Sunday, July 13, 2008

Euro 2008: Hiddink Lebih Mahir Dari Domenech

Grup C yang disebut-sebut sebagai Group of Death sungguhan memakan korban. Bukannya Belanda yang secara tradisional selalu dihinggapi penyakit lemah mental, tapi malahan diderita Prancis. Tim berjuluk Les Bleus, yang dipadati belasan pemain dengan kualitas top dan pengalaman mumpuni, nyaris disebut hancur total di turnamen ini.

 Bukannya Belanda yang secara tradisional selalu dihinggapi penyakit lemah mental EURO 2008: Hiddink Lebih Hebat Dari Domenech

Yang menyelamatkan tim ini dari kemiripan peristiwa World Cup 2002, hanyalah berkat penampilan mereka yang menjanjikan. Siapapun berdecak kagum dengan permainan Franck Ribery atau Karim Benzema. Bahkan Florent Malouda yang selama di Chelsea jarang meliak-liuk, mempertontonkan keahliannya berslalom merobek pertahanan lawan. Belum lagi peran Claude Makelele yang bau tanah-renta keladi, makin berumur makin tangguh.

Ada kesan, kegagalan utama Prancis disebabkan oleh cederanya kapten Patrick Vieira. Ini benar, tapi bekerjsama bukan yang utama. Kegagalan utama Prancis bahkan terjadi sebelum mereka berangkat ke turnamen! Saat merilis skuad, lagi-lagi pelatih Raymond Domenech menawarkan arogansi dus kekerasan hatinya.

Dia boleh lihai membaca lawan, tapi justru nol besar memahami psikologis dan kebutuhan skuadnya. Tak ada Philippe Mexes, Mathieu Flamini, Gael Clichy, atau Robert Pires. Pires? Ya. Kenapa tidak? Lihatlah aksi Thierry Henry yang amburadul tak keruan. Ada Henry mesti ada Pires. Itu rumusnya!

Statistik juga menerangkan, semenjak Pires dibelenggu Domenech, rekor gol Henry jadi seret. Lantaran Domenech punya urusan langsung unfinished business dengan Pires, ia dengan tegar hati mencampakan gelandang serang yang tahun ini meloloskan Villarreal ke Liga Champion 2008/09 itu.

Pires merupakan salah satu pemain yang paling mengerti kemauan Henry, barangkali selain Dennis Bergkamp dan Cesc Fabregas. Ketiga pemain inilah yang mendudukan TH14, atau TH12 di Les Bleus. Tanpa Pires, tampak Henry sering salah tingkah. Saking bingungnya dengan tekanan yang melanda diri dan timnya, Henry malah jahil memainkan kakinya yang berujung pada lahirnya gol kedua Italia yang menamatkan perjalanan mereka. O la la!

Strategi Blunder

Faktor kedua kegagalan Prancis ada di lini tengah. Jika Vieira masih diragukan tampil, kenapa tidak ada keputusan niscaya soal penggantinya? Seharusnya Mathieu Flamini. Kengototan khas Flamini akan membantu tugas Makelele agar konsen dengan peran utamanya. Ada Flamini dijamin Ribery tak akan kelayapan ke belakang mengejar-ngejar lawan. Barangkali dia tak akan cedera parah dikala melawan Italia. Lagi-lagi Domenech menafikan hal ini.

Adanya Flamini akan ikut membantu 'nafas' si gaek Lilian Thuram atau supaya tak termakan cedera. Faktor ketiga kelemahan Domenech, entah alpa atau sengaja, dia tak memanggil Philippe Mexes, si bek tengah AS Roma, yang jelas saja berguna alasannya adalah tahu betul isi dapur metoda serangan ala anak-anak Italia.

Seharusnya Domemech juga memanggil Clichy ketimbang Patrice Evra yang sudah 'habis' jikalau mengingat sepak terjang Manchester United di trend ini. Pendek kata, dari sisi teknis Domenech memang sudah kesulitan dengan materi yang ilham kreatifnya pas-pasan! Sisa kesalahan berikut Domenech ada di sisi strategi. Ketika ditahan Rumania 0-0 di partai perdana Grup C, agresi Prancis mirip di adu eksibisi saja. Jujur saja, saat itu permainan Les Bleus nggak terperinci mau apa, dan mirip tak punya leader melihat Vieira dan Henry mangkir.

Di partai kedua, berguru dari kesalahan, Prancis tampak ngotot habis dikala lawan Belanda. Sayang, modal ini tak cukup mengingat stamina para pemain De Oranje lebih oke plus seni manajemen jitu Marco van Basten. Rasa panik yang mencekam itu harus dibayar mahal, mereka justu digunduli, dipermalukan 1-4.

Kesempatan terakhir di Zurich lawan Italia berubah jadi legalisasi kehancuran strategi dan mesin perang Domenech. Orang ini blunder memainkan Eric Abidal jadi tandem William Gallas usai cederanya Thuram. Anehnya sesudah bek kiri Barcelona itu diusir wasit sebab menendang Luca Toni dari belakang, Tuan Domenech gres menurunkan Jean-Alain Boumsong.

Bukannya dari awal! Efek domino muncul. Ribery bekerja sangat keras, kemudian cedera parah. Henry panik dan stres, lalu kakinya membelokan bola tendangan Daniele De Rossi yang bekerjsama akan mudah ditangkap Gregory Coupet. Dengan satu poin, terang saja Prancis tersingkir dan jadi korban Group of Death; tapi gilanya dengan rekor menyakitkan: jadi juru kunci Grup C!

Awal menyakitkan tapi jadi tamat yang menyenangkan justru digapai di Rusia pada Grup D. Bermula Rusia ditampar keras 4-1 oleh tim Matador dalam langgar seru di Stadion Tivoli Neu, Insnsbruck, (10/6). Tiga gol David Villa dan Fernando Torres, bukan saja mengejutkan publik Rusia tapi bikin nyesek Guus Hiddink, sang pelatih. Maklum saja, ketika itu Rusia memainkan ball possession dengan apik bahkan menang 54% berbanding 46%. Namun begitu bola berpindah ke kaki-kaki pemain Spanyol dengan cepat, mereka tetap terkesima.

Berkilauannya nama-nama top di kubu Spanyol disinyalir yang membuat Igor Akenfeev cs. minder duluan sebelum bertarung, apalagi sang andalan, Andrei Arshavin, masih terkena larangan main. "Anda boleh sebut kami merogoh isi dompet dan menunjukkan seluruhnya pada Spanyol," begitu Hiddink menggambarkan hasil laga perdana timnya.

Di mata instruktur 'spesialis' semifinal ini, tim Tirai Besi tampil kekanak-kanakan dan naif alias lugu! Ini mengingatkan orang pada kiprah Yunani di Piala Dunia 1994 saat bertemu Argentina. Penyebabnya hampir semua pemain Yunani mengidolakan Diego Maradona dan menempeli kamarnya dengan poster sang bintang. Jadi dikala El Diego berlenggak-lenggok dengan bola, mereka bukannya merebut malah kebablasan takjub.

Pidato Hiddink

Barangkali tema peristiwa di Innsbruck nyaris sama. Bahkan belakangan diketahui bahwa lebih banyak didominasi pemain Rusia nge-fan berat dengan Barcelona. Hiddink, yang tahu betul setiap detil kejadian di sepak bola, eksklusif menepuk-nepuk pipi seluruh pemainnya semoga eling. Nah, inilah bedanya instruktur lengkap dengan yang setengah-tengah. Pada partai kedua di Stadion Wals-Siezenheim, Salzburg, (14/10), Rusia berdiri dan menang 1-0 atas juara bertahan Yunani lewat partai sengit bin alot. Melihat penampilan Rusia, cita-cita Hiddink sontak membuncah.

Ribuan suporter Rusia yang royal dan loyal itu sangat disayangkan bila harus angkat koper duluan dari gegap gempita Euro 2008. Sebelum pertandingan, Hiddink menyemproti anak buahnya dengan pidato-pidato membakar semangat. "Kalian mampu bermain bola dengan baik, buktikanlah! Tampilkan karakter dan kualitas kalian, ini tubruk penentuan hidup mati langkah kita. Jangan lupakan hal itu barang sedetik pun selama 90 menit!" umbar Hiddink berapi-api.

Rabu, 18 Juni, Hiddink dan pasukannya kembali ke Tivoli Neu, yang delapan hari lalu memberi kenangan jelek. Apa yang dilakukan Hiddink untuk menghapus sedikit syok? "Tiada jalan lain untuk bermain kecuali berusaha menang semenjak menit awal. Tanpa itu percuma!" sergahnya pada latihan terakhir. Bukan apa-apa, Swedia yaitu lawan yang paling dihormati Hiddink.

"Meski penduduknya cuma 8-9 juta orang, Swedia selalu mengatur timnya dengan baik di turnamen besar. Mereka bermain sederhana, terang dan konkret. Swedia tak mencari kemenangan dengan jalan bertahan atau bermain kotor. Kepercayaan diri mereka jago dan tak pernah panik. Swedia adalah skuad dengan kontrol dan konsentrasi andal," demikian Hiddink mendeskripsikan lawannya sebelum pertandingan.

Di satu sisi, Rusia ketambahan tenaga. Dialah Andrey Arshavin, sang bintang yang juga bekas kapten nasional di era pelatih Yuri Semin. Melihat dua kali absen, awalnya Hiddink ragu menurunkan Arshavin karena takut merusak irama permainan timnya. Tapi melihat status do or die langgar, hal itu sirna dengan sendirinya. Sungguh fenomenal, Arshavin malahan membayar akidah pelatihnya. Tak dinyana, Swedia dibabat 2-0 lewat gol Roman Pavlyuchenko dan Arshavin. 

Rusia lolos ke perempatfinal, melaju untuk menjemput impiannya: mengulangi euforia 1988 saat melaju ke selesai Piala Eropa di Jerman. Bagi Hiddink langsung, pelatih legendaris PSV Eindhoven di 1987-88 yang memberi treble winner, sukses ini melesakkan euforia pribadinya sebagai orang yang memang bertangan hambar. Julukan sebagai seorang ahli semifinalis terus menempel di dirinya. Orang terkenang yang beliau lakukan pada Belanda di Piala Dunia 1998 dan Korea Selatan di Piala Dunia 2002.

(foto: premiershiptalk/reuters/lavoixdunord)