiga lingkungan terpenting: keluarga, sekolah, dan kelompok sebaya. Inilah yang dialami Polandia.


EMPAT BESAR LIGA POLANDIA

Górnik Zabrze


Nama AsliKlub Sportowy Górnik Zabrze
JulukanTrójkolorowi (Tri-Colour), Torcida
Berdiri14 Desember 1948
StadionErnest Pohl (32.000)
PresidenZbigniew Waskiewicz
ManajerRobert Warzycha
Juara Liga [14]1957, 1959, 1961, 1963, 1964, 1965, 1966, 1967, 1971, 1972, 1985, 1986, 1987, 1988
Piala Polandia [6]1965, 1968, 1969, 1970, 1971, 1972
LegendaAndrzej Szarmach (1972-76), Robert Warzycha (1987-91)
Situs Resmiwww.gornikzabrze.pl

Wisla Kraków


Nama AsliWisla Kraków Spólka Akcyjna
JulukanBiala Gwiazda (The White Star)
Berdiri1906
StadionHenryka Reymana (33.268)
PresidenLudwik Mietta-Mikolajewicz
ManajerFranciszek Smuda
Juara Liga [14]1927, 1928, 1949, 1950, 1951, 1978, 1999, 2001, 2003, 2004, 2005, 2008, 2009, 2011
Piala Polandia [4]1926, 1967, 2002, 2003
LegendaAdam Nawalka (1972–85), Maciej Zurawski (1999–2005)
Situs Resmiwww.wisla.krakow.pl

Ruch Chorzów


Nama AsliRuch Chorzów Spólka Akcyjna
JulukanNiebiescy (The Blues), Niebieska eRka (The Blue R), HKS
Berdiri20 April 1920
StadionMiejski (10.000)
PresidenDariusz Smagorowicz
ManajerWaldemar Fornalik
Juara Liga [13]1933, 1934, 1935, 1936, 1938, 1952, 1953, 1960, 1968, 1974, 1975, 1979, 1989
Piala Polandia [3]1951, 1974, 1996
LegendaAndrzej Buncol (1979–81), Krzysztof Warzycha (1983–89)
Situs Resmiwww.ruchchorzow.com.pl

Legia Warszawa


Nama AsliLegia Warszawa Spólka Akcyjna
JulukanWojskowi ("Militarians"), Legionisci ("Legionarries")
BerdiriMaret 1916
StadionPepsi Arena (31.103)
PresidenBoguslaw Lesnodorski
ManajerHenning Berg (Norwegia)
Juara Liga [10]1955, 1956, 1969, 1970, 1994, 1995, 2002, 2006, 2013, 2014
Piala Polandia [16]1955, 1956, 1964, 1966, 1973, 1980, 1981, 1989, 1990, 1994, 1995, 1997, 2008, 2011, 2012, 2013
LegendaKazimierz Deyna (1966-78), Lucjan Antoni Brychczy (1954-72)
Situs Resmilegia.com

(foto: epa/buzzfeed/weszlo)

Polandia: Sukses Sebuah Perubahan

Setelah mengalahkan Jerman 2-0 di kualifikasi Piala Eropa 2016, 11 Oktober 2014, masuk akal sekali bila banyak yang pribadi mengulik nama Polandia. Lebih alasannya lawannya itu sang juara dunia gres dan menjadi induk semang bagi sebagian skuadnya, namun inilah kejayaan pertama sepanjang sejarah Biale Orly (Elang Putih) dari 19 sabung yang dimulai semenjak 3 Desember 1933.
 wajar sekali jika banyak yang langsung mengulik nama Polandia Polandia: Sukses Sebuah Perubahan
Polandia mulai mengimbangi Jerman.
Rahasia kebangkitan Polandia di lapangan hijau agaknya lebih menarik ditelusuri ketimbang menguak misteri yang menyelimuti Jerman. Soalnya kemolekan tim Elang Putih di pentas “Road to France” itu tak melulu dari hasil tubruk historis di Stadion Narodowy itu saja. Pelototilah papan klasemen Grup D, kejutan! Hingga sesi ketiga kualifikasi, Polska ada dua tingkat di atas Germany.

Jerman dengan Bundesliga-nya selalu menjadi panggung utama pesepak bola Polandia. Maka muncullah drama sensasional bila si buruh bisa menumbangkan sang majikan. Gara-gara tautan geografis, Polandia tak beda jauh dengan bab kanan Jerman yang dulu berjulukan Jerman Timur. Kota-kota Szczecin, Lubin hingga Poznan sangat beraroma dan bercita rasa Jerman.

Polandia yaitu salah satu daerah terbaik di mana Ius Soli dan Ius Sanguinis berkembang, yang bikin identitas asli terkesan jadi kabur. Pelototilah tampang Wojciech Szczesny misalnya, yang lebih Jerman daripada Polandia lantaran leluhurnya memang dari Szczecin. Atau bek kanan Lukasz Piszczek, yang berasal dari Czechowice-Dziedzice yang letaknya selemparan kerikil dari Ceko.

Bahkan salah satu bek nasional Bialo-czerwoni yang membela Bayer Leverkusen, Sebastian Boenisch, berleluhur Jerman tapi ber-KTP Polandia karena diberojolkan ibunya di Gliwice, kota erat Ceko. Aslinya Sebastian bermarga Pniowski, sehingga beliau menguasai tiga bahasa sekaligus, Jerman, Polandia dan Silesian, bahasa Ceko yang berdialek Polandia.

Lantas donasi darah Polandia yang ada di kubu Jerman jangan ditanya lagi. Siapa tidak kenal Miroslav Josef Klose? Legenda dunia yang membela panji Die Nationalmannschaft itu cuma beda kampung dengan Sebastian Boenisch. Lalu ada Lukas Josef Podolski, yang asli sekampung dengan Boenisch, striker Jerman yang masih jadi andalan pelatih Joachim Loew.

Polandia ikut menopang sejarah dan kedigdayaan Jerman di kancah dunia. Bahkan bila dikumpulkan, maka terbentuk satu tim idaman nan komplit dari aneka macam posisi. Mulai Heinz Kwiatkowski, Hans Tilkowski, Erich Juskowiak, Günter Sawitzki, Willi Koslowski, Dieter Burdenski, Pierre Littbarski, Juergen Grabowski, Tim Borowski, Piotr Trochowski, serta Klose dan Podolski.

Apakah Jerman selalu jadi laboratorium untuk menempa pemain terbaik Polandia? Bisa jadi tak lagi. Ketergantungan agaknya telah berakhir. Warna pun berubah. Dari semua 14 pemain yang diturunkan pelatih Adam Nawalka dikala meladeni Jerman, catatlah, cuma dua saja yang bernafas Bundesliga: Grzegorz Krychowiak, Lukasz Piszczek, dan Robert Lewandowski.

Nawalka justru menyeimbangan skuad yang berasal dari Liga Polandia sendiri, Ekstraklasa, selain segelintiran dari Liga Primer Rusia, Belgia, Prancis, Rumania, Italia, dan Inggris. Komposisi merata Bundesliga-Ekstraklasa terlihat tatkala duo Legia Warszawa, Tomasz Jodlowiec dan Jakub Wawrzyniak, dan seorang striker Slask Wroclaw – Sebastian Mila – jadi pondasi baru Biale Orly.

Hal itu tentu saja mengagetkan para pengamat, mengingat kelas Ekstraklasa jauh di bawah Bundesliga. Namun tim nasional soal lain. Kesuksesannya lebih ditentukan hati dan bukan otak. Oleh alhasil, hasil di Narodowy amat bermakna dan membuat Polandia menjadi bermartabat. Lihatlah, dengan formasi 4-4-2 cara main Polandia tak terlihat modern, sangat konvensional.

Akan tetapi jika diteropong lebih dalam, yang muncul yaitu semangat patriotik dan bara semangat yang tiada hentinya. Siapapun paham dengan gaya Jerman. Mencegah dibobol Jerman di 45 menit pertama saja sudah prestasi Istimewa. Inilah yang ditunjukkan bawah umur Biale Orly. Usai abad rehat titik balik ditemukan. Kelemahan Jerman terungkap, dan Polandia menuai alhasil.

Kelahiran Ekstraklasa

Itulah kenapa kemenangan di Narodowy lebih dari bersejarah. Boleh jadi, di kurun depan mereka tidak harus lagi memaksakan internasionalisasi gaya permainan kecuali menasionalisasi spirit dan mentalitas. Bagaimana pun tim nasional mesti punya abjad tersendiri, ciri khas yang mendasari acuan permainan, dan tentu saja yang terdekat berasal dari liga domestik sendiri.
 wajar sekali jika banyak yang langsung mengulik nama Polandia Polandia: Sukses Sebuah Perubahan
Salah satu tubruk big-match di Liga Polandia.
Sebab tim nasional selalu menjadi hasil dari pembinaan dan sukses kompetisi. Selama ini para ayah di Polandia segera mengirim anaknya ke Jerman atau Belanda begitu bakatnya makin menggelegar. Maklum, fenomena di Liga Polandia, Ekstraklasa, seperti tak menjamin periode depan. Liga ini hanya berisi 16 klub utama, namun yang muncul adalah drama lebih kental dari fakta.

Buat orang luar, mengeja nama-nama anggota Ekstraklasa saja rentan bikin pengecap keseleo. Bahkan Anda mampu naik pitam saat nekat berusaha membaca cepat berkali-kali. Penonton Ekstraklasa kebanyakan brengsek, alasannya adalah punya hobi menonton bola sambil mencekik botol alias nenggak alkohol yang ujung-ujungnya sangat bisa dipastikan: teler!

Meminum "kencing setan" itu memang budaya lama kakek buyut mereka yang terus diwariskan kepada generasi ketiga dan keempat. Jarang ada klubyang tegas melarang alkohol dibawa masuk jika kursi-dingklik stadion tak ingin sunyi, atau bakal nombok balasan tiket tak terjual. Liga ini sangat rentan dengan kerusuhan, onar, amuk massa dan berisiknya minta ampun.

Ulah dan aksi suporter klub-klub Ekstraklasa terkadang menutupi konten pertandingan alasannya fenomenanya jauh lebih merangsang disaksikan. Selain medan dan realitanya memang menyeramkan, sejumlah teror dan intimidasi bisa tiba kapan saja saat Anda berhadapan dengan para fans klub terutama di luar stadion. Kadang kita mirip nonton tinju ketimbang bola.

Suasana bisa memukau, mampu pula horor. Tak heran jika banyak tim Eropa yang berdoa supaya jangan satu grup dengan tim Polandia manapun. Klub-klub Ekstraklasa terkenal jarang punya kostum yang elegan, bahasa halus untuk bilang norak. Sebelum direformasi pada demam isu lalu, Liga Polandia selalu akrab menjadi sarangnya penyuap, koruptor, dan spekulator.

Klub-klub macam Arka Gdynia, Górnik Leczna, Górnik Polkowice, Jagiellonia Bialystok, KSZO Ostrowiec Swietokrzyski, Zaglebie Sosnowiec, Korona Kielce, Zaglebie Lubin jadi langganan "KPK" Polandia. Malahan ada satu kejadian saat Zaglebie Lubin, yang sesudah meraih titel liga 2006/07, besoknya pribadi dicopot dijebloskan dan diseret paksa ke divisi dua karena didakwa curang.

Saking banyak masalah di kerusuhan penonton, dan korupsi di PZPN (PSSI-nya Polandia), membuat  prestasi negara ini berjalan seperti keong di pelataran Liga Champion apalagi hingga di putaran elite. Melihat atau mendengar klub Polandia main di Liga Champion barangkali hitungannya seperti kita ketemu tahun kabisat, alias empat ekspresi dominan sekali gres sekali muncul.

Tak satu pun klub Polandia mampu menjuarai ajang Eropa. Prestasi tertinggi mereka diraih pada “zaman baheula” yaitu Legia Warszawa menembus semifinal Liga Champion 1969/70 atau perempatfinal 1995/96. Satu lagi dibuat oleh seterus mereka, Widzew Lodz, yang melaju di semifinal 1982/83 dan tampil di putaran grup 1996/97, juga di Liga Champion.

Pengelolaan kompetisi negeri yang punya tiga legenda pada sosok Grzegorz Lato, Kazimiers Deyna dan Zbigniew Boniek itu masih di bawah Ukraina dan Rusia misalnya. Di tengah angin kencang kerusuhan antar-fan, isu terkini lalu Polandia memaksa bikin “breakthrough” dengan mengganti Liga Pilki Noznej yang semenjak 1927 itu, dengan Ekstraklasa, sebagai bab dari reformasi sepak bolanya.

Selalu ada harga sepadan yang didapat dari perubahan dan mengatasi risiko. Bertahun-tahun menjadi biang kerok, Liga Polandia langsung menunjukkan sesuatu untuk bangsa. Baru semusim Ekstraklasa berjalan, sebuah rekor yang bertahan 81 tahun pun pecah. Untuk pertama kalinya, Polandia mengalahkan “induk semang sepak bola” mereka, Jerman. Lumayanlah.

KLASEMEN ABADI EKSTRAKLASA (1927-2014)

No. Klub
Musim
Level
Main
Poin
Produksi Gol
Titel
01. Legia Warszawa
76
1
2044
2802
[3389-2176]
10
02. Wisła Kraków
73
1
1909
2514
[3125-2232]
14
03. Ruch Chorzów
73
1
1922
2249
[2936-2446]
13
04. Górnik Zabrze
56
1
1594
2028
[2414-1712]
14
05. Lech Poznań
52
1
1462
1673
[1973-1730]
6
06. ŁKS Łódź
65
4
1720
1761
[2230-2361]
2
07. Widzew Łódź
34
2
1038
1329
[1365-1187]
4
08. Pogoń Szczecin
40
1
1158
1158
[1324-1579]
0
09. Śląsk Wrocław
34
1
1014
1124
[1167-1211]
2
10. GKS Katowice
30
2
894
1030
[1023-977]
0
11. Zagłębie Lubin
25
2
774
977
[957-903]
2
12. Polonia Warszawa
31
4
800
966
[1165-1251]
1
13. Zagłębie Sosnowiec
35
3
950
889
[1131-1250]
0
14. Polonia Bytom
35
4
892
881
[1099-1141]
2
15. Cracovia
34
1
804
852
[1174-1184]
4
16. Stal Mielec
25
3
738
726
[834-844] 
2
17. Szombierki Bytom
25
4
702
645
[875-999] 
1
18. Gwardia Warszawa
23
7
572
539
[682-764] 
0
19. Odra Wodzisław Śląski
14
5
418
529
[487-570] 
0
20. Odra Opole
22
4
564
523
[645-740] 
21. Lechia Gdańsk
21
1
526
501
[526-710] 
0
22. Amica Wronki
11
332
498
[452-370] 
0
23. GKS Bełchatów
11
1
338
450
[387-403] 
24. Dyskobolia Grodzisk
10
7
293
441
[420-357] 
25. Warta Poznań
18
4
410
423
[841-733]
1
26. Arka Gdynia
12
2
360
346
[344-451] 
27. Garbarnia Kraków
15
4
315
306
[561-561] 
1
28. Wisła Płock
9
2
270
306
[290-400] 
0
29. Pogoń Lwów
13
273
304
[537-439]
0
30. Korona Kielce
7
1
210
303
[260-254] 
31. Jagiellonia Białystok
10
1
304
299
[281-428] 
32. Stomil Olsztyn
8
2
254
296
[255-339] 
0
33. Zawisza Bydgoszcz
12
1
356
292
[368-540] 
34. Olimpia Gdańsk
9
290
265
[313-380] 
35. Stal Rzeszów
11
4
290
255
[297-377] 
0
36. Hutnik Kraków
7
4
234
254
[299-284] 
37. KS Warszawianka
13
271
227
[427-612] 
38. Motor Lublin
9
4
274
220
[259-372] 
0
39. AKS Chorzów
10
192
196
[336-307] 
40. Bałtyk Gdynia
7
4
210
186
[184-247] 
41. ROW Rybnik
7
3
198
165
[165-233] 
42. Górnik Wałbrzych
6
3
182
157
[194-246] 
0
43. Górnik Radlin
9
6
188
155
[238-344] 
0
44. Zagłębie Wałbrzych
6
8
160
142
[131-166]
45. Czarni Lwów
7
164
141
[265-326] 
46. Raków Częstochowa
4
3
136
136
[120-186] 
47. Sokół Tychy
4
5
136
130
[128-190] 
48. Polonia Bydgoszcz
7
5
156
129
[186-296] 
49. Górnik Łęczna
4
1
112
128
[105-169] 
50. Ruch Radzionków
3
4
90
109
[105-135] 
51. Piast Gliwice
3
1
90
106
[88-117]
0
52. Stal Stalowa Wola
4
3
132
103
[113-173] 
0
53. 1. FC Katowice
3
7
78
88
[164-143] 
54. GKS Tychy
3
2
90
86
[105-113] 
0
55. Union Touring Łódź
4
90
76
[149-212] 
0
56. KSZO Świętokrzyski
3
4
92
71
[73-147]
0
57. Podbeskidzie
2
1
60
67
[65- 82]
0
58. Siarka Tarnobrzeg
3
3
102
65
[88-169]
0
59. Arkonia Szczeci
4
5
88
64
[100-166] 
60. Śląsk Świętochłowice
3
6
66
45
[84-166]
0
61. Unia Racibórz
2
5
52
38
[77-126]
0
62. Hasmonea Lwów
2
54
38
[98-149]
0
63. Wawel Kraków
2
7
32
37
[50-36] 
0
64. Igloopol Dębica
2
6
64
37
[43-121]
0
65. Strzelec 22 Siedlce
3
64
36
[84-169]
0
66. Szczakowianka Jaworzno
1
5
30
32
[40-54]
0
67. RKS Radomsko
1
28
31
[23-34]
0
68. TKS Toruń
2
54
30
[84-185]
0
69. Podgórze Kraków
2
6
42
27
[56-103]
0
70. Radomiak Radom
1
4
30
25
[29-32]
0
71. Górnik Polkowice
1
Φ
26
23
[17-37]
0
72. Tarnovia Tarnów
1
6
26
22
[42-48]
0
73. Świt Dwór Mazowiecki
1
4
26
22
[21-42]
0
74. GKS Jastrzębie
1
4
30
19
[24-43]
0
75  Dąb Katowice
2
36
14
[29-97]
0
76. ŁTS-G Łódź
1
22
12
[25-67]
0
77. Śmigły Wilno
1
18
11
[29-50]
0
78. Jutrzenka Kraków
1
26
11
[41-82]
0
79. Lechia Lwów
1
22
11
[23-66]
0
                                                         sumber: 90minut.pl  Φ = mundur, = pindah ke Ukraina,  = bubar                   

(foto: deccanchronicle.com/epa)