Tuesday, May 31, 2016

Claudio Ranieri (4-Habis): Legenda Awet Leicester

Suatu hari di April 2016, Ranieri tersenyum mengenang petualangan pertamanya di Inggris. Ditemui seorang wartawan La Repubblica yang khusus datang ke kantornya, ia lantas bertanya mudah dengan gaya Italia: bertanya kepada lawan bicaranya dan menjawabnya sekaligus. “Di mata Anda apakah karier saya seperti itu buruk? Saya rasa tidak,” kata Ranieri yang mau tak mau membuat lawan bicaranya dipaksa mengangguk.
Malah sukses besar dengan skuad tanpa pemain world class.
Memang butuh waktu untuk menyampaikan Ranieri tidak lagi terkutuk, yang selama ini publik di negaranya mencapnya serba tanggung, si nomor dua, atau apalah. “Mari kita bicara kondisi di Italia,” ajaknya lagi. “Apakah tim yang saya ajar menjadi lebih baik sepeninggal aku? Saya kira tidak.” Seperti kebanyakan manajer mahir, Ranieri juga mematok target poin di setiap animo, dan beliau merasa kebanyakan sukses diraihnya.

Kecerdasan Ranieri yakni tak bicara target secara gamblang kecuali dengan angka. Namun di sisi lain, belakang layar keluguan terbesarnya jadi terkuak. Ketika Leicester terus mendekati titel pertama liga dalam 132 tahun sejarahnya, ia tetap mengelak bicara soal ambisi jadi juara. Yang justru diungkap: sasaran meraih 79 angka! Kelicikannya yaitu hal itu diungkapkan dikala timnya sudah mencapai kepala tujuh!

“Ketika kami meraih 79 poin gres aku puas karena itu berarti satu poin lebih banyak dari pencapaian di paruh pertama. Ingin sekali rasanya jumlah berkelahi ditambah supaya kami bisa melampaui 79 poin,” katanya yang pasti mengajak orang ingin bertanya lebih lanjut. Dan Ranieri sudah menyiapkan jawabannya. “Ya, ini selalu jadi falsafah aku.” Boleh jadi hal itu disebabkan oleh pengalaman pahit masa lalunya.

“Saya memang tidak suka bilang ‘kami ingin juara’. Sejak usang saya sudah bilang ingin 79 poin, alasannya itu hanya satu hentakan kecil. Sampai kini pun aku tak mau memikirkannya. Jika meraih Liga Champion, kami harus berusaha dan terus berusaha sekuat mungkin, dan inilah mentalitas saya,” ucapnya sebelum ditahan West Ham 2-2 yang membuat poin Leicester menjadi 72 poin dengan empat adu sisa.

Seperti halnya kebanyakan orang Italia yang memandang adu sepak bola sebagai uji nyali dan kehidupan bahwasanya, Ranieri juga begitu. Di matanya tidak ada yang mudah di sepak bola. Pengalaman hidup dan jam terbang di atas lapangan hijau telah mengajarkannya. Terlebih-lebih di Premier League. “Tidak ada lawan yang mudah di sana, ahad besok, ahad besok, ahad besoknya lagi,” jelasnya lagi.

Di mata Ranieri, musuh harus dihadapi dengan gaya dan ciri khas permainan. Ia tidak membedakannya. Ini adalah seni manajemen dasar Leicester City demam isu ini, meski tetap ada bedanya dalam penerjemahan teknis. Semisal melawan tim yang lebih besar lengan berkuasa, tim-tim papan atas, biasanya beliau menginstruksikan anak buahnya semoga lebih sabar. Menunggu ruang dan waktu yang paling sempurna untuk melaksanakan serangan balik.

Taktik ini terbukti berhasil sepanjang Desember-Januari silam ketika mereka melabrak Everton 3-2, Chelsea 2-1, Tottenham Hotspur 1-0, Liverpool 2-0, dan Manchester City 3-1. Pada paruh kedua kompetisi, pelajaran kesabaran level kakap makin dicangkokkan oleh Ranieri. Ketika itu gaya Italiano Leicester kentara sekali, adalah cukup menang tipis lantaran kelewat terobsesi menjaga konsistensi permainan.

Setelah menderita kekalahan ketiga, 1-2, pas pada hari Valentine, Ranieri kian serius mengencangkan sabuk pertahanan lewat kekuatan stamina dan kekukuhan semangat. Walhasil Leicester tak pernah lagi sampai kini. Dan ingat, dalam seni manajemen sepak bola orang Italia lazim dikenal saklek, zakelijk istilah Belanda. “Di Inggris semua berat. Swansea, Everton, Chelsea atau Manchester United, sama saja,” sebutnya.

Tidak mirip manajer lain yang suka mengadaptasi bentuk permainan lawan, Ranieri justru tidak. Taktik beliau yang sangat ajeg, acapkali sering merepotkan pesaingnya. Dia lebih suka mendapatkan saja tekanan dari pemain atau instruktur lawan sebab ada gunanya. “Saya suka tekanan karena pekerjaan kita jadi semakin bermutu jadinya,” kilahnya enteng. “Saya suka kebebasan bermain dengan spirit yang fantastis. Ini penting.”

Tak heran jikalau di paruh kedua sebelas starting line-up-nya kian menjadi-jadi. Ranieri mengkreasi satu batalyon pembunuh paling efektif. Jamie Vardy dan Riyad Mahrez eksekutor utama. Shinji Okazaki atau Leonardo Ulloa pengacau konsentrasi. Danny Drinkwater dan N’Golo Kante penjaga stabilitas. Sementara Marc Albrighton, Jeffrey Schlupp, atau Demarai Gray bergantian menjadi pengintai.

Yang menarik ada di sektor pertahanan yang bernuansa kasar. Danny Simpson dan Christian Fuchs sehabis menekan, bergantian menyelusup dari sisi sayap. Duet Robert Huth dan Wes Morgan sejatinya pengawal pintu gawang Kasper Schmeichel, namun juga punya peran ekstra: eksekutor bola-bola set-pieces. Perhatikanlah deretan ‘para pembunuh’ ini: tidak satupun ada yang berkelas world class!
Kembali ke dasar. Menerapkan pemainan kesabaran khas Italia.
Dengan mental baja dan semangat berapi-api mirip itu tidak heran jika satu ucapan Ranieri mudah merasuki tim penuh cibiran ini. “Kalian harus juara sebab dunia tidak pernah mengenang runner-up,” kata Ranieri. Meski perjalanannya masih berliku sebab masih menghadapi Manchester United, Everton, dan Chelsea, namun sejarah terbesar dalam dunia olah raga tampaknya tetap milik mereka.

Kejutan akbar di sepak bola memang pernah ditorehkan Denmark dan Yunani saat menjuarai Piala Eropa 1992 dan 2004. Begitu pula misalnya sewaktu tim baru promosi Nottingham Forest menjadi King of England di musim 1977/78 yang dipandu manajer sensasional Brian Clough. Namun geliat Leicester kali ini tetap mencengangkan dunia, terutama dari fakta statistik bursa taruhan 1/5.000: hanya satu dari 5.000 orang yang yakin mereka jadi juara!

Tinggal sedikit lagi Ranieri bakal dikenang sepanjang zaman sebagai legenda mirip para pendahulu yang melaksanakan hal serupa. “Kami hanya gres membuat isu ahli, meraih tiket eksklusif ke Liga Champion, namun untuk dikenang 40 atau 50 tahun mendatang, kami harus menjadi juara. Untuk mencapai itu, tidak ada jalan lain lagi kecuali terus berjuang, tetap fokus, dan menjadi besar lengan berkuasa,” ucap Ranieri berapi-api.

Dia benar. Hanya melaksanakan hal-hal demikian, kita akan menghargai kemenangan sebab sejatinya sepak bola sering terlalu ajaib untuk dipahami, baik proses maupun pencapaiannya. “Andai posisi kami ini sekarang diisi Manchester City atau United, barangkali Anda dan dunia akan bilang ‘selesai sudah’ mereka menjadi juara. Betul? Kenapa? Sebab kami hanyalah Leicester City,” tukas Ranieri dengan gaya khas.

Jangankan menjadi juara, tampil di putaran selesai Liga Champion 2016/17 saja cibiran sudah bertebaran. Dan Ranieri sadar, memahaminya, lantas tegas menyatakan bukan itu tujuannya. “Saya tidak memikirkan musik Liga Champion kok. Saya suka musik. Ini akan menjadi pencapaian fantastis. Dari mimpi menjadi kenyataan, tapi tunggu dulu, semua itu menunggu pembuktian,” kata kakek berusia 64 tahun ini. 

Sukses Ranieri kali ini sepertinya alasannya membaktikan diri sebagai kepala keluarga besar Leicester City. Ia melakoni sosok ayah seutuhnya tanpa dibantah lagi. Hal yang amat langka, dan untuk pertama kali dalam 30 tahun karier kepelatihannya.   “Semua bawah umur saya. Saya puas bisa menciptakan mereka sukses. Jika anak Anda sukses tentu sang ayah juga merasa ikut senang, bukan?” kata Ranieri balik bertanya. 

Sekarang hampir semua warga Leicester, sepertinya akan lebih mencintai dan menghormati apapun ihwal Italia. Dan ini semua berkat jasa besar King Claudio. Di sisa-sisa usianya, kerja kerasnya semenjak muda alhasil berhasil, minimal beliau akan selalu tercatat sebagai legenda awet Leicester City, sampai dunia akhir zaman!

(foto: givemesport/thesun)

Monday, May 30, 2016

Claudio Ranieri (3): Pengalaman Di Chelsea

Hari pertama bergabung di markas latihan, para pemain Chelsea melamun mendengar Ranieri berbicara dengan bahasa Italia. Dia memang belum mengerti bahasa Inggris. Untungnya ada Ray Wilkins, eks bintang Chelsea yang pernah membela AC Milan. Dia lihai bicara Italia sehingga selain jadi asisten, laki-laki berkepala botak di depan itu juga otomatis bertindak sebagai interpreter.
Hari pertama bergabung di markas latihan Claudio Ranieri (3): Pengalaman Di Chelsea
Impian besar Ranieri di Chelsea berasal dari bujet transfer besar.
Lebih beruntung lagi, sebagian besar pemain inti Chelsea lumayan bahasa Italia-nya karena selain pernah dilatih Ruud Gullit atau Vialli, mereka juga punya Gianfranco Zola, Gabriele Ambrosetti, Roberto Di Matteo, Carlo Cudicini, dan Samuele Dalla Bona. Kehadiran Ranieri juga tidak dilema di mata dua pemain inti Chelsea, Albert Ferrer, dan Gustavo Poyet alasannya adalah bahasa Spanyol-nya terbilang tidak mengecewakan.

Ranieri dikenang pers Inggris sebagai manajer yang mengubah gaya sexy football peninggalan Gullit dan Vialli menjadi permainan dengan seni bertahan yang ahli. Di eranya, nama-nama Frank Lampard, Emmanuel Petit, Boudewijn Zenden, atau Jesper Gronkjaer, dan William Gallas hadir di Stamford Bridge. Kehebatannya lainnya ialah mendidik kemudian mencuatkan John Terry sebagai suksesor sang kapten Dennis Wise.

Gara-gara kebanjiran pemain cantik – pertama dalam karier kepelatihannya – dia jadi suka bereksperimen pekan demi pekan. Dalam jangka pendek tampak sukses, namun tidak untuk jangka panjang. Chelsea jadi sulit meraih prestasi titik puncak di demam isu 2000-01. Saat itu julukan ‘The Tinkerman’ mulai diletupkan pers. Debut Ranieri berujung di posisi enam. Bahkan di akhir Piala FA, mereka dikalahkan Arsenal 0-2.

Di animo kedua, ulah Ranieri lain lagi. Kali ini dia lebih mengutamakan pemain muda yang berujung pada penjualan pemain-pemain senior, salah satunya menimpa kapten Dennis Wise, pujaan publik Stamford Bridge. Namun sehabis menjulangkan barisan muda di diri Samuele Dalla Bona, Mario Stanic, John Terry, Robert Huth, atau Carlton Cole, penggemar sejati Chelsea mulai memahami tujuan Ranieri.

Namun mirip biasa, keberuntungannya tidak terlalu usang. Akibat hutang yang makin menumpuk karena jor-joran membeli banyak bintang namun tidak pernah juara, pada medio 2003 Ken Bates risikonya menyerah dan menjual Chelsea dengan harga yang nyaris gratis! Awalnya Roman Abramovich – si pemilik baru – ingin mengganti Don Claudio yang dinilainya ‘membahayakan’ prospek bisnis Chelsea ke depan.

Sejak mengawali musim 2003-04, kehidupan Ranieri di Chelsea sudah tidak tenang mengingat Abramovich keseringan bersua Sven-Goran Eriksson, yang dinominasikan menggantikannya. Namun juru bisiknya menyampaikan sabar dulu alasannya tidak ada juga jaminan bagi Eriksson bisa sukses dengan skuad yang seluruhnya ‘buatan’ Ranieri. Kelak di kemudian hari, feeling sang owner jauh lebih benar.
Hari pertama bergabung di markas latihan Claudio Ranieri (3): Pengalaman Di Chelsea
Senang bereksperimen formasi dan taktik permainan.
Ranieri sendiri memanfaatkan kesempatan terakhirnya untuk menyelamatkan reputasi. Tak tanggung-tanggung dia mengajukan bujet 120 juta pound untuk menciduk Damien Duff, Wayne Bridge, Joe Cole, Glen Johnson, Juan Sebastián Veron, Hernan Crespo, Claude Makelele serta Adrian Mutu! Namun masih selain Sir Alex Ferguson, peran Arsene Wenger masih sulit dilawan saat itu. Siapa Ranieri dibanding mereka?

Kemarahan Abramovich pada Ranieri mencapai puncaknya di ekspresi dominan 2003-04, walau di liga menempati urutan dua di bawah Arsenal yang meraih immortal, juara tanpa kalah, yang menjadi kemenangan terakhir Wenger di Premier League. Namun Ranieri menyingkirkan keinginan Wenger ke semifinal Liga Champion. Kegagalan Ranieri kian komplit alasannya tanpa diduga Chelsea dikalahkan Monaco di semifinal Liga Champion.

Abramovich alhasil menemukan seorang manajer yang tidak populer tapi mampu membawa FC Porto menjuarai Liga Champion 2004. Orang itu yaitu Jose Mourinho. Kebanyakan publik Chelsea tak menangisi kepergian Ranieri di tamat animo itu sebab dinilai memang tidak berkelas. Lagi pula impian tertinggi publik Stamford Bridge bukan pada Ranieri, tetapi pada Abramovich. Hasil yang serba tanggung, seperti takdirnya selama ini, kembali diderita Ranieri. Dia harus mendapatkan realita tidak sanggup mengelola skuad yang banyak berisikan bintang.

Takdir Ranieri yakni klub kecil, sebuah penyematan sahih yang terbukti hingga kini. Selama empat ekspresi dominan, Ranieri hanya sukses menaikkan nilai dan peringkat Chelsea. Sukses kecil lainnya mematok John Terry, Wayne Bridge, dan Frank Lampard sebagai pondasi bangunan tim. Dia juga mendatangkan Didier Drogba dan Arjen Robben. Namun, tepat 31 Mei 2004 karier Ranieri disudahi Abramovich.

(foto: skysport/the quint)

Thursday, May 19, 2016

Claudio Ranieri (2): Mencar Ilmu Ke Spanyol

Karier pelatih yang seumuran dengan Louis van Gaal ini dimulai di tim kecil Lametini (1986-87), lalu Puteolana (1987-88), sebelum menangani tim dari Pulau Sardinia itu di trend 1988-89. Ahli mempromosikan klub Serie B dibuktikan lagi kurun mengangkat Fiorentina ke Serie A di 1992-93. "Juara Coppa Italia, Piala Super Italia, dan semifinal Liga Champion lawan Barcelona yaitu prestasi terbaik aku di sana," kilahnya.

Karier pelatih yang seumuran dengan Louis van Gaal ini dimulai di tim kecil Lametini  Claudio Ranieri (2): Belajar Ke Spanyol
Memulai debut internasional dengan melatih Valencia pada 1997/98.
"Juve memecat aku walau mereka di posisi dua, sebelumnya tiga. Oke-oke buat aku karena banyak terjadi kesalahpahaman. Sejak pekan ketiga di Roma, saya memberi 80 poin dan hanya gagal juara di pekan terakhir dari Inter-nya Jose Mourinho. Saya izin pada pemain untuk pamit, mereka bilang tidak, namun itu tetap terjadi. Akhirnya saya mengucapkan selamat tinggal pada mereka," kata Ranieri lagi.

Namun Ranieri belum kehabisan rezekinya di Serie A. Agennya berhasil meyakinkan Inter yang lagi butuh instruktur baru untuk mengangkat posisinya. Dia baiklah. Namun kisahnya di Inter barangkali lebih membukakan mata Interisti ihwal ambruknya Inter usai ditinggal Mourinho, Rafael Benitez, Leonardo, dan Gasperini.

Hingga kini beliau merasa gembira alasannya saat berada di Nerazzurri tercatat sebagai satu-satunya manajer yang tak pernah membeli pemain. "Saat aku masuk sebenarnya tim mulai stabil, meraih kemenangan, namun alhasil aku sendiri yang disalahkan. Saat impian makin tinggi, datang-tiba Philippe Coutinho dan Thiago Motta dijual," pungkasnya sekaligus menguak rahasia awal kehancuran Inter di 2011-12.

Karier pelatih yang seumuran dengan Louis van Gaal ini dimulai di tim kecil Lametini  Claudio Ranieri (2): Belajar Ke Spanyol
Ranieri dan Monaco. Menyelamatkan dan sempat mengagumkan.
Tak tahan dengan intrik dan kondisi sepak bola di negaranya, memasuki demam isu 2012-13, untuk ketiga kalinya dia melanglang buana. Kali ini ke Prancis. Tugasnya tetap berat, harus meloloskan AS Monaco yang dikala itu berada di Ligue 2 untuk promosi ke Ligue 1. Eh, Ranieri sukses. Untuk ketiga kalinya, sesudah Cagliari dan Fiorentina, dia mempromosikan klub ke divisi utama. 

Monaco kagum lalu meneruskan kontrak Ranieri di 2013-14. Hasilnya luar biasa, meski tidak mengejutkan. Lagi-lagi timnya hanya finis di bawah Paris Saint Germain. "Kami bisa meraih 80 poin di belakang PSG yang ketika itu sudah dibeli oleh sheikh," tukas Ranieri beralasan unik.

Prancis merupakan negara ketiga yang ditinggali Ranieri sebagai instruktur ajaib. Yang pertama yaitu Spanyol, tatkala secara mengejutkan beliau dipinang Valencia di animo 1997-98. Kelebihannya sebagai pelatih tabah dan bertangan acuh taacuh menciptakan klub top La Liga itu percaya dengan dirinya. Valencia hanya menempati posisi 9 dan 4 selama dua musim dibesut Ranieri, namun sasaran lain tercapai: El Che melahirkan bintang.

Karier pelatih yang seumuran dengan Louis van Gaal ini dimulai di tim kecil Lametini  Claudio Ranieri (2): Belajar Ke Spanyol
Periode kedua di Valencia melahirkan banyak bintang top.
Nama-nama yang lalu tenar: Gaizka Mendieta, Miguel Angel Angulo, Santiago Canizares, atau Javier Farinos diorbitkan oleh Ranieri. Seusai di Valencia tiba-tiba beliau menerima proposal Jesus Gil, presiden Atletico Madrid yang dikenal punya kegemaran asing alasannya senang memecat pelatih. Namun Ranieri memang patut digusur sebab di final trend 1999-2000 itu Atleti teronggok di posisi 19 alias terdegradasi.

Seolah-olah tidak kapok dengan budaya sepak bola Spanyol yang keseringan gonta-ganti instruktur, Ranieri nekat kembali ke Valencia di demam isu 2005-06, setelah dipecat Roman Abramovich di Chelsea. Hasilnya: gres semusim beliau kembali di-PHK akhir hanya membawa El Che di posisi ketujuh. Kondisi ini sangat menyakitkan hatinya alasannya adalah dalam dua demam isu beruntun dia selalu dipecat.

Dia memutuskan mesti istirahat dari hiruk-pikuk sepak bola. Entah di gudang atau di gua, Ranieri berkontemplasi secara mendalam mengenai nasib dan kariernya. Sejak Juni 2006 beliau stop total, yang pertama kali dalam hidupnya semenjak 1972, atau seperti di usia 21 tahun tatkala dirinya belum terjun total menggeluti calcio! Namun itu hanya berlangsung 6 bulan lebih saja, alasannya adalah mulai Februari 2007 ia kembali terjun ke sepak bola sampai kini.
Karier pelatih yang seumuran dengan Louis van Gaal ini dimulai di tim kecil Lametini  Claudio Ranieri (2): Belajar Ke Spanyol
Sesaat sebelum gantung sepatu sebagai pemain di Palermo.
Claudio Ranieri dilahirkan di Roma pada 20 Oktober 1951. Kariernya di sepak bola mampu dibilang telat sebab beliau baru menjadi pemain profesional di AS Roma di usia 22 tahun, meski sejak cukup umur sudah bergabung di sekolah tinggi klub berjuluk Il Lupo itu. Ranieri justru tercatat sebagai salah satu pemain legenda Catanzaro yang dibelanya sebanyak 225 kali dengan dukungan 8 gol selama 8 tahun (1974-1982).

Dia juga terang bukan pemain kelas satu di Serie A alasannya adalah namanya tidak pernah mencuat ke permukaan, terlebih lagi dipanggil ke tim nasional. Setelah Catanzaro, ia sempat singgah di Catania (1982-1984) dan menggantung sepatunya di Palermo (1984-1986). Prestasi dan kenangan terbaik laki-laki rendah emosi ini barangkali cuma mencicipi empat kali promosi di sana, dua kali di Catanzaro dan sekali dengan Catania dan Palermo.

Beberapa bulan gantung sepatu bola, dia eksklusif terjun menangani klub amatir. Makara instruktur! Ini menerangkan DNA sepak bolanya begitu kental. Tentu saja yang digarap yaitu klub tarkam dulu, semisal Vigor Lamezia atau Campania Puteolana. Impiannya mengubah dari status pemain kapiran untuk menjadi instruktur profesional saat itu mulai dirajut, sebuah ilham sederhana merupakan rute sukses dominan para manajer top.

Kisah sukses Ranieri sebenarnya dimulai di Inggris, di mana sepak bola ialah 'darah dan tulang' buat kebanyakan media massa di sana. Entah semalamnya habis bermimpi apa, Ken Bates si pemilik Chelsea tiba-tiba menyetujui nama Ranieri jadi pengganti Gianluca Vialli beserta caretaker-nya Graham Rix, sebagai pelatih baru The Blues. Tepat 18 September 2000, Ranieri tiba di London untuk memulai petualangan baru.

(foto: ilpost.it/isimewa)

Tuesday, May 17, 2016

Claudio Ranieri (1): Melepaskan Kutukan

Selain Arsene Wenger, sosok yang 'paling bertanggung jawab' atas sukses Leicester City mampu menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri. Simaklah cara main Danny Drinkwater dkk..., oh, kemudian apa kesimpulan Anda? Cita rasa Italia? Mirip klub-klub Serie A, atau mungkin mengingatkan orang pada jalan sukses Italia ketika merebut juara dunia 1982 dan 2006? Betul! Kira-kira mirip itulah.

 atas sukses Leicester City bisa menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri Claudio Ranieri (1): Melepaskan Kutukan
Bumi Italia dilanda geger luar biasa mendengar isu dari Inggris.
Di dalam darah setiap manajer asal Italia selalu terkandung mentalitas dan DNA 'jangan hingga kalah' yang diejawantahkan dengan gaya main contro tiempo dan seni manajemen L'uomo contro uomo. Tidak menang tidak persoalan, yang jadi persoalan apabila kalah. Lewat skor 1-0, 2-1, atau 2-0, begitu pula statistik angka-angka yang dikumpulkan klub yang bermarkas di Stadion King Power, yang dulu berjulukan Stadion Walker itu.

Bayangkan, dari 33 kali laga di Premier League 2015/16 klub sekecil Leicester City hanya kalah 3 kali yang berarti prosentase kekalahannya cuma di bawah 10 persen. Dengan kata lain, setiap main 11 kali mereka hanya sekali kalah! Dua kekalahan yang diderita Ranieri dibentuk oleh Wenger (2-5 dan 1-2) serta Juergen Klopp (0-1). Berbekal rekor yang cukup fantastis, diantaranya 5 kali menang 1-0 dan 4 kali menang 2-1, boleh jadi Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur) hanya cuma bisa berharap 'si tukang tambal sulam' ini tiba-tiba terjerembab, jika bisa sampai dua-tiga kali.

Mengharapkan yang lain rasanya sulit dilakukan lantaran semua punggawa The Foxes sedang in the mood dan lagi bermental baja untuk menjemput impiannya. Namun ada satu impian khusus, sebuah stigma yang barangkali mampu menggagalkan laki-laki kelahiran 20 Oktober 1951 ini. Apakah itu? Kutukan! Sepanjang hidupnya, Ranieri selalu dipeluk akrab oleh orang yang pecundang di saat simpulan alias berpuncak sebagai nomor dua.

 atas sukses Leicester City bisa menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri Claudio Ranieri (1): Melepaskan Kutukan
Juventus jadi apes di tangan Ranieri.
Benarkah demikian? Jika ditanyakan pribadi ke orangnya, tentu saja beliau menampik. "Orang-orang menyampaikan saya orang yang tidak mampu juara, pribadi mampu aku jawab dengan lihat dulu kondisi tim bekerjsama," ucap Ranieri. Dunia mematok sebagai instruktur yang baik hati, tapi bukan seorang pemenang. "Tidak satupun yang pernah memberi saya secara total dalam hidup. Saya selalu mulai dari nol," tambahnya tegas.

Bangsa Italia dan Serie A tentu saja terkejut melihat rekor Leicester, sekaligus mesem-mesem melihat abnormalitas di sepak bola Inggris. Maklum di Serie A, Ranieri yakni manajer kelas 1,5 menjurus ke level 2. Di tangan Ranieri, pada masanya klub sekuat Napoli, Fiorentina, Roma, Inter, bahkan Juventus pun tidak mampu dibawanya menjadi scudetto. Apalagi Cagliari dan Parma yang pernah juga memakai jasanya.

Di Napoli (1991-1993), sepeninggal Diego Maradona, posisi puncak Ranieri yakni empat di Serie A walau saat itu ia punya Gianfranco Zola, Antonio Careca, Daniel Fonseca, Fernando De Napoli, Massimo Crippa, Ricardo Alemao, duet bek tengah Laurent Blanc dan Ciro Ferrara serta kiper Giovanni Galli. Tak heran dia ditendang setelah dua musim. Lanjut ke Fiorentina (1994-1997), hasil puncak juga di posisi empat. Halah.
 atas sukses Leicester City bisa menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri Claudio Ranieri (1): Melepaskan Kutukan
Seharusnya bisa meraih scudetto di Fiorentina.
La Viola pun kapok berat. Padahal waktu itu Fiorentina diisi para bintang; Gabriel Batistuta, Luis Oliveira, Manuel Rui Costa, Sandro Cois, Stefan Schwarz, Andrei Kanchelskies hingga kiper Francesco Toldo. Yang unik adalah Parma ketika mencoba peruntungan memakai jasa ia di 2006-07. Bukannya menanjak, mereka malah bablas bin amblas di posisi 12. Juve juga dua kali bersabar dengannya pada 2007-08 dan 2008-09.

Tapi sesudah dua kali berposisi ketiga lalu kedua, surat talak tiga dari Bianconeri pun melayang kepada Don Claudio. Dasar orang baik maka nasibnya pun baik. AS Roma datang dengan harapan tinggi pada Ranieri di masa 2009-2011. Di demam isu pertamanya, akhirnya mengejutkan walau kutukan itu belum juga lepas: posisi runner-up! Ah coba lagi di musim berikutnya, celaka 12, balasannya malah parah.
 atas sukses Leicester City bisa menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri Claudio Ranieri (1): Melepaskan Kutukan
Sosok Ranieri ini adalah impian palsu buat AS Roma.
Di tengah perjalanan Ranieri risikonya mendapat surat PHK. Di dikala itulah Ranieri merasa Italia bukanlah tanah air bagi kehidupan sepak bolanya. Namun dikala ingin kembali berkelana, entah kenapa Inter pun terpincut dengan Ranieri di demam isu 2011-12. Barangkali Massimo Moratti berharap bisa mengubah jalan hidup klubnya dengan memakai Ranieri waktu klubnya dilanda prahara usai ditinggal Jose Mourinho.

 atas sukses Leicester City bisa menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri Claudio Ranieri (1): Melepaskan Kutukan
Ranieri dan Inter. Terkenal sebagai penyelamat dan spesialis runner-up.
Eh tenyata benar. Maklum saat itu Inter tersuruk hingga ke posisi 18 dikala dipegang Gian Piero Gasperini. Dengan telaten dan sabar mirip khasnya, Ranieri mengangkat Inter hingga ke posisi enam klasemen simpulan! Grazie Ranieri, kami berterima kasih tapi dirimu tetap harus pergi. Begitu kira-kira perilaku Interisti dikala itu. Seperti inilah nasib Ranieri, persis seperti yang dibilang tadi. Dia tidak pernah mendapat pertolongan total.

Ketika diwawancara La Repubblica, awal April lalu, tampak banyak pertanyaan yang masih mencurigai kapabilitasnya meskipun posisi Leicester sudah nyaris niscaya bakal merebut mahkota Premier League. Begitulah tipikal Italia. Rekam jejak jadi patokan. "Saya memegang Napoli yang sedang bingung ditinggalkan Maradona, dan risikonya tidak mengecewakan. Napoli sempat menang 5-1 atas tuan rumah Valencia di Piala UFEA," ucapnya.

 atas sukses Leicester City bisa menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri Claudio Ranieri (1): Melepaskan Kutukan
Asal muasal reputasi Ranieri berasa dari sini.
Napoli yaitu klub pertama yang mengangkat nama bekas bek Roma, Catanzaro, Catania, dan Palermo itu ke blantika sepak bola Eropa. Kesempatan itu datang setelah ia sukses mengantarkan Cagliari menjuarai Serie B 1990-91 sehabis 3 tahun menjadi pelatihnya. Sejak menangani klubnya Diego Maradona itulah nama Claudio Ranieri mulai dikenal orang sampai kini. Sebuah perjalanan epik lebih dari tiga dekade.

(foto: givemesport/thesun/istimewa)

Leicester City: Perebut Mimpi Orang Lain

Dalam pertemuannya di Amsterdam dengan Martin Keown, yang sekarang menjadi reporter The Daily Mail, pertengahan April ini, sebuah ucapan yang cukup menggugah emosi keluar dari verbal Dennis Bergkamp, yang mau tak mau semakin bikin nyolot kaum The Wenger's Haters. Simaklah kata sang legenda The Gunners yang patungnya bangkit megah di pekarangan Stadion Emirates tersebut.

Dalam pertemuannya di Amsterdam dengan Martin Keown Leicester City: Perebut Mimpi Orang Lain
Danny Drinkwater, Claudio Ranieri, dan Wes Morgan. Mimpi yang salah kamar.
"Kita sudah berada di atas United, City, dan Chelsea. Tapi tetap saja tidak bisa berada di puncak klasemen." Ucapan sederhana namun dalam, dan terasa lugu bila dicetuskan oleh orang yang tak paham dengan perjalanan Arsenal. Pendek kata, Arsene Wenger memang sudah keterlaluan! Akhirul kalam, hampir pasti audisi Premier League isu terkini ini tinggal menyisakan The Foxes dan Spurs sebagai calon juara.

Oke, lupakan Arsenal dengan sosok utama yang selalu menjadi kendala terbesarnya untuk meraih juara itu. Mari simak sepak terjang klub yang bakal bikin super sensasi di tahun ini dalam sejarah Liga Inggris: Leicester City. Melihat komposisi klasemen sementara, Leicester cuma butuh mengumpulkan 81 poin untuk mencatatkan sejarah terindahnya sepanjang 132 tahun umurnya.

Sejak kalah 1-2 dari Arsenal di Emirates, 16 Februari, tim yang demam isu lalu menempati urutan 14 itu tidak pernah kalah hingga menjelang selesai April. Dari 8 sabung berikutnya, mereka meraih 20 poin perhiasan hasil 6 kali menang dan 2 kali seri! Tak berlebihan jikalau mereka sudah bisa mencium anyir trofi meski malu-malu kucing mengatakannya. Empat tabrak sebelum mengakhiri petualangan terbaiknya di demam isu ini saja The Foxes sudah meraih tiket ke putaran grup Liga Champion 2016-17!

Siapa sangka, dengan gaya bermain ala klub-klub Championship (divisi satu) bahkan League One atau League Two, serta hanya diperkuat pemain kelas dua-tiga kecuali Riyad Mahrez, Leicester bisa menyeruduk puncak klasemen tak terkendali bak peserta panjat pinang yang melihat hadiah laptop di atas sana. Lebih istimewa lagi, para pemain kelas dua-tiga itu naik derajat mirip menjadi pemain kelas satu.

Leicester diperkuat formasi pemain buangan tapi berpengalaman di mana 19 klub Premier League lainnya pun rasanya ogah membelinya. Sebut saja Robert Huth, Danny Simpson, Marc Albrighton, Nathan Dyer, dan kiper bau tanah Mark Schwarzer. Saking berisi banyak pemain yang telah mentok kemampuannya, Richie De Laet dan Paul Konchesky terpaksa harus disewakan ke klub divisi satu Championship.

Kelompok lainnya yakni pemain kelas dua yang kini tampil mirip pemain kelas satu, yang bisa disebut sebagai generasi pertama kejayaan tiada tara Foxes di animo ini. Sebut saja pemain jangkar Danny Drinkwater, bek Jeffrey Schlup, kiper utama Kasper Schmeichel, kapten Wes Morgan, serta striker Jamie Vardy. Hampir mampu dipercaya, inilah barisan tradisional yang menjadi fondasi kekuatan sebenarnya Leicester City.

Mimpi Morgan

Faksi terakhir dari super grup racikan manajer Claudio Ranieri adalah empat pemain asingnya di diri Shinji Okazaki (Jepang), Leonardo Ulloa (Argentina), Christian Fuchs (Austria), N'Golo Kante (Prancis) dan Riyad Mahrez (Aljazair). Menariknya lagi, satu pemain yang sebetulnya berstatus first-class adalah Gokhan Inler (Swiss) selalu tidak sempat diturunkan alasannya saking takutnya Ranieri kehilangan arah permainan.

Pola klasik Foxes terang beraura Italia, contro tiempo dan L'uomo contro uomo. Contro tiempo artinya mereka selalu menghitung waktu yang tepat untuk menyerang dan tahu bagaimana mesti bertahan. Sedangkan L'uomo contro uomo bermakna teknis belaka. Jangan harap pemain lawan akan gampang memasuki garis pertahanan inti mereka, atau mampu membongkar pagar berlapis yang sekilas meningatkan orang pada catenaccio.

Disebut sangat aneh atau jadi anomali luar biasa, mimpi besar Leicester sedikit lagi akan menjadi kenyataan. Mau dibilang apa, inilah sepak bola. Jangankan dunia atau kita yang terkejut, Morgan sang kapten Foxes juga mengaku heran. "Kemungkinan besar kami meraih mimpi itu, mimpi yang seharusnya bukan milik kami. Memang masih harus terus diusahakan, tapi ini sangat, sangat mungkin," kilah Morgan.

Dia mengaku mencicipi abnormalitas luar biasa selama berkecimpung di sepak bola. Sebab 12 bulan lalu keseharian latihan mereka hanya diisi dengan bagaimana cara menghindari degradasi. Ketika kecil Morgan pernah punya keinginan main di kompetisi terbaik di dunia, menjadi juara dan beliau yang mengangkat trofi. "Ini sangat luar biasa, kok datang-tiba saja semuanya itu tinggal sedikit lagi terjadi."

Bayangkan apa yang akan ditulis oleh media dikala seonggok nama yang 'mustahil' merebut trofi Premier League, sanggup memutarbalikkan logika sehat orang banyak. "Saya tidak mampu membohongi perasaan, kami punya kans untuk meraihnya!" tutur pemain gempal berusia 32 tahun itu lagi. Leicester juara Premier League? Mabukkah Anda? Hah, benar? Wow, sangat luar biasa jikalau begitu!

(foto: telegraph)