Friday, June 29, 2007

Prize Money Premier League 2006/07: Komposisi Dan Titik Balik

Napak tilas perjalanan Premier League animo 2006/07 cukup dinamis dan menegangkan, bukan saja soal perebutan titel namun juga rebutan masuk empat besar. Di atas antara Manchester United vs Chelsea, lalu di bawahnya antara Arsenal vs Tottenham Hotspur. Bahkan juga di jalur degradasi. Setelah dianalisis mendalam, kepantasan pun terjadi terutama melihat titik balik yang mereka lakukan.

Napak tilas perjalanan Premier League musim  Prize Money Premier League 2006/07: Komposisi dan Titik Balik
MANCHESTER UNITED
Peringkat: 1
Prize Money: £9,67 juta ( Rp 167.078.260.000)*
Aparel: Nike
Sponsor: AIG
Stadion: Old Trafford (76.312)
Penonton Terbanyak: 76.098 (vs Blackburn Rovers 4-1, 31 Maret 2007)
Pemain Kunci: Cristiano Ronaldo (Portugal)
Kapten Tim: Gary Neville
Manajer: Sir Alex Ferguson (Skotlandia)
Duel Vital: 28 April 2007 (Everton vs Manchester United 2-4)
Tertinggal 0-2, Red Devils secara luar biasa membalikkan keadaan, mencetak empat gol, hanya gara-gara diilhami oleh blunder kiper cadangan Everton, Iain Turner. Setelah duel ini, di 3 partai sisa, Manchester United unggul lima poin atas Chelsea.

CHELSEA

Peringkat: 2
Prize Money: £9,21 juta ( Rp 159.130.380.000)*
Aparel: Adidas
Sponsor: Samsung Mobile
Stadion: Stamford Bridge (42.055)
Penonton Terbanyak: 41.953 (vs Manchester City 3-0, 20 Agustus 2006)
Pemain Kunci: Didier Drogba (Pantai Gading)
Kapten Tim: John Terry
Manajer: Jose Mourinho (Portugal)
Duel Vital: 28 April 2007 (Chelsea vs Bolton 2-2)
Panik melihat agenda ketat EPL dan Liga Champion plus deraan cedera pemain, Chelsea banyak menyimpan pemain kuncinya saat ini. Bolton, dimotivasi oleh harapan tiket Piala UEFA, menggapai sukses lewat gol penting Kevin Davies.

LIVERPOOL

Peringkat: 3
Prize Money: £8,73 juta ( Rp 150.836.940.000)*
Aparel: Adidas
Sponsor: Carlsberg
Stadion: Anfield (45.522)
Penonton Terbanyak: 44.403 (vs Manchester United 0-1, 3 Februari 2007)
Pemain Kunci: Jamie Carragher
Kapten Tim: Steven Gerrard
Manajer: Rafael Benitez (Spanyol)
Duel Vital: 20 Januari 2007 (Liverpool vs Chelsea 2-0)
Penampilan sempurna buah kehebatan strategi Rafael Benitez. Liverpool nyaris mengunci permainan Chelsea di semua lini, ditambah perlindungan heroik publik Anfield. Kemenangan politis ini ditandai oleh gol spektakuler Jermaine Pennant.

ARSENAL

Peringkat: 4
Prize Money: £8,24 juta ( Rp 142.370.720.000)*
Aparel: Nike
Sponsor: Fly Emirates
Stadion: Emirates (60.432)
Penonton Terbanyak: 60.132 (vs Reading 2-1, 3 Maret 2007)
Pemain Kunci: Francesc Fabregas (Spanyol)
Kapten Tim: Thierry Henry (Prancis)
Manajer: Arsene Wenger (Prancis)
Duel Vital: 17 September 2006 (Manchester United vs Arsenal 0-1)
Tadinya banyak yang mengira ini adalah pengadilan buat Arsenal, yang ketika ini terperosok di papan bawah. Nyatanya skuad Arsene Wenger malah mendominasi permainan. Dan gol emas Emmanuel Adebayor yaitu buah yang amat manis.

TOTTENHAM HOTSPUR

Peringkat: 5
Prize Money: £7,76 juta ( Rp 134.077.280.000)*
Aparel: Puma
Sponsor: Mansion.com
Stadion: White Hart Lane (36.240)
Penonton Terbanyak: 36.170 (vs Liverpool 0-1, 30 Desember 2006)
Pemain Kunci: Dimitar Berbatov (Bulgaria)
Kapten Tim: Ledley King
Manajer: Martin Jol (Belanda)
Duel Vital: 4 Maret 2007 (West Ham United vs Tottenham Hotspur 3-4)
Partai yang dianggap terbaik trend ini. Sungguh thriller, berlangsung dramatis dan rally point sampai detik terakhir. Spurs, yang seharusnya kalah dari lawannya yang tampil menggila, memperlihatkan winning-mentality-nya.

EVERTON

Peringkat: 6
Prize Money: £7,27 juta ( Rp 125.611.060.000)*
Aparel: Umbro
Sponsor: Chang
Stadion: Goodison Park (40.394)
Penonton Terbanyak: 40.004 (vs Liverpool 3-0, 9 September 2006)
Pemain Kunci: Mikel Arteta (Spanyol)
Kapten Tim: Phil Neville
Manajer: David Moyes (Skotlandia)
Duel Vital: 9 September 2006 (Everton vs Liverpool 3-0)
Inilah tubruk paling berkesan, fantastis dan sangat sah dimenangkan pasukan David Moyes. Skor tepat diraih berkat penampilan elektrik striker Andy Johnson. Bagi tuan rumah, derby Merseyside ini yakni yang terbaik animo ini.

BOLTON WANDERERS

Peringkat: 7
Prize Money: £6,79 juta ( Rp 117.317.620.000)*
Aparel: Reebok
Sponsor: Reebok
Stadion: Reebok (27.879)
Penonton Terbanyak: 27.229 (vs Manchester United 0-4, 28 Oktober 2006)
Pemain Kunci: Gary Speed (Wales)
Kapten Tim: Kevin Nolan
Manajer: Sam Allardyce/Sammy Lee
Duel Vital: 25 November 2006 (Bolton Wanderers vs Arsenal 3-1)
Sam Allardyce, sekali lagi, membuktikan bahwa siasatnya tetap sulit dipatahkan Arsene Wenger. Taktis, efisien, efektif, penuh determinasi serta kokoh dilengkapi oleh permainan gemilang Nicolas Anelka di depan bekas klubnya.

READING

Peringkat: 8
Prize Money: £6,30 juta ( Rp 108.851.400.000)*
Aparel: Puma
Sponsor: Kyocera
Stadion: Madejski (24.045)
Penonton Terbanyak: 24.122 (vs Aston Villa 2-0, 10 Februari 07)
Pemain Kunci: Nicky Shorey
Kapten Tim: Graeme Murty
Manajer: Steve Coppell
Duel Vital: 1 Januari 2007 (Reading vs West Ham United 6-0)
Skor paling tega di ekspresi dominan ini. Tampil tanpa semangat baja dan taktik kurang memadai, Alan Curbishley takkan pernah melupakan pertandingan ini. Reading memberikan bahwa sepak bola Inggris juga bisa kejam membunuh lawan.

PORTSMOUTH

Peringkat: 9
Prize Money: £5,82 juta ( Rp 100.557.960.000)*
Aparel: Jako
Sponsor: OKI
Stadion: Fratton Park (19.179)
Penonton Terbanyak: 20.223 (vs Manchester United 2-1, 7 April 2007)
Pemain Kunci: Matthew Taylor
Kapten Tim: Dejan Stefanovic (Serbia)
Manajer: Harry Redknapp
Duel Vital: 7 April 2007 (Portsmouth vs Manchester United 2-1)
Kemenangan yang paling membubungkan harapan berangkat ke Eropa. Error Rio Ferdinand menamatkan perlawanan Red Devils yang biasanya sulit mati itu. Sayang, ke depan, Pompey tak bisa memelihara dan mempertahankan momentum ini.

BLACKBURN ROVERS

Peringkat: 10
Prize Money: £5,33 juta ( Rp 92.091.740.000)*
Aparel: Lonsdale
Sponsor: bet24.com
Stadion: Ewood Park (31.367)
Penonton Terbanyak: 29.342 (vs Liverpool 1-0, 26 Desember 2006)
Pemain Kunci: Benedict McCarthy (Afrika Selatan)
Kapten Tim: Ryan Nelsen (Selandia Baru)
Manajer: Mark Hughes (Wales)
Duel Vital: 26 Desember 2006 (Blackburn Rovers vs Liverpool 1-0)
Gairah tinggi Mark Hughes untuk menimba pengalaman Eropa, menulari pasukannya di laga Boxing Day ini. Hasilnya, The Reds tak kuasa menandingi spirit Morten-Gamst Pedersen cs.

ASTON VILLA

Peringkat: 11
Prize Money: £4,85 juta ( Rp 83.798.300.000)*
Aparel: Hummel
Sponsor: 32red.com
Stadion: Villa Park (42.573)
Penonton Terbanyak: 42.551 (vs Tottenham Hotspur 1-1, 14 Oktober 2006); (vs Manchester United 0-3, 23 Desember 2006); (vs Liverpool 0-0, 18 Maret 2007); (vs Sheffield United 3-0, 5 Mei 2007)
Pemain Kunci: Gabriel Agbonlahor
Kapten Tim: Gareth Barry
Manajer: Martin O' Neill (Irlandia Utara)
Duel Vital: 30 September 2006 (Chelsea vs Aston Villa 1-1)
Start tim Martin O'Neill terlihat makin angker usai sukses membendung kubu tuan rumah. Modalnya: sepak bola fisik yang dimainkan secara kolektif!

MIDDLESBROUGH

Peringkat: 12
Prize Money: £4,36 juta ( Rp 75.332.080.000)*
Aparel: Errea
Sponsor: 888.com
Stadion: Riverside (35.200)
Penonton Terbanyak: 32.013 (vs Charlton Athletic 2-0, 23 Desember 2006)
Pemain Kunci: Jonathan Woodgate
Kapten Tim: George Boateng (Belanda)
Manajer: Gareth Southgate
Duel Vital: 23 Agustus 2006 (Middlesbrough vs Chelsea (2-1)
Baru dua pekan liga dimulai, Boro langsung membuat shock dan peringatan buat para penantang juara Premiership. Chelsea korban pertama tipikal permainan The Boro. Sayangnya, cuma adu inilah yang paling berkesan bagi publik Riverside.

NEWCASTLE UNITED

Peringkat: 13
Prize Money: £3,88 juta ( Rp 67.038.640.000)*
Aparel: Adidas
Sponsor: Nothern Rock
Stadion: St James' Park (52.387)
Penonton Terbanyak: 52.305 (vs Liverpool 2-1, 10 Februari 07)
Pemain Kunci: Shay Given (Irlandia)
Kapten Tim: Scott Parker
Manajer: Glenn Roeder/Nigel Pearson
Duel Vital: 5 Mei 2007 (Newcastle United vs Blackburn Rovers 0-2).
Partai sangkar terburuk yang membuat geram petinggi The Magpies dan berakibat hilangnya jabatan Glenn Roeder. Sepekan jelang usai ini, vonis telah dijatuhkan. Yang menyakitkan lagi, banyak penonton kabur sebelum berkelahi usai.

MANCHESTER CITY

Peringkat: 14
Prize Money: £3,39 juta ( Rp 58.572.420.000)*
Aparel: Reebok
Sponsor: Thomas Cook
Stadion: City of Manchester (47.726)
Penonton Terbanyak: 47.244 (vs Manchester United 0-1, 5 Mei 2007)
Pemain Kunci: Micah Richards
Kapten Tim: Richard Dunne (Irlandia)
Manajer: Stuart Pearce
Duel Vital: 17 Maret 2007 (Middlesbrough vs Manchester City 0-2)
Gairah terakhir manajer Stuart Pearce sekaligus penampilan hebat tandang The Citeh paling pamungkas di animo ini. Tak dinyana, setelah duel ini mereka diterjang prahara internal yang kronis. Beruntung tak terseret arus zona degradasi.

WEST HAM UNITED

Peringkat: 15
Prize Money: £2,91 juta ( Rp 50.278.980.000)*
Aparel: Reebok
Sponsor: Jobserve
Stadion: Boleyn Ground (35.647)
Penonton Terbanyak: 35.000 (vs Fulham 3-3, 13 Januari 2007); (vs Middlesbrough 2-0, 31 Maret 2007)
Pemain Kunci: Carlos Tevez (Argentina)
Kapten Tim: Nigel Reo-Cooker
Manajer: Alan Curbishley
Duel Vital: 7 April 2007 (Arsenal vs West Ham United 0-1)
Harinya Robert Green saat jadi pendekar The Hammers. Ia mementahkan belasan kans gol dari tuan rumah seraya menggenapkan kemenangan ganda atas Arsenal.

FULHAM
Peringkat: 16
Prize Money: £2,42 juta ( Rp 41.812.760.000)*
Aparel: Airness
Sponsor: Pipex
Stadion: Craven Cottage (24.600)
Penonton Terbanyak: 24.554 (vs Liverpool 1-0, 5 Mei 2007)
Pemain Kunci: Brian McBride (AS)
Kapten Tim: Brian McBride (AS)
Manajer: Lawrie Sanchez (Irlandia Utara)
Duel Vital: 5 Mei 2007 (Fulham vs Liverpool 1-0)
Rezeki nomplok Lawrie Sanchez. Satu-satunya kemenangan setelah mengisi tempat Chris Coleman, dan melanggengkan kariernya di demam isu depan. Fulham beruntung alasannya adalah Liverpool tengah konsentrasi berat di semifinal Liga Champion.

WIGAN ATHLETIC

Peringkat: 17
Prize Money: £1,94 juta ( Rp 33.519.320.000)*
Aparel: JJB
Sponsor: JJB
Stadion: JJB (25.138)
Penonton Terbanyak: 24.726 (vs West Ham United 0-3, 28 April 2007)
Pemain Kunci: Leighton Baines
Kapten Tim: Arjan De Zeeuw (Belanda)
Manajer: Paul Jewell
Duel Vital: 13 Mei 2007 (Sheffield United vs Wigan Athletic 1-2)
Kemenangan The Latics paling penting di dikala paling penting. Berbekal nyali dan semangat, diusirnya Lee McCulloch seolah tak berbekas. Sangat sabar selama 20 menit terakhir ditekan habis, malah menciptakan Paul Jewell kapok jadi instruktur lagi!

SHEFFIELD UNITED

Peringkat: 18
Prize Money: £1,45 juta ( Rp 25.053.100.000)*
Aparel: Le Coq Sportif
Sponsor: Capital One
Stadion: Bramall Lane (32.609)
Penonton Terbanyak: 32.604 (vs Wigan Athletic 1-2, 13 Mei 2007)
Pemain Kunci: Phil Jagielka
Kapten Tim: Chris Morgan
Manajer: Neill Warnock
Duel Vital: 13 Mei 2007 (Sheffield United vs Wigan Athletic 1-2)
The one and only. Andai Ryan Taylor tak cedera, maka tak ada David Unsworth. Andai tangan Phil Jagielka tak kena bola, maka tak ada gol penaltinya. Fakta, cita-citaThe Blades justru dibunuh oleh bekas legiunnya sendiri.

CHARLTON ATHLETIC

Peringkat: 19
Prize Money: £970.000 ( Rp 16.759.660.000)*
Aparel: Joma
Sponsor: Llanera
Stadion: The Valley (27.113)
Penonton Terbanyak: 27.111 (vs Liverpool 0-3, 16 Desember 2006); (vs Chelsea 0-1, 3 Februari 2007); (vs West Ham United 4-0, 24 Februari 2007); (vs Sheffield United 1-1, 21 April 2007)
Pemain Kunci: Darren Bent
Kapten Tim: Luke Young
Manajer: Alan Pardew
Duel Vital: 21 April 2007 (Charlton Athletic vs Sheffield United 1-1)
Turning-point kegagalan paling fatal. Menguasai permainan, penuh peluang dan impian, datang-tiba gol Jonathan Stead menghapus takdir The Addicks.

WATFORD
Peringkat: 20
Prize Money: £485.000 ( Rp 8.379.830.000)*
Aparel: Diadora
Sponsor: ioans.co.uk
Stadion: Vicarage Road (19.920)
Penonton Terbanyak: 19.830 (vs Newcastle United 1-1, 13 Mei 2007)
Pemain Kunci: Jay DeMerit (AS)
Kapten Tim: Gavin McMahon
Manajer: Aidy Bothroyd
Duel Vital: 28 November 2006 (Watford vs Sheffield United 0-1)
Sejak laga inilah, melawan tim yang bertahun-tahun erat semasa di Divisi Championship, pasukan Aidy Boothroyd divonis bakal sulit mempertahankan posisinya untuk bertahan di Premiership. Dan ternyata benar.

(*versi kurs Bank Indonesia per 28 Mei 2007; 1 GBP = Rp 17.278)

(foto: ibnlive)

Wednesday, May 16, 2007

Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...

Tenang, santun dan dekat. Itulah kesan mendalam padanya. Minggu pagi, 9 Juni 1996, merupakan ketika yang tak terlupakan. Di British Internasional School (BIS), Pondok Aren, Bintaro, saya menemui salah satu legenda sepak bola bangsa Inggris, Sir Alan Ball. Saya turut murung tatkala mendengar beliau meninggal dunia pada Rabu, 25 April 2007.

 saya menemui salah satu legenda sepak bola bangsa Inggris Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...Memori 11 tahun lalu pun pribadi terkuak. Saya sulit melupakan Alan pada perilaku humanisnya. Dia amat mengasihi keluarga, family-man. Malah kehadirannya di Jakarta ketika itu lebih dimotivasi oleh kecintaannya pada bawah umur. Padahal di negerinya sedang berlangsung Euro '96. Dia bisa saja menerima tawaran di TV sebagai komentator atau pengamat. Dia menampik semuanya. "Anak-anak yaitu faktor penting di sepak bola. Saya amat antusias datang ke sini alasannya adalah akan melatih belum dewasa," ucapnya pada saya ketika itu. Seperti kata pepatah; harimau mati menyisakan belang, insan mati meninggalkan nama. Begitupun Alan Ball. Jasanya akan terus dikenang baka oleh Blackpool, Everton, Arsenal, Southampton, Portsmouth, Bristol Rovers dan tentu rakyat Britania. 

Saat berada di lapangan hijau, pujian pada klub dan negara melebihi pada uang, di mana sepak bola masih menjadi permainan rakyat ketimbang permainan pebisnis. Seumur hidupnya, Alan Ball tak pernah berada dalam comfort zone. Hidup dan kariernya berasal dari spirit membara, patriotisme. Untuk tahu siapa Alan Ball, orang harus membuka album Piala Dunia, partai tamat 41 tahun silam, atau tanyakan pada Geoffrey Hurst dan Martin Peters, dua orang yang menjadi legenda nasional berkat jasa Ball.

London, Sabtu, 30 Juli 1966. Sejumlah 96.924 orang di Wembley mulai frustasi dikala pertandingan melewati menit ke-75. Jerman Barat tetap tangguh, di periode 'tim tua' Inggris mulai dilanda kelelahan. Satu-satunya asa mereka tiba dari pemain terkecil, termuda, bernomor punggung 7 dan beroperasi di sayap kanan. Dialah Alan Ball.

Ball berlari tak kenal lelah, berusaha menerobos area yang dikawal Karl-Heinz Schnellinger. Di satu momen, beliau memenangi corner-winning dari bek AC Milan itu. Sepak pojok diambil Ball, dan dia mengirim bola pada Hurst yang kurang terjaga. Tembakan Hurst diblok, bola mental dan jatuh di kaki Peters yang meneruskannya ke gawang Hans Tilkowski. 2-1.

Namun di injury-time, Wolfgang Weber menambah nafas Jerman. 2-2, lalu perpanjangan waktu. Inggris urung jadi juara. Menit 111, Ball kembali lolos dari hadangan Hoettges kemudian segera mengirim umpan yang disambar Hunt, membentur mistar atas gawang dan tak dapat dijangkau Tilkowski. Gol?

Yang pasti peristiwa paling kontroversial pada sejarah Piala Dunia pun tercipta, Wembley-Tor alias Gol Wembley. Wasit Gottfried Dienst (Swiss) ragu mengesahkan gol karena pantulan bola begitu sulit dijangkau mata. Ia berdiskusi dengan asistennya, Tofik Bakhramov (Uni Soviet), dan balasannya: gol! 3-2, dan Inggris kembali berada di atas awan.

Memasuki ketika final, menit ke-120, sebuah crossing Bobby Moore diselesaikan Hunt, 4-2. Suasana dramatis terasa masa mendengar teriakan reportase Kenneth Wolstenholme via BBC. "And here comes Hurst he's got... some people are on the pitch, they think it's all over. It is now! It's four! England World Champion!"

Pada dikala menjadi salah satu jagoan bangsa di Wembley itu, Ball masih 21 tahun dan tercatat sebagai gelandang muda Blackpool yang telah membela 116 sabung dengan 40 golnya. Kepincut dengan bantuan besarnya di Piala Dunia 1966, Everton segera mentransfernya dengan nilai 112 ribu poundsterling. 

Di kemudian hari, di The Toffees-lah beliau mencatatkan diri sebagai salah satu legenda hidup klub Merseyside tersebut. Ball bermain hingga 208 kali dan 66 gol. Hingga kini tidak ada yang dapat menyamai keharuman trio lapangan tengah terhebat klub itu yang dihuni Alan Ball, Colin Harvey, dan Howard Kendall. Trio ini dijuluki pers dan publik Goodison dengan The Holy Trinity (trio paling suci).

 saya menemui salah satu legenda sepak bola bangsa Inggris Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...Pada Desember 1971, di usia emasnya sebagai pemain, 26 tahun, tanpa diduga klub top ibukota Arsenal menawari Everton nilai 220 ribu pounds untuk melepas Ball ke Highbury. Publik Goodison Park bersedih dan kecewa alasannya adalah Everton menerimanya. Nilai ini merupakan rekor dunia transfer dikala itu. Manajer Arsenal Bertie Mee antusias menggaet Ball yang dikenal gelandang cekatan nan gigih. Ball bertahan hingga animo 1975/76 dengan catatan 177 adu dengan 45 gol untuk The Gunners. 
Yang tidak mampu dilupakan pendukung Arsenal tentang Ball, mungkin, salah satunya dikala dia menderita patah kaki pada April 1974. Akibatnya beliau tak mampu membela Arsenal sepanjang musim 1974/75. Mau tahu hasil selesai The Gunners di musim ini? Peringkat 16! Sejak kakinya patah, penampilan Ball terus menurun. 

Dia sempat melanglang ke Yunani dan AS, sebelum membela Southampton di dua abad, balik ke Blackpool, dan mengakhiri karier jadi pemain di Bristol Rovers pada 1983. Sementara karier kepelatihannya dimulai di AS, tepatnya Liga NASL pada 1978. Blackpool, Portsmouth, Stoke City bahkan Exeter City sempat merasakan peran manajerialnya. Setelah mengembara ke Southampton (1994-1995) dan Manchester City (1995-1996), Alan Ball menutup karier kepelatihannya di Portsmouth pada 1998/99.

Pahlawan Wembley

Sebagaimana kata sejarah, banyak yang mengira pemain terbaik dikala itu adalah Hunt si pencetak hattrick. Nyatanya tidak, dan Alan bak memerlukan nyawa kedua untuk mengubah itu. "Dialah pemain terbaik di final. Suasana tim 1966 berubah banyak setelah itu," jelas Sir Geoffrey Hunt dengan mimik serius. Alan selalu bersikap ceria, dan sebagai pemain termuda, ia kerap meluap-luap saking antusiasnya masuk tim nasional. Semangat besarnya dan pancaran senyum di wajahnya sulit dilupakan Sir Bobby Charlton.

Meski badannya paling kecil, tapi Karl-Heinz Schnellinger terus mewaspadainya. 
"Alan mungkin pemain terbaik hari itu dan andai pun tidak, dialah yang menghipnotis permainan sehingga alhasil berubah total," timpalnya dengan nada murung. Tabloid Daily Mail mengenangnya sebagai The Little Man with Gigantic Spirit. Pria kecil dengan semangat raksasa.

Di mata Sir Bobby Robson, yang pada 1965 memprotes pemanggilan Ball, sampai ketika ini tak satu pun pemain nasional yang mampu menyamai dedikasi dan dinamika The Little Ginger Dynamolaki-laki kecil berambut merah jahe. "Lampard, Gerrard, Beckham seharusnya belajar banyak dari Bally," imbuh Sir Bobby pada kolomnya di Daily Mail.

James Alan Ball terlahir sebagai golongan working-class, kelas menengah, pada 12 Mei 1945 di Farnworth, Bolton, dari turunan Lancashire terpandang. Ayahnya, yang berjulukan sama persis, yakni pesepak-bola jago yang senang hidup nomaden. Alan muda diberikan latihan intensif. Setiap malam, di pekarangan rumahnya, dia digenjot sang ayah demi sebuah ambisi: bermain untuk Bolton Wanderers.

Sayang, The Wanderers menolaknya. Alasannya, badan Ball kekecilan. Malahan mereka menyarankan biar beliau banting stir menjadi... joki kuda!  "Saat 16 tahun saya bilang, 'Dad, aku ingin masuk tim nasional sebelum 20 tahun.' Akhirnya aku tampil di World Cup pada usia 20 tahun kurang lima hari," kenangnya pada penulis saat di suatu hari bertemu di British International School, Pondok Aren, Juni 1996. Tapi Ball senior justru tak memujinya. "Lupakan skuad, Nak. Aku baru senang jikalau kau masuk tim utama!"

Bolton menyesal alasannya Ball membela Inggris 72 kali, 8 gol, juara dunia termuda, kapten nasional dan gelar domestik. Di puncak kejayaan, dia menikahi Lesley pada 1967. Karier Ball di tim nasional amblas sehabis dicap penggemar klenik oleh Don Revie, pengganti Sir Alf Ramsey. Namun sebagai manajer sinarnya berkebalikan ketimbang jadi pemain. Semacam kutukan, alasannya adalah kemenangan Inggris dipenuhi konspirasi? Bisa jadi, sebab begitu juga Gordon Banks, Bobby Moore, Nobby Stiles, Bobby Charlton, Martin Peters dan Geoff Hurst. Paling lumayan, ya Jack Charlton di Irlandia.

1966 Glory: Alan Ball di sisi Bobby Charlton dan Bobby Moore.
Serial hidupnya berjalan tragis setelah beliau diberi gelar MBE oleh Kerajaan Inggris atas jasanya di Wembley 1966. Pada 2001, Lesley dan si sulung Mandy Byrne divonis kanker rahim. Mandy mampu bertahan, tapi Lesley tak tertolong pada 2004. "Tiada laki-laki yang punya istri terbaik, dan ibu terbaik untuk anak-anakku kecuali saya," ujarnya. Bab terakhir otobiografinya pada 2005 bikin orang sedih. "Dia yang pertama dan satu-satunya cintaku. Dia 14 dan aku 16 tahun dikala jumpa. Aku takkan menikah lagi, demi Lesley, dan demi diriku. Perkawinan kami selalu awet."

Akibat Kaget

Alan bisa mengalahkan siapa saja, namun dia tak pernah bisa mengalahkan kenangannya sesudah kehilangan istrinya. Setelah Lesley tiga tahun tak berdaya, kekuatan ekonomi rumah tangganya diuji. Harta terbaiknya, medali 1966, dilelangnya demi kesembuhan istri tercintanya.

Suatu kali Alan bercerita. "Tiba-datang dia berkata: 'kau terlihat putus asa dan itu membuatku khawatir. Yakinkan diriku semoga kamu berlatih dan tidur seperti sedia era, serta tak menghemat kuliner. Kuingin kau menjadi orang paling berbahagia di dunia seperti yang kamu telah perbuat untukku. Aku ingin kamu menikah lagi'. Dia niscaya berjuang keras mengatakan itu, sebab beliau tahu perkawinan kami untuk selama-lamanya," papar Ball. 

Sungguh menyesakkan mendengar laki-laki sebaik Alan Ball meninggal dunia secara mendadak. Sungguh tragis tubuhnya tergeletak tanpa daya di halaman rumahnya di Hampshire, sesudah terjatuh akibat panik melihat kobaran api dari pembakaran sampah, tak usang setelah usai nonton duel Liga Champion Manchester United vs AC Milan di televisi. 

 saya menemui salah satu legenda sepak bola bangsa Inggris Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...
Selamat jalan sang patriot kecil.
Secara klinis, Ball dinyatakan wafat akibat serangan jantung. "Padahal dia tak punya riwayat itu," kata sang anak, Jimmy Ball, yang ditelpon ayahnya beberapa menit usai menonton langgar Liga Champion itu hanya untuk mengungkapkan kepuasannya atas semangat khas Inggris.

"Dia bilang (duel) itu kelas dunia, dan perlawanan United benar-benar kelas dunia. Aku besar hati dia melihat tabrak itu, permainan dengan spirit dan keberanian," kata Jimmy yang masih ingat betul ayahnya terus mengomentari umpan Paul Scholes ke Wayne Rooney yang menjadi gol.

Di hari-hari terakhirnya, Alan menghabiskan waktunya di Warsash, Hampshire. Ia berencana pindah rumah ke Berkshire untuk memulai hidup baru sebagai joki, sebuah peran yang gagal dilakoninya kala muda. Dengan serius Alan berhubungan dengan Mick Channon, sobat lamanya di sepak bola yang banting stir jadi instruktur kuda balap.

Ucapan Frank McLintock ketika prosesi penguburan sungguh mengharukan. Dengan mata berair dan bibir terbata-bata, kapten legendaris Arsenal itu bilang, "Kematian bukanlah hal yang penting, bahkan andaikan kita bisa mengaturnya. Hidup ialah perbuatan, dan kupikir Bally berhasil melakukannya. "Alan menjalani hidupnya dengan penuh, dan kuingin haturkan terima kasih untuk semua kenangan, terima kasih atas seluruh kontribusinya untuk hidup kita."

Sebelum dimasukan ke liang lahat, Jimmy Ball menepuk-nepuk peti mati ayahnya, lalu berpuisi sebagai kesan terakhir. Sebuah puisi terkenal milik pujangga besar Rudyard Kipling berjudul If. "Ini untukmu Yah, untuk semangatmu yang tak pernah pudar," ucapnya lirih dan sesenggukan.

 saya menemui salah satu legenda sepak bola bangsa Inggris Alan Ball: Patriot Itu Pergi Selamanya...
Tiga anak Alan Ball: Mandy, Jimmy, dan Keely.
Ketika membaca bait terakhir, And you'll be a man, my son, Jimmy menambahi: "Dia seorang lelaki, mungkin terbaik yang saya pernah jumpai. Kukatakan pada Mandy dan Keely, kita amat beruntung punya ibu dan ayah yang andal seperti yang kami miliki."

Sebelum menutup acara pemakaman, Jimmy meminta pada hadirin untuk menyanyikan lagunya Frank Sinatra, My Way. Perlahan-lahan peti masuk ke dalam tanah, tepuk tangan dan siulan bergemuruh, juga sorak sorai, dan semua bernyanyi "Alan Ball, Alan Ball..." Cara inilah yang diubahsuaikan di semua pertandingan di seluruh negeri, tak terkecuali Premier League pada pekan itu. Tak ada mengheningkan cipta, tapi tepuk tangan selama 1 menit.

Selamat tinggal sahabat, selamat berpisah the patriot, dan selamat jalan the world champion! Sepak bola dan Inggris kehilanganmu, namun dunia sepak bola akan selalu mengenangmu, tak pernah lupa dengan teladan kepahlawanan yang kamu berikan untuk sepak bola dan kehidupan...

(foto: dailymail/reuters/telegraph)

Sunday, April 22, 2007

Panasnya Derby Jawa

Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik. Sepak bola yaitu olah raga impor yang jadi komoditas penting penguasa lokal dan pemerintahan kolonial Belanda. Awalnya kaum boemiputera tidak boleh ikutan dalam acara sepak bola mengingat voetbal langsung diplot sebagai perbedaan kelas dan status insan di Indonesia.

Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik Panasnya Derby Jawa

Masa-kala sebelum kemerdekaan adalah momen terpenting bagi perkembangan sepak bola. Perekonomian yang mulai membaik di tamat 1920-an, masuknya teknologi (listrik dan telpon) serta transportasi (mobil dan kereta api), kian mempopulerkan permainan ini. Kontribusi besar media massa yang mulai progresif juga mensugesti lahirnya 'budaya bola' di Tanah Air. Berkenaan dengan itu, masih dalam rangka ulang tahun PSSI ke-77, berikut ini diangkat kisah semacam perang kultural di sepak bola yang saya beri judul khusus Derby Jawa, seperti yang diceritakan Sugiarta Sriwibawa dalam buku Kenang-Kenangan 50 Tahun PSSI.

                                                        *******

BEGITU suara sirene tanda buka puasa meraung-raung dari menara Taman Sriwedari, penduduk Solo dan sekitarnya tampak sibuk dan berangasan. Habis makan lantas dandan, berkunjung ke pasar malam adalah tujuan berikut, atau menonton bola. Tapi kebanyakan bumiputera menyaksikan keduanya itu dalam satu malam, yang biasanya dilanjutkan dengan makan sahur.

Konon semenjak zaman Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) mengadakan pasar malam pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Dan panitia pasar malam menambah semarak dikala-saat menjelang Lebaran itu dengan pertandingan sepak bola malam hari. Di abad 1930-an ini, sepak bola yakni hiburan yang paling digemari rakyat yang secara massal tidak tertandingi.

Di Stadion Sriwedari sengaja didirikan menara-menara lampu secara permanen, sehingga menjadi atraksi luar biasa waktu itu yang bisa melebihi kemeriahan di Batavia. Pembiayaan ini dimungkinkan mengingat prestasi Persis Solo waktu itu pantas dibanggakan alasannya berkali-kali menjadi juara PSSI.

Yang menggembirakan, kegiatan ini dari secara bisnis pun menguntungkan. Sumber penghasilan terbesar tiba dari pengunjung pasar malam yang semangat berbelanja apa saja mulai dari masakan hingga suvenir. Pemasukan ekstra tentu dari karcis masuk ke stadion.

Penghasilan uang dari pertandingan bola bisa lebih besar lagi apabila yang menjadi lawan kesebelasan tuan rumah ialah tim tetangga, yang menjadi musuh turun-temurun mereka: PSIM Yogyakarta. Sudah jadi heboh tanah Jawa jika Persis bertemu PSIM, maka Stadion Sriwedari niscaya dibanjiri penonton, bukan saja dari Solo dan Yogya tapi juga kota-kota di Jawa Tengah, bahkan dari Jawa Timur.

Orang-orang Yogya mengalir ke Solo bukan saja dengan kereta api NIS atau SS, tapi juga dengan bis, taksi bahkan andong dan sepeda, menempuh jarak 62 km pergi-pulang! Yang memakai kereta, niscaya mengenal istilah laatse trein, kereta api terakhir, alasannya seusai pertandingan para suporter PSIM langsung buru-buru kabur ke stadion biar tak tertinggal kereta penghabisan.

Penonton Gelap

KARCIS bola yang termurah masih seharga 15 sen, kira-kira sama dengan harga tiga liter beras. Meskipun penonton berjubel-jubel di sekitar loket, tapi tak tampak atau teriakan calo karcis model kini: "karcis lebih, karcis lebih!" Sebab jika ada, polisi niscaya akan bertindak cepat tanpa ampun terhadap para tukang catut.

Meski begitu, penonton yang menyelundup tak kurang banyaknya. Waktu itu Stadion Sriwedari masih berpagar papan kayu yang ditempeli berbagai gambar reklame atau iklan. Sebagai penyangga dinding papan itu, dibentuk tanggul tanah berumput mengitari stadion.

Nah, di celah-celah antara tanggul dan pagar papan itulah orang-orang yang nggak punya duit tapi punya nafsu berpengaruh nonton bola, secara naluriah akan menerobos dengan cara mengendap-endap, bertiarap. Bagi yang bertubuh gemuk terpaksa beliau harus menggangsir gundukan tanah atau tanggul itu.

Untungnya polisi jarang menangkap para penyelundup alias penggangsir atawa penonton gelap, kecuali hanya mencegahnya sambil mengayun-ayunkan kenut atau tongkat karet. Pernah seorang yang perutnya buncit mengalami nasib sial. Ia tak bisa menggerakan tubuhnya, macet lantaran pinggangnya terjepit papan reklame.

Polisi datang. Tapi yang terjadi malah di luar dugaan. Pak polisi justru terbahak-bahak melihat adegan itu. Sejenak lalu, orang-orang yang juga melihat itu menahan nafas sembari bertanya-tanya dalam hati, mengapa tiba-tiba polisi itu pasang kuda-kuda. Rupanya dengan dengkulnya, polisi itu menyepak keras-keras pantat si gendut.

Dan, kreek, kreek, papan reklame dari kayu jati nan tebal itu berderak. Tubuh si gendut mulai terbebas dari jepitan. Akhirnya dengan sekali tendangan berpengaruh dari pak polisi, badan si penggangsir itu terjerembab ke dalam stadion!

Sambil memegang pantatnya, tanpa menengok lagi, dia terseok-seok menyelinap ke arah belakang gawang Persis Solo, tempat paling favorit penonton tuan rumah karena semuanya ingin menyaksikan dari dekat gerak-gerik Raden Maladi, kiper nasional pertama PSSI yang juga penjaga gawang andalan Persis Solo.

Aksi Petaruh
Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik Panasnya Derby Jawa

KEMBALI ke pertandingan. Duel Surakarta kontra Yogyakarta waktu itu merupakan sabung terpanas di Tanah Jawa. Ini sebuah pertarungan klasik di olah raga yang boleh disebut-sebut sebagai perang saudara (derby) di Jawa paling dinantikan-tunggu. Setelah berkali-kali berlangsung, terbukti jikalau langgar diadakan di Solo, maka Persis akan unggul. Begitu juga jika pertempuran digelar di Stadion Kridosono, maka PSIM lebih sering menangnya.

Menjelang dimulai, banyak atraksi yang dihadirkan penonton. Di depan pintu masuk untuk pemain, tampak orang-orang bergerombol ingin melihat kedatangan pasukan kedua kesebelasan. Satu per satu para pemain Persis datang. Hampir semuanya naik sepeda! Mereka datang sudah memakai uniform lengkap termasuk sepatu bolanya, biasanya hanya talinya saja yang belum diikat berpengaruh-kuat.

Para skuad Persis mengenakan seragam kebanggaan tuan rumah berwarna merah hati, yang terbuat dari kain laken, dengan handuk putih kecil ditaruh di kerah. Di antara kerumunan orang-orang itu sering terdapat para petaruh dan agen rahasia petaruh. Mereka ingin secepat mungkin melihat pemain-pemain siapa saja yang bakal turun ke lapangan.

Umpamanya jika Maladi absen, maka para petaruh tidak berani memperlihatkan voor yang tinggi. Persis Solo tanpa Maladi dianggap Persis tweede atau Persis kelas dua. Menjelang jam 19.30, waktu kick-off, para petaruh masuk ke stadion. Markasnya terletak di sebelah timur laut. Mereka terdiri dari botoh-botoh Jawa, Cina dan encik peranakan Arab. Bahasa sandi yang dipakai biasanya bahasa Jawa ngoko diselang-selingi kromo.

Di tengah-tengah tribun, pada mimbar kehormatan, para pembesar dan pengurus bond mengenakan pakaian resmi kain dan ikat kepala. Ini busana resmi priyayi dan pegawai zaman itu yang juga sering dipakai guru-guru, dikala pak raden bepergian naik kereta api ke Batavia, pergi ke dokter, mengunjungi ke pasar malam atau menonton wayang orang.

Begitu peluit pertama melengking, hampir semua penonton bangun. Satu per satu pemain yang memasuki lapangan diperhatikan seksama dan mereka sebut namanya. "Persis komplit!" jerit mereka saling mendahului sesudah melihat sebelas pemain yang masuk lapangan. Situasi semakin mirip sudah mendapatkan kemenangan mana kurun mereka juga mengetahui barisan starting line-up PSIM. "PSIM tidak komplit!" celetuk seorang penonton bersarung pelekat.

"Kartawa tidak ikut," sambungnya.

"Takut," tukas penonton lain yang bersisiran belah tengah.

Kartawa, kiri luar PSIM, rupanya menjadi sosok tidak terkenal dikala itu bagi wong Solo. Bahasa keren-nya, ia telah di-persona non-grata-kan oleh pendukung Persis karena 'membelot' ke kubu Yogya. Kartawa bahu-membahu orang Klaten, yang masuk Karesidenan Surakarta, tapi justru membela PSIM.

Para pendukung fanatik Persis masih ingat bagaimana pada derby sebelumnya, Kartawa telah mematahkan hati mereka. Ia mencetak gol kemenangan lewat tendangan penalti yang memang menjadi spesialisnya. Gaya Kartawa mengeksekusi penalti terbilang unik, bahkan untuk zaman kini. Sebelum menendang sehabis bola diletakkan di titik putih, ia membelakangi bola termasuk penjaga gawangnya. Begitu priit, Kartawa segera membalikkan badannya dan pribadi menendang bola.

Waktu itu, Yahman, kiper Persis yang jangkung sebelum munculnya Maladi, sampai tak sempat bereaksi alasannya masih terbingung-bingung melihat aksi orisinal Kartawa nan unik. Teknik ala Kartawa ini memang dimaksudkan semoga arah sepakannya tidak terbaca kiper.

"Alaah, cuma Kartawa seorang diri saja kok ditakutkan," ucap seorang penonton berbaju surjan sambil terbatuk-batuk.

"Memasukkan gol dengan penalti kok tidak tahu aib," timpal temannya yang mengenakan setelan piyama bergaris-garis layaknya mirip hendak tidur.

Ada semacam arahan etik pada sepak bola zaman itu, yang barangkali hanya berlaku di kalangan orang Jawa: bikin gol dari tendangan 12 langkah dianggap kurang patut, agak memalukan. Saking gampangnya, demikian pendapat kebanyakan orang. Maka di beberapa pemain yang di dirinya masih tertanam budaya ewuh pakeweuh, saat melaksanakan hukuman penalti, dengan sengaja dia akan menendang bola kuat-kuat ke kiri atau kanan gawang. Atau jikalau tidak, menyepak pelan ke arah kiper! Owalaa!

Badut Lapangan
Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik Panasnya Derby Jawa

NAMUN malam itu, keberuntungan dari titik penalti justru diraih tuan rumah. Padahal Persis sudah banyak bikin gol ke gawang PSIM. Pemain yang 'nekad' mengambil hukuman malam itu ialah si Gareng, seorang priyayi yang bernama orisinil Raden Mas Sumarno. Ia seolah tak perduli, masbodoh saja oleh cibiran ala Jawa soal tendangan penalti. Justru sebaliknya, Gareng berniat memberi hiburan khusus bagi penonton Sriwedari malam itu.

Cara Gareng mengeksekusi penalti cukup menciptakan sebagian penonton jadi cekikikan. Bola yang ditendangnya pelan tapi dipuntir. Kiper menubruk ke kanan, tapi bolanya menggeleser ke kiri. Di benak Gareng mungkin ada sedikit kesan me-revans atas agresi Kartawa sebelumnya. Namun, tetap ada komentar sinis.

"Tendangan penalti kok dipamer-pamerkan," lagi-lagi kata pria berbaju surjan.

Gareng, si penyerang tengah Persis ini bantu-membantu tak pantas menjadi striker karena badannya yang tinggi besar. Gerak-geriknya juga rada lamban. Namun ia punya keunggulan lain. "Jago goreng bola", istilah beken untuk giring bola saat itu. Juga operannya berkelas tinggi, konon mirip yang dilakukan penyerang nasional Thee San Liong pada awal lima puluhan. Yang perlu diingat lagi, abad itu kesebelasan yang tak punya 'tukang goreng bola' tidak akan ditonton orang!

Potongan Gareng berkebalikan dengan striker utama PSIM, Jawad. Inilah cuilan penyerang berkelas hingga ke tulang belulangnya. Keras, cepat, badung dan punya tendangan menggeledek. Walaupun formatnya rada beda, tapi dialah pemain yang paling seperti dengan Ramang, striker nasional legendaris asal PSM Makassar. Jawad dijuluki orang 'Ramang sebelum perang'.

Malam itu Persis menampilkan showman jempolan, ialah Yazid. Kebetulan beliau yaitu kakak kandung Gesang, pencipta dan penyanyi lagu Bengawan Solo. Ia badut lapangan yang tak ada duanya. Ulahnya, gerak-gerik dengan atau tanpa bolanya selalu mengecoh lawan.

Yazid juga piawai menggoreng bola. Kadang dia menggoreng bola sambil mengikat tali kolornya yang kedodoran. Usai menerima umpan, beliau sengaja memelorotkan celananya lantas dipeganginya dengan kedua tangan sambil kabur menggiring bola!

Larinya memang tidak secepat dua winger beken Persebaya, Stalder atau Manuputty, tapi umpan-umpan Yazid yang pulen dan perang urat syarafnya yang meneror mental lawan, merupakan kenangan tersendiri bagi pendukung Persis bahkan dalam sejarah sepak bola Indonesia sebelum perang kemerdekaan. Di kubu PSIM pun berkumpul pemain-pemain dengan penguasaan bola yang halus dan berkelas tinggi seperti Gilig, Wajis atau Naruchman.

Kehebatan Sidhi

TETAPI Persis punya pemain sayap kanan yang tak mampu disebut ortodoks, adalah Arman. Ia bisa mengambil bola dari belakang, switch ke tengah, menyerang dari segala penjuru, tik-tak, dan bergerak terus, meski senjata utamanya melarikan bola sepanjang garis.

Persis pun punya seorang tukang babat yang selalu tegas dalam bertindak, adalah Kingkong. Nama sebenarnya Sumaryo, yang kemudian hari menjadi perwira tinggi kepolisian di Semarang. Gaya permainannya seperti Sonny Sandra di tahun enam puluhan.

Tapi bintang di antara semua bintang Persis zaman itu adalah Sidhi, centerhalf dan all-rounder yang kesannya menjadi kapten nasional Indonesia di awal tahun limapuluhan. Ia bukan saja anggun tapi juga 'menari', sehingga mendapat sebutan Si Serimpi. Ia mengembara ke mana-mana, turun naik dan long-passing-nya yang terukur bisa membuat counter-attack yang mengejutkan.

Tekling-nya tajam mirip gunting. Gamesmanship-nya sering menunjukkan kepuasan penonton dengan keterampilan individual: menyetop bola lambung tanpa mental sedikitpun, sehingga bola itu mati bagaikan burung kena pulut di ujung bambu! Pokoknya banyak gerakan akrobatik yang sering ditampilkannya.

Setelah penyerahan kedaulatan RI, permainannya lebih zakelijk (saklek, kaku) balasan penanganan coach nasional Choo Seng Quee, yang menggeser tempatnya ke belakang sebagai spil dan stopper. Tapi long-passing-nya ke depan yang akurat tetap menawarkan andil bagi lini depan. Dilihat dari segi teknis permainannya, dan last but not least yang tanpa cacat suap, Sidhi pantas dianggap sebagai salah satu pesepak bola terbesar Indonesia.

Di zaman pendudukan Jepang, Persis masih sering tampil di Sriwedari menghadapi Jakarta, Surabaya atau Purwakarta. Di tim yang belakangan ini ada pemain top berjulukan Isaak Pattiwael yang dijuluki 'Macan Purwakarta'. Hebatnya beliau salah satu anggota tim nasional Dutch Indies yang tampil pada Piala Dunia 1938 di Prancis!

Saat melawat ke Solo, Persija Jakarta diperkuat oleh Mahmul, kiper gemuk tapi lengket tangkapannya. Lalu bek cekatan Ruslan dan trio tangguh Sanger, Abidin dan Teck Eng, serta kanan luar Iskandar. Lewat andil mereka, Persis terpaksa main dengan hasil seri 2-2. Mahmul, Ruslan, Abidin, dan Pattiwael pada zaman revolusi hijrah ke Klaten.

Namun mereka tidak bergabung ke Persis, melainkan ke PSIK Klaten lantaran ditawari bekerja di pabrik sepatu Gayamprit. Boleh jadi, kepindahan ini seperti sebuah kisah transfer pemain tempo doeloe. Sebelum hijrah ke Klaten, Mahmul, Ruslan, dan Abidin adalah anggota kesebelasan Bata Jakarta. Saat itu perusahaan sepatu milik Belanda ini boyongan sambil membawa peralatan pabrik ke Jawa Tengah.

(foto: photobucket/fbcdn.net/youtube)

Saturday, April 14, 2007

Pssi: Piala Dunia Sebelum Kiamat!

SUDAH lama saya menghindari menulis soal PSSI. Bukan apa-apa, pasalnya hal itu bisa membuat aku berpikir sangat keras, letih, sakit hati tapi yang lebih celaka lagi yaitu segala tutur kata bakal diakhiri tanpa cita-cita! Bayangkan, jikalau harapan saja sulit diraih dari usaha yang dibentuk, apalagi yang mau dijadikan tantangan ke depan.

SUDAH lama saya menghindari menulis soal PSSI PSSI: Piala Dunia Sebelum Kiamat!
Kenapa dikatakan tanpa harapan? Sejak divonis publik sebagai organisasi paling konyol bin kontroversial di Tanah Air, barangkali PSSI telah menerima jutaan kritik dan saran. Kalau mereka mau membuka mata lebar-lebar dan rajin membersihkan telinga, terlalu banyak keinginan masyarakat kepada PSSI, demi kemajuan sepak bola nasional tercinta.

Siapakah yang dimaksud setiap kali menyebut kata PSSI? Apakah beliau identik dengan ketua umumnya? Direktur-direkturnya? Komisi Disiplinnya? Tim nasionalnya, atau segala yang berkenaan dengan hal perihal dunia persepak bolaan di Indonesia? Bisa jadi semuanya benar. Dengan mudahnya harapan berganti menjadi kemarahan atau frustrasi yang akan berujung pada kerusuhan.

"PSSI = Perampok Sepak Bola Seluruh Indonesia," demikian spanduk besar yang dibentangkan suporter Jak-mania di Stadion Lebak Bulus, sehabis tim Indonesia kalah 1-2 dari Lebanon, Rabu (28/3). Bayangkan, dengan negara yang lapangan bolanya sering jadi ladang bom Israel saja kalah. Ada lagi, Komdis disebut Komisi Sadis, dan itu belum cukup jikalau kita mendengar eksklusif apa yang mereka selalu hujat.

Setiap dikala PSSI menuai angin puting-beliung. Coba kumpulkan guntingan opini, surat terbuka, kritik dan saran yang ada di koran-koran saja setiap pekan. Isinya mulai dari yang paling halus hingga paling bernafsu. Semoga Jaya Suprana punya pandangan baru untuk memuat itu ke MURI sebagai rekor terbarunya: kliping wacana topik tertentu yang terbanyak di dunia!

Simpanlah file-file tentang PSSI dari ratusan ribu milis atau blog, dijamin hard disk lap-top kita akan penuh dengan koleksi caci makian. Juga rekamlah program-acara di talk-show, diskusi, seminar, simposium, radio atau televisi yang pernah terjadi. Lagi-lagi maka anda akan takjub melihat durasinya yang, barangkali, 7 x 24 jam alias seminggu non-stop!

Dan uniknya, semuanya itu bertema sama: soal PSSI! Entah itu cara memajukannya, pembentukan timnas, skandal jadwal, wasit, tiket, kebrutalan penonton, sampai pengaturan skor contohnya. Sebenarnya fenomena ini menarik sebab menunjukkan betapa dinamikanya sepak bola nasional.

Sayangnya, hasil yang diraih tak mengarah menuju kemajuan alias muter-muter di kawasan persis seperti kecoak terbalik. Nyaris setiap hari ada informasi kekisruhan pemain, kepemimpinan wasit, ulah penonton, tingkah para pengurus, dan seterusnya. Ternyata memikirkan bagaimana cara membenahi PSSI itu sulitnya alang kepalang, mirip menegakkan benang. Nyaris mustahil.

Sisi Negatif

Membicarakan PSSI itu perlu punya tenaga super, harus rajin mengecek tekanan darah alasannya resikonya bikin jantung berdebar-debar tak karuan. Kalau pun sudah dipenuhi, usai berusaha keras banyaklah doa semoga tabah. Sebab jikalau tak pintar mengelola stres, jangan-jangan tujuan mulia belum tercapai, kita sudah digotong orang-orang ke makam umum.

Kini menonton timnas main saja, sontak menciptakan tensi kita tinggi mendadak! Betapa tertinggalnya persepak bolaan kita bisa dilihat dari pelbagai kekalahan gila dari negara-negara 'asing' seperti Vietnam atau Singapura yang dulunya tak ada tradisi menang jikalau melawan Indonesia.

Bahkan dengan Lebanon atau Iraq, yang latihannya saja di bawah desingan peluru, timnas PSSI masih saja kalah memalukan. Jangan cari alasan kuno mirip soal bakat atau postur tubuh. Bukan itu. Kalau mau bandingkan, lihatlah di Iraq dan Lebanon, jangan-jangan gedung federasi sepak bolanya sudah rata dengan tanah akibat terjangan bom. Fenomena ini menerangkan bahwa - sepak bola ialah permainan belaka dan bukannya drama - telah kembali. Sebentar lagi tren ini akan menyapu bersih Eropa seperti yang telah dikumandangkan Presiden UEFA Michel Platini.

Sahabat aku yang pernah usang tinggal di Italia dan tahu banyak bagaimana kinerja FIGC (PSSI-nya Italia), kesudahannya mengakui bahwa organisasi sepak bola negeri ini tiada duanya. Di Italia, katanya, kongkalikong dan intrik juga seperti di sini malahan jauh lebih bejibun. Bedanya di sana aturan dan fungsinya masih berjalan sebagaimana mestinya.

PSSI mirip Indonesia kecil. Sarat problema, penuh polemik dan selalu dilematis. Gaya PSSI kolam judul film Asrul Sani, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Prinsipnya klasik seperti pepatah Arab, Biar Anjing Terus Menggonggong Kafilah Tetap Berlalu, dan last but at least, mata batin PSSI seperti sudah terkunci mati.

Apa yang pernah diucapkan Jose Mourinho barangkali benar adanya. Orang Portugal yang melatih Chelsea ini bilang, "Sisi negatif sepak bola yaitu sisi negatif masyarakatnya. Orang per orang membawa masuk pengaruh negatifnya ke dalam masyarakat melalui sepak bola."

Bagi saya, sepak bola menunjukkan bangsa sekaligus menjadi ukuran sebuah peradaban. Negeri ini punya banyak orang berilmu termasuk yang ada di PSSI. Yang kurang banyak itu orang cerdik, yang berani dan yang jujur. Secara teknis PSSI juga memerlukan banyak praktisi psikolog atau sosiolog jago. Perhatikanlah permainan tim nasional kita.

Bakat pemainnya andal dengan pengalaman yang cukup, pelatihnya mumpuni, latihannya keras dan intens, strateginya ciamik, makanannya mungkin bergizi, tapi begitu main, alamak, semua di luar skenario. Tak punya kecerdasan mental bermain. Visinya minim meski kemampuannya setuju.

Munaslub PSSI

Dalam sepak bola modern, waktu dan ruang harus selalu matching. Benarkah PSSI makin sulit lagi mengembangkan performanya seiring dengan kacaunya tatanan kehidupan di Indonesia secara multi-dimensi? Seperti kata Michel Platini, "For me football is more about making the right pass at the right time", barangkali memang sedang terjadi di Indonesia.

Selama ini banyak kalangan yang kelihatannya membisu melihat sepak terjang PSSI. Tidak intens bukan berarti tidak perduli. Kata orang, batas antara benci dan cinta itu tipis. Maklumlah jika orang mudah murka pada PSSI. Itu berarti masih ada perhatian. PSSI akan selalu jadi pusat perhatian dan keinginan, sebab 224 juta rakyat Indonesia mayoritasnya ialah penggemar bola.

Sepak bola Indonesia memang sudah salah dan cacat sejak berojol. Ia dilahirkan dari rahim usaha dan atmosfir politik yang kental dengan benih berjulukan nasionalisme. Makara bukan untuk mencari prestasi bahkan untuk menyehatkan rakyat. Di mata aku, PSSI seperti perusahaan besar, ingin besar tapi takut besar. Saking besarnya justru tidak tahu akan kebesarannya itu sendiri.

Tapi tidakkah kita merasa gembira sebagai negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia 1938? Sekjen AFC Dato Peter Velappan bahkan menjuluki Indonesia 'Brasil-nya Asia' atau 'Raksasa yang sedang tidur'. Salah satu ambisi terkini Ketua Umum PSSI Nurdin Halid ialah meloloskan Indonesia ke Piala Dunia 2018, yang gampang-mudahan berlangsung di Australia. Walau terlalu jauh, namun setidaknya masih lebih berani ketimbang Visi Indonesia 2030 yang dikreasi pemerintah dan pengusaha.

Namun yang lebih penting, PSSI harus konsisten dan konsekwen. Pekerjakanlah orang-orang yang fokus dengan pengabdian tinggi. Sebab kalau tidak, jangan lagi 2018 atau 2030 (dikala PSSI berusia seabad), sampai kiamat pun Indonesia tidak akan pernah masuk ke putaran selesai Piala Dunia!

Pedoman Dasar, perubahan AD/ART yang dibuat pada 2004, harus menjadi cita-cita dan impian anyar sekaligus tonggak gres persepak-bolaan nasional sehabis 77 tahun (1930-2007) berjalan. Maka Munaslub, yang bulan ini digelar di Makassar, sangat memilih visi dan misi PSSI ke depan.

Di negeri, sepak bola kita semua bergantung pada satu merek: PSSI! Merek, kata David D'Alessandro dalam Brand Warfare, yakni nasib Anda. Yang perlu diingat lagi, skandal yaitu ancaman besar yang paling sulit ditangani pembangun merek. Jadi sudahilah! Mudah-mudahan ke depan masyarakat akan lebih positive-thinking memandang keputusan dan gerakan yang dibuat PSSI. Jangan sampai ada demo mahasiswa bahkan revolusi rakyat sebagai gantinya toh? Selamat ulang tahun ke-77, PSSI!

(foto: istimewa)

Monday, January 22, 2007

Soekarno: Revolusioner Olah Raga Ri

Ah, andaikata Presiden Soekarno bisa mengkreasi turnamen sepak bola se-Asia setelah membidani kelahiran Konferensi Asia-Afrika atau Gerakan Non-Blok di periode 1950-an, mampu jadi, Piala Asia kini ini jauh lebih gemuruh dan bergengsi. Jangan-jangan ia menjadi kejuaraan ketiga paling prestisius dan terakbar sesudah Piala Dunia dan Piala Eropa.

 andaikata Presiden Soekarno mampu mengkreasi turnamen sepak bola se Soekarno: Revolusioner Olah Raga RI
Presiden Soekarno dan pemimpin Uni Soviet Nikita Khruschev di Jakarta 1960.
Keyakinan itu amat beralasan mengingat sampai awal 1960-an, Indonesia adalah sang penggagas, sumber inspirasi perjuangan bagi negara-negara di Asia termasuk Afrika, yang dikomandoi eksklusif Soekarno. Kepemimpinan Indonesia di kancah politik internasional saat itu juga diakui oleh empat negara terbesar dunia, Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina dan India.

Saat itu nama Soekarno jaminan mutu untuk pelbagai gerakan regional bahkan perubahan internasional. Waktu itu Korea masih awut-awutan akibat perang saudara. Jepang masih tertatih-tatih sesudah dibom atom oleh AS. Sementara India belum usang merdeka. Dan Cina masih disibuki oleh Revolusi Kebudayaan-nya. Kala perang cuek berlangsung antara blok barat (pro AS) dan blok timur (pro Uni Soviet), Soekarno pula yang sempat menengahinya.

Ah, andaikata Soekarno memindahkan energinya waktu membentuk olimpiade tandingan berjulukan GANEFO (Games of The New Emerging Forces) ke Piala Asia, mungkin catatan sejarah sepak bola Asia akan berbeda dengan yang kini. Jika politik dunia saja mampu dilakoninya, apalagi sepak bola yang cuma menjadi salah satu elemen politik? Benarkah faktor ekonomi dan politik dalam negeri yang mendera Indonesia di kurun 1950-an mampu disebut sebagai sumber kegagalan seorang Bung Karno mencatatkan dirinya sebagai bapak sepak bola Asia?

Tak ada yang memungkiri bahwa sepak bola yaitu salah satu alat perjuangan yang paling mumpuni di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Hal ini diyakini bukan saja oleh Soekarno, tapi bapak bangsa seperti Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara atau Muhammad Husni Thamrin. Mereka sepakat sepak bola merupakan sarana untuk menumbuhkan nasionalisme.

Pendapat bahwa di Indonesia sepak bola lahir dari kebutuhan politik, lebih dari kebutuhan publik memang ada benarnya. Sejak Boedi Oetomo bangun pada 1908, para tokoh politik mendukung berdirinya klub-klub sepak bola di Tanah Air. Pertandingan sepak bola yang ditonton oleh ribuan orang pribumi, tentu amat merisaukan pihak kolonial. Taktik sepak bola juga ikut melatih acuan pikir masyarakat dalam mematangkan seni manajemen perjuangan.

Pihak Belanda melihatnya sebagai fenomena yang membahayakan. Mereka sempat menciptakan pengkastaan sepak bola di bawah induk organisasi NIVB (Nederlandsche-Indische Voetbal Bond) pada 1919, namun tak mampu mencegah popularitas sepak bola di masyarakat inlander yang memainkannya dengan telanjang kaki, tanpa sepatu bola.

Oldefos dan Nefos

Kelahiran Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928 semakin memantapkan rasa nasionalisme di sepak bola. Buktinya, sempurna sebulan setelah Soempah Pemoeda, M.H. Thamrin mendirikan Persija Jakarta. Puncaknya, selang tiga tahun, pada 19 April 1930, di Yogyakarta berdiri induk organisasi tandingan milik pribumi dengan nama lokal, Persatoean Sepak Bola Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang diketuai Ir. Soeratin Sosrosoegondo, eks mahasiswa di Jerman.

Berikut secuil kisah pembentukan PSSI seperti yang dilaporkan koran Bintang Mataram edisi 22-24 April 1930 yang dikutip dari buku Kenang-kenangan 50 tahun PSSI. Dapat dilihat bahwa salah satu misi berdirinya PSSI ialah sebagai jendela kebangsaan dan salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan.

"Spreker merasa gembira, bahoea comite poenja seroean boeat dirikan persatoean soeda dapet sympathie dari beberapa fihak, hal mana ada satoe tanda bahoea soeda sampe temponja dalam kalangan Indonesier diadakan matjam itoe badan persatoean. Spreker laloe terangkan hal goenanja kaloe sport ada salah satoe soeal dapetken kemoedian bangsa."

Pada PON II 1951 di lapangan IKADA Jakarta, untuk pertama kali secara terbuka Bung Karno menggunakan jargon olah raga untuk membangkitkan nasionalisme. "Ayo! Merdeka! Freedom! Come on! Let's go!" sering dipekikkannya. Setelah sering menghadiri PON dan merasa gembira dengan penampilan PSSI di Olimpiade 1956, ia kian yakin bahwa olah raga berarti politik. Ini selaras dengan sistem demokrasi terpimpin yang menaruh politik ialah segala-galanya.

"Nasionalisme ialah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita, nasionalisme yakni sumber besar dan ilham agung dari kemerdekaan," demikian ucapan Soekarno dalam pidatonya yang berjudul To Build The World A New pada Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960 di New York.

 andaikata Presiden Soekarno mampu mengkreasi turnamen sepak bola se Soekarno: Revolusioner Olah Raga RI
Stadion Utama Senayan, bab dari Bung Karno Sports Complex.
Saking seriusnya merancang olah raga dan sepak bola sebagai kekuatan nasional dan pembangunan karakter bangsa, Soekarno menunjuk R. Maladi, eks kiper nasional terkenal, sebagai ketua KOGOR (Komando Gerakan Olah raga) yang bertugas menyiapkan Asian Games IV di Jakarta. Di bawah perintah Soekarno, kompleks olah raga (Bung Karno Sport Complex) dibangun dari kredit lunak Uni Soviet. Kedatangan PM Rusia Nikita Khruschev ke Jakarta pada 1960, sekaligus ingin melihat dari erat pembangunan stadion, semakin menciptakan rakyat Indonesia yakin dengan gagasan sang pemimpin.

Menurut goresan pena Metamorfosis Gelora Bung Karno (Kompas, 26 Mei 2006), pemancangan tiang pertama kompleks itu dilakukan oleh Soekarno sendiri pada 8 Februari 1960. Kemudian, satu demi satu sarana olah raga itu pun terwujud. Istana Olah Raga (Istora) tamat dibangun pada 21 Mei 1961, Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962).

Pidato membangun dunia gres di New York pada 1960 itu seolah-olah menjadi proklamasi kedua yang diucapkannya, namun kali ini untuk negara-negara dunia ketiga dan bangsa-bangsa Asia. "Bangsa-bangsa Asia harus unjuk diri bahwa mereka juga mampu melaksanakan sesuatu yang besar seperti yang dilakukan potongan dunia lainnya," timpalnya di majalah Time. Ketika itu Soekarno sudah memilah dunia dengan istilah Oldefos (Old Establish Forces) yang terdiri dari kaum imperialis dan Nefos (New Emerging Forces), tempatnya negara-negara berkembang.

Namun gerakan politik olah raga bukan tak memakan korban. Salah satunya justru menimpa di pentas sepak bola. Sebelum dihebohkan dengan trik-trik politik di AG 1962 dan GANEFO 1963, sepak bola Indonesia kena getah revolusi 'basmi imperialisme'. Pada Pra Piala Dunia 1962 zona Asia, PSSI terpaksa melupakan keinginan tampil pada putaran tamat di Chile, saat hasil undian harus bertemu dengan Israel. Sudah sejak dikala itu kehadiran negara Israel oleh Inggis dan Amerika tidak diakui secara umum dikuasai negara di dunia, termasuk Indonesia.

Revolusi Olah raga

Kesuksesan Indonesia dari segi prestasi dan sebagai penyelenggara di AG 1962 ternyata berbuntut politik. Ini terjadi alasannya adalah Indonesia menolak kehadiran Israel dan Taiwan. Keputusan ini membuat berang badan olimpiade dunia (IOC) dikala wakilnya yang juga pendiri Asian Games asal India, Guru Dutt Sondhi, tiba ke Jakarta untuk menyatakan protes kerasnya. "Legitimasi pesta olah raga ini tak akan diakui IOC!" gertaknya saat itu pada Indonesia.

Yang terjadi di luar dugaan. Soekarno malah murka besar. Meski India dan PM Jawaharlal Nehru ialah sobat kental Indonesia dan dirinya, Soekarno tak perduli. Ia mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Dampak lainnya, akhir gerakan Sondhi itu, sentra perdagangan Pasar Baru yang banyak diisi orang-orang India, didemo rakyat Jakarta. Mobil-kendaraan beroda empat mereka dibakari dan banyak toko-toko dilempari massa.

Keberangan Soekarno pada imperialisme ternyata tak mereda, sebab ia menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan IOC. Lebih dari itu, sambil menuduh IOC sebagai corong imperialis, dia lalu merancang olimpiade tandingan berjulukan GANEFO (Games of the New Emerging Forces), 10-22 November 1963 seusainya AG 1962.

Soekarno menyerahkan peran berat ini kepada Maladi lagi yang saat itu sudah naik pangkat menjadi pada menteri olah raga. Tidak mirip kurun kini, di bawah rezim Soekarno, kementerian olah raga memiliki jalan masuk besar. Itu sebab memegang seluruh acara dan kebijakan termasuk yang ada di bawah pengendalian KONI.

Bangga dengan hasil yang dicapai Indonesia pada AG 1962, Soekarno lalu mengeluarkan Kepres Nomor 263/1963. Isinya wacana misi Indonesia masuk dalam 10 besar olah raga di dunia. Ia berharap apabila sepertiga penduduk Indonesia aktif di bidang olah raga sejak Sekolah Dasar, maka impiannya akan tercapai. "Revolusi olah raga demi mengharumkan nama bangsa. Olah raga yakni bab dari revolusi multikompleks bangsa ini," ucap Soekarno ketika itu.

Ewa T Pauker dalam buku berjudul Ganefo I: Sports and politics in Djakarta menceritakan betapa bersemangatnya rakyat Indonesia saat Soekarno membuka olimpiade tandingan. Pesta olah raga dunia yang diikuti 51 negara di dunia mulai dari Afganishtan sampai Argentina, Burma sampai Belanda, Cina hingga Chile, Filipina sampai Finlandia!

"November 10, 1963, was no ordinary day in Djakarta. Already, early in the morning, a steady stream of people were proceeding along the newly-paved Djalan Djeneral Sudirman. Festively decorated with thousands of yards of red and white buntings, and along the just-opened American-built bypass. They were going to witness the opening of GANEFO I. The Games of the New Emerging Forces. To be held at the enormous 10 milion dollar Bung Karno sports complex which been constructed with Soviet aid."

Perjalanan politik Soekarno di dunia olah raga kini tinggal kenangan. Namun tetap menyisakan sejuta arti dan keinginan. Soekarno tidak mengira betapa dahsyatnya pengaruh sepak bola buat politik di sebuah negara seperti kini. Gebyar dan pengaruh sepak bola ketika itu masih kalah dengan gaung Olimpiade atau bahkan Asian Games.

Nah, jikalau pemimpin bangsa terdahulu belum mewujudkannya, kini tersisa peluang bagi pemerintahan Presiden SBY untuk menyikapi, melengkapi atau menerjemahkan semua inspirasi yang dulu telah dibuat Presiden Soekarno pada bangsa-bangsa di Asia. Piala Asia 2007 ada di depan mata, pada bulan Juli di Jakarta. Inilah saatnya untuk memutar kembali roda sejarah bangsa. Juga untuk mengakhiri gonjang-ganjing krisis multidimensi persepak bolaan nasional, PSSI dan dunia olahraga Indonesia secara umum.

(foto: mobigenic/forum detik)