Sunday, March 22, 2015

Penurunan Kualitas Serangan Arsenal

Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi, apapun itu termasuk soal mazhab sepak bola yang dianutnya. Dia tidak pernah takut mengungkapkan semua yang ada di benaknya tentang kehidupan, ihwal permainan. Keyakinannya adalah tiada martabat tertinggi di permainan terindah itu selain tampil menyerang, menyerang, dan menyerang.
Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Perhatikan kualitas yang dimiliki Arsenal pada ekspresi dominan ini.
Sejak itu kata Forward pun dijadikan jargon lain klub bersanding dengan Victoria Concordia Crescit. Sejarah telah menuliskan dialah penggusur gaya traktor warisan George Graham, - boring boring Arsenal - tatkala resmi memasuki pintu gerbang Highbury. Ia peletak dasar seni permainan menyerang, memodernkan klub tanpa harus menghilangkan identitas atau tradisinya.

"Tak seorang pun yang dikontrak di klub ini tanpa persetujuan saya!" inilah kalimat kedua yang diucapkan Le Professeur di hadapan para eksekutif dan pemilik klub yang terletak di wilayah Holloway, London Utara, pada hari Senin 30 September 1996. Ucapan ini merupakan sinyal awal dia akan membangun konsep permainan.

Titah Wenger yang pertama, ketika itu pada David Dein dan Ken Friar (wakil presiden dan administrator klub): "Sekarang aku menginginkan transfer pemain gres. Saya tidak mau buang-buang waktu berdebat soal keuangan klub dan gaji mereka. Saya akan memberi saran siapa yang kita harus pilih, pemain yang sempurna untuk waktu yang tepat".

"Saya mempunyai kekuatan teknis atas pemain-pemain baru tapi tidak berkecimpung dalam penyelesaian soal keuangan klub. Yang paling penting dari itu semua yakni tidak satupun pemain yang terlibat dengan Arsenal tanpa persetujuan aku. Ini hal sakral," imbuhnya tegas. Uniknya, hal ini terjadi sebelum beliau dipilih resmi menjadi manajer Arsenal.

Saat mengepak koper-kopernya di Nagoya untuk siap-siap terbang ke London, Wenger telah meng-order pada Arsenal untuk segera mengamankan dan menciduk Remy Garde dan Patrick Vieira, yang ironisnya ialah dua pemain bertahan. Hanya dalam hitungan hari, Dein pun mengumumkan Arsenal telah mengontrak kedua pemain yang sama sekali tak dikenal pers Inggris itu dengan biaya 4 juta pound.

Orang bertanya-tanya, apa maksud semua ini? Bukankah Arsenal mempunyai Five Companions untuk pelapis gawang David Seaman - Tony Adams, Steve Bould, Martin Keown, Lee Dixon, Nigel Winterburn - yang sangat berkilau? Betul. Walau diisi Paul Merson, Ray Parlour dan David Platt, lini tengah Arsenal kadang masa menjadi sansak di hadapan tim-berpengaruh kuat alasannya adalah tidak punya jangkar.
Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Tanpa pertahanan mumpuni, konsep Arsenal Way gagal melulu.
Permainan Arsenal mirip poker. Kadang ahli, tak jarang pula loyo. Duet Dennis Bergkamp dan Ian Wright keseringan tidak mendapat suplai sebab lini tengah yang mudah bolong. Efek lebih angker terjadi pada Adams, Bould, atau Keown yang kerap bergantian cedera akhir mendapatkan tekanan bertubi-tubi. Lini tengah Arsenal tidak pernah stabil untuk konsep permainan menyerang.

Itulah kenapa Vieira didatangkan Wenger, dengan Garde menjadi pelapisnya termasuk untuk cadangan tiga bek tengah. Seperti diduga, korban pun berjatuhan. Merson dan Platt tersingkir. Ini adalah proses awal transisi permainan pragmatis warisan Graham menuju ofensif murni. Setelah enam bulan menjalani musim pertamanya, 1996/97, Wenger menjalankan bab kedua misinya.

Di bursa transfer ekspresi dominan acuh taacuh, Wenger kembali bikin termenung para administrator klub, juga fan, ketika mendatangkan Nicolas Anelka, 18 tahun, seorang Mike Tyson di sepak bola. Apa maksud beliau memungut anak jalanan yang belum usang dibina Paris Saint-Germain itu? Dengan tubuh yang berpengaruh tinggi dan cepat, Anelka difungsikan untuk menambah pergerakan dan rotasi di lini depan.

Sebelum abad Wenger, Arsenal bergotong-royong punya duet striker top pada sosok Ian Wright dan John Hartson. Wright bertipe finisher yang kelihaiannya bikin gol di dalam kotak penalti. Sedangkan Hartson difungsikan menjadi catu daya bagi Wright melalui banyak sekali flick-nya. Jelas terlihat gaya klasik Inggris yang menjiwai seluruh aspek serangan Arsenal.

Adapun tipikal Bergkamp ialah attacking-midfielder, playmaker, atau second-striker yang kinerjanya kerap tambal sulam dengan Merson. Selama ini tidak banyak yang melihat kelebihan Bergkamp selain Wenger. Dalam konsep sepak bola menyerang yang dibangunnya di Arsenal, satu-satunya puji syukur yang harus dipanjatkan Wenger ada di Arsenal ialah beliau diwarisi Bergkamp!
Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Duet penyerang Arsenal sebelum ada Thierry Henry.
Duet penyerang Arsenal kemudian diisi oleh Anelka-Bergkamp. Lewat perubahan inkremental di tahun perdananya, Wenger mengakhiri musimnya dengan mencetak 62 gol, kemasukan 32 gol serta meraih 68 poin bersama Newcastle United dan Liverpool. Hanya kekalahan agregat gol saja yang menciptakan Arsenal berada di urutan 3 di bawah Manchester United (75 poin) dan Newcastle.

Emirates-Dein-Henry

Dari statistik terlihat jumlah kebobolan Arsenal paling sedikit di Premiership, hanya 32 gol. Namun level produktivitas gol mereka, 62 gol, kalah jauh dari Manchester United dan Newcastle yang melesakkan 76 dan 73 gol. Benang merah telah ditemukan, improvisasi penyerangan mutlak harus dilakukan pada demam isu berikutnya, terutama di lini sayap karena kontribusinya rada minim.

Tersebutlah dongeng bergabungnya Marc Overmars, Luis Boa Morte dan Christoper Wreh jadi laskar penyerangan di tapal batas permainan. Overmars di kiri, Boa Morte di kanan. Wenger juga menarik Emmanuel Petit dan Gilles Grimandi untuk memperkukuh sentrum permainan. Duet Vieira-Petit tercatat dalam sejarah sebagai pondasi awal perubahan formasi 3-5-2 menjadi 4-4-2.

Winterburn dan Dixon, yang mulai menua, sekarang bekerja ringan sebab hanya lebih fokus di pertahanan sayap. Wenger juga mengurangi tembok pertahanan menjadi dua. Adams-Bould atau Adams-Keown atau Bould-Keown. Proses ini berjalan mulus sebab jadinya Wenger membawa Arsenal menjuarai liga dengan keseimbangan permainan yang lebih baik.

Mereka meraih 23 kemenangan, 9 kali seri dan hanya enam kali kalah. Produktivitas gol 68 dan kebobolan 33 gol. Kemapanan skuad 1997/98 ini mencapai puncaknya sehabis sukses meraih titel Piala FA. Bayangkan, cukup dua demam isu Wenger telah merenggut gelar ganda di Inggris. Dia puas dikarenakan telah menemukan blue-print konsep permainan Arsenal di masa depan.

Proses ketiga masuk tahun 2000-an sudah bukan transisi lagi, tapi menuju kemapanan. Di era ini tinggal Vieira, Parlour dan Bergkamp yang memanggul roh permainan. Sementara Adams, Keown, Bould, sampai David Seaman telah berakhir masanya. Skenario Wenger sesuai rencana. Arsenal kini berada di bawah kendalinya. Pikiran dia terus menerawang jauh ke masa depan.
Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Arsenal The Invincibles. Sulit diulangi dalam 100 tahun.
Masuknya Nkwanko Kanu, Fredrik Ljungberg, Davor Suker, Robert Pires, Sol Campbell, Lauren Etame Mayer, Sylvain Wiltord, Kolo Toure, Ashley Cole, Gilberto Silva, Jens Lehmann, dan tentu Thierry Henry, mengukuhkan Arsenal sebagai salah satu klub terkuat di Inggris yang mencapai puncaknya di ekspresi dominan 2003/04 dengan mencatatkan diri menjadi The Invincibles.

Konsep permainan menyerang yang diinginkan Wenger, The Arsenal Way, dilahirkan tidak sempurna karena di sisi lain, Wenger bukan lagi cuma mengkreasi skuad akan tetapi stadion. Kegagalan mendatangkan Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, hingga Didier Drogba disebabkan oleh informasi kebijakan uang ketat setelah Arsenal membangun stadion Emirates pada 2004. Duet Cesc Fabregas dan Robin van Persie menjadi harapan konsep permainan Arsenal di era depan.

Perpindahan tuas dari Vieira ke Fabregas sangat radikal alasannya adalah Wenger kembali bereksperimen untuk mengakali sumber daya yang ada sesuai terbatasnya bujet transfer. Kenapa beliau berharap banyak pada mereka? Tidak lain alasannya adalah Wenger membentuk keduanya semenjak awal.

Namun Wenger harus membayar mahal alasannya adalah dia mesti menunda idealismenya wacana sepak bola atraktif. Publik menilai beliau hanya mencari nalar supaya keuangan klub tidak terganggu. Di dikala proses transformasi sedang berlangsung hangat, tiba-datang bom waktu meledak di ruangan komisaris. David Dein diusir sebagai administrator klub oleh para pemegang saham pada 2007.

Faktor Emirates dan Dein sangat mempengaruhi kebijakan permainan Wenger, yang mulai mengenalkan teladan garang 4-3-3 sejalan dengan merekahnya Theo Walcott, Jack Wilshere, dan Aaron Ramsey. Walcott ialah warisan terakhir Dein di Arsenal. Konsentrasi Dein dianggap mulai buyar alasannya beliau keblinger tidak menjaring tandem Walcott di Southampton: Gareth Bale!

Bahkan kepergian Henry dan Ljungberg di 2007 dianggap sebagai dua faktor lainnya yang ikut meruntuhkan acuan permainan Arsenal. Carlos Vela, Alexander Hleb, Thomas Rosicky, Emmanuel Adebayor, Nicklas Bendtner, dan Eduardo Da Silva sempat dicoba jadi andalan gres. Keenamnya bertipe menyerang. Namun di sisi lain, Arsenal tidak membeli 'bintang' untuk lini pertahanannya.
Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Sanggup mengalahkan Barcelona dengan gaya menyerang.
Periode 2008-2010 merupakan kala keemasan permainan ofensif sekaligus produktivitas gol The Gunners. Lewat kharismanya, Wenger masih bisa menarik Samir Nasri dan Andrey Arshavin, dari Marseille dan Zenit yang semakin menguatkan konsep The Arsenal Way. Bahkan di masa inilah untuk pertama kalinya Arsenal mengalahkan Barcelona di pentas Liga Champion.

Keasyikan mengidamkan sepak bola garang, beliau mulai melupakan pentingnya pertahanan sebagai basis utama permainan menyerang. Musuh-musuh Arsenal kesenangan karena Wenger sudah tidak butuh lagi pada standar pemain seperti Vieira atau Gilberto. Walhasil di kurun ini, hasil menyakitkan diterima Arsenal alasannya adalah berkali-kali gagal juara meski produktivitasnya luar biasa.

Pepatah Cina

Poros Fabregas-Nasri-Arshavin-Rosicky-Walcott-Van Persie sangat menyeramkan lawan. Plus duet Wilshere-Ramsey sebagai suksesor. Namun jangkar elegan (dua titik terpenting dalam sepak bola) yang cuma dipanggul pemain sekelas Mathieu Flamini, Alex Song, atau Denilson, membuat mimpi-mimpi Arsenal musnah dengan cepat. Kegagalan demi kegagalan membuat pemain frustrasi. Tapi Wenger seperti tak mau tahu.

Sesudah Lehmann dan Gilberto pensiun bareng pada 2008, Arsenal telah kehilangan leader sejati yang tidak pernah ada gantinya hingga kini. Walau bukan yang terbaik, William Gallas sempat dipaksakan jadi penerus. Sayangnya selain sentimental dan temperamental, eks bek Chelsea ini bukan produk binaan Arsenal. Gara-gara Gallas pula, Kolo Toure jadi hengkang dengan membawa sakit hati.

Usai Gallas, giliran Fabregas yang tampil jadi pimpinan di lapangan. Orang yang memahami permainan niscaya mengerti fungsi kapten sebagai sumber ilham dan stabilitas permainan. Dari sinilah konsentrasi serangan bisa terbangun dengan sempurna seperti halnya Vieira dulu. Terbukti pula Fabregas berat menjalaninya. Rasa frustrasi semakin memuncak.

Wenger memang menjamin posisi mereka, namun tidak pada kebutuhan mereka: titel juara. Akibatnya dalam enam animo beruntun terjadi eksodus besar-besaran. Flamini dan Hleb (2008), Adebayor dan Kolo Toure (2009), Gallas, Sol Campbell, Senderos (2010), Gael Clichy, Fabregas, Nasri, Emmanuel Eboue (2011), Van Persie dan Song (2012) sampai Arshavin dan Gervinho (2013).
Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Lini tengah Arsenal selalu berkualitas.
Sekarang apa yang diandalkan Wenger semoga panji sepak bola menyerang di Arsenal selalu berkibar? Apakah ia sudah besar hati dengan kehebatan hidangan racikannya yang hanya hebat untuk melahirkan peluang demi peluang? Bagaimana cara beliau menjaga Mesut Oezil, Alexis Sanchez, Santi Cazorla, atau Jack Wilshere jangan sampai frustrasi lagi?

Sungguh sepak bola mengontrol dan membuka peluang sebanyak mungkin sedang dijalani di Arsenal. Sayangnya kualitas penyerang tenah Arsenal tertinggi hanya di diri Olivier Giroud. Bukan Luis Suarez atau Edinson Cavani. Perhatikan pula di animo ini di mana Francis Coquelin didapuk jadi gelandang bertipe 'tukang angkut air' bahkan bertanggung-jawab juga pada bola-bola udara.

Konsep permainan Arsenal kini bergotong-royong tak jauh dari sebelumnya. Ditujukan bukan menjadi juara, kecuali untuk meraih posisi empat besar. Penciptaan banyak peluang itu tandanya. Dari 10 peluang, 1-2 gol yang tercipta. Sementara di pertahanan justru kebalikannya. Lawan mampu mencetak 1-2 gol dari 4-5 kali upaya penyerangan. Kekalahan 2-3 dari Stoke City jadi acuan sahih.

Yang sudah kelotokan menonton bola pasti paham, ada sesuatu yang terlihat bagaimana sebuah tim atau seorang manajer bisa mencapai keinginan tertingginya. Lalu apa yang terjadi di sana? Kelemahan terbesar permainan ala Wenger mempertahankan keadaan dikala skor ketat. Keunggulan mampu berbalik. Begitu juga sulit mengejar ketertinggalan skor permainan.

Pada umumnya, saat sebuah tim tertinggal satu gol, apapun dilakukan untuk menebusnya. Entah itu tembakan jarak jauh, bahkan keberuntungan untuk mencari penalti dengan menerobos penuh resiko pada kerumunan bek lawan di kotak penalti. Seperti yang dilakukan Wayne Rooney dikala menghadapi Swansea. Pola penyerangan Arsenal selalu merasa situasi dalam status ideal.

Ketika unggul, untuk beberapa ketika biasanya kesebelasan cerdas lebih banyak mengontrol bola ketimbang bikin serangan baru. Secara psikologis ini menguntungkan sebab tim tertinggal pasti akan melaksanakan serangan akhir untuk menebus skor. Keputusan Wenger yang sering telat bahkan tidak memainkan Walcott atau Rosicky juga bikin orang geregetan.

Penonton bisa melihat hanya pada diri Walcott dan Rosicky terdapat self belief untuk mengubah keadaan. Pergerakan dan motivasi mereka lain dari yang ada. Keduanya pula yang suka melaksanakan tembakan jarak jauh bagaimanapun sulitnya. Statistik menyampaikan rasio tembakan jarak jauh Arsenal untuk menjadi gol cukup mengkhawatirkan 19: 1,8 gol.
Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Kehadiran Alexis Sanchez mengubah gaya Arsenal Way.
Sering terlihat Alexis Sanchez atau Mesut Oezil kelamaan berputar-putar menembus barisan pertahanan lawan yang seperti bus sedang parkir. Sanchez barangkali berani melanggar perintah Wenger yang mengharamkan menendang eksklusif ke gawang (shot on sasaran). Tapi Oezil atau Kieran Gibbs? Perhatikan cara Aaron Ramsey, Alexis atau Rosicky mencetak gol. Kebanyakan bukan dari gaya khas Arsenal.

Ada pepatah Cina yang mengatakan "Jangan pernah mengatasi duduk perkara dengan mata Anda, tetapi dengan semangat Anda." Ungkapan ini mungkin patut dimaknai dalam-dalam oleh Wenger. The Arsenal Way mulai hidup saat ada Jack Wilshere. Ini satu-satunya pemain Arsenal yang punya sentuhan magis ala Maradona. Lawan sangat sulit membaca gerakan pemain yang satu ini.

Merosotnya gol Arsenal belakangan ini juga karena absennya Wilshere dan Ramsey serta belum optimalnya kontribusi Walcott yang memang jarang diberi kesempatan main sejak awal. Untuk memainkan sepak bola menyerang, dituntut kepekaan terhadap sesama rekan. Wenger harus memahami pola pikir pemainnya kepada siapa mereka lebih klik di lapangan.

Ingat-ingat bagaimana dulu Bergkamp selalu tahu kemana dan apa maunya Henry. Pires sangat paham efek dari gerakan Henry. Ljungberg yang berani mati sehingga menjadi rebounder terbaik di Inggris. Ah, sudahlah, itu kala silam. Harus diterima memang sulit di kala sekarang mencari sesuatu yang bermutu dan bermakna seperti di kala kemudian.

Produktif Tanpa Hasil

Tampaknya terlalu sulit untuk tidak mengakui Arsenal sebagai salah satu kesebelasan paling bernafsu di Inggris juga di Eropa. Statistik di tiga animo terakhir menjadi cerminan Arsene Wenger, sebagai juru strategi, sangat mencintai permainan menyerang. Meski bukan yang terbaik, namun di Premier League rata-rata tim Merah-Putih mencetak 71 gol atau hampir dua gol di setiap berkelahi.

Sementara untuk total gol di seluruh kompetisi, The Gunners mampu menciptakan rata-rata gol di atas 100. Musim lalu dan juga sebelumnya merupakan kurun terbaik agresivitas Arsenal. Di 2013-14, Arsenal mencetak total 105 gol di semua ajang resmi (Liga, Piala Liga, Piala FA dan Liga Champion). Hal sama pada 2012-13 di mana torehan gol mencapai 106.

Catatan kurang menggembirakan, yang menguak kelemahan terbesar Arsenal, tak pelak lagi ada di pertahanan yang bertanggung-jawab atas rata-rata 42 gol di setiap isu terkini Premier League (2011/12, 2012/13, 2013/14). Di ajang cups, sektor ini juga menerima rata-rata 63 gol lawan untuk semua kompetisi di tiga trend  (2011-2014).
Arsene Wenger sangat keras kepala untuk menggantungkan hidupnya pada filosofi Penurunan Kualitas Serangan Arsenal
Starting XI Arsenal The Invincibles 2003-04.
Sebagai bandingan, dikala menjuarai Premier League terakhir kali di 2003/04, total gol memasukkan Arsenal mencapai 124 gol di empat ajang. Namun uniknya, total gol memasukkan di pentas liga hanya 73 gol alias masih kalah sebiji gol dari pencapaian di 2011/12. Jumlah gol kemasukan mampu mencerminkan berapa banyak kekalahan.

Jika pada 2011-2014 rasio kebobolan Arsenal rata-rata 42 gol di liga, maka di demam isu 2003/04 mereka hanya kebobolan 26 gol! Mengapa mampu terjadi? Jawabannya, mereka tidak terkalahkan sama sekali! Namun harapan publik Gooner untuk mengulangi kejayaan Invincibles 2004, mahakarya Arsenal dan Arsene Wenger, simpel sirna semenjak mereka pindah markas, dari Highbury ke Emirates pada 2006.

Pasca kurun ini, untuk membayar hutang stadion megahnya sebesar 260 juta pound (total pembangunan 390 juta pound, dana sendiri 130 juta pound), Wenger menerapkan kebijakan gres penggunaan pemain muda yang dididik semenjak di perguruan sebagai improvisasi sekaligus transformasi abjad permainan Arsenal untuk era depan. Ia lihai membongkar skuad setiap animo demi membidik produktivitas gol, namun sudah 11 ekspresi dominan titel liga bagi Arsenal selalu jauh dari realita. Pertanyaan sepele, apa penyebabnya? Nah jawabannya yang panjang kali lebar.


FENOMENA GOL ARSENAL DI EMPAT MUSIM


2011-12           Gol 
👉Premier League 74-49
👉Liga Champion 10-10
👉Piala FA                 4-4
👉Piala Liga         5-3
🔺Total         93-66

catatan menarikDihantam Manchester United 2-8. Menang atas Blackburn 7-1. Mengalahkan Chelsea 5-3 di Stamford Bridge. Menang 5-2 atas Spurs.

2012-13        Gol
👉Premier League 72-37
👉Liga Champion 13-11
👉Piala FA                 6-5
👉Piala Liga         14-7
🔺Total         105-60

catatan menarikMenghantam Southampton 6-1. Menang atas Spurs 5-2. Mengalahkan Newcastle 7-3. Mengalahkan West Ham 5-1. Mengalahkan Reading 5-2 di liga dan 7-5 di Piala Liga. Menang atas Coventry 6-1 di Piala Liga.

2013-14        Gol
👉Premier League 68-41
👉Liga Champion 14-8
👉Piala FA                 20-7
👉Piala Liga         4-7
🔺Total         106-63

catatan menarikSelama 20 pekan peringkat 1 (4-16) dan (18-24), peringkat 2 (25-27), peringkat 3 (28-29), peringkat 4 (30-38). Kalah dari Manchester City 3-6. Kalah dari Liverpool 1-5. Dihantam Chelsea 0-6. Kalah dari Everton 0-3.

2014-15           Gol
👉Premier League 51-29*
👉Liga Champion 17-11*
👉Piala FA                 7-2*
👉Piala Liga         1-2
🔺Total         76-42*

*sampai 1 Maret 2015

catatan menarikMenang 5-0 atas Aston Villa, Kalah 1-3 dari Monaco di Liga Champion pada babak 16 besar di Emirates. Sanggup melakukan 'ugly-win' (Crystal Palace 2-1 dan Everton 2-0).

(foto: skysports/fourfourtwo/grandoldteam)

Monday, March 9, 2015

Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

Medio 1980-an, saat penulis masih anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka bahu-membahu sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran eksklusif Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI.  Satu yang paling rajin berdasarkan aku adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong

Bangunan khas gaya tiki-taka.
Namun, maaf, sumber kicauan ihwal tik-tak alias tiki-taka atau tuqui-taca saat itu bukan mengomentari sepak bola Matador, namun gaya permainan Latin kebanyakan tim-tim Brasil atau Argentina. Tidak ada nama Spanyol dikala itu di sanubari penggila bola di Tanah Air. Reputasi Real Madrid atau Barcelona pun tidak berdengung di sini alasannya adalah tertelan oleh gaya Italia, Jerman, Belanda dan Latin. Tapi saya ingat, gol Johan Cruijff ke gawang Argentina pada Piala Dunia 1974 yakni gol beraroma tiki-taka.  

Kaprikornus di abad itu di Indonesia, para pengamat sepak bola, wartawan, instruktur termasuk pemain bahkan masyarakat pasti tidak gila dan sudah dekat dengan istilah tiki-taka yang bersumber dari ucapan ‘tik-tak’. “Kita harus main tik-tak, oper dengan cepat, berlari melintasi lawan dan terima bola itu lagi ya,” begitu bunyi seni manajemen main sebuah tim sepak bola kampus di selesai 1980-an.

Di kompetisi Galatama (pro) atau Perserikatan (amatir) di kurun itu juga, permainan bola-bola pendek sangat mewarnai pertandingan resmi di Indonesia. Orang yang paling getol memainkannya ialah (almarhum) Ronny Pattinasarani di Warna Agung – tim yang dikapteninya. Kolaborasinya dengan Rully Nere, Robby Binur, dan Stefanus Sirey di lini tengah tik-tak Warna Agung begitu aduhai. Waktu kecil saya melihat sendiri bagaimana ia mengorkestrai untuk menggedor catenaccio alot ala Jayakarta dalam kompetisi Galatama 1979/80 di Senayan.  

Kata tiki-taka pertama kali mendarat di gendang telinga orang pada Piala Dunia 2006. Saat itu presenter Andrés Montes yang mengomentari jalannya berkelahi Spanyol vs Tunisia bertanya pada komentator Javier Clemente perihal cara passing tim La Furia Roja. “Estamos tocando tiki-taka tiki-taka,” kata mantan pelatih nasional itu. Maknanya “kita bermain tiki-taka tiki-taka.”  

Asal muasal frasa tiki-taka atau clackers dalam Inggris sampai sekarang diperdebatkan. Dalam bahasa umum, umpan pendek diantara pemain sering disebut “tick”, apakah dari situ beliau berasal? Bisa juga ia berasal dari ungkapan Latin, “onomatopoeic”, yang kira-kira mirip “wush atau duarr” di Indonesia. Tapi yang niscaya, inilah ungkapan yang mewarnai perjalanan Barcelona.
 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Puncak kejayaan tiki-taka ada di tahun 2010.
Ketika Spanyol meraih tripel trofi terhebat sepak bola pada 2008, 2010, dan 2012, tiba-tiba tiki-taka berdengung keras bak baling-baling helikopter. Hampir semua media di seluruh dunia mustahil tak menulis atau membahas konsep permainan fantastis itu di Piala Eropa dan Piala Dunia. Begitu juga di 2009 ketika Blaugrana meraih La Sexta, enam trofi, di Spanyol hingga Eropa.   

Di bawah komando Pep Guardiola sepanjang 2008-2012, Barcelona mengubah konsep tiki-taka secara ekstrem. Ia mencuci otak seluruh alumnus La Masia – perguruan tinggi sepak bola Barca – untuk memainkan sepak bola menekan dan menyerang secara simultan 2 x 45 menit konstan bin intensif! Sebelum menangani tim senior, ia memang pelatih di perguruan tinggi itu. Pep menyempurnakan visi Cruijff secara modern, dan eksklusif kena di era milenium ini - di mana teknologi, transformasi, komunikasi, infrastruktur banyak mengubah sepak bola sebagai permainan digital dan matematis.  

Jakun Pep kian naik-turun memikirkan potensi tiki-taka dan peluang besar Barcelona seusai lahirnya perubahan Hukum Offside yang disahkan oleh dua kekuatan sepak bola dunia, FA dan FIFA, pada 2005. Kebetulan antara tahun 2000-2006, Barca sedang hilang dari “peredaran” blantika La Liga. Di sinilah dia menyiapkannya dengan baik. Dengan hukum gres ini tiki-taka lebih mendorong bek lawan dan memperluas efektivitas bermain melebar. Di sisi lain, keterampilan para bintangnya akan lebih tereksplorasi dengan baik.  

Mazhab Barcelona  

Mentor Guardiola untuk mengimprovisasi tiki-taka gaya gres tiada lain “Pakde-nya sepak bola Spanyol dan Barcelona” plus tiki-taka juga, yakni Meneer Cruijff. Keduanya membuka berkas-berkas lama. Memelototi pedoman totaal voetball termasuk menciptakan garis pertahanannya, pertukaran posisi, cara mengontrol permainan, dan yang lebih penting cara melepaskan umpan dengan segala kondisi.   

Cruijff mengimplementasikan tiki-taka sewaktu berada di Barcelona, mulai dari jadi pemain, manajer hingga administrator teknik. Bukan Guardiola tapi dua manajer asal Belanda, Louis van Gaal dan Frank Rijkaard, yang pertama kali menerima rumusan tiki-taka. 
 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Salah satu syarat supaya tiki-taka berjalan ideal ialah pemainnya harus pendek!
Sistem permainan ini amat ciamik bin ideal jika dijalankan oleh pemain muda berusia antara 22-27 tahun dan harus bertubuh kecil alias tidak tinggi. Tak heran jikalau selain Xavi, pemain macam Andrés Iniesta, Cesc Fàbregas, Lionel Messi, Pedro Rodriguez, selain jadi produk La Masia juga berpostur mini untuk ukuran Eropa (di bawah 180 cm).   

Hingga sekarang tradisi itu dipertahankan. Jordi Alba, Luis Suarez, Neymar, Dani Alves sampai Rafinha. Pendek kata, kalau Anda jangkung maka peluang jadi pemain Barcelona terbilang kecil karena, barangkali, punya gaya gravitasi yang lemah. Konsep tiki-taka amat bergantung pada kehebatan sentuhan, keluasan visi, dan kematangan operan sebagai modal dasar permainan possession yang menjadi identitasnya. 

“Anda harus memenangkan bola lagi dikala berada di zona 30 meter dari gawang lawan, bukan di zona 80 meter,” kalimat ini sangat populer beradar di La Masia atau markas besar Camp Nou. Tiki-taka menyisakan satu striker palsu yang sering disebut “false-9” yang seluruh potensi permainannya didukung tujuh pemain kecuali kiper dan dua bek tengah. Aliran bola harus lancar, mulus, dan fasih dari segala penjuru. Dua bek sayap juga dipaksa berkecimpung dalam serangan, menuntut gelandang bertahan mengerahkan kemampuan operannya serta kiper harus rela merangkap jadi libero.  

Barcelona memainkan tiki-tiki model gres lebih sempurna ketimbang tim nasional Spanyol. Outcome produktivitas gol sering jadi pembeda di mana Barcelona lebih gampang bikin gol alasannya adalah lebih kompak dan fasih menerapkannya. Tapi prinsip permainan keduanya tetap sama, berasal dari istilah Tiqui-Taca yang menggambarkan abjad permainan umpan pendek dan pergerakan.  

Jika Pep Guardiola maestro terakhir yang menerapkannya, maka tiki-taka diperkenalkan pertama kali secara lengkap oleh Hendrik Johannes Cruijff alias Johan Cruijff, manajer Barcelona 1988-1996. Selain Pep dan Cruijff ada pula almarhum Luis Aragonés dan Vicente Del Bosque, dua instruktur La Furia Roja yang memberi Spanyol gelar juara Eropa 2008, juara dunia 2010, juara Eropa 2012. 

 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Tiki-taka selalu menyajikan pemandangan geometris dan diagonal.
Pada dasarnya tiki-taka yakni konsep permainan zona. Sewaktu masih menjadi instruktur kepala di La Masia, Pep mengecat seluruh lapangan bola dengan puluhan kotak besar dan kecil hingga-hingga terlihat seperti lapangan bulutangkis. Tindakan ini merefleksikan pentingnya zona per zona untuk setiap pemain Barcelona semoga bisa memainkan tiki-taka dengan tepat.

Di atas semua itu, tiki-taka menjadi satu-satunya sistem permainan sepak bola yang amat mementingkan kekompakan dan persatuan tim untuk dapat memahami secara komprehensif tentang sepak bola geometri. Sekali lagi, deskripsi tiki-taka begitu mudah: operan pendek sekali-dua kali, bergerak liar, kuasai bola sampai terlihat tidak ada bedanya antara bertahan dan menyerang.  

Di lapangan, tiki-taka butuh seorang yang bertugas sebagai kopling permainan. Jika Arsenal 2007-2008 punya Cesc Fabregas sebagai pemain yang bertugas memindahkan tuas permainan, dari cepat ke lambat atau sebaliknya, maka Barcelona dan Spanyol punya Xavi Hernandez. Oleh alasannya adalah itu tiki-taka menuntut kecakapan, kreativitas, talenta serta sentuhan seorang pemain berkelas.  

Rinus Michels  

Demi mencapai tujuan tertingginya sebagai estetika permainan, kerapkali tiki-taka harus mengorbankan efektivitas. Menurut Raphael Honigstein, tiki-taka lahir alasannya adalah sejatinya orang Spanyol tak tahan dengan tubruk fisik dengan tim-tim Inggris, Italia, Jerman. Untuk mengatasi itu atau menyeimbangkannya taktik mereka adalah bagaimana cara memonopoli bolanya. Kebetulan budaya yang paling cocok dengan gaya itu ialah kultur Hispanik dan sedikit Mediterania yang lebih retro ketimbang budaya Eropa tengah apalagi di utara sana.
                            
Sebenarnya Spanyol hanya memanfaatkan ‘kesulitan’ yang dirasakan oleh bapak moyang tiki-taka sedunia, adalah Marinus Jacobus Hendricus Michels alias Rinus Michels. Pelatih Ajax Amsterdam 1965-1971 ini gedeg melihat gaya Catenaccio, mahakarya Helenio Herrera mampu gegremetan ke-mana-mana termasuk ke Amerika Latin dan Asia selain dijadikan mazhab resmi di beberapa negara Eropa.  

Dulu belum ada istilah tiki-taka ala Spanyol, tetapi orang Belanda menyebutnya sebagai totaal voetbal, sepak bola total. Gaya baru ini makin santer dikenal sebagai tiki-taka saat Rinus sang maestro menukangi Barcelona 1971-1976, hanya beberapa bulan setelah Ajax menjuarai Liga Champion 1970/71.  

Seperti sudah ditakdirkan harus terus bersama, Rinus dan Johan berkumpul lagi di Spanyol melalui Barcelona. Butuh dua tahun bagi Rinus untuk reuni dengan anak kesayangannya itu. Bahkan setahun lalu, Rinus mendatangkan juga ‘fotokopi’ Cruijff, ialah Johan Neeskens. Kerajaan sepak bola juga mengenal istilah dinasti, pewaris, atau putra mahkota.

 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Rinus Michels dan Johan Cruijff saat di Barcelona.
Di periode 1970-an, Rinus meneruskan visinya kepada Cruiff untuk dikelola di dekade 1980-an. Di periode ini Cruiff juga membangun dinasti yang berjaya di periode 1990-an melalui Josep 'Pep' Guardiola. Butuh sepuluh tahunan bagi Pep untuk melihat kedigdayaan tiki-taka di awal dekade kedua milenium.  

Seorang analis sepak bola dari Universitas Oxford, Jed C. Davies, berkesimpulan tiki-taka merupakan revolusi konseptual permainan yang lahir dari gagasan bahwa sejatinya lapangan bola itu fleksibel. Di dalam bukunya, “Coaching the Tiki-Taka Style of Play” ia membeberkan di mata Barcelona satu lapangan mampu menjadi 8 lapangan alasannya adalah seluruh pemainnya fasih geometri. Bukan main.  

Di benak pemain Barcelona, satu lapangan itu otomatis terbagi oleh beberapa lapangan kecil. Saat beraksi, formasi harus dijaga tepat demi penciptaan celah atau ruangan untuk berkreasi. Mereka bisa bermain 3 on 3, 2 on 2, hingga 1 on 1 dari zona satu ke zona lain dengan ritme cepat dan berubah-ubah. Anda bisa membayangkan contoh rubik ini untuk memahami bagaimana Barcelona bermain.

 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Evolusi totaal voetbal ke tiki-taka di Barcelona.
Sementara jurnalis sepak bola Spanyol kenamaan, Sid Lowe, berpendapat lain. Orang Inggris ini lebih mengemukakan aspek psikologis ketimbang teknis, motif dari pada cara, kenapa tiki-taka sangat terkenal di Negeri Matador. Ia mencap tiki-taka sebagai satu hasil sempurna dari perbuatan pragmatis yang berkecamuk di kepala Aragonés. Memainkan bola sendiri sementara 11 orang pihak lawan jikalau mampu, ya menonton saja. Sekilas inilah irisan terbesar dengan tiki-taka-nya Barcelona.  

Ketika membelokkan sejarah indah di 2008, titel pertama Spanyol semenjak 1964, bantu-membantu Aragonés menggunakan tiki-taka untuk mengamankan pertahanannya dari kenakalan penyerang lawan. Lowe sangat meyakininya mengingat seluruh enam gol yang dibuat La Furia Roja, tidak lahir dari gaya tiki-taka. Lima dari serangan balik dan satu dari bola mati.  

Barisan Penentang  

Ketika diambil alih oleh Del Bosque, La Furia Roja semakin bertenaga, garang dan seketika. Maklum banyak rombongan Real Madrid di skuad Piala Dunia 2010 yang terkenal beringas mirip Xabi Alonso, Sergio Ramos, Alvaro Arbeloa atau Fernando Torres. Sebagai mantan pelatih El Real, Del Bosque tahu betul bahwa kolektivitas jadi isu paling strategis di timnya dan beliau pun sukses.

 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Pep Guardiola yakni murid kesayangan Johan Cruijff.
El Barca dianggap sebagai motor tiki-taka sejati sedangkan El Real Madrid melengkapinya dengan ambisi, gairah, tenaga dan garang. Honigstein mendeskripsikan kemenangan Spanyol atas Jerman di semifinal sebagai versi kemenangan paling sulit di mana semua cara main La Furia Roja mampu dibendung Der Panzer kecuali satu hal: kekuatan mengontrol bola.  

Di mata Guy Hedgecoe, wartawan sepak bola dari Iberoshpere, tiki-taka itu justru tidak menghibur dan tidak menyenangkan untuk ditonton. Tiki-taka memang tidak menyajikan serta mewajibkan finisher murni dan saat kita menyaksikannya, maka tidak ada satu pun pemain di depan berkeliaran kecuali gerakan sejajar atau diagonal tiga empat pemain hingga kotak penalti atau gawang lawan!  

“Tidak ada striker, tidak ada bek, dan tidak ada kiper. Sungguh asing, semua 11 pemain bermain sebagai gelandang dan menumpuk di lini tengah. Hanya sesekali saja seseorang berhasil keluar dari gulungan pemain lalu mencetak gol,” katanya. Barangkali di mata Hedgecoe tiki-taka sudah mirip segerombolan ikan sarden yang membentuk bola pertahanan dari serbuan hiu. Kalau Anda sering menonton National Geographic di televisi, pasti sangat mafhum dengan ucapan Hedgecoe tadi.

Memang banyak juga yang mencerca tiki-taka sebagai sepak bola egois. Maksudnya egois adalah karena tim seperti Barcelona tidak memberi kesempatan buat penonton melihat mereka diserang atau lawan menyerang mereka. Di mata kompetitor, tiki-taka juga jadi perburuan obsesi. Hampir semua klub besar Eropa berlomba-lomba menemukan formula anti-nya.

Setelah kekalahan 1-2 Barcelona dari Glasgow Celtic di Liga Champion 2012/13, mata dunia mulai terbelalak alasannya adalah kubu tuan rumah sukses menutup seluruh jenis serangan dan pintu akses Barcelona ketika masuk ke pertahanan Celtic. Ini mirip berkelahi tubruk bosan. Belasan bahkan puluhan serangan sejenis terjadi, namun tim Skotlandia itu sabar menanti dan tabah mengimbanginya.

Di mata Ben Hayward dari ESPN, peristiwa yang menghentak dapat dipercaya manajer (almarhum) Tito Vilanova itu menunjukan Barcelona bisa juga dilanda kejenuhan dan seni manajemen monoton. Mantan tangan kanan Guardiola itu tidak bisa menerapkan tiki-taka dengan tepat. Taktik Celtic mengingatkan orang dengan disiplin besi Chelsea tatkala mengandaskan El Barca 1-0 di Stamford Bridge, April 2012.
 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Gaya disiplin dan terus kejar ala Jose Mourinho menghambat tiki-taka.
José Mourinho ialah garda terdepan anti tiki-tika. Tidak ada yang mencurigai reputasinya sebagai pengganjal tiki-taka. Tambahan, ia suka yakin bisa mengatasinya alasannya pernah ikut membesarkan Barca sewaktu bersama almarhum Bobby Robson. Jangan lagi Barcelona, tim nasional Spanyol pun dikritiknya. Di mata orang yang menjuluki dirinya sendiri sebagai The Special One itu gaya tiki-taka seperti mengebiri keindahan sepak bola. “Tanpa striker, semua gelandang? Come on,” sindirnya.  

Bahkan Arsene Wenger, manajer Arsenal yang punya konsep permainan menyerang pun ikut mengkritik tiki-taka yang telah mengubah falsafah sepak bola Spanyol. “Awalnya tiki-taka mereka untuk menyerang dan memenangkan pertandingan, namun kini prioritasnya telah berubah. Mereka bertiki-taka yang bosan ditonton itu untuk menghindari kekalahan,” ucap Wenger.  

Sekilas dua ucapan manajer top ini benar. Penonton juga berhak melihat dua tim bertanding dengan semua kemampuannya, menyerang dan bertahan. Bertahun-tahun orang dicekoki Barcelona dengan tontonan timpang. Satu tim memutar-mutar bola, satu tim lagi “memarkir bus” di daerahnya. Tidak ada jalan lain. Sepak bola memang tidak harus berisi tiki-taka semua toh? Layaknya pilihan dalam hidup yang ada potensi dan risiko, maka apapun gaya permainan di sepak bola, juga pasti akan ada anti penangkalnya.

(foto: 101greatgoals/diariogoals/theviewspaper/slate/sport.es/passionFM)