Saturday, January 22, 2011

Laurent Gbagbo: Berpolitik Sepak Bola

Politik seharusnya mendukung sepak bola. Bukan sepak bola mendukung politik. Keduanya membutuhkan dan saling menguntungkan. Sayangnya banyak penguasa yang tak mampu mengendalikan simbiosis-mutualisma ini. Salah satunya yang faktual sedang dialami oleh seorang Laurent Gbagbo, presiden Pantai Gading. Rupanya beliau tak sanggup mengelola sepak bola dan politik di balik sikap ambisiusnya. 

 Keduanya membutuhkan dan saling menguntungkan Laurent Gbagbo: Berpolitik Sepak Bola
Dampaknya sangat fatal: persatuan bangsa luntur dan keutuhan sepak bola pun hancur! Yang kini lagi berkecamuk di negara subur di tepi Laut Atlantik jadi bukti tak terbantahkan. Si penguasa ogah turun meski kalah pilpres. Kehidupan aman sentosa menjelma amat seram, horor. Cote d'Ivoire terpecah belah karena dilanda perang saudara. Semoga jangan hingga seperti bencana Rwanda di 1994. Kalau sudah begini, jangan lagi kehidupan, urusan bola pun terganggu bila tak bisa dibilang jadi awut-awutan. 

Pantai Gading yaitu salah satu negara sepak bola yang terkemuka di Afrika. Bisa dibayangkan bimbangnya Didier Drogba, Emmanuel Eboue, Kolo dan Yaya Toure atau Salomon Kalou - segelintir pemain top Les Elephants yang kini bertebaran di Liga Primer Inggris. Gbagbo sepertinya lupa bahwa di negerinya hampir 3000-an pertandingan sepak bola bergulir setiap hari, entah di jalan-jalan, di tengah pasar, pinggiran gedung, padang sabana, sampai yang resmi di stadion-stadion.

Ironisnya Gbagbo menimbulkan sepak bola sebagai alternatif menaikkan martabat politiknya. Di situ gerakan moralnya terbilang baiklah meski tendensius. Ia gemar bola dan banyak mencar ilmu bahwa dibanding politik, kadang efek sepak bola mampu mengubah segalanya. Tepat atau tidak, Gbagbo sering cuap-cuap soal sepak bola di tengah pertemuan resmi kenegaraan atau di seputaran urusan kabinet, suka ataupun sedih. Tak jarang beliau mengundang Didier Drogba makan malam ke istananya, nonton langsung ke stadion, bahkan urun rembug sampai karenanya memutuskan Sven-Goran Eriksson menjadi pelatih nasional di Piala Dunia 2010.

Tragedi di sepak bola pun bisa menjadi peluang emas menguatkan kharismanya. April 2009 di Abidjan, 19 orang tewas dan 130 lainnya luka dikala ribuan penonton tanpa tiket menerobos stadion nasional, beberapa jam berkelahi melawan Malawi di Pra Piala Dunia 2010 digelar. Apa yang dilakukan Gbagbo? Saat itu juga, dia eksklusif menyatakan negara dalam keadaan berkabung serta meliburkan tiga hari kerja mulai besok, yang sebenarnya merugikan dunia bisnis.

Gbagbo juga hadir saat penguburan korban, meski tiada sangkut pautnya, kecuali, karena program itu disiarkan pribadi TV nasional ke seluruh negeri. Bukti Gbagbo mengintervensi dan memanfaatkan tragedi itu bisa dilihat dari tubruk tersebut tetap digelar, sesuai permintaannya! FIFA yang tadinya prihatin, jadi geram. Sedang tim nasional Malawi hanya cuma bisa bengong tak mengerti. 

Selang beberapa hari, BBC mewawancarai seorang pemain Malawi. "Tadinya saya pikir wasit meminta kami semua untuk mengheningkan cipta sebentar untuk menyatakan belasungkawa. Ternyata tidak. Saat aku tanyakan, ia menjawab 'tidak, tidak ada, saya cuma mengikuti perintah'," beber Elvis Kafoteka, seorang pemain Malawi.

 Keduanya membutuhkan dan saling menguntungkan Laurent Gbagbo: Berpolitik Sepak Bola
Kolo Toure (Muslim), Laurent Gbagbo, dan Didier Drogba (Katolik).
Gbagbo amat memuja tim Les Elephants, julukan tim nasional Pantai Gading. Di luar dia jadi garda terdepan pendukung sepak bola Afrika. Pada 16 Oktober 2009, ia sengaja melaksanakan kunjungan kenegaraan ke Mesir agar bisa juga menghadiri selesai Piala Dunia U-20. Eh, kebetulan Ghana menang, tapi entah bagaimana caranya dia mampu jadi tamu kehormatan pemberi medali.

"Saya bahagia melihat anak-anak muda ini di kurun hari-hari kita makin menjauh. Hari ini ialah peresmian integrasi Afrika. Saya berjuang keras supaya kita tidak diinjak-injak. Saya ingin Afrika jadi pemimpin dunia! Itulah makna kemenangan ketika ini," kata Gbogba berapi-api. Di satu sisi Pantai Gading merupakan permata-nya Prancis karena coklat dan kopinya, dengan balasan menimbulkan Abidjan sebagai 'Paris-nya' Afrika.

Setelah Pantai Gading meluncur ke World Cup 2010, Gbagbo bermanuver lagi pada Desember 2009. Kali ini beliau mengundang bos-bos sepak bola wakil Afrika yang juga lolos, Ghana, Afsel, Kamerun, dan Nigeria dan Aljazair, ke istananya di Yamoussoukro. Beberapa dikala sebelumnya, dia mendukung penggunaan hal-hal superstitions seperti juju, muti, atau marabouts di seluruh negeri untuk mendukung lolosnya Pantai Gading ke Afrika Selatan.

Menjelang adu krusial melawan Kamerun, para dukun suruhan memerahi got dan selokan di pelbagai kota dengan darah ayam, yang menjadi salah satu syarat semoga mampu sukses. Laurent Gbagbo yakni presiden ketiga Ivory Coast, setelah Aime Henri Konan Bedie (1993-1999) dan tokoh pejuang kemerdekaan Felix Houphouet-Boigny (1960-1993). Usai meraih kekuasaan pada 26 Oktober 2000 dengan susah payah, perlahan tapi niscaya sifat aslinya yang buas mulai keluar.

Menantang Dunia

Kesuksesan yang datang terlambat menjadi duduk perkara di periode depan. Bisa bikin orang jadi kalap tidak keruan dan ketagihan. "Dia itu mirip Simon Cowell-nya diktator," sebut Antony Goldman, bekas konsultan politik Gbagbo. Selama 40 tahun hidupnya habis sebagai figuran pinggiran, cuma sebagai wallpaper politik. Otak dan hati Gbagbo ternyata berkebalikan. Lain ucapan, lain pula perbuatan. Ke kiri dikala berjuang, ke kanan pula ketika bertahta.

Tatkala berkuasa, Gbagbo mampu sangat kurang ajar, munafik, terutama pada para tetangganya. Gbagbo mengakibatkan Robert Mugabe terlihat seperti anjing peliharaan Barat. Ia narsis dan gila hormat. Di kurun mudanya, beliau membuat sendiri nama panggilan Cicero karena menyukai tokoh Romawi, mengasihi budaya Latin, dan membenci otorianisme, kediktatoran. Dulu beliau senang dipanggil Little Brother, tapi kini ia minta disapa Big-Man.

Gbagbo pernah dibui lantaran kritiknya menyakitkan tokoh diktator Felix Houphouet-Boigny. Setelah bebas, dia terus berjuang demi demokrasi dan mendirikan FPI (Front Populaire Ivoirien), yang melakukan perlawanan politik dari Paris sejak 1982. Pada 1988 hingga 90-an awal, ia pulang kampung dan mengajar arkeologi di Universitas Abidjan sambil berpolitik. Keberuntungan Gbagbo mulai datang tatkala pada 1993, Houphouet-Boigny wafat dan terjadi vacum of power selama 6 tahun.

 Keduanya membutuhkan dan saling menguntungkan Laurent Gbagbo: Berpolitik Sepak Bola
Laurent Gbagbo, politisi ulung berbasis sejarah Romawi.
Meski Aime Henri Konan Bedie menjadi presiden selama enam tahun, nyatanya di lapangan yang berkuasa yaitu tentara, sedang di pentas politik yakni dua tokoh oposisi yang waktu itu masih satu aliansi; Gbagbo dari FPI dan Outtara dari RDR. Gontok-gontokkan itu akibatnya melahirkan perebutan kekuasaan militer yang dilakukan Jendral Robert Guei. Namun tentara yang juga loyalis sejati Houphouet-Boigny itu tak kuasa melawan Gbagbo yang lebih dominan di pentas politik.

Krisis politik di Pantai Gading disebabkan oleh isu etnis, xenofobia, imigran-pribumi. Secara politis, negara ini terbelah oleh wilayah utara yang dikuasai oposan, pemberontak, serta wilayah selatan yang berisi para penjilat dan pro-pemerintah. Utara secara umum dikuasai Muslim, selatan secara umum dikuasai Nasrani. Felix Houphouet-Boigny, niscaya tak menduga bahwa kebaikannya justru melahirkan duduk perkara di masa depan.

Pada 1960-an beliau-lah yang pertama kali mengundang warga negara tetangga seperti Mali, Guinea, dan Burkina Faso untuk bekerja dan menggarap perkebunan coklat, kopi, katun, atau kelapa sawit. Yang tak disadari, mereka lambat laun berbaur, menjadi warga asli Ivoirite juga berpartisipasi dalam politik. Adalah profesor Niangoran Porquet yang pertama-tama mengupas tuntas apa dan siapa Ivoirite itu bergotong-royong.

Pada awal 70-an, sambil mengajar di Universitas Cocody, Abdijan, dia juga banyak menulis buku wacana budaya dan ciri khas Pantai Gading. Konsep Ivoirite inilah yang dimanipulasi total oleh politisi, terutama setelah Houphouet-Boigny mangkat pada 1993. Aliansi Outtara-Gbagbo yang terbina sejak usang jadi retak dan jadinya pecah awut-awutan juga gara-gara itu.

Prahara di negeri penghasil coklat nomor satu di dunia, dan kopi nomor dua di dunia, itu dimulai saat profesor sejarah yang puluhan tahun memuja demokrasi tiba-tiba menghancurkan sesembahannya itu sendiri. Laurent Gbagbo, 66 tahun, seharusnya menunjukkan jabatannya kepada Alassane Outtara, pimpinan partai RDR (Rassemblement des Republicains), setelah kalah dalam putaran kedua pilpres, 2 Desember 2010 dengan hasil 45,9% berbanding 54,1%.

Namun alasannya adalah merasa dicurangi, melalui partai FPI, Gbagbo menolak mengakui kemenangan seterunya. Padahal proses voting dilakukan oleh sebuah komisi netral IEC (the Independent Electoral Commission) dan diawasi oleh PBB. Dibujuk susah, ditekan juga malah murka, Gbagbo berniat mengacak-acak Pantai Gading. Walhasil, negara di sisi barat Afrika itu jadi tegang sebab kedua kubu pasang kuda-kuda mengantisipasi keadaan.

Angkatan bersenjata terpecah belah, tapi kebanyakan memihak Gbagbo karena alasan politik dan ekonomi. Kondisi mencekam juga melanda rakyat. Meski ditekan sana-sini, kiri-kanan dan atas-bawah, Gbagbo pokoknya tetap ndablek. Keadaan ekonomi semakin runyam lantaran mulai Bank Dunia, Uni-Eropa, AS, serta Prancis - eks penjajahnya - mengembargo ekonomi Cote d'Ivoire dan membekukan semua asetnya. PBB turun tangan dan mengirim pasukan ke sana.

Gbagbo malahan merespon dengan menantangnya. Sekarang para tentara sering melaksanakan sweeping, atau menandai rumah-rumah penduduk - mana yang dari utara (wilayah kekuasaan Outtara), mana yang dari selatan (wilayah kekuasaan Gbagbo). Lazimnya di benua hitam, hasil konkrit semua kekhaosan politik seperti itu biasanya adalah pembantaian etnis.

Bisa dibayangkan resahnya para pemain tim Les Elephants dari wilayah utara, yang jumlahnya lebih banyak, melihat kondisi demikian. Misalnya Habib Kolo Toure dan Yaya Gnegneri Toure, Bakary Kone, Kouamatien Kone, Abdoulaye Meite, Sekou Cisse, atau Aboubacar Sanogo. Lalu juga Kader Keita, Aruna Dindane dan Bary Copa.

Keharmonisan mereka dengan rekan-rekan dari selatan seperti Didier Drogba, Salomon Kalou, dan Emmanuel Eboue jadi terancam akhir dampak dari ulah Gbagbo. Selama ini di timnas Pantai Gading tak ada jurang pemisah atau perbedaan sedikitpun yang terjadi. Menurut Dr. Mangoua, para politisi dan pimpinan negara belajar dari tim Les Elephants bagaimana mengusung persatuan.

Konflik Istri

"Tim nasional sengaja dibentuk dari latar belakang etnis berbeda untuk mengurangi rasa tidak kondusif, dan pembentukan identitas baru agar dapat diterima semua pihak. Bukan dari prestasi semata," kata psikolog tim tersebut. Jika kondisi destruktif terus berjalan, maka sebentar lagi tim Les Elephants juga akan dilanda perpecahan. Hal inilah yang merisaukan CAF dan FIFA. Organisasi netral seperti Uni Afrika dan Amnesti Internasional juga telah merayu Gbagbo untuk berkorban demi ketenangan semuanya.

 Keduanya membutuhkan dan saling menguntungkan Laurent Gbagbo: Berpolitik Sepak Bola
Manuver politik ke wilayah muslim bersama Yaya Toure.
Tapi tetap saja, tidak mempan! Malah Gbagbo menantang mereka dengan mengatakan: "Ada saatnya di setiap negara muncul semangat yang meluap-luap dan kekonyolan. Kepala negara seharusnya memiliki kekuasaan mengendalikan itu. Apakah pemimpin Prancis mampu mengontrol kerusuhan Mei 1968? Apakah pemilik mahkota di Inggris bisa mengatasi revolusi pimpinan Oliver Cromwell?"

Prancis pernah memburu Louis XVI untuk dipotong kepalanya. Adakah keadilan buat beliau untuk sekedar menanyakan 'apakah Yang Mulia mampu mengatasi kerusuhan di seluruh negeri?' Setelah 10 tahun bertahta, doktor sejarah lulusan Universitas Sorbonne, Paris, ini jelas pede menjungkir-balikkan negara. Apakah orang ini berotak sarjana tapi berhati bandit? Waktu jua yang akan membuktikannya.

Sepanjang Gbagbo berkuasa, di wilayah utara, golongan muslim yang mendirikan peradaban awal Pantai Gading, justru ditindas. Pemimpin impian mereka, Alassane Outtara, secara sistematis dihambat masuk ke kancah politik. Ketika tensi dan suasana semakin mengepul bak lobang kepundan di seantero negeri, dengan kekuasaannya Gbagbo sudah mengatur seni manajemen berikutnya berupa opini publik melalui media massa. Dia mencap golongan muslim sebagai pemberontak, berniat mengkudeta, dan ini yang mengejutkan: pendukung xenophobia.

Pada September 2002, Pantai Gading terpecah dua. Utara dikuasai Islam, selatan oleh Kristen. Ribuan korban tewas, dan suasana kian mencekam. Orang-orang Barat, yang begitu memuja demokrasi justru memberikan kehilangan logika sehat mereka. Bukannya mendesak Gbagbo mundur,  karena menunda pilpres selama enam tahun, malah mencari motif lain. Tentara Prancis mau saja diundang Gbagbo untuk membantu tentara selatan atas gempuran pasukan utara. Gbagbo juga merekrut preman-preman bayaran, tergabung dalam milisi The Young Patriots, untuk melindungi kekuasaan dan dirinya.

Organisasi internasional, termasuk PBB, meminta Gbagbo turun untuk meredam keadaan. "Ini tipikal kekuasaan di Afrika, buah efek Robert Mugabe dan Mwai Kibakis. Jika kalah di pemilu, dengan kekuasaan yang masih menempel di dirinya, mereka akan membentuk mediator, memotong janji, dan lebih baik meledakkan negaranya," kata Greg Mills, si pengarang buku Why Africa is Poor yang kini mengepalai Yayasan Brenthurst.

Tren di Pantai Gading, tak pelak, juga mirip itu. Ironisnya, masih kata Mills, warisan kolonial Barat kini dilanjutkan oleh putra-putra Afrika sendiri. "Kita harus memahami Afrika di mana multietnis dan multirasial sering melahirkan aneka macam kesalahan mereka. Kondisi diperparah dengan stigma jikalau tidak mampu berkuasa di rumah sendiri, maka Anda akan membayar lebih banyak untuk mendapatkannya."”

Uniknya bagi Pantai Gading, ternyata Gbagbo mengalaminya dalam kehidupan aktual. Dia punya dua bini. Simone Ehivet, dinikahi 1989, beragama kristiani. Satu lagi Nady Bamba, seorang muslimah. Merasa sebagai First-Lady resmi tentu saja Simone berhak menguasai istana, yang berarti juga mengusai negara. Namun kiprah Nady Bamba jauh lebih memukau. Dia seorang enterprener murni yang punya surat kabar dan bisnis komunikasi. Konon kabarnya perempuan ini lebih luwes dalam pergaulan alasannya adalah bertahun-tahun menjadi seorang administrator dan profesional.

 Keduanya membutuhkan dan saling menguntungkan Laurent Gbagbo: Berpolitik Sepak Bola
Presiden Gbagbo bersama bini tua Simone Ehivet.
Sebaliknya Simone bertipe garis keras, jenis istri yang menguasai suami. Richard Dowden, administrator Riyal African Society berkisah terus terang. "Karakter Gbagbo keras, menggertak, dan sedikit berakal berbicara. Namun Simone benar-benar angker. Ketika perang saudara mulai meletus, dia bilang kepada suaminya: Kita tidak mampu mendapatkan pemerintahan Pantai Gading dikuasai oleh para pendatang. Obrolan di dalam rumah mirip itu tak lepas dari berita rasisme dan ketakutan normal yang berubah menjadi aksi-agresi yang abnormal."

Banyak yang galau Gbagbo jadi linglung. Pria besar yang mulai memimpin Pantai Gading pada 26 Oktober 2000 itu yaitu lulusan Sorbonne (salah satu universitas tertua di dunia) dan punya aura menarik di pentas internasional. "Saya tidak tahu bagaimana cara mereka (Gbagbo dan Simone) akan melalui semuanya. Ini seperti lompatan seorang sersan mayor atau kolonel yang tidak pernah keluar dari negaranya. Saya coba mengimajinasikan skenario kemenangan mereka, tapi tidak mampu. Kecuali akan berakhir di pengadilan di Den Haag," ucap Dowden.

Di dalam negeri, Gbagbo terkenal bahagia pesta, doyan makan sebab ia pencinta masakan serta pendengar musik yang baik. Semua acara di istana tak lepas dari dua hobinya itu. Sebagai alumni pendidikan Barat, dia begitu mempesona dengan jabatan tangan yang kuat, canda dan tawa yang memukau meski gampang murka, terutama pada wartawan-wartawan yang angkuh. Gbagbo yakni profesor sejarah lulusan Prancis. Dia seorang bayi normal yang lahir dari buah perkawinan Zepe Paul Koudou dan Gadi Marguerite Koudou Paul pada 31 Mei 1945 di Gagnoa.

Dunia politik Afrika memasuki zaman baru. Fenomena Gbagbo, yang pada 1982 menceraikan istri pertamanya, Jacqueline Chanoos, sejak dinikahi pada 1967, berbarengan dengan gosip kekuasaan dan referendum yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, Mesir, Madagaskar, Nigeria, Uganda, Zambia, dan kemungkinan Zimbabwe di mana Mugabe sudah menunggu-nunggu apa yang terjadi pada Gbagbo untuk strategi politiknya ke depan.

Dalam sisi lain, dunia juga menunggu apakah Gbagbo menerusi kiprah Idi Amin, Jean-Bedel Bokassa dan Mobutu Sese Seko sebagai putra-putra Afrika yang kekuasaannya berakhir dengan tragis. Namun di awal milenium gres itu, tanda-tanda sindrom itu makin melingkupi Gbagbo. "Saya tidak akan berubah. Terkadang Anda hanya harus mengganti beling mata," begitu prinsipnya menghadapi krisis politik dan perang saudara di Pantai Gading.

Gbagbo banyak melihat dan mendengar sehingga sering menerima momentum. Ketika Les Elephants melaksanakan laga persahabatan melawan Afrika Selatan, 8 September 2002, beliau hadir di stadion. Gbagbo meminta pada Didier Drogba, kapten Les Elephants yang bersahabat dengannya, biar memandunya turun ke lapangan untuk menyalami para pemain nasional Pantai Gading.

Gbagbo percaya sepak bola mampu mengubah kekuasaannya bahkan melanggengkan. Mungkin benar. Tapi sayangnya Gbagbo juga lupa, dia bukan pesepak bola atau bekas jagoan bangsa di lapangan hijau. Dia yakni politisi. Beda dengan George Weah atau Didir Drogba kelak.

(foto: www.civox.net/sport.yahoo/ladepechedabidjan)

Sunday, January 9, 2011

Than Shwe: Tambah Berkuasa Berkat Cucu

Gaung dan pengaruh fenomena Wikileaks ternyata tak melulu mengarah ke urusan politik, keamanan negara, atau dunia bawah tanah, namun juga merambah ke sepak bola segala! Saat situs kontroversial karya Julian Assange itu membongkar planning pembelian Manchester United oleh seorang tiran nomor dua terburuk di Asia, keempat di dunia, perasaan geger bin heran agaknya tak bisa disembunyikan.

 ternyata tak melulu mengarah ke urusan politik Than Shwe: Tambah Berkuasa Berkat CucuIni tentunya kabar menarik di dunia sepak bola. Satu dari 250.000-an transkrip diplomatik yang katanya bocor ke tangan Wikileaks, awal Desember silam, jadi bukti sahih sebab Than Shwe, orang nomor satu di Myanmar, pernah berniat membeli klub kedua terkaya di dunia itu pada Januari 2009. Karuan saja selain awak media massa dan politisi, banyak penggila United, tak peduli The Lovers atau The Haters, sontak buru-buru berselancar di jagat maya untuk mendalami kebenaran kisah tersebut.

Meski kurang memuaskan, mereka mendapati patokan harga yang diajukan beliau: 1 milyar dolar AS, atau hampir 10 trilyun rupiah! Artinya, tawaran itu akan menuai 56% saham mayoritas di Manchester United yang total asetnya sekitar 1,8 milyar dolar AS. Hmm, jadi berapa total kekayaan Than Shwe seluruhnya? Ini Myanmar lho, salah satu negara miskin yang paling dimusuhi Barat di bumi!

Menurut The Guardian, meski tak menyebut namanya, bahu-membahu hasrat liar itu muncul dari rengekan cucu kesayangan sang panglima besar yang terkenal maniak bola, Nay Shwe Thway Aung. "Sumber terpercaya kami di Myanmar bilang, hasrat itu eksklusif bikin galau pejabat dan para jenderal lainnya," ungkap koran Inggris ini. 

Pikir punya pikir, meski jantung mereka rada berdegup keras, beberapa jenderal alhasil berani juga berniat meredam inspirasi liar sembari bilang, "Pak, ini uang yang banyak dan mampu berdampak buruk bagi citra kita di luar. Bukankah lebih elok dipakai untuk membangun sepak bola kita sendiri?"

Detik-detik hidup dan mati pun usai alasannya Than Shwe mau menerima tawaran. Ah, leganya! Tapi, efeknya tetap getir. Gara-gara bocoran Wikileaks dari Kedubes AS di Yangoon lansiran 3 Mei 2008 itu, hujatan pada diktator yang dianggap paling bedebah se-Asia Tenggara di mata pemuja demokrasi itu berkobar lagi.

Meski telah membebaskan oposisan dan ketua partai NLD, Aung San Suu Kyi, pada 13 November 2010, usai 21 tahun dibui, kebencian orang pada jenderal yang diketahui takut istri itu tak pernah surut. San Suu Kyi - pemenang Nobel 1991 dan anak pendiri bangsa, Jenderal Aung San - seharusnya yang jadi pemimpin Myanmar semenjak menang pemilu di 1990.

Namun Than Shwe sukses membelokkan sejarah dunia. Walau nyebelin banget, garis tangan Than Shwe rupanya bagus. "Ia jadi begitu alasannya adalah tak mau mati terhina mirip Ne Win," papar Christina Fink, penulis buku Living Silence: Burma Under Military Rule. Rezim junta militer - pengendali Myanmar sejak 1962 - dituding bermata gelap alasannya adalah melepas tanggungjawab atas tewasnya 140 ribu jiwa korban angin kencang Nargis, yang waktunya berdekatan dengan niat membeli Manchester United.

Bukan itu saja. Mereka juga telah bikin berang seisi dunia lantaran menolak derma internasional. Barangkali, Than Shwe, laki-laki 77 tahun - besar hati disapa Abi Gyi (kakek), gemuk, suka makan sirih dan berkacamata - telah menelan bundar-lingkaran prinsip dasar kepemimpinan berbau sewenang-wenang, yang ironisnya menyitir ucapan Mahatma Gandhi: "Warisan sejarah yang Anda telah torehkan ditentukan oleh apa yang Anda buat sekarang."

Walau cacat memahami falsafah itu, namun pemilik pabrik bir Mandalay itu punya mata batin, intuisi, feeling tajam untuk memahami hasrat sosok yang paling dipercayanya, dikasihinya, sekaligus diharapkannya: Thway Aung. Itulah kenapa di tengah hujatan, cercaan, kutukan, dia justru nekat sensasi: mau mengendalikan klub Barat yang dipuja 90-an juta orang sejagat untuk diberikan kepada sang cucu tercinta. Meski dikenal Xenofobia kelas berat, anti-Barat tapi demi taktik besarnya ia mampu pro-Wayne Rooney.

Membuat kesal pihak Barat merupakan spesialisasi suksesor diktator Jenderal Ne Win semenjak 1992 ini. Demokrasi berarti pemerintahan sendiri atau bersama rakyat. Dalam demokrasi anda tak berhak menetapkan semuanya kecuali lewat konsensus. Konsensus? Cukuplah itu dengan bawahannya atau Thway Aung. Ketika dunia mengutuk, rakyat jadi frustrasi dan murka, ia tak panik karena ilham cucunya yakni penangkalnya. Than Shwe yaitu cerita klasik kehidupan kecintaan pria pada keturunannya.

Atau kisah bagaimana sepak bola selalu dan selalu jadi agen kekuasaan. Keduanya berisiko tinggi. Dia tahu cucunya kegilaan bola meskipun kuatir juga sebab kebanyakan begadang, nonton sampai subuh. Di sisi lain, Than Shwe juga mengakui magnet bola sama kuatnya dengan perintah tembak di daerah. Maka itu lupakanlah Manchester United, walau si diktator punya uang, sanggup, bahkan didukung semua jenderal dan rakyat.

Sebelum dibocor Wikileaks pun, AS dan eks penjajahnya, Inggris, sudah tahu soal konstelasi tadi dengan hasil tambah murka. Cuma itu. Tapi esensinya? Lewat kontra-publikasi, secara politis suami dari Kyaing Kyaing itu tetap pemenangnya. Toh, tiada yang mampu diubah atau berubah di negeri berpenduduk 50 juta jiwa itu selama kakek kelahiran Kyaukse, 2 Februari 1933 ini berkuasa.

Jago Kongkalikong

 ternyata tak melulu mengarah ke urusan politik Than Shwe: Tambah Berkuasa Berkat Cucu
"Rakyat dipaksa untuk memilih yang lebih penting dari yang tak penting. Than Shwe membalikkan kegelisahan dan kemarahan rakyat saat itu menjadi panggung keinginan penuh keinginan di masa depan," papar Avram Noam Chomsky, pakar filsafat yang juga profesor linguistik dan politik di Massachussets Institute Technology (MIT). Than Shwe faham kebutuhan dan kesukaan rakyatnya lahir-batin. Meski dikenal mentalist perang, beliau jarang berpropaganda.

Than Shwe lebih suka pamer wajah kasar bila hatinya risau atau berbinar jika bahagia, hal yang dipelajari dari Saddam Hussein, Kim Il-sung, dan Slobodan Milosevic. Kebetulan wajah ia juga menyeramkan. Kisah perihal simbiosis-mutualisma antara Than Shwe dan Nay Shwe Thway Aung di sepak bola lebih menarik lagi. Anak muda berusia 19 ini semenjak kecil sudah kesetanan bola. Apapun dilakoni si kakek demi cucunya ini.

Thway Aung alias Pho La Pyeit, adalah pemuja kelas wahid Manchester United, dan anehnya, jugaLiverpool. Saat beliau merayakan HUT ke-16, semua jenderal, pejabat dan keluarganya tiba ke hotel termewah di Yangon, Sedona, termasuk instruktur nasional asal Brasil, Marcos Antonio Falopa. Menurut harian The Irrawaddy, pesta itu diorganisir oleh Zaw Zaw, pebisnis peliharaan istana yang juga ketua umum PSSI-nya Myanmar!

Thway Aung pernah sekolah di Singapura, tapi karena takut jadi sasaran musuh, Than Shwe menyuruhnya pulang dan meneruskan di Universitas Teknologi Yangon. Tapi hal ini malah bikin repot pihak kampus. Than Shwe ingin cucunya itu sekelas dengan 17 mahasiswa jenius di ruangan khusus dengan keamanan superketat. Tapi dasar ajaib bola, Thway Aung lebih keseringan muncul di stadion dan di TV jadi komentator liga-liga Eropa.

Apalagi Zaw Zaw menimbulkan dia sebagai bos salah satu klub liga. Walhasil, berkat sosok Thway Aung, rakyat Myanmar sangat dimanjakan oleh tontonan sepak bola dunia. Oleh risikonya, dengan atau tanpa derma Wikileaks pun, dia percaya di negaranya sepak bola akan selalu jadi candu rakyat. Itulah kenapa lahir berita Manchester United, klub yang banyak digemari dan juga dipuja Thway Aung. Di Myanmar, sepak bola ialah politik itu sendiri.

Jangan dikira Than Shwe hanya bertangan besi jika ada yang berani mengais-ngais politik dalam negerinya. Zaw Thet Htwe, jurnalis top dan pendiri tabloid sepak bola First XI, kini lagi dibui di penjara Taungyi, 400 km dari Yangon, gara-gara pada 2007 beliau menulis tunjangan 4 juta dolar AS untuk sepak bola Myanmar yang tak terang rimbanya. Di Myanmar sepak bola adalah ilham politik dan bisnis. Urusan sesulit apapun cepat beres jikalau menyerempet bola.

Acapkali hal itu menguntungkan rakyat. Aliran listrik yang 8 tahun selalu byar-pet, sontak lancar ketika ada Piala Dunia. Padahal biasanya ribuan rumah, kantor, dan sekolah cuma dapat jatah listrik tiga-empat jam sehari tiap November-April. Selain saling bercokol di puncak piramida PSSI Myanmar (MFA), liga, dan klub-klub, para jenderal atau pebisnis plus kroni dan anak-anaknya juga menguasai hajat hidup lain sepak bola mirip PLTA, PLN, telekomunikasi, stasiun TV hingga operator internet.

Kong kalikong-nya begini. MEPE, PLN-nya Myanmar dikuasai Thway Aung, sedang Zaw Min Aye, putra Letjen Tin Aye - salah satu jenderal top - memegang hak siar World Cup 2010. Program World Cup hanya tayang di MRTV dan Myawaddy, dua stasiun yang sahamnya dikeroyok belum dewasa penguasa. Piala Dunia 2010 benar-benar pesta besar bagi pebisnis yang bersahabat dengan ring satu. Ada jelek, tentu ada baiknya. Begitu pun fenomena di Myanmar.

Meski lanjutan masalah Manchester United ternyata ada udang di balik bakwan, namun apa yang dititahkan Than Shwe barangkali lebih banyak positifnya bagi sepak bola. Caranya? Jenderal penderita diabetes itu 'menodong' pebisnis kelas kakap untuk membangun kembali kebanggaan nasional yang telah usang hilang. Mereka wajib membeli klub serta mengelolanya secara profesional untuk mencari sponsor, iklan, kostum dan gaji pemain plus fasilitas kendaraan beroda empat dan rumahnya.

Kerennya lagi, puluhan pebisnis top dipaksa membangun stadion masing-masing minimal senilai 1 juta dolar. Siapa berani menolak maka usahanya bakal susah. Titik! "Jika jenderal senior sudah menyatakan keinginannya, mengeluh saja kami tak boleh," aku seorang eksekutif perusahaan yang kena todong. Liga sepak bola versi gres diluncurkan 16 Mei 2009.

Reformasi melanda banyak hal mulai nama, logo liga, jumlah klub, pemain abnormal, sampai izin bergabungnya sebuah klub Thailand. Myanmar Premier League (MPL) sekarang diganti menjadi Myanmar National League (MNL). Kanbawza, urutan ketiga MNL isu terkini kemudian, punya lima pemain Afrika. Sementara Delta United, runner up liga, merekrut pemain-pemain Argentina.

Lewat pemahaman yang paling sederhana di sepak bola saja, tapi dengan langkah kongkrit, bisa bikin seorang leader antagonis semacam Than Shwe meraih hasil konkret secara bisnis dan politis. Seperti penguasa yang sukses merajutnya, beliau juga punya modal dulu, maniak bola sungguhan! Tanpa itu percuma. Jika sudah nonton bola di depan TV, bila matanya belum sampai lamuran ia tak berhenti.

Than Shwe pernah benci bola gara-gara melihat timnas Myanmar keok, yang berujung pelarangan seluruh tayangan bola di TV. Lalu beliau banting stir jadi fans-nya Song Hye-kyo, bintang telenovela Korea yang semlohey itu. Tapi sejak 2006, dikala secara mengejutkan Myanmar jadi juara Turnamen Merdeka setelah di final menang 2-1 atas Indonesia, adrenalin bola-nya menggelegak lagi, dan sekarang kian sulit dia kendalikan.

(foto: alchetron)