Sunday, September 5, 2004

Arsenal The Invincibles (4-Habis): Apa Sasaran Berikutnya?

Setelah melihat kiprahnya nan mengagumkan itu, the next question is... yakni tentang target utama Arsenal isu terkini ini. Untuk meraih kekuasaaan baru Eropa atau sekedar mempertahankan hegemoni domestik? Ke arah mana Arsene Wenger membidikkan meriam perangnya?

Setelah melihat kiprahnya nan mengagumkan itu Arsenal The Invincibles (4-habis): Apa Target Berikutnya?
Seperti biasa, sang moncong telah diarahkan ke empat penjuru mata angin: Liga Champion, English Premier League (EPL), Piala FA, dan Piala Liga. Hampir niscaya Wenger akan mengisi mesin perang dengan amunisi berbeda-beda. Meraup semuanya di tengah persaingan kian ketat mampu dibilang sesuatu yang musykil. Jangankan quadruple winners atau treble winners, mengulangi titel dobel seperti 1997/98 dan 2001/02 untuk animo ini saja dipastikan sulit.

Malah Arsenal sering sial. Seluruh gelar bisa luput di dikala-ketika tamat seperti di 1998/99, 1999/00, 2000/01 dan 2002/03. Musim lalu The Gunners masih beruntung. Dari tiga ajang yang sudah 2-3 langkah lagi menuju selesai, balasannya cuma juara Premiership yang diraih. Untuk Piala Liga misalnya, di arena yang kini berjulukan Carling Cup, Arsenal paling nothing to loose, tanpa beban. Juara syukur, gagal ya tidak apa-apa asal dampaknya faktual.

Bukan sebuah rahasia jika turnamen ini ialah lahan untuk mematangkan skuad keduanya. Di sini, bila mereka bersua tim besar lengan berkuasa berformasi inti, maka aksi menguras tenaga lawan saja bisa disebut sukses. Begitu juga di ajang tradisional Piala FA. Meski tetap ngotot karena punya rekor manis, 9 kali juara, namun karena soal prestisiusnya terperinci masih di bawah EPL dan Liga Champion.

Sebagian orang percaya bahwa juara Eropa-lah, dengan merebut titel Liga Champion tentunya, yang akan diuber The Gunners. Pasalnya seumur-umur Arsenal belum pernah mencicipinya. Soal ini, mampu jadi hal itu bukan obsesi Arsenal saja tetapi Londoners, masyarakat London. So, boleh diyakini bahwa mereka akan didukung penuh dominan penduduk. Dan itu seharusnya menambah spirit perjuangan. Amat ironis sebagai salah satu kota elite Britania bahkan Eropa, London justru belum pernah disinggahi trofi. Manchester, Nottingham, Birmingham dan Glasgow saja pernah.

Demi menghindari kesalahan serupa, Monsieur Wenger mulai bosan menjudikan kariernya. Timnya kini berada di pole position sebagai juara Eropa. Ia yakin kendala Arsenal untuk meraih mimpi Eropa tinggal mengatasi mental blok. Dan lelaki asal Strasbourg yang menerima gelar OBE (Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth II pada 1993 itu sangat menyesal di isu terkini lalu Arsenal bukannya disingkirkan Madrid, Milan atau Juventus, tetapi Chelsea!

Pengakuan Ljungberg

Wenger juga terobsesi oleh Ajax. Karena pernah tiga kali menjuarai Liga Champion, De Amsterdammers tetap punya reputasi Eropa walau kekuatannya sekarang patut dipertanyakan. Kehebatan mereka justru muncul di pentas Eropa. Ini soal tradisi, dan Arsenal sama sekali belum masuk ke situ.

"Klub besar harus memenangkan sesuatu yang besar. Tentu saja saya berusaha meraihnya. Saya menginginkannya mirip yang mereka mau. Sejak di sini, aku merasa hal itu semakin akrab tiap tahun," kata si profesor yang dalam 7 tahun di Highbury memberi London Les Rouges enam titel (tiga kali juara liga dan tiga kali juara Piala FA) itu.

Secara langsung bahkan laki-laki kelahiran 22 September 1949 ini mengaku belum menjadi seorang manajer sejati bila belum mengusung dan mencium trofi Eropa. Itu menjadi tantangan terbesar dalam kariernya. Untuk itu, beliau siap menambah term kontraknya yang hingga Juni 2005, pada bulan ini.

Sebenarnya jika mau, ayah dari Leah - seorang putri hasil perkawinannya dengan Annie Brosterhous - itu mampu saja menerima rayuan Real Madrid yang memburunya sampai kini. Percayalah, tampaknya Le Boss gres mau menangani Los Galacticos sehabis membawa trofi Liga Champion ke London. Makara target utama Arsenal ekspresi dominan ini Liga Champion? Eit, tunggu dulu. Belum tentu! Pengakuan salah satu 'mesin perangnya' malah sebaliknya.

Dengan kata lain, kekuasaan di liga demi melanggengkan hegemoni domestik, yang gres direbut dari tangan Manchester United, masih menjadi prioritas. Prinsip ini ternyata menempel berpengaruh di benak para pemain. "Prioritas kami yaitu menguasai The Premiership, baru sesudah itu menjuarai Liga Champion. Ada hasrat mencapai yang terbaik di Eropa, tetapi sukses di Inggris tetap paling penting buat saya," kata Fredrik 'Freddie' Ljungberg.

Andai ukurannya waktu, maka Wenger butuh 5-6 trend lagi bersama Arsenal. Cukup dua titel lagi, maka The Gunners akan menyamai rekor The Red Devils yang 15 kali juara liga, atau 5-6 gelar untuk mengubur rekor 18 kali punya Liverpool. "Lagipula si bos pernah bilang ia ingin sekali Arsenal menguasai Inggris, dan jikalau kami mampu melakukannya, sukses Eropa cepat atau lambat akan datang," beber attacking-midfielder asal Swedia yang juga sempat dirayu Real Madrid.

Percaya mana, Wenger atau Ljungberg? Bisakah keduanya berjalan berendengan? Semuanya bergantung persediaan amunisi di gudang senjata Highbury. Selama ini bombardiran Arsenal di Inggris bikin takut semua klub, 24 gol dari tujuh petualangan termasuk kala menggebuk Manchester United 3-1 di Charity Shield. Tapi kenapa di awal pentas Eropa, mereka hanya menang 1-0 di Highbury atas PSV Eindhoven, itupun lewat gol bunuh diri?

Usai pertandingan, Monsieur Wenger mengaku timnya masih dihantui stress berat kurun digulung Internazionale 0-3 di partai perdana musim kemudian. Berikutnya, yang dinanti adalah ampuh tidaknya meriam-meriam Wenger menembaki Eropa. Jika Arsenal tersingkir sebelum waktunya, berarti planning B niscaya akan digenjot habis Le Boss. Dan itu menjadi kabar buruk bagi Chelsea, Manchester United, atau Liverpool.

Saturday, September 4, 2004

Arsenal The Invincibles (3): Silakan Hentikan Kami!

Sebulan setelah disisihkan Chelsea pada perempatfinal Liga Champion 2003/04, Arsenal meraih titel ke-13, kemudian Arsene Wenger bilang begini: "Kalau boleh menentukan menjadi juara Eropa atau juara liga dengan status immortality mirip ini, aku pilih yang terakhir. Soalnya hingga 50 tahun pun belum tentu ada yang mampu menyamai."

Sebulan setelah disisihkan Chelsea pada perempatfinal Liga Champion  Arsenal The Invincibles (3): Silakan Hentikan Kami!
Ada dua pernyataan implisit di sana. Dengan kata lain, juara Liga Champion masih mampu diraih besok, besok dan besok. Toh, lolos eksklusif ke ajang itu begitu mudah buat Arsenal yang di tangannya rutin masuk dua besar. Kedua, dia menantang siapa saja se-Inggris yang bisa mengalahkan rekornya! Yang terakhir ini jelas amat sulit, bahkan mustahil jikalau melihat peta kekuatan Premier League yang cenderung menggila.

Maka kompetisi unbeaten secara adikara cuma diikuti Arsenal sehingga saking terobsesinya, itulah mainan kelima yang diburu, dipertahankan, ditingkatkan entah hingga kapan. Hingga medio September silam, walau dibendung Bolton 2-2 (18/9), namun argometer unbeaten terus beranjak jadi 46 kali. "Saya mengajak siapa saja, silakan hentikan kami. Setidaknya itu akan menambah motivasi kami untuk bermain lebih manis," tantang Wenger suatu kali.

Jika Arsenal mampu melewati rekor psikologis, 50 kali tak terkalahkan, mungkin peluang menjiplak immortals makin besar. Dua animo tak terkalahkan! Kenapa 50? Pasalnya ketika itu Arsenal akan bertandang ke Old Trafford untuk bertempur melawan Manchester United (24/10). Tanpa mendahului kehendak Yang Maha Kuasa, duel away lawan Manchester City (25/9), dan dua home kontra Charlton Athletic (2/10) serta Aston Villa (16/10), mungkin tak seberat di Theatre of Dreams.

Itulah ujian terberat Wenger lantaran empat hari sebelumnya mereka habis bersua Panathinaikos di Athena pada matchday 3 Liga Champion. Selama dua musim, 2003/04 dan 2004/05, kubu Highbury dihujani lebat soal rekor. Yang pertama putusnya dua catatan Preston North End (1888-89) yang unbeaten di 22 partai sekaligus menjuarai Liga Inggris tanpa kalah. Berikutnya Leeds United (1973-74) dan Liverpool (1987-88) yang tak terkalahkan 29 pertandingan. Kemudian rekor 30 kali tak pernah kalah milik Burnley pada 1920-21.

Usai menekuk Leicester City 2-1 di akhir trend 2003/04, catatan resmi Arsenal adalah: 38 main-26 menang-12 seri-0 kalah, lebih mahir empat kemenangan dari dream-team-nya AC Milan 1991/92 milik Fabio Capello, yang 34-22-12-0.

"Arsene Wenger-lah satu-satunya orang yang pantas menerima ini dikarenakan telah membawa Arsenal masuk dalam buku sejarah. Arsenal bermain penuh gairah, menyerang sepanjang musim dan menyelesaikannya tanpa terkalahkan. Mungkin tak akan terulangi 100 tahun ke depan," terperinci panelis saat penyerahan Barclaycard Manager of the Year.

Rute fenomenal ternyata tiada henti. Di animo ini, tepatnya 22 Agustus kemarin giliran Middlesbrough disikat 5-3 sesudah sempat tertinggal 1-3. Rekor 42 kali invincible dari Nottingham Forest (1977-1979) pun disamai. Masih belum puas, selang dua hari berikutnya, giliran Blackburn Rovers digelontor 3-0 sehingga rekor baru lahir, 43 kali unbeaten! Mungkin ada benarnya kata Fredrik Ljungberg yang bilang bahwa Arsenal lebih memprioritaskan di Premier League.

Melihat korban-korban mesin perang Wenger, dimulai Everton 4-1, Middlesbrough 5-3, Blackburn 3-0, Norwich 4-1, Fulham 3-0, lalu Bolton 2-2, akankah sang rekor terhenti di Old Trafford. Atau sebaliknya Arsenal terus berkompetisi sendirian di Unbeaten League. Nantikan saja.

Arsenal The Invincibles (2): Legalisasi Brian Clough

Senin, 20 September 2004, Eropa dikejutkan dengan wafatnya legenda sepak bola Inggris Brian Clough (lahir 21 Maret 1935). Kabar duka cuma beberapa jam sebelum duel Manchester United vs Liverpool digelar di Old Trafford. Untuk itu, seluruh pemain pun mengenakan pita duka cita berwarna hitam, dan sebelum memulai permainan, sebanyak 67.857 yang menjejali Theatre of Dreams diminta mengheningkan cipta untuk menghormati si Genius of Football.
 Eropa dikejutkan dengan wafatnya legenda sepak bola Inggris Brian Clough  Arsenal The Invincibles (2): Pengakuan Brian Clough
Saat bersamaan, Arsene Wenger juga siap menyaksikan duel Derby of England tersebut lewat layar beling. Tiba-datang, ia kurang konsentrasi menyimak tabrak dua pesaing Arsenal itu, alasannya adalah yang dipikirkannya adalah Brian Clough. "Saya bergotong-royong tidak pernah menemui Brian Clough. Tetapi saya tahu beliau yakni pria sangat istimewa dengan metode sangat istimewa dalam menangani tim," saya Wenger lirih.

Bisa jadi, penyesalan Wenger lebih diakibatkan oleh terhapusnya nama Brian Clough sewaktu membawa Nottingham Forest mencatat rekor 42 kali tak terkalahkan. Di Highbury, tiga pekan sebelum kematiannya, The Master Manager menyaksikan dengan mata kepala sendiri, rekor baka ternyata fana. Arsenal menggebuk Blackburn Rovers 3-0, dan rekor 43 kali pun muncul sekaligus merelakan namanya dikubur oleh Wenger.

"Saya pikir mereka tak akan terkalahkan," demikian pengakuannya pada program Five Live Breakfast. "Tentu, alasannya Arsenal ditangani orang Prancis, Wenger, banyak orang Inggris yang tak suka pada orang Prancis, beliau sungguh-sungguh andal, manajer yang hebat".

 Eropa dikejutkan dengan wafatnya legenda sepak bola Inggris Brian Clough  Arsenal The Invincibles (2): Pengakuan Brian CloughClough mengakui amat kecewa rekornya yang sudah 25 tahun putus. Eks pemain legendaris Middlesbrough itu juga benci rekor Forest di abad 1970-an disetarakan Arsenal. "Saya harus akui, sebab banyak yang tak suka Arsenal, namun mereka brilyan!" ucapnya penuh tawa saat itu.

Uniknya dalam suatu kesempatan, di mata mendiang berjuluk Genghis Khan of the East Midlands itu bukan Wenger yang dipujinya sebagai manajer berkualitas, tapi Jose Mourinho! Memang banyak yang menyamakan dirinya dengan orang Portugal yang menangani Chelsea tersebut. Apalagi jikalau bukan soal disiplin, ambisi dan kemauan keras termasuk tak mau diatur pemain.

"Saya hampir mirip dengannya dikala muda," aku eks pemain yang mencetak 204 gol di 222 partai liga bersama The Boro antara 1955-61 itu mengenang era mudanya. Ah, sudahlah Brian. Sekarang selamat tidur panjang sang jenius...

Arsenal The Invincibles (1): Dongeng Ihwal Keabadian

Suatu kali Sir Bobby Robson diharuskan menjawab bagaimana prospek Arsenal melakoni musim 2003/04 tanpa terkalahkan. Ini sebuah pertanyaan ihwal kesempurnaan. "Tekanan, ketegangan, perlawanan dan kecepatan bermain. Itu yang harus dilalui pekan demi pekan untuk meraih animo yang sempurna. Lalu lihatlah wajah mereka setelah main, fantastik!" beber manajer kharismatik di English Premier League tersebut.

Suatu kali Sir Bobby Robson diharuskan menjawab bagaimana prospek Arsenal melakoni musim  Arsenal The Invincibles (1): Kisah Tentang Keabadian
Sir Bobby berusia 71 tahun dan sudah melatih setahun sesudah Inggris menjadi juara dunia 1966. Ia anggota skuad The Three Lions di Piala Dunia 1958. Satu-satu saksi hidup yang masih aktif yang melihat dari bersahabat kemunculan Pele. Bermain cuma untuk Fulham dan West Bromwich Albion. Membela negara 20 kali sebagai pemain dan dua kali sebagai pelatih. Di tangannya, secara teknis Inggris tak pernah kecewa tapi selalu dikecewakan nasib.

Di Piala Dunia 1986, skuad Bobby tersisih oleh gol 'Tangan Tuhan' Diego Maradona. Pada 1990, giliran Stuart Pearce dan Chris Waddle yang bikin nelangsa Bobby karena gagal dalam tabrak penalti melawan Jerman di semifinal. Makara tidak Arsene Wenger sendiri, Alex Ferguson, Claudio Ranieri bahkan siapun di tanah Britania mampu menyaingi kesahihan Sir Bobby, juga pengabdian, prestasi, pengalamannya melihat datangnya generasi per generasi pesepak bola.

Apakah Highbury itu sebuah pangkalan militer atau perusahaan, sehingga amat tampil spartan? Untuk meraih top of the world, gaya dan disiplin militer lebih sering dipakai para pengubah sejarah. Dan Wenger cenderung menyukai meski sulit melakukannya. Arsene yaitu Arsenal, Wenger adalah Gunner. Dan Arsenal adalah keinginan sejati laki-laki Strasbourg kelahiran 22 September 1949. Sejak menggantikan Bruce Rioch pada September 1996, sampai kini ia telah menyabet tiga gelar English Premiership dan tiga titel Piala FA.

Philippe Troussier
Suatu kali Sir Bobby Robson diharuskan menjawab bagaimana prospek Arsenal melakoni musim  Arsenal The Invincibles (1): Kisah Tentang Keabadian
Seperti juga dedengkot Newcastle United, Wenger juga suka melanglang buana demi karier. Juga sama-sama pernah bertitel the most successful foreign boss ever. Kaprikornus keduanya amat tahu kapan dan bagaimana timnya harus digarap.

Berstrategi selama 38 partai, sekitar 3.500 menit (58,33 jam/2,43 hari!), tanpa kalah, yaitu fakta yang unbelievable di masa Premier League modern yang dikenal keras dan ketat. Pokoknya tak sebanding dengan Preston North End di 1889! Ya, syarat utama 'immortality' telah dipenuhi Wenger.

"Lebih berharga dari Liga Champion!" ucapnya jujur usai mengandaskan Fulham 1-0 di pekan ke-37, awal Mei 2004, dan sampai 50 tahun pun orang masih membicarakannya. Urusan liga, Wenger menyamai catatan Fabio Capello dan Louis van Gaal. Di isu terkini 1991/92, AC Milan menciptakan rekor 22-12-0. Sedangkan Van Gaal 27-7-0.

Pada skala kecil, beliau malah dibilang lebih andal karena mereka main 34 partai. Impian Wenger masih berkelanjutan. Ia gres 40 kali mencatat rekor unbeaten. Jika 42, maka rekor Brian Clough disamai. Andai mampu melewati 52, giliran prestasi Van Gaal terbenam. Dan bila menembus angka 58, Capello-lah yang dia kalahkan.

Namun di Tanah Britania, Arsenal bukanlah yang pertama immortal. Sekitar 115 tahun yang lalu, Preston mencapai invincibles, menang 18 kali, seri 4 kali dan jadi kampiun tiga bulan lebih cepat. Plus juara Piala FA dengan mengalahkan Wolverhampton 4-0. Satu dekade berikutnya, Glasgow Rangers menjuarai Liga Skotlandia via rekor 100 persen murni, 18 kali menang semua!

Tapi rekor Arsenal tetap terbaik dari sisi ujian dan jumlah berkelahi. Wenger tahu pasti, tiga kemenangan beruntun di awal 2004/05 akan melewati Nottingham Forest 1977-79. Yang tak terpikirkan Wenger, mungkin, rekor dunia unbeaten 108 kali atas nama laki-laki asal Prancis lainnya, Philippe Troussier.

Selama lima tahun (1989-1994) plus 108 sabung ditangani Troussier klub jagoan Pantai Gading, ASEC Abidjan, bertahan dengan rekor supergila: 96-12-0! Adakah ambisi ke sana Professor Wenger? Mudah kok, tinggal tanyakan saja pada Habib Kolo Toure, apa belakang layar kehebatan Liga Pantai Gading?

Bahkan kalau Arsenal hingga lebih dari 50 kali tak terkalahkan di Premier League, itu pun belum separo pencapaian luar biasa ASEC yang selama lima tahun sulit dibekuk siapapun di Pantai Gading, baik di ajang kompetisi atau pun kejuaraan.

Pada dikala itu, ASEC diperkuat sejumlah pemain top Pantai Gading seperti Abdoulaye Traore, Alain Gouamane, Donald Sie dan Gadji Celi. Kombinasi sempurna antara Troussier dan bos ASEC, Roger Quegnin, diduga sebagai kunci kesuksesan luar biasa itu. Barangkali saking tidak ada perlawanan serta bosan tidak pernah kalah selama lima tahun, akibatnya Troussier ngacir untuk mencari tantangan gres ke Burkina Faso, Nigeria, Afrika Selatan, kemudian Jepang.

Suatu kali Sir Bobby Robson diharuskan menjawab bagaimana prospek Arsenal melakoni musim  Arsenal The Invincibles (1): Kisah Tentang Keabadian

Dominasi ASEC baru terhenti pada 19 Juni 1994 dikala dikalahkan SO Armee 1-2. Namun kekalahan itu tak pernah menghapus sukses 'edan' klub berkostum kuning tersebut dan melihat rekornya lainnya: 13 kali menjuarai Liga Pantai Gading dalam 15 tahun terakhir. Dunia, termasuk FIFA, akibatnya tidak kuasa untuk tidak mengakui rekor ASEC (lihat daftar di bawah).

"Aura ASEC waktu itu sungguh beda dengan klub lokal lainnya alasannya adalah kami beraroma internasional. Punya pelatih penuh mitos dan presiden yang kesohor. Semuanya dalam kondisi terbaik dan memuaskan. Mulai dari suporter sampai honor pemain, yang membuat penampilan kami tiada duanya," kenang Abdoulaye Traore.

Dia bercerita betapa guncangnya seluruh pemain, pengurus, serta suporter akibat satu kekalahan yang menodai kehebatan mereka. Di berkelahi berikutnya, ASEC mengamuk total dan membantai klub Man dengan skor 11-0! Traore sendiri sampai bisa melesakkan delapan gol. Sepanjang 108 tidak pernah kalah, ASEC meraih empat kali juara liga dan tiga kali titel kejuaraan lokal. Uniknya kedigdayaan ASEC di Pantai Gading tidak tertular di ajang regional.

Seperti halnya Arsenal yang cuma meraih sekali juara Piala UEFA dan sekali juara Piala Winner namun tidak mampu merengkuh Liga Champion atau Piala Dunia antarklub sepanjang hidupnya, ASEC pun baru sekali meraih juara Afrika pada 1998.

Raihan itu sempat menciptakan polemik gres yang mengubur kenangan indah. Dikatakan sepak bola Pantai Gading tidak bermutu, kompetisinya kurang teruji dan tidak bermutu. Uniknya di ekspresi dominan 2003/04 ini pun, rekor ASEC seperti Arsenal di Premier League: belum terkalahkan selama 26 berkelahi.

"Banyak yang menyampaikan begitu. Itulah yang bikin kami mampu menang terus. Tidak pernah dianggap ASEC sangat berpengaruh. Ini memang masalah kami, maka biarkanlah. Akan berbeda contohnya dengan Arsenal yang kalau hingga 50 kali tak terkalahkan maka dikatakan Arsenal terlalu besar lengan berkuasa," papar Mamadou Kone, bos dari kelompok suporter ASEC.

Kepada James Copnall, wartawan The Guardian yang bikin liputan khusus dengan menyambangi markas ASEC di Abidjan, ia mengulas beda 'peradaban' antara negaranya dan Inggris. "Di sini atmosfer di stadion juga fantastis, namun begitu tamat orang-orang tidak pernah bertanya, membahas, menganalisis, atau mengingat. Mereka cuma bertanya: 'menang berapa?'” tutur Kone yang juga seorang pengacara.

Selama tiga tahun pertamanya mendominasi, Troussier melatih ASEC dengan metode yang tidak pernah dirasakan klub itu sejak bangun pada 1948. Troussier hadir di ASEC pada 1990 untuk menggantikan instruktur asal Belgia, Phillipe Garot (1987-1989).

Bangunan yang dibentuk Garot sudah mumpuni bagi Troussier untuk menyempurnakan kekuatan ASEC. Tidak mirip di cuilan Afrika lainnya, di wilayah Barat mirip di Pantai Gading, pemain bola sering dianggap sebagai raja kecil atau selebriti, yang pantas bergemilang ketenaran dan kekayaan.

Selain gaji tetap yang terbilang besar, setiap kemenangan, bahkan torehan gol, di sejumlah laga akan menambah pundi-pundi uang mereka dengan bonus atau hadiah lainnya. "Gaji sudah setuju, tapi yang membuat kami selalu bermain gemilang yaitu bayangan bonus," aku Traore, yang hidupnya telah berubah menjadi selebriti atau idola setiap anak lelaki di seantero negeri meski sudah tak aktif lagi sebagai pemain.

Secara kebetulan bek Arsenal, Habib Kolo Toure, juga keluaran ASEC. Juga Yaya Toure, saudara tirinya. "Kolo dan aku memang fan Arsenal," kata Traore. "Kami di sini terus mengikuti sepak terjang Arsenal, kebanyakan alasannya Kolo," lanjut Traore. "Dan layaknya kebanyakan negeri berbahasa Prancis lainnya, kami juga mengidolai Thierry Henry, dan sepak terjang Arsene Wenger yang begitu kolosal."

Pada akibatnya prestasi tertinggi-lah yang memilah globalisasi sepak bola. Banyak yang mendapatkan, tapi sebagian lagi menyesalinya, termasuk Traore. "Seperti halnya Arsenal, satu-satunya penyesalan saya melihat ASEC tidak berjaya di kompetisi internasional," sergah Traore lagi. Wow...

10 Laga Kunci Gunners Meraih Immortal 2003/04

Suatu kali Sir Bobby Robson diharuskan menjawab bagaimana prospek Arsenal melakoni musim  Arsenal The Invincibles (1): Kisah Tentang Keabadian


Sudah diduga Arsenal bisa menjuarai EPL 2003/04 lebih cepat dari waktunya. Dan itu benar-benar terjadi justru di markas musuh bebuyutannya, Tottenham Hotspur, White Hart Lane, tepat di pekan ke-34. Tak ada hasil tanpa proses. Berikut 10 partai kunci paling sukses yang menciptakan The Gunners meraih mahkota ke-13.

21 September 2003 Pekan 6 - MANCHESTER UNITED 0-0 ARSENAL

Pertandingan dirasuki huru-hara pada hasilnya. Lima pemain Arsenal kena hukuman sesudah menganiaya si troublemaker, Ruud van Nistelrooy, yang tendangan penaltinya saat injury-time membentur mistar gawang Jens Lehmann. The Gunners dianggap menang alasannya meraih satu poin berharga.

26 September 2003 Pekan 7 - ARSENAL 3-2 NEWCASTLE UNITED (1-0 Thierry Henry 18, 1-1 Laurent Robert, 2-1 Gilberto Silva, 2-2 Olivier Bernard, 3-2 Thierry Henry 79pen).

Kepercayaan diri merebak setelah menahan Manchester United. Kekalahan 0-3 dari Internazionale di Highbury (17/9) mulai terlupakan. The Magpies melakukan perlawanan alot. Tapi hands-ball Jermaine Jenas yang dilihat wasit Mike Riley berujung eksekusi sepakan penalti.

4 Oktober 2003 Pekan 8 - LIVERPOOL 1-2 ARSENAL (0-1 Harry Kewell 14, 1-1 Sami Hyypia 31bd, 1-2 Robert Pires 68).

Ini duel big-match beruntun keempat. Baru 14 menit, Harry Kewell membuat Anfield bergemuruh. Arsenal mulai tanpa diperkuat Patrick Vieira, Fredrik Ljungberg dan Dennis Bergkamp yang kesemuanya cedera. Gol indah Robert Pires menuntaskan perlawanan Liverpool.

18 Oktober 2003 Pekan 9 - ARSENAL 2-1 CHELSEA (1-0 Edu 4, 1-1 Hernan Crespo 8, 2-1 Thierry Henry 75).

Gol cepat Edu seperti Arsenal bakal melumat Chelsea. Tapi selang empat menit, Hernan Crespo menyamakannya. Lalu sebuah kesalahan fatal yang dibuat Carlo Cudicini, bola terlepas, dikala berusaha menangkap umpan Robert Pires dari sayap kanan, langsung dimanfaatkan Thierry Henry.

8 November 2003 Pekan 12 - ARSENAL 2-1 TOTTENHAM (0-1 Darren Anderton 5, 1-1 Robert Pires 69, 2-1 Fredrik Ljungberg 79).

Setelah selamat dari empat pekan yang mematikan, Arsenal menemui musuh besarnya. Gol tamu sejak menit kelima begitu awet sampai tiga perempat waktu pertandingan. Robert Pires memecah kebuntuan abad Thierry Henry ditempel mati. Lalu gol Ljungberg menamatkan Spurs.

21 Februari 2004 Pekan 26 - CHELSEA 1-2 ARSENAL (1-0 Eidur Gudjohnsen 1, 1-1 Patrick Vieira 15, 1-2 Edu 21).

Duel langsung seru dan ketat beberapa detik dimulai. Bahkan gol tercepat musim ini dibentuk pada detik ke-27 tatkala para pemain Arsenal belum menyentuh bola! Namun akidah diri meningkat, terutama setelah Vieira membalas. Lalu gol Edu menambah derita tuan rumah.

28 Februari 2004 Pekan 27 - ARSENAL 2-1 CHARLTON (1-0 Robert Pires 2, 2-0 Thierry Henry 4, 2-1 Claus Jensen 59).

Ini bentuk faktual sebuah keberuntungan. Mungkin pelajaran termahal Arsenal. Bayangkan dalam waktu empat menit, duo Henry-Pires mengubah skor 2-0. Apa yang terjadi setelah itu amat mengejutkan. Chalrton menguasai tubruk, Claus Jensen mencetak gol, dan tuan rumah beruntung tidak ditahan seri.

28 Maret 2004 Pekan 30 - ARSENAL 1-1 MANCHESTER UNITED (1-0 Thierry Henry 50, 1-1 Louis Saha 86).

Arsenal terlihat begitu takut menghadapi semangat Setan Merah. Unggul semenjak menit 50, sesudah itu mereka menemui kesukaran menambah gol. Sebaliknya usai gol akibat, tamu malah menguasai permainan. Kembali, Arsenal tidak tersungkur di tangan musuh abadinya ini.

9 April 2004 Pekan 31 - ARSENAL 4-2 LIVERPOOL (0-1 Sami Hyypia 5, 1-1 Thierry Henry 31, 1-2 Michael Owen 42, 2-2 Robert Pires 49, 2-3 Thierry Henry 50, 2-4 Thierry Henry 78).

Ini pentas terberat bagi pasukan Arsene Wenger usai dibunuh Chelsea di pentas Liga Champion. Tanda-tanda bakal kalah pertama kali terlihat. Dua kali Arsenal tertinggal. Tapi apa yang terjadi sehabis itu? Henry sangat luar biasa. Dan di pekan inilah, hampir niscaya gelar diraih.

25 April 2004 Pekan 34 - TOTTENHAM 2-2 ARSENAL (0-1 Patrick Vieira 3, 0-2 Robert Pires 35, 1-2 Jamie Redknapp 62, 2-2 Robbie Keane 94pen).

Laga yang memastikan titel juara. Arsenal mengulangi memori 1971, memastikan juara di White Hart Lane. Partai penuh konflik dan tuan rumah ingin mempermalukan Arsenal. Sayang, The Gunners sudah percaya diri. Pesta sederhana pun digelar di sana, mulai dari lapangan sampai dressing-room.

Rekor Global Tak Terkalahkan Di Kompetisi

Laga Klub                 Negara          Rentang        108  ASEC Abidjan         (Pantai Gading) 1989 - 1994    104  Steaua Bucuresti     (Rumania)       1986 – 1989    85   Esperance            (Tunisia)       1997 - 2001    62   Celtic               (Skotlandia)    1915 - 1917    60   Union Saint-Gilloise (Belgia)        1932 - 1935    58   AC Milan             (Italia)        1991 - 1993    58   Skonto Riga          (Latvia)        1993 - 1996    56   SL Benfica           (Portugal)      1977 - 1979    56   Penarol              (Uruguay)       1966 - 1969    55   Dalian Wanda         (Cina)          1995 - 1997    55   Empire Gray Farm     (Antigua)       1997 - 2000    55   Shakhtar Donetsk     (Ukraina)       2000 - 2002    54   CE Principat         (Andorra)       1997 - 1999    53   FC Porto             (Portugal)      1994 - 1996    53   Sileks Kratovo       (Masedonia)     1995 - 1997    52   Ajax Amsterdam       (Belanda)       1994 - 1996    51   Sparta Praha         (Czech)         1920 - 1923**  51   Barry Town FC        (Wales)         1997 - 1998    51   FK Crvena Zvezda     (Serbia)        1999 - 2001    49   Levadia Maardu       (Estonia)       1999 - 2001    48   Norma Tallinn        (Estonia)       1991 - 1994    48   Besiktas             (Turki)         1991 - 1992    48   Kareda Siauliai      (Lithuania)     1997 - 1999    47   Dinamo Bucuresti     (Rumania)       1991 - 1992    47   FK Obilic Beograd    (Serbia)        1997 - 1999    47   Skonto Riga          (Latvia)        1996 - 1998    46   Dinamo Tirana        (Albania)       1955 - 1956    46   Flora Tallinn        (Estonia)       1994 - 1996    46   Maccabi Haifa        (Israel)        1993 - 1994    45   Al-Ahly              (Mesir)         1998 - 1999    45   Partizan Beograd     (Serbia)        1996 - 1997    44   Palestino            (Cili)          1977 - 1978    42   Nottingham Forest    (Inggris)       1977 - 1978    41   Pyunik Yerevan       (Armenia)       1995 - 1997    41   Wiener Sport-Club    (Austria)       1958 - 1960    40*  Arsenal              (Inggris)       2003 -         40*  Hearts of Oak        (Ghana)         2002 –         40   Boca Juniors         (Argentina)     1998 - 1999    40   Dunaferr FC          (Hongaria)      1999 - 2000    40   Fiorentina           (Italia)        1955 - 1956    39   Vardar Skopje        (Masedonia)     1994 - 1996    39   Racing               (Argentina)     1965 - 1966    38   Shirak Gyumri        (Armenia)       1994 - 1995    38   Anorthosis           (Siprus)        1999 - 2000    38   Celtic               (Skotlandia)    2003 - 2004    38   Real Sociedad        (Spanyol)       1979 - 1980    37*  Pyunik Yerevan       (Armenia)       2002 -         37   Celtic               (Skotlandia)    1995 - 1996    37   Flora Tallinn        (Estonia)       2002 - 2004    37   Perugia              (Italia)        1978 - 1979    37   Sheriff Tiraspol     (Moldova)       2001 - 2002    37   Widzew Lodz          (Polandia)      1995 - 1996    36   Galatasaray          (Turki)         1985 - 1986    36*  Real Estel           (Nikaragua)     2003 -         36   Dinamo Tbilisi       (Georgia)       1996 - 1997    36   Hamburger SV         (Jerman)        1982 - 1983    36   Universitario        (Peru)          1974 - 1975    35   KIM/Dvina Vitebsk    (Belarusia)     1994 - 1995    35   Feijenoord           (Belanda)       1969 - 1970    35   PSV Eindhoven        (Belanda)       1977 - 1978    35   PSV Eindhoven        (Belanda)       1985 - 1986    35   PSV Eindhoven        (Belanda)       2000 - 2001    34   APOEL Nikosia        (Siprus)        1947 - 1950    34   Nacional             (Uruguay)       1915 - 1918    34   Vardar Skopje        (Masedonia)     1993 - 1994    34   Leeds United         (Inggris)       1968 - 1969    33   Dynamo Kyiv          (Ukraina)       1999 - 2000    33   Legia Warszawa       (Polandia)      2001 - 2002    33   Panathinaikos        (Yunani)        1963 - 1965    33   Panathinaiko         (Yunani)        1994 - 1995    33   Pirouzi              (Iran)          1999 - 2000    33   Universidad de Chile (Cili)          1999 - 1999    32   SK Tirana            (Albania)       1936 - 1937    32   Alga-RIIF Bishkek    (Kyrgyzstan)    1993 - 1993    32   Defensor Sporting    (Uruguay)       2000 - 2001    32   Dynamo Kyiv          (Ukraina)       2001 - 2002    32   Nantes               (Prancis)       1994 - 1995    32   Sparta Praha         (Czech)         1996 - 1997    32   SC Villa             (Uganda)        2002 - 2003    29   Millonarios          (Kolombia)      1999 – 1999    
 
(sumber: RSSSF) catatan: * masih berjalan ** semua menang (51-0-0)
 

Thursday, September 2, 2004

Roman Abracadabra!

KIRA-KIRA setahun lalu, aku terlongo-longo dengan munculnya sosok yang semudah membalikkan telapak tangan tiba-tiba saja membeli Chelsea FC. Bak meteor liar lepas dari edarnya, secepat itu pula namanya mulai tercetak di pelbagai surat kabar sejagat hingga kini. Roman Abramovich, orang yang dimaksud itu, membeli saham Chelsea Village milik Ken Bates, Juli 2003, sebesar 59,3 juta pound.

longo dengan munculnya sosok yang semudah membalikkan telapak tangan tiba Roman Abracadabra!
Ia juga melunasi 80 juta pound utang klub kesukaan mantan PM Inggris John Major tersebut. Dalam sekejap imperium yang dibangun Bates semenjak 1991 itu pun pindah tangan dan nama Che£$ki mulai berkumandang. 

Mengarungi isu terkini pertamanya, laki-laki 37 tahun yang berwajah imut itu kembali menyuntik Chelsea dengan dana 120 juta pound untuk belanja pemain. Hasilnya runner-up liga dan semifinalis Liga Champion digapai, prestasi yang selama 22 tahun belum pernah dirasakan Bates.

London pun heboh, terutama London Stock Exchange. Inggris geger. Manchester United dan Arsenal mulai menggigil. Bos-bos Real Madrid dan AC Milan juga pribadi konsolidasi diri dengan lebih sering menjamu makan malam para akuntan dan pengacaranya. Secara substansial yang dihadapi bukan lagi Frank Lampard cs. atau Jose Mourinho, melainkan si lugu yang punya "pohon uang". Menghadapi orang naif model begini, apalagi kaya raya dan berkuasa, jauh lebih berat ketimbang urusan apa pun di lapangan hijau. Siapa pun oke.

Selama ini Abramovich sudah melecehkan dua pesaing di Inggris dan Eropa itu seolah menepuk dada. Caranya menawar tinggi Ruud van Nistelrooy, Thierry Henry, David Beckham, dan Andriy Shevchenko sekaligus! Terasa main-main, tapi tolong jangan anggap remeh keseriusannya. Red Devils paling tertikam. Bayangkan CEO-nya saja, Peter Kenyon, mampu diangkut ke Stamford Bridge.

Itu menciptakan eksistensi Sir Alex Ferguson atau Silvio Berlusconi terancam. Akhirnya lamunan aku berhenti sehabis menyadari tindak tanduk Abramovich. Repot memang meladeni orang sok tahu. Abramovich berlagak tahu, itu bisa diperdebatkan. Tapi, secara logika, orang terkaya ke-25 di dunia jelas tak tahu bola. Ia sangka dengan punya gudang uang, maka "Abrakadabra!", ia bisa meraih apa saja termasuk harga diri. No way, Kamerad!

Dalam wawancaranya dengan harian olah raga Spanyol Marca, Claudio Ranieri mengaku sudah tidak tahan lagi dengan perasaannya. "Bisnis tak mampu memecahkan masalah sepak bola. Sejak datang ia sudah ngebet pada Sven," kata pria berjulukan "Si Tukang Patri" itu. 

Sven-Goran Eriksson merasa tersanjung, tapi Abramovich telah menampar rasa kebanggaan dan historisnya. Ketika si naif bertemu dengan si playboy, yang muncul adalah sebuah basa-busuk belaka. Aura, perilaku, dan sifat keduanya tidak nyambung sama sekali. Yang ada di otak si Rusia adalah uang, sedang di benak si Swedia yaitu perempuan. "Saya mirip ditusuk pedang! Jika saya memberi titel juara Liga Champion pun, aku tetap dipecat," beber Ranieri.

Abramovich segera menitahkan patihnya menyiapkan cek 6 juta pound untuk pesangon Ranieri. Kalau si lugu mengerti sepak bola, tentu dia mengurungkannya ketika Chelsea tengah berada di semifinal Liga Champion. "Dia tak tahu apa-apa soal sepak bola. Itu amat memalukan. Jika dia mengerti prestasi tim saya, harusnya dia memberi wewenang aku untuk menguatkan tim," tutur si Italia, yang kembali ke Valencia. Perlu juga dipikirkan bahwa jika si Roman tahu sepak bola, kenapa dia membeli bintang-bintang kelas dua, bukan pelatih kawakan?

Soal ini, Abramovich kalah telak dari Berlusconi, yang kerap mengatur strategi Rossoneri dari meja kerjanya di Milano. Tidak seperti PM Italia itu, agaknya jalan Abramovich untuk menghuni istana Kremlin makin terjal. Karakter Abramovich cuma terlihat dan terasa pada uangnya, bukan sosoknya. Dua gol di dua partai awal demam isu ini - bandingkan dengan 9 gol Arsenal - sudah bicara banyak. Mourinho tidak sebanding dengan Arsene Wenger. Di London, si merah tetap yakin lebih hebat dari si biru.

Sampai kini pun banyak rakyat Inggris sulit mengerti betapa kaya rayanya pria yang belum memenuhi persyaratan life begins at 40 - yang mereka anut - itu. Sungguh mencengangkan sebab Roman si anak yatim piatu itu baru berusia 37 tahun! Di Britania Raya, Gubernur Provinsi Chukotka di Siberia itu menggusur raja susu kotak Hans Rausing, yang telah bercokol empat tahun di puncak, sebagai the Richest Person kata The Daily Mail. Kekayaannya ditaksir melebihi 7,2 miliar pound. Bisa untuk membeli Chelsea 51 kali.

                                                    *****

MENURUT Fortune, kekayaan Abramovich 10,6 miliar dolar AS dan ada lima tingkat di atas Berlusconi (10,0), di posisi ke-30, sebagai 100 world's richest people. Posisi Roman naik terus. Nomor 363 di 2001, 127 di 2002, 49 di 2003. Dan kini 25. 

Di negerinya sendiri Abramovich berada di urutan dua dengan 12,5 miliar dolar AS, di bawah gurunya yang tengah dibui, Mikhail Khodorkovsky (15,2). Ini menurut Russia's Golden Hundred terbitan Forbes edisi khusus Rusia. Buku itu jadi kontroversial alasannya kemudian editornya, Paul Khlebnikov (41), tewas ditembak medio Juli kemudian. 

Pria Rusia berkewarganegaraan AS ini dikenal sebagai spesialis pembongkar dunia hitam, menjamurnya kekerasan, kekuasaan, dan uang yang di Negeri Tirai Besi. Memang sudah suratan. Andai saja Khlebnikov ahli menyamar kolam Val Kilmer di film The Saint.... Siapa yang menembak? Menurut Mosnews mudah saja, niscaya salah satu dari 100 orang terkaya itu. Nah!

Populasi mahajutawan Rusia memang keterlaluan. Negeri ini mempunyai 25 orang terjaya sedunia, ketiga terbesar setelah AS (279) dan Jerman (52). Bahkan kata Valentina Akimova, staf Kementerian Pajak Rusia, negerinya punya 84 ribu miliuner! Hitungannya, alasannya sejumlah itulah yang membayar pajak antara 1-10 juta rubel (340 ribu dolar AS). Ironisnya, booming ini terjadi setelah Uni Soviet ambruk pada 1991. Di masa Boris Yeltsin, industri metalurgi-minyak dan gas-berjaya. Semua kecipratan rezeki, termasuk Khodorkovsky dan Abramovich.

Inggris selalu dibuat galau oleh kekayaan. Negeri ini paling menghargai ilmu pengetahuan melalui The Royal Society, yang pernah diketuai Sir Isaac Newton sampai Stephen Hawking. Namun, sudah jadi dalil bahwa orang-orang terkaya kerap mengabaikan pendidikan. Mereka bukannya tidak cerdik, malah jenius. Selain Abramovich, contohnya William Henry Gates III alias Bill Gates, yang mapan sebagai the First Richest-man in the Free World justru setelah drop-out dari Universitas Harvard.

Akan tetapi otak mereka selalu dipenuhi bisnis, yang didasari ekonomi. Ilmu ekonomi mengilhami politik. Basis ilmu politik ialah ilmu perang. Abramovich juga selalu bikin galau lawan-lawannya. Ia tak pernah berkoar-koar dan bermain cantik, tapi bisa liar saat menginginkan sesuatu. 

Ketenangannya bak patung Lenin di tengah kota. Diam, santai namun penuh magis. "Roman sinar mataharinya London," puji Pro Sport Magazine. Kekayaan mampu tiba dari warisan atau kegigihan. Penentunya yaitu luck, trick, and Machiavellism. Sejak 1974, Ivan Illich, pakar politik dan sosial paling radikal, memprotes fungsi utama sekolah lewat buku kontroversial After Deschooling, What? Begitu juga Robert Kiyosaky pada antologi Rich Dad, Poor Dad.

Cerita Abramovich terus mengalir tiada henti. Di Rusia beliau telah membuat Chelsea II, adalah CSKA Moskva. Belum lagi misalnya pesawat pribadi teranyarnya, Boeing 767, yang gres dibeli dengan harga yang ditaksir 1 miliar dolar AS, yang menyamai keamanan dan kenyamanan Air-Force One.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada banyak arti roman. Ia bisa dipecah sedikitnya menjadi 15 macam, antara lain roman berangsur, bertendensi, detektif, sejarah, sosial atau psikologi dan sebagainya. Roman juga punya lima makna. Bisa wajah, kisah cinta, atau sejenis karakter. Secara definitif dia yakni kisah lengkap jalan hidup seseorang yang bekerjasama dengan budbahasa, ekonomi, sosial, lingkungan, atau pandangan hidup. Ternyata satu roman mampu mewakili multi kisah itu. Dia yaitu Roman "Abrakadabra" Abramovich.

(foto: istimewa)