Thursday, June 16, 2011

Copa America: Menjual Tradisi Membeli Bisnis

Di kala trend gres kompetisi liga utama Eropa dan Liga Champion belum dimulai, juga Piala Libertadores barusan usai, Copa America 2011 niscaya jadi satu-satunya ajang kelas atas yang layak dinikmati penggila bola. Sepekan ini mata dunia telah mengarah ke Argentina, yang menggelar kejuaraan kuno Campeonato Sudamericano de Selecciones.

Di kala musim baru kompetisi liga utama Eropa dan Liga Champion belum dimulai Copa America: Menjual Tradisi Membeli Bisnis
Copa America masih mencari model bisnis yang tepat.
Dalam konteks bisnis, Piala Dunia, Piala Eropa, dan Liga Champion ialah tiga besar marketshare pagelaran sepak bola dunia. Dalam deret ukur, posisi Copa America rasanya terperinci. Ia ada di urutan empat, masih mentereng dibanding Piala Afrika, Piala Emas, Piala Libertadores, bahkan Piala Asia. Tapi lazimnya sebagai salah satu turnamen regional utama, benturan antara gengsi, tendensi, dan bisnis tampaknya sulit teratasi di tanah Latin.

Dalam hal marketing dan promo contohnya, maaf, jauhlah dibanding perhelatan EURO di Eropa. Padahal dari sisi kualitas turnamen, bisa jadi Copa America ada di urutan satu. Lucunya lagi, di antara tujuh kejuaraan tradisional utama tadi, Piala Amerika yakni kejuaraan sepak bola internasional yang tertua alasannya digelindingkan pertama kali pada 1916. Tahun ini Copa America memasuki edisi yang ke-44.

Kenapa Copa America sulit berkembang bisnisnya? Bukankah FIFA sudah habis-habisan membantunya? Benar, dalam dua pagelaran terakhir, 2007 dan 2011, keputusan FIFA memperbanyak tubruk persahabatan antarnegara, membuat Copa America lebih bermutu sebab setiap peserta punya persiapan matang. Itu teorinya. Prakteknya tak semudah itu. Makara apa ujung pangkalnya? Sepele, ini cuma soal genap atau ganjil! Ia ada di tahun ganjil.

Barangkali karena merasa terdepan peradabannya dengan fakta menguasai bisnis dunia, orang-orang Eropa dikenal lihai dalam lobi dan perundingan. Pada kesannya, risikonya seperti ini. Piala Dunia dan Piala Eropa ada di tahun genap. Piala Amerika dan Piala Emas pada tahun ganjil.

Sementara itu di Piala Afrika dan Piala Asia, meski masuk tahun genap, tapi bahwasanya ada di tahun ganjil. Tepatnya pada awal tahun genap, antara Januari-Februari. Begitulah seterusnya pokok duduk perkara bagi bangsa-bangsa Latin, Afrika, dan Asia yang tidak pernah bisa mengalahkan pamor sepak bola bangsa Eropa.

Berangkat dari sini esensi dan tendensi Copa America membias secara evolutif. Alih-alih mau mengembalikan supremasi Futbol Latino di pentas dunia juga meraih keuntungan besar sisi bisnisnya, Conmebol - federasi sepak bola Amerika Selatan - justru melupakan tradisi asal, kadang melepaskan identitas asli.

Sungguh ironis kalau hampir semua peserta, plus Brasil dan Argentina, menjadikan Copa America medan preparasi sempurna untuk tujuan utama: kualifikasi World Cup! Dengan jatah 4+1, sekarang 9 negara Conmebol minus Brasil, tahun ini akan memainkan lakon yang paling menjanjikan sepanjang sejarah.

Jika bukan dari Copa America 2011, kapan tim nasional Brasil mampu bertemu lawan tangguh secara intensif dan kompetitif? Dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, Selecao tidak ikut kualifikasinya. Ini yang bikin Copa America di bulan Juli ini dianggap sangat serius oleh pelatih nasional Mano Menezes.

Beban lebih berat ikut dirasakan Argentina. Selain temanya sama dengan Brasil, namun puasa gelar internasional sejak 1993, bikin pelatih Sergio Batista kadang suka merenung. Secara spesifik, Brasil dan Argentina punya masalah internal yang paling pelik, ironisnya, justru sebab kebanjiran pemain anggun.

Tanpa metode dan sistem permainan yang baku, rasanya keberhasilan tetap sulit dicapai. Brasil yang ingin mematangkan teladan 4-2-3-1 atau Argentina yang 4-3-3 harus menentukan siapa starter di tiap posisi. Saat ditahan 0-0 oleh Kosta Rika bulan lalu, La Albiceleste tampil tanpa Lionel Messi. Batista mencoba Jose Sosa dan Nicolas Gaitan sebagai penyerang sayap. Hasilnya pun awut-awutan. Brasil pun sekarang sudah dirundung polemik. Mulai dari rakyat, data statistik, dan fakta lainnya; diyakini tim Samba harus menyediakan tempat buat pemain old crack seperti Lucio di belakang dan Elano di tengah.

Persoalan kedua Copa America ialah pandangan sinis publik dan pers Eropa yang menganggap kejuaraan yang dilahirkan untuk memperingati Revolusi Mei di Argentina ini sebagai banyolan. Copa America bukanlah turnamen yang murni mewakili aspirasi sepak bola negara-negara Amerika Selatan. Ketika urusan belum kelar, pada 1993 Conmebol malah mengundang dua anggota zona Concacaf - Meksiko dan AS - sebagai pelanggan gres tanpa menyadari dampaknya.

Ini lucu mengingat tiga negeri Amerika Latin - Guyana, Suriname dan Guiana Prancis - yang jelas-terperinci tetangganya Venezuela dan Brasil, malah 'dibuang' ke zona Concacaf! Ketianya dilempar paksa ke bumi Amerika Tengah. Peta bumi coba diubah-ubah, namun realitanya tidak mampu kecuali memaksakan fantasi. Begitulah, barangkali, sifat mendasar manusia yang sering meminta 'pemakluman'. Namun bagi yang sedikit menghormati adat dan moralitas, ini merupakan sebuah paradoks.

Sinisme Eropa
Di kala musim baru kompetisi liga utama Eropa dan Liga Champion belum dimulai Copa America: Menjual Tradisi Membeli Bisnis
Jepang terpaksa diundang demi menaikkan nilai jual turnamen.
Perjudian Conmebol nyaris celaka setelah dalam debutnya itu, Meksiko nyaris jadi juara sebelum dihentikan Argentina 2-1 di final. Meksiko dan AS hadir lagi di 1995. Lantas kekonyolan Conmebol makin lama makin menjadi-jadi. Kosta Rika, Honduras, bahkan Jepang pernah hadir atau diundang. Bayangkan, Jepang! Kenapa tidak China saja sekalian? Pasti Copa America mampu nilai audiensi mengingat populasi negeri itu.

Banyak pihak yang nyengir kuda melihat terobosan Conmebol yang mengabaikan tradisi dan identitas kejuaraan. Meksiko paling berilmu memanfaatkan momentum ketika diundang. Negeri Sombrero ini segera mengirimkan barisan talentanya, menyisipkan para pemain muda (U-23) untuk pematangan sesungguhnya menghadapi era depan. Namun lucunya, Kanada di 2001 dan Jepang di 2011 ditolak ketika akan mengirim pemain mudanya.

Lantaran tradisinya yang sudah cacat, dan gengsinya tengah dipertaruhkan, ada rumor yang mengatakan bergotong-royong Polandia - salah satu tuan rumah EURO 2012 - ingin sekali diundang tahun ini! Bos PZPN (PSSI-nya Polandia), Grzegorz Lato, sangat berkepentingan dengan Copa America di Argentina. Lato ialah legenda hidup Polska yang datang-tiba merasa dekat dengan Argentina sewaktu bermain gemilang di Piala Dunia 1978.

Selain itu dikabarkan pelatih nasional Franciszek Smuda dirundung rasa pesimis alasannya ujicoba timnya untuk persiapan di putaran selesai nanti amat minim. Boleh jadi Polandia masih punya gengsi ketimbang Conmebol. Mereka jelas risih meminta-minta diundang. Namun ini bukan tanpa alasan.

Jepang, yang ada di zona Asia (AFC), selalu dibutuhkan hadir alasannya adalah Conmebol melihat sisi sponsor dan nilai marketing yang dibawa Japon. Alasan lain pantasnya Polandia hadir sebab sebelum mengundang Jepang, Conmebol resmi mengundang juara dunia Spanyol! Namun RFEF (PSSI-nya Spanyol) tidak berani mengusik masa liburan para pemain nasionalnya.

Patut dipertanyakan, kenapa orang-orang Latin tak berguru dari pengalaman kala kemudian? Mengapa spekulasi ini dibiarkan FIFA? Hal lain juga sering menjadikan sinisme pada Copa America yaitu soal ketidak-siapan infrastruktur, musibah, insiden heboh yang dilakukan pemain, sampai wasit yang kerap kontroversial. Anda seharusnya masih ingat yang ditorehkan Martin 'El Loco' Palermo pada Piala Amerika 1999 di Paraguay.

Di kala musim baru kompetisi liga utama Eropa dan Liga Champion belum dimulai Copa America: Menjual Tradisi Membeli Bisnis
Kisah unik Martin Palermo pada 1999 menjatuhkan nilai Copa America.
El Loco mempermalukan dirinya sendiri karena gagal mengeksekusi penalti sampai tiga kali ke gawang Kolombia! Saat itu Palermo yakni striker kelas atas Argentina. Ada acuan lain yang lebih kontroversial. Di abad reputasinya sedang membubung tinggi, Luiz Ronaldo bikin ulah yang tidak terlupakan. Kesal karena diganti dikala lawan Meksiko di semifinal, dia eksklusif ngeloyor ke luar kamar ganti, ambil baju, dan ngabur ke hotel.

Usai lepas kostum, Ronaldo ngacir keluar stadion untuk berkencan dengan wanita serta berbelanja di Ciudad del Este. Itu dilakukan saat timnya masih main! Media massa di Eropa bikin cerita Cash for Chaos untuk menyorot kelakuan profesional negatif bintang-bintang Latin yang bermain di klub Eropa saat berada di rumahnya sendiri. Dikatakan, mereka berbuat begitu alasannya adalah di Eropa tidak punya kesempatan sama sekali dan dibayangi disiplin yang ketat.

Ulah heboh juga pernah ditunjukkan kiper Paraguay, Jose Luis Chilavert, yang mogok main justru alasannya negaranya menggelar Copa America! Jauh-jauh hari si eksentrik protes bahwa masih banyak dilema ekonomi yang dihadapi Paraguay ketimbang buang-buang uang dengan menjadi tuan rumah Copa America 1999. Belum lagi drama soal kepemimpinan kontroversial wasit yang memalukan mirip di Copa America 2007.

Namun dari semua kelemahan dan keganjilan tapi faktual Copa America yang disorot media massa Eropa, tak lain soal pengaturan langgar dan jumlah akseptor. Sejujurnya, 12 negara partisipan tidak ideal buat sebuah kejuaraan yang memakai sistem round-robin. Mereka selalu butuh dua tim terbaik yang diambil dari tiga runner-up. Mulai tahun ini langgar tidak dilanjutkan dengan sabung penalti langsung jikalau di 90 menit pertama berakhir imbang.

Copa America suka terjebak dalam geliat bisnisnya sendiri. Demi obsesi menyamai pamor Piala Eropa, Copa America justru semakin mengorbankan gengsi dan tradisinya. Padahal dengan mengajak Amerika Serikat saja sudah cukup. Banyak sponsor dan stasiun TV yang bahagia dengan Copa America mengingat jumlah komunitas Latino di AS.

Namun agaknya Conmebol ingin mencari untung yang lebih besar. Padahal sudah mentok sama sekali, sudah terukur. Satu contoh kecil saja, jikalau FC Barcelona tidak menginzinkan Messi tampil dengan aneka alasan, maka AFA (Federasi Sepak Bola Argentina) tidak bisa apa-apa karena pada faktanya Barcelona yang mengelola dan menjamin hidup Messi, bukan tim nasional Argentina, AFA, atau negaranya.

Bussines-Driven
Di kala musim baru kompetisi liga utama Eropa dan Liga Champion belum dimulai Copa America: Menjual Tradisi Membeli Bisnis
KIA butuh market gres di Amerika Selatan.
Kepentingan bisnis selalu bergerak ke mana-mana mencari peluang. Soal perlengkapan Lionel Messi misalnya. Sebagai sponsor resmi tim Tango, Adidas memainkan peranan penting. Seperti diketahui, ras Hispanik dan AS yakni market utama Barcelona. Inilah yang akan diatur bagaimana Barcelona dan Adidas mampu cincay. Apalagi kejuaraan bakal digelar di kampungnya Messi.

Itu kenapa Univision, jaringan TV dari AS yang memegang hak siar Copa America 2011, berharap banyak. Revenue utama TV yang berkantor sentra di New York ini ialah telenovela dan sepak bola (La Liga) yang berbahasa Spanyol, namun khusus Copa America mereka menggunakan English language.

Biaya produksi dari studio di Doral, Florida dan unit di lapangan telah ditutup oleh sponsor non-Eropa seperti: LG, MasterCard, Santander, KIA, Telcel, Claro, Canon, Budweiser, Coca-Cola, Petrobras, Seara, sampai UNICEF. Semuanya berharap banyak pada kesuksesan turnamen kuadranial ini. Kue laba pun sudah dikapling-kapling.

Uniknya, Argentina tidak mampu berbuat banyak alasannya event organizer Copa America 2011 yaitu Traffic Sports, sebuah perusahaan Brasil yang bermarkas di Miami, Florida. Traffic Sports dan Univision inilah yang mengatur liveshow ke 196 negara sejagat termasuk Indonesia.

"Walau digelar di Argentina, tapi alasannya adalah Univision yakni market leader di AS yang menguasai ajang top olah raga, maka kami mampu mendapat fragmentasinya sebagai magnet berpengaruh menjadi tontonan utama," saya Aaron Davidson, Wakil Presiden penjualan dan pemasaran Traffic Sports.
Di kala musim baru kompetisi liga utama Eropa dan Liga Champion belum dimulai Copa America: Menjual Tradisi Membeli Bisnis
Tiga sponsor utama Copa America 2011.
Mereka memilah mana sponsor berkelas platinum, gold, dan silver. Misal untuk bir yang masuk kategori silver. Saat Meksiko main, maka iklan salah satu produk Budweiser yakni InBev, yang akan terlihat. Akan tetapi saat tim Samba tampil, maka perusahaan bir Brasil, Brahma, yang mendominasi iklan baik di tayangan atau di stadion. Ketika Argentina yang main, maka bir lokal Quilmes-lah yang tayang.

Berbekal data ajang sebelumnya pada 2007, maka tingkat audiens Copa America yang dibidik Univision cukup dengan angka 2,6 juta penonton tiap pertandingan. Artinya ada angka total 67,6 juta penonton. Sebuah angka yang 'sangat kecil' dibandingkan Piala Eropa.

Tipe sponsor di Copa America juga minim jenisnya. Bank, kartu kredit, minuman, bir, kendaraan beroda empat, elektronika, tambang, dan telekomunikasi. Namun ketika dikombinasi dengan demografi penonton kejuaraan sebelumnya milik Scarborough Research, ternyata potensinya cukup menjanjikan alasannya adalah 70 persen penonton Copa America ialah kaum Adam.

Komposisi usia penonton Copa America di AS juga menarik datanya. Di usia 18-22 sekitar 6%. 25-34 (22%), 35-44 (24%), 45-54 (18%), 55-64 (11%), dan di atas 65 tahun (9%). Sedangkan dari segi penghasilan audiens, angkanya makin prospektif, 30% ada di pendapatan di atas $100.000 setahun. Berikutnya 75.000-100.000 (17%), persis sama rentang 35.000-50.000. Pendapatan antara 50.000-75.000 (15%), 25.000-35.000 (11%), serta di bawah 25.000 cuma 10%.

Jika data ini dipaparkan ke audiens di Eropa, bisa jadi dikategorikan suram. Namun itulah, standar pasar bola di Latin yang punya ekosistem tersendiri. Urusan keruk-mengeruk duit, sepak bola selalu ada celah dan celah. Untuk yang bernilai mega, Traffic Sports telah mematok bayar di muka, enam bulan sebelum Copa America bergulir. Kategori ini juga diharuskan menggelar acara ekstra seperti nonton bareng atau ekspo.

Sementara itu untuk sponsor bernilai ritel masih ditunggu sampai jelang kick-off. Bussines-driven yang digenjot kuat-berpengaruh Traffic Sports bukan tanpa hujatan di kampung sendiri. Manuel Figueroa, wartawan harian El Espectador di Bogota, pernah menulis bahwa untuk berilusi saja, Conmebol telah gagal mengangkat sepak bola Latino! Kolusi dan konspirasi para birokratnya sulit diusik.

Wilayah ini hanya diselamatkan oleh bakat dan mutu permainannya. Amerika Selatan ialah lahan Conmebol, di mana sebagian pejabatnya juga adalah tokoh teras FIFA. Jika di atas permainan, Argentina dan Brasil yakni dua besar di tanah Latin, maka begitu juga klik di Conmebol dan bisnisnya.

Terlepas itu semua, ini yang menjadikan Copa America tetap spesial, seperti gaya permainannya mereka. Bagi sebagian wartawan, dibanding turnamen ala Eropa seperti Liga Champion atau Piala Eropa yang miskin drama, Copa America biasanya penuh dengan dongeng unik di luar lapangan. Cocoklah dengan kesukaan mereka pada telenovela.

(foto: exspanish/dailymail/racing5/football-marketing/kolkatafootball)