Monday, January 7, 2008

Problem Tanggung Jawab Pssi

Saat menjalani peran jurnalistik ke luar negeri, aku sering dibuat terdiam oleh pertanyaan sepele. Mulai dari petugas imigrasi, sopir taksi, resepsionis hotel, para rekan wartawan, kadang sampai pemain bilang begini: "Wah, dari Indonesia? Untuk apa Anda datang jauh-jauh ke sini cuma bukan untuk sepak bola negara Anda?"

Saat menjalani tugas jurnalistik ke luar negeri Persoalan Tanggung Jawab PSSI
Banyak ragam pertanyaan yang saya harus jawab dengan cara elegan seraya mengakui kebenaran prinsip right or wrong is my country. Saya katakan hampir sebagian besar orang Indonesia penggemar dan melek sepak bola. Walau demikian, ada juga saatnya aku terpojok, yang bikin hati mangkel plus napas di hidung jadi panas. "Apa Indonesia punya kompetisi liga?" kata seorang petugas imigrasi di Polandia pada 1997, entah karena iseng atau lugu.

Ketika aku ceritakan bahwa di Indonesia malah ada liga "sepak bola api", yang sering dipertandingkan santri-santri di pesantren itu, giliran dia yang melotot. Sepak bola Indonesia memang mudah dilecehkan sehingga dijamin tak akan pernah mampu sombong se-ASEAN saja.

Jangankan dunia, kita saja kadang sebal dengan apa yang terjadi di kompetisi liga dan tim nasional contohnya. Dalam perjalanan, seorang wanita Italia bertanya pada aku, "Apakah di negara anda mencetak gol ke gawang sendiri merupakan seni manajemen yang lazim?" Nah!

Saya tergagap sambil cepat-cepat mengingat apa yang telah terjadi. Tapi, aku benar-benar terpojok. Rupanya ia masih tak habis pikir dengan gol bunuh diri ala PSSI dikala melawan Thailand di Piala Tiger 1998. Untuk menghindari Vietnam di semifinal, saat itu mereka bikin seni manajemen memalukan sejagat sepanjang masa: memasukkan bola ke gawang sendiri, kemudian merayakannya! Tidak hanya pemain Thailand, para penonton di stadion, apalagi dunia, kita saja yang menonton pribadi dari TV dalam sekejap juga tercengang.

Mungkin ini pelajaran mahal buat PSSI. Apa pun yang terjadi, yang telah dilakukan cepat atau lambat akan diketahui dunia. Yang pasti, orang-orang mirip aku bisa menanggung getahnya. Apakah pejabat PSSI pernah punya pengalaman serupa? Bicara soal sepak bola Indonesia memang tiada habisnya. Episode per episode berisi keributan, kekacauan, kecurangan, dan kesemrawutan. Kita terus dikungkung paradoks seumur hidup, mungkin dari belum dewasa sampai jadi kakek-kakek nanti. Antara yang dilihat dan dirasakan benar-benar tidak nyambung!

Ketika menyaksikan Euro 2004, Liga Inggris, atau sekarang Liga Champion, otak, hati, dan mata kita seolah-olah bekerja tepat. Memang demikianlah sepak bola, bung! Lantas sehabis ganti saluran TV, dan kebetulan ada anak bangsa tengah main, entah itu dengan sesama atau negara lain, jujur saja, pertama kita berharap penuh, lalu impian tinggal separuh, tapi selanjutnya dan selebihnya ialah umpatan.

Masalah tim nasional bukan lagi teknis, melainkan juga psikis. Itu gampang terlihat di kancah Piala Asia 2004 dan Pra-Piala Dunia 2006. Kita ternyata sekelas dengan Sri Lanka. Saya bergumam dalam hati, "Sebentar lagi bisa jadi kita dikejar Filipina atau Timor Leste." Alamak! Enam tahun sesudah peristiwa yang memojokkan aku itu, ternyata PSSI dan sepak bola Indonesia telah "berubah". Sayangnya berubah makin semrawut. Enam tahun kemudian itu, Turki, Yunani, dan Latvia masih wangi kencur di pelataran Eropa. Kini, lihatlah prestasi mereka.

AFC Khawatir

Di Asia, kinerja VFF ("PSSI" Vietnam) sukses mengangkat harkat bangsa itu. Korea Selatan kini amat respek sehabis pernah dikalahkan di Pra-Olimpiade 2004 dan terlihat setara saat tanding di Pra-Piala Dunia 2006. Belum lagi Irak, yang frekuensi bom bunuh dirinya jauh lebih sering, kini telah berstatus semifinalis Olimpiade 2004.

Hiruk-pikuk menonton sepak bola Indonesia mampu seperti dagelan di panggung Srimulat atau tayangan krmininal. Ada lawakan, ledekan, tertawaan, juga ketakutan bahkan bagi yang tidak tahu-menahu soal bola. Suasana faktual yang mampu ditangkap paling cuma fanatisme.

Jika di Eropa misalnya main bola yaitu sebuah peluang besar, di Indonesia justru sebuah usaha besar. Jangan lagi mengincar prestasi atau karier, bermain kondusif dan nyaman saja susah. Pasalnya si pemain dengan gampang bocor kepalanya disambit kerikil bata. Yang agak mendingan mungkin dihantam lawan entah di muka, perut, atau kaki.

Sepak bola PON XVI kemarin misalnya. Ada kiper yang patah kaki, wasit yang diburu penonton bak orang-orang Aborigin menguber-uber kanguru untuk disate, juga seorang instruktur yang sempat kehilangan doktrin diri menjadi manusia sebab sewaktu ditimpuki batu dia merasa seperti seekor bekantan kesasar ke perkampungan warga.

Pendek kata, dari motif dan tingkah lakunya sepak bola nasional seperti menentang dan menantang peradaban insan, jauh sekali dari sila kedua Panca Sila yang puluhan tahun menjadi falsafah bangsa, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bagaimana menyelesaikan semua ini? Apakah DPR atau presiden yang baru nanti harus turun tangan semoga menyebabkan sepak bola sebagai olahraga terlarang mirip raja-raja Inggris dulu (Edward III, Richard II, Henry IV dan V)?

Bukankah sesuatu yang tak berkhasiat atau berbahaya bagi orang banyak mampu disebut sebagai kemudaratan? Jauh sebelum AFC, via sekjennya, Dato' Peter Velappan, menyatakan, aku telah yakin bahwa sumber permasalahan yakni PSSI karena secara positif organisasi inilah yang memang bertanggung jawab atas acara sepak bola di Indonesia.

Akhirnya AFC urun rembuk untuk membenahi PSSI melalui acara Vision Asia. Tujuannya yaitu menaikkan standar sepak bola Indonesia di masa globalisasi. Sebanyak 240 juta penduduk Indonesia ialah tambang emas sepak bola tiada tara di Asia. Seharusnya itu mampu mengangkat alis mata tinggi-tinggi.

PSSI yaitu organisasi besar, ingin menjadi besar tapi juga takut besar karena dikelola tanpa cita-cita besar. Satu yang sepele: situs resmi saja mereka tidak punya. Bagaimana PSSI mampu mendapat feedback yang orisinal dari masyarakat? Selama ini PSSI hanya mengharapkan kontrol dan input dari media massa. Itu saja ternyata belum cukup.

(foto: primadaily.com)