Friday, January 15, 2016

Antiteori Pemberontak Di Dunia Olah Raga

KATA orang yang mahir berfilsafat, tidak ada yang berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri, betul? Motif atau pelampiasan para jagoan olah raga, nyaris tidak pernah berubah. Begitu juga di sepak bola. Esensi untuk pelajaran hidup tetap sama, bedanya hanya pada ruang dan waktu.

 tidak ada yang berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Contoh terbaik tipikal kepahlawanan kaum pemberontak.
Para olahragawan dan pesepakbola selalu digenangi oleh multi perilaku ketika bermain. Lantas attitude itu rentan terkontaminasi oleh penonton, keberuntungan, kesialan, yang kesemuanya terkumpul di kaki atau kepala mereka. Ada perilaku diskriminatif, cemoohan, bahkan kutukan, yang lazim menerpa mereka yang kelak teruji sebagai pendekar, hero.

Buat segelintir kaum pesepak bola ini, status mereka yakni pengumpul sentimen dan impian dengan simbolnya: momentum kemenangan. Sepak bola selalu diintip takdir. Bahkan buat orang-orang berkulit hitam, buat mereka yang tidak menginginkannya atau tidak sadar, tidak tahu; selalu ada sosok-sosok istimewa yang selalu kejatuhan nilai-nilai simbolis. Mereka seolah-olah tak terkalahkan, dilindungi sinar nasib baik meskipun martabatnya terinjak-injak.

Tawlon Manneh Oppong Weah, contohnya, menjadi acuan terdekat bagaimana ia didamba dan diharapkan begitu banyak orang serta dikuntit sinar nasib baik. Nilai perbuatan atau usahanya begitu fenomenal, inspirasional, menjangkau satu Afrika. Bahkan kemauannya menginspirasi dunia. Jadi bukan saja buat rakyat Liberia, atau masyarakat yang hidup di rawa-rawa sekitar pelabuhan Monrovia, di mana beliau dibesarkan.

Lelaki sukses yang lalu dikenal dunia dengan nama George Weah, merupakan Pesepak bola Terbaik Dunia pada 1995 yang sedetik begitu diberojolkan ibunya pribadi berstatus sebagai gelandangan sesuai nasib kedua orang tuanya. Pria tegap yang lalu hari memaksa dirinya kuliah di Universitas De Vrys, di Downers Grove, Illinois, Amerika Serikat, dilahirkan di sebuah gubuk yang terbuat dari kepingan kardus dan kaleng di dekat pembuangan sampah dan rawa yang dipenuhi nyamuk, lalat, kepinding, tikus, hingga ular.

 tidak ada yang berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
George Weah menginspirasi Liberia dan seluruh Afrika.
Di era itu, andai menyaksikannya pribadi dari hari ke hari, maka Anda sangat yakin bahwa bocah itu tidak akan pernah dihampiri nasib baik, rezeki yang terperinci. Anak kumuh bin dekil tersebut seluruh kehidupan dan keadaannya sangat getir. Pada dikala ini, barangkali, nilai keimanan seseorang tidak kuat diuji untuk mengatakan anak 12 tahun, yang suka merokok dari rumput kering serta bekerja sebagai rampok kecil atau pencuri profesional, kelak akan menjadi pesepak bola terbaik dunia, seorang pengusaha sukses, politisi, calon presiden, seorang humanis sejati. Bandar taruhan sekelas William Hill pun - yang sering memastikan nasib baik atau jelek - tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan rencana Illahi. Tidak seujung rambut pun!

Robinson dan Guadamuch

Namun dongeng antiteori model Weah tidak selalu terjadi di sepak bola. Tokoh pelopor hak sipil di AS yang bernama Jackie Robinson bahkan dianggap sebagai nabi oleh sekelompok masyarakat fanatik yang keblinger, yang separo sinting. Apa yang diperbuat Jackie? Di final tahun 1940-an, Tuan Robinson dipilih takdir sebagai pemain bintang kulit gelap pertama di olah raga masyarakat kulit putih: bisbol.

Pada dikala itu dari hari ke hari, tidak akan pernah terjadi orang kulit hitam mampu diterima orang kulit putih. Atau juga sebaliknya, orang kulit putih tidak bisa berbaur , bersebelahan dan membuatkan dengan kaum negro. Di bioskop, di kedai kopi, gugusan dingklik di stasiun atau di dalam kereta, bertetangga, bahkan di kuburan.

Lewat tontonan olah raga, di dalam permainan, Jackie Robinson mengubah segalanya. Kemampuan luar biasanya, tubuhnya yang atletis - seperti ciri khas orang kulit gelap bila mendapat gizi yang baik - tidak pernah dikalahkan oleh hinaan, makian, atau lemparan kacang ke arahnya baik di dalam maupun di luar stadion. Di jalanan, masyarakat kulit putih sering meludah di depannya begitu berpapasan dengan sang inspirator. Dan, Robinson pun acap kali secara teratur menerima ancaman kematian. Sekali lagi, keahlian serta kemampuan fisik bisa mengubah segalanya.
 tidak ada yang berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Dihina oleh bule tapi Jackie Robinson dianggap 'nabi' oleh negro fanatik.
Secuil contoh lagi datang dari Guatemala. Orang-orang pribumi yang menjadi penghuni awal bagi kaum pendatang keturunan Meksiko atau Spanyol, selama tujuh turunan selalu rajin menghina mereka: suku Indian Quiche, pecahan Maya - bangsa agung zaman dahulu masa. Di negeri yang jauh kalah luas dari Kalimantan Timur itu hidup seorang pelari jarak jauh, yang tidak pernah terkalahkan dalam marathon, yang pernah menyambung hidupnya dengan menjadi pemungut bola golf di sebuah lapangan.

Orang ini bernama asli Quiche, yakni Doroteo Guadamuch, yang kemudian rasisme mewajibkan dia mengganti namanya menjadi Mateo Flores. Namun di lalu hari, dari perbuatan heroiknya memaksa bangsa Guatemala menabalkan nama itu untuk stadion nasional sepak bola mereka di kota Gueate, nama alias ibukota mereka, Guatemala City.

 tidak ada yang berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Doroteo Guadamuch, Indian orisinil yang dikekang oleh pemerintah Guatemala.
Entah tidak ada ketulusan, atau juga begitu mudahnya nasib baik dan buruk mengombang-ambingkan merek buatan Mateo Flores ketimbang Doroteo Guadamuch, pada 1996 di stadion ini terjadi agresi penjemputan nyawa 90 orang oleh malaikat kematian dalam sebuah tubruk sepak bola. Sejarah pun telah mencatatkan nama Mateo Flores sebagai daerah maut massal sekaligus pendekar olah raga bangsa Guatemala.

Antiteori Maradona

Harus diakui, dikala melongok bisnis dan gairah sepak bola serta sisi takdirnya, amat sulit menghempas nama Diego Armando Maradona, insan dengan beberapa kata, beberapa pernyataan, dan banyak pertanyaan. Apakah seorang pendekar sepak bola populer yang mengilhami banyak orang, menyeret jutaan orang lagi mengidolainya; selalu mempunyai takdir, salah satunya, sebagai insan kesepian? 

Apakah seorang Maradona menghipnotis masyarakat, atau masyarakat yang mempengaruhi beliau? Apakah dia lari dari kenyataan, menghindari kejaran anjing-anjing popularitas yang coba merobek-robek nafas kehidupannya? Maradona merasa seperti dikejar-kejar ketenaran yang melingkari dirinya, atas perbuatan ahli di masa lalunya. Bisakah beliau bertahan? Bisakah dia hidup tanpa ketenaran? Sifat dari ketenaran yaitu bahagia membalaskan dendam pada kemiskinan, cemoohan, penistaan.

Dalam karya apik Mitos dan Realitas, Eduardo Galeano pernah berhipotesa bahwa Maradona bangkit di dua sisi ketenarannya, kokain dan sukses. Tampaknya tidak satu pun klinik di dunia yang mampu menyembuhkan ketagihannya itu. Menurut sastrawan Argentina tersebut, Maradona menolak pensiun dari ketenarannya alasannya adalah ia menyerah untuk mati. Dia sering menolak nonton adu premium sepak bola karena adrenalinnya sulit dicegah. Sifat dan sikap kurun kemudian selalu membelitnya, perasaan untuk bermain dan menang.

 tidak ada yang berubah di dunia ini selain perubahan itu sendiri Antiteori Pemberontak di Dunia Olah Raga
Diego Maradona, simbol ketenaran dan kepahlawanan kaum bawah. 
Maradona sulit mendapatkan kenyataan beliau dielu-elukan orang banyak dikala duduk di tribun VIP. Dia menginginkannya di atas lapangan hijau. Memakai celana kolor ketat, bukan celana materi katun atau denim. Sang yang kuasa sepak bola tidak suka memberi tanda tangannya untuk segelintir orang atau belum dewasa, kecuali menanda-tangani ingatan baka di kepala mereka melalui segala aksi individunya; untuk dirinya, untuk timnya, bangsanya.

Dapatkah beliau menerima kenyataan pahit untuk final kariernya yang anggun? Kakinya lebih indah daripada mulutnya. Maradona tidak pintar berargumen atau berkomunikasi normal kecuali dengan permainannya yang aneh di lapangan hijau. Sanggupkah dia menepiskan simbol tuhan begitu masuk ke dalam stadion untuk menonton laga sepak bola?

Ketika di Argentina muncul sekelompok partisan bin militan bin fanatik yang mendirikan agama Maradona, atau pemberhalaan dirinya berwujud Il Nostro Dio di Napoli, mesin waktu langsung bekerja membalikkan dunia ke zaman Aztec atau Maya. Bangsa ini selalu mengorbankan jagoan terbaiknya untuk sang yang kuasa, atau pilihan lain yang sulit diterima akal sehat: membagi-bagi belahan tubuhnya untuk disantap rakyat.

Kadang masa kita lebih berutang budi pada sepak bola daripada membutuhkannya. Rasa terima kasih bergulir begitu saja pada pemain-pemain pemberontak yang berani melawan stigma dan anggapan nista. Mereka berjuang keras demi kehormatan sambil memberi banyak keindahan dalam hidup kepada kita. Dunia olah raga banyak memperlihatkan wangsit hidup kepada kita.

(foto: dotnews/thegatewaypundit/notevenpast/pinterest)