Saturday, November 2, 2013

Playmaker (46): Inter, Indonesia, Dan Erick

SEPERTI halnya mayoritas negeri-negeri Asia-Afrika yang tak pernah mau menganut kapitalisme secara total, di Indonesia uang juga tak pernah bisa membeli sepak bola, kecuali untuk menguatkan imbas dan kekuasaan. Hanya di Eropa dan Amerika, sepak bola dan kekuasaan mampu dikawinkan. Makara, sepak bola yang sebenarnya itu hanya ada di Nusantara. Kaprikornus, berbanggalah.

Afrika yang tak pernah mau menganut kapitalisme secara total Playmaker (46): Inter, Indonesia, dan Erick
Eit tunggu dulu. Jangan salah, aku tak akan membahas politik dan kekuasaan. Ketika Italia dan Eropa terhenyak wow mengetahui Erick Thohir menjadi pemilik baru FC Internazionale Milano, kesan pertama penggila bola di Tanah Air cuma oke atau setidaknya aha! Mengapa demikian? Ya itu tadi, sebab inilah Indonesia - tanah tumpah gairah sepak bola yang sejati.

Erick tahu di Indonesia basis Interisti tak sebesar Milan apalagi Juve. Juga di mata komunitas Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, Real Madrid atau Barcelona. Tapi buat milyuner kelahiran Betawi, 30 Mei 1970 ini yang namanya passion, kecintaan dan peluang adalah segala-galanya. Dia yakin pasar sepak bola masih terbuka luas dan belum banyak dimanfaatkan.

Sejak kecil Erick menggilai sepak bola dan penggemar berat De Oranje, tim nasional Belanda. Saat diwawancara Anna Capella dari Sportmediaset yang khusus datang ke Jakarta dari Italia, banyak yang ia ungkapkan terutama pandangannya wacana bisnis dan sepak bola yang dipublikasi dengan judul Calcio e Business, il Ritratto di Erick Thohir. Sepak bola dan bisnis, potret seorang Erick Thohir.

Masyarakat di Indonesia barangkali belum banyak tahu sisi lain Erick sebagai Interisti sejati. Bangun dinihari untuk nonton Nerazzurri, usai meng-indik-ngindik supaya tak membangunkan anak-bininya; sampai menyebut Nicola Ventola - eks striker Inter 1990-an - sebagai pemain favoritnya. Namun di Italia sana, publik sangat terkejut dan heboh dengan pengukuhan Erick seperti itu.

Uniknya lagi, Ventola kini punya pacar model dan presenter, Kartika Luyet, yang beribu Indonesia. Erick bikin Indonesia berkumandang di Milano dan Italia, tanah air calcio. Gaungnya tentu jauh lebih "nendang" dibanding membeli Washington DC United (MLS) dan Philadelphia 76'ers (NBA). Maklum, untuk urusan olah raga kiblat masyarakat Indonesia memang ke Eropa.

Nama Erick kurang mengglobal saat menekuni bola basket. Di sini, beliau populer sebagai pentolan Perbasi, Satria Muda, hingga Indonesia Warrior. Atau, sebagai taipan media cetak, online dan TV, film, energi, properti, resto atau pernah punya koran Muslim terbesar, Republika. Sama sekali tak terdeteksi hasratnya pada sepak bola Indonesia yang maha polemik itu.

Tiga Faktor

Afrika yang tak pernah mau menganut kapitalisme secara total Playmaker (46): Inter, Indonesia, dan Erick
Javier Zanetti (managing director) dan Walter Mazzarri (manager).
Sejak final 1980-an, Serie A mengharu-birukan publik Tanah Air alasannya adalah inilah satu-satunya liga di Eropa yang kegilaan dan budayanya paling mirip dengan Indonesia. Calcio tetap mengakar meski dihajar kapitalisasi Premier League dan Liga Champion. Keputusan Erick bukan tanpa perhitungan. Yang pasti, Inter yakni triumvirat Serie A bersama Juve dan Milan. Sepak bola selalu terikat dengan sejarah, reputasi dan identitas. Dalam bisnis terjemahannya cuma satu kata: merk. Di sela-sela pertemuan bisnis belum usang ini, Erick beralasan lebih menentukan membeli Inter daripada West Ham United, atau kenapa bukan AC Milan misalnya? 

Jawabannya senada. Saya berani bertaruh, sepertinya Erik lebih suka warna biru ketimbang merah. Tak percaya? Dalam akun twitter-nya yang di-follow 42 ribuan, kesan biru kian tampak seperti warna The Sixers. Di olah raga, Erick itu bernuansa biru melihat kedekatannya dengan Persib, komunitas Viking, atau Bobotoh, meskipun salah satu anaknya yaitu Juventini. Minatnya pada suporter amat besar karena beliau mem-follow akun Barra Bravas, grup suporter bola ultra-fanatik di Amerika Latin.

Aneka simbol itu, sungguh, makin menciptakan sepak bola sebagai olah raga yang paling manusiawi. Dan, melihat fenomena sepak bola di negerinya sangat luar biasa, anak dari Teddy Thohir - tandem William Soeryadjaya dikala membangun Astra di 1970-an - boleh jadi lebih memilih strategi blue ocean untuk membangun impiannya bersaing di pentas sepak bola dunia.

Lulusan MBA di UCLA pada 1993 ini menguasai 70 persen saham Inter lewat gelontoran fulus 480 juta euro alias lebih dari Rp 7,2 trilyun. Dengan komposisi itu hampir niscaya ia akan jadi presiden Inter terbaru, medio November ini di Milano. Sebelum waktunya itu, dia mengaku tak mau bersuara banyak, semata-mata menghormati turun temurun Dinasti Moratti dan Interisti.

Target mengembalikan positioning klub dalam dua tahun jadi bab inti visinya, yang mencakup tiga kata kunci: values, affection, dan tifosi. Karena Inter lagi nganggur total di Eropa, saat yang sempurna mengonsolidasi diri. Agaknya, Erick akan memanjakan Walter Mazzarri di bursa transfer Januari serta meng-assesment Piero Ausilio dan Marco Branca, dua otak mercato di Inter. @riefnatakusumah

(foto: elenganche.es/republicca.it)