Monday, November 17, 2014

Inilah Biang Keladi Semua Dilema Arsenal

HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permainan Arsene Wenger, adalah menggunakan seni manajemen tersirat dan energi tersurat. Dua hal itulah titik terlemah Arsenal. Jika ada yang belum bisa menang dari Arsenal, agaknya itu cuma kalah di bujet transfer saja. Tapi kini, Hull City dan Swansea City pun sudah bisa mempraktekkannya. 
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Ngotot memainkan gaya musik klasik di era modern? Silakan saja.
Berulang kali pertanyaan muncul. Bagaimana sih cara Wenger mengemas taktiknya? Apakah taktiknya sudah kadaluwarsa untuk menghadapi agresivitas sepak bola modern? Contoh paling baik mengeksploitasi strategi untuk membunuh gaya Arsenal dibuat Borussia Dortmund di Signal Iduna. Sejak awal, gairah heavy metal Juergen Klopp menyulitkan irama 'musik klasik' karya Wenger. 

Dortmund terlihat kelaparan, energik, dan penuh determinasi menekan Arsenal. Tekanan masif di 45 menit pertama menciptakan klub flamboyan ini sangat ketakutan, kebingungan, dan kehilangan iktikad diri. Apa yang diperagakan Die Borussen disebut Gegenpressing, bahasa Jerman untuk tekanan balik alias counter-pressing

Gaya ini sekarang mulai hot alasannya adalah menjadi senjata mutakhir beberapa klub top selain Dortmund. Namun yang paling perfeksi dilakukan oleh tiga besar Eropa: Real Madrid, Atletico Madrid dan Bayern Muenchen. Inilah cara paling efektif mempecundangi gaya flowing ala Arsenal, bahkan sanggup membunuh tiqui-taka khas Barcelona.

Jika di awal 2000-an, cuma ada satu-dua gelandang yang melakoninya, karena jadi peran khususnya, maka di dekade kedua milenium, hampir semua unit di lini tengah wajib melakukan. Dulu cuma Christian Karembeu (Sampdoria), Edgar Davids (Juventus), atau Gennaro Gattuso (Milan) yang sanggup. Bahkan pers Italia punya julukan untuk menyebut tipe gelandang yang kerjaannya meneror sepanjang waktu yaitu Cavallo Pazzo alias anjing ajaib atau juga pitbull.

Arsenal yakni klub tradisional Liga Champion, setidaknya 18 tahun terakhir. Namun kita cukup gundah melihat pendekatan Wenger yang tidak pernah berubah sepanjang waktu. Gaya efektif menekan lawan, atau menekan balik saat sedang ditekan, ternyata lebih menyakitkan untuk dirasakan ketimbang dibilang indah di hadapan mata. Dengan hampir pastinya mereka kembali jadi runner-up grup Liga Champion 2014/15, yang berarti kemungkinan besar akan bertemu tiga pahlawan tadi, perasaan skeptis jadi lumrah.

Jujur saja, barangkali lebih mujur andaikata Arsenal ketemu Barcelona ketimbang Atletico, Bayern, atau Real di babak 16 besar. Namun lolos pun dari situ, cepat atau lambat, tiga tim besar lengan berkuasa itu pasti datang. Setelah berkali-kali di-bebesin gaya Spanyol, kini rintangan terbaru Arsenal yaitu sepak bola Jerman dengan Gegenpressing-nya itu. Gaya yang tersuguh besar lengan berkuasa dan tangguh, bekerja sebagai tim, bertahan sebagai unit, serta memahami tujuan taktik bermain.

Di tangan Jupp Heynckess, pada isu terkini 2012/13 Bayern menyingkirkan Arsenal di 16 besar melalui permainan yang masterclass di Emirates. Mereka menang 3-1 meskipun kalah 0-1 di Allianz Arena. Arsenal makin hancur ketika Pep Guardiola ganti mengendalikan Bayern di isu terkini berikutnya. Arsenal kembali kalah 0-2 di Emirates dan bermain imbang 1-1 di Allianz Arena. Makin faktual sudah bahwa acuan Arsenal Way tidak berdaya mengatasi gegenpressing apalagi plus tiqui-taka sekaligus.

Kalau gaya Jerman jadi kendala, ini sungguh ironis, alasannya makin memperlihatkan ketidakjelasan seni manajemen dan seni manajemen Wenger. Bukankah Arsenal diperkuat trio Per Mertesacker, Lukas Podolski dan Mesut Oezil? Betul, namun kecuali Mertesacker, manajer Prancis itu sudah menebar dilema duluan karena salah menempatkan posisi main Oezil, bahkan keseringan mencadangkan Podolski. Betapa kuno taktik Wenger mampu dilihat dari caranya menugaskan mereka main, atau melatih fisiknya.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Etihad.
Kita lihat determinasi dan kebugaran fisik Phillip Lahm, Thomas Mueller dan Mario Goetze, atau Bastian Schweinsteiger yang kalau tidak bertubuh atletis, niscaya bernafas kuda dan kasar serta serba bisa. Saat dipermak Dortmund 0-2 di Signal Iduna, September silam, kunci kemenangan diawali dengan duet Sven Bender-Sebastian Kehl yang menang bertarung atas Mikel Arteta-Aaron Ramsey. Sementara itu Kevin Grosskreutz ditugaskan untuk mengunci pergerakan sang kreator serangan, Jack Wilshere.

Klopp sangat hafal luar dalam dengan gaya Wenger yang juga menjadi idolanya. Parahnya lagi ketika itu Arsenal seperti bermain dengan 10 orang alasannya Mesut Oezil tidak berfungsi sama sekali. Setelah kekalahan itu, Wenger diserbu kritikan para pengamat dan media massa dari Inggris maupun dari Jerman alasannya tetap keras kepala menempatkan Oezil di sayap. Siapapun tahu, modal utama pemain sayap yakni kecepatan, dan Oezil bukanlah Theo Walcott atau Alex Oxlade-Chamberlain.

Menebak Nasib

Di Arsenal, pemain Jerman yang biasanya tampil mengalir dan universal, justru jadi kaku dan ragu-ragu. Berkebalikan dengan Schweini, Bender, Kroos, Goetze, Marco Reus, atau Andre Schuerrle yang ditempa dengan pas oleh Klopp, Guardiola, Carlo Ancelotti atau Jose Mourinho. Wenger yang dikenal ahli berinovasi kelihatannya sudah kehabisan inspirasi dan kehilangan eranya. Sekarang ia dalam yang mengejar, posisinya tertinggal di belakang gugusan instruktur yang lebih muda.

Kekalahan dari Swansea City 1-2, Chelsea 0-2 atau Dortmund 0-2 memperlihatkan kelemahan Arsenal menjalani taktiknya, serta yang paling mengkhawatirkan yaitu memberikan arogansi dan kepongahan Wenger ketika membawa timnya bertamu ke rumah orang. Sudah jadi rumusan dikala giliran away, maka konsep bertahan lebih mengemuka dibanding seni manajemen menyerang. Materi skuad Arsenal kini sangat jauh kualitasnya dibanding periode kejayaan The Invincibles 2003/04.

Ketika pola persaingan dan peta kekuatan sudah sedemikian rupa berubah, seharusnya Wenger harus memaksa diri untuk mencoba banyak sekali metode, planning A, planning B, dan seterusnya. Dengan Plan A tidak selamanya berhasil. Dia sudah tak punya lagi formasi paket ajal mirip Ashley Cole-Lauren, Sol Campbell-Kolo Toure, Patrick Vieira-Gilberto Silva, Robert Pires-Fredrik Ljungberg, dan Thiery Henry-Dennis Bergkamp serta Jens Lehmann di bawah gawang.

Dengan bahan pengganti Martin Keown, Pascal Cygan, Gael Clichy, Ray Parlour, Edu, Cesc Fabregas, Jose Reyes, Robin van Persie dan seterusnya, siapapun takjub dengan seni manajemen Wenger dan hanya nasib apes saja yang menggagalkan mayoritas tim ini untuk merengkuh titel Eropa pada 2006. Ironisnya, kekalahan 1-2 dari Barcelona di Paris pada selesai Liga Champion itu justru menjadi awal dari perjalanan titik nadir reputasi Arsenal. Setelah tragedi tersebut, kualitas Wenger pun mulai surut.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Anfield.
Tahu-tahu kini sudah musim 2014/15. Apa yang didapat Gooner sebagai modal pujian? Titel Piala FA? Turun kelas bila euforianya berlebihan. Jangankan titel Eropa, selama 9 animo Arsenal tak berdaya merenggut lagi jawara di Inggris. Parahnya lagi beberapa dilalui dengan hinaan sadis, dibejek Manchester United 2-8, dipermak Manchester City 3-6, di-bully Liverpool 1-5, serta ditelanjangi Chelsea 0-6. Barangkali tinggal menunggu, kapan giliran Tottenham Hotspur?

Menyimak aneka macam kekalahan tandang tersebut, termasuk dari Swansea, Chelsea dan Dortmund, kita makin sadar bahwa pola arogansi ala Wenger mampu terlacak dari strateginya di bursa transfer. Dengan minimnya pemain bertahan berkualitas yang ada, ditambah kesukaannya membeli pemain bertipe menyerang dan bukannya gelandang bertahan world class dan satu bek hebat pengganti Thomas Vermaelen, maaf,  musimnya Arsenal hampir bisa ditebak ada di mana.

Mourinho, Ancelotti, Simeone, atau Guardiola tak pernah gegabah untuk menangguk gol sebanyak-banyaknya di sangkar lawan. Tentu saja menang tetap jadi target. Namun mereka sadar semuanya akan dilalui oleh pertarungan taktis yang ketat sehingga skor dengan selisih satu saja biasanya sudah jadi dambaan. Andai selisih golnya lebih dari itu, boleh jadi itu merupakan hadiah dadakan sebab terbantu oleh kesalahan lawan atau keberuntungan yang datang-tiba.

Mereka tak pernah mau bermain open play seperti ketika menjadi tuan rumah. Seringkali line-up juga suka berubah-ubah, tak seperti yang biasa dilihat. Semakin berat kualitas lawan, biasanya semakin 'aneh' pula komposisi tim utama tergantung siapa lawannya, tradisi pertarungan, atau nilai pertandingan itu sendiri. Ini yang tak langka terjadi di Arsenal. Lawan Barcelona atau Stoke City, main di Emirates atau di Old Trafford, tak ada Plan B atau komposisi kejutan yang bisa dibutuhkan dari Wenger.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Pembantaian di Stamford Bridge.
Begitu juga dari persiapan teknis. Hampir tidak pernah Wenger mengajak seluruh pemainnya ke dalam ruangan untuk menganalisis rekaman pertandingan dari tim yang akan dihadapi. Memberi instruksi, diskusi, menganalisis titik kekuatan dan kelemahan lawan secara visual sehingga tahu apa yang akan dilakukan nanti di hari H. Padahal kata Sun Tzu dalam The Art of War, "kenali dirimu kenali lawanmu, 1000 pertempuran, 1000 kemenangan."

Motif dan Alasan

Wenger terlalu sibuk untuk membenahi apa yang harus dilakukan pemainnya nanti, amat tidak seimbang dengan penelahaan mana titik kelemahan lawan atau apa yang akan lawan lakukan. Dia sangat berbeda dengan Sir Alex Ferguson. Dalam buku My Autobiography, Ferguson menyampaikan: "Ketika melawan Arsenal, aku butuh pemain yang bisa intersep bola dan memotong umpan mereka, sebab di situlah kekuatan Arsenal. Setelah itu lakukanlah serangan balik cepat."

Jangan lagi Mourinho atau Klopp yang membenarkan ucapan itu. Sekarang seorang Steve Bruce atau Garry Monk saja mulai fasih melakukannya! Ketika akan menghadapi Arsenal, seperti mereka selalu melaksanakan ucapan Sun Tzu yang satu lagi, "Jika Anda jauh dari lawan, buatlah mereka percaya bahwa Anda sudah akrab." Pendek kata, Wenger sangat sibuk dengan diri sendiri tanpa pernah mau tahu apa yang akan dilakukan Mourinho atau Klopp kepadanya. Sungguh naif.

Dalam laga tingkat tinggi, Anda mesti menyiapkan tim dan menganalisis lawan. Semuanya, termasuk berbagai dampaknya apabila terjadi kemenangan atau kekalahan. Dengan begitu, tujuan latihan atau persiapan akan berfokus kepada lawan, bukan kepada diri sendiri atau penampilan tim sebab tujuan utama mereka adalah mengalahkan lawan. Benar? Mourinho adalah masterclass di setiap waktu. Buat ia, apapun kelemahan pasukannya akan terkoreksi jikalau lawan sudah dikalahkan.

Dalam konteks permainan, jangan melebarkan topik ke arah lainnya, mampu dipastikan Mourinho ialah master strategi sebab kesukaan dan kesuksesannya mempelajari lawan dan menyiapkan seluruh elemen timnya untuk menghadapi lawan. Tidak demikian dengan Wenger. Celakanya, gara-gara kelemahan ini dampak hebat mampu terjadi. Wenger ditinggal pemain terbaiknya, alasannya adalah frustrasi keseringan kalah. Katakanlah Robin van Persie, Samir Nasri, termasuk Cesc Fabregas dulu.

Gaya yang ditampilkan Wenger tidak cukup untuk memenuhi ambisi Arsenal meraih titel, apalagi di level di Liga Champion. Singkat kata, dua pokok persoalannya yaitu kedalaman taktik dan strategi transfer. Pertanyaan seriusnya adalah sampai kapan Wenger terus begini? Tertinggal belasan poin dari pemuncak klasemen ialah persoalan serius bicara soal target. Jika ia terus arogan dengan pendiriannya, maka artinya tujuan Arsenal, juga tujuan pendukungnya, telah dikorbankan.

Terlalu mementingkan filosofi merupakan duduk perkara lain Wenger, sebab tidak selamanya tujuan bisa dicapai hanya dengan filosofi. Apakah Wenger mementingkan kebanggaan? Sama juga. Tujuan tidak diraih dengan pujian. Naifkah beliau? Kalau melihat dari ucapan atau penampilannya, rasa-rasanya tidak. Lugu di perilaku mental boleh jadi memang ada. Keras kepala barangkali? Nah, ini yang hampir niscaya.

Bagaimana mungkin Arsenal mau bersaing di Eropa dengan gelandang bertahan yang kelasnya Arteta atau Flamini? Dari rapor dan statistik, takdir keduanya boleh jadi sudah mampu terendus. Chelsea punya jangkar Nemanja Matic-Fabregas, Manchester City diisi duet Yaya Toure-Fernandinho, Liverpool punya Steven Gerrard-Jordan Henderson. Jika levelnya dinaikkan, maka apa yang dimiliki para jagoan Eropa, sehabis melihat materi lini vital Arsenal itu hati jadi melas, miris, dan nelangsa.

Ramsey dan Wilshere belumlah, mereka masih perlu seseorang yang setiap ketika memberinya acuan langsung, role model. Jika saja Wenger mau mengambil Fabregas lagi, maka perannya terperinci sebab baik Ramsey atau Wilshere amat memuja mantan kapten dan bekas legenda Arsenal tersebut. Sejak cukup umur, Ramsey dan Wilshere tumbuh berkembang bersama Fabregas. Namun hanya alasannya adalah kebablasan bereuforia dengan Mesut Oezil, Wenger telah menutup pintu masukan lain.

HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Kelahiran sejarah pembantaian Arsenal di Old Trafford pada 2014.
Entah terlambat atau tidak, Arsenal masih punya kesempatan untuk mengubah garis nasibnya. Seorang gelandang bertahan, bila perlu yang bertipe baja, harus didatangkan berapapun harganya. Banyak yang mengusulkan agar Sami Khedira atau Blaise Matuidi segera dibeli pada transfer Januari mendatang. Juga sesosok bek tengah kelas dunia, yang belakangan santer disebut-sebut beliau adalah Mats Hummels. Sekarang uang bukan dilema lagi buat Opa Wenger, kecuali sikapnya itu tadi.

Beda Kualitas

Rasanya terlalu sederhana membahas masalah teknis di badan Arsenal, dan tampaknya memang bukan dari situ menemukan jawaban sucinya. Mikel Arteta itu pemain kelas rata-rata; di mana 9 dari 10 fan Arsenal akan mengangguk setuju. Isu transfer Sami Khedira atau William Carvalho cuma jadi isu. Kembali berhitung untuk membarter langsung Chris Smalling dengan Thomas Vermaelen juga bikin hati mangkel. Lucunya, si opa bau tanah perlu 'dikudeta kecil' karena nama Danny Welbeck tak pernah terlintas di benaknya, namun, aneh, ada yang mengirim uang transfer tanpa persetujuan Wenger!

Secara teknis operasional, itulah intisari informasi pentas transfer Arsenal 2014 yang kata banyak pengamat satu-satunya paling mahir yaitu merebut Alexis Sanchez dari tangan Liverpool. Wenger dulu beda dengan Wenger sekarang, semakin keras hati. Semakin ditekan, semakin membaja dan semakin ngawur. Secara akhlak ia tak mengakui ketidakinginan menarik Smalling melihat peran Nacho Monreal sekarang. Keberadaan Arteta, Flamini, sampai posisi main Mesut Oezil.

Kok Arsenal jadi selalu begini, penuh dengan intrik? Saat masih di Real Madrid (2010-13), Jose Mourinho tidak tahan untuk tidak mengomentari tanda-tanda keganjilan itu: "Anda tidak pernah boleh meremehkan Arsenal sebagai tim favorit juara di setiap animo. Lihatlah siapa saja mereka, Van Persie, Walcott, Fabregas, Nasri, Arshavin ... nama-nama mahir dengan kemampuan jago."

Pendek kata, kan ia cuma ingin mengatakan kok dengan materi seperti itu, mampu-bisanya Arsenal gagal juara sih? Jawabannya terperinci, Mourinho membayangkan siluet foto Wenger. Itu kegemasan orang yang andal bikin sejarah di sepak bola lho. Apa lagi yang awam? Berikut siapa, apa, dan bagaimana orang yang dimaksud Mourinho tersebut.

Saat datang di Arsenal pada 1996, Arsene Wenger diwarisi George Graham sekelompok tukang begal paling ditakuti di Inggris, lima sekawan Tony Adams, Martin Keown, Steve Bould, Lee Dixon serta Nigel Winterburn. Mereka sangat berkomitmen melindungi kiper David Seaman. Keenamnya pemain nasional Inggris, atau pernah membela The Three Lions.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Bould, Seaman, Adams, Dixon, dan Winterburn.
Inilah barisan pertahanan terbaik bentukan dan warisan George Graham, steel defending, fabulous four sepanjang sejarah The Gunners yang diantaranya jadi titisan tim Boring Boring Arsenal di kurun pra-Wenger. Istilahnya, separo skuat nasional Inggris sudah dijejali rombongan Highbury. Melihat kekompakan enam pemain beringas di garis pertahanan itu, memang alasannya faktor kebodohan pelatih nasional saja, yang dikala itu lagi dijabat Graham Taylor (1990-1993), karena pada Inggris gagal lolos ke Piala Dunia 1994 di AS.

Lantas pikiran pertama yang terlintas di kepala Wenger dikala datang ke Highbury itu yakni seorang calon petarung yang di AC Milan tersia-siakan, dialah Patrick Vieira, pria asal Senegal berusia 20 tahun. Wenger melihat dirinya dalam sosok Vieira, sebuah ilusi mampu juga obsesi. Tinggi mereka sama, sekitar 193-195 cm, posisi Wenger ketika jadi pemain juga sama, yaitu gelandang bertahan. Saking kesengsemnya dia tak perlu mengetes serius Vieira kecuali formalitas belaka.

David Dein

Di era awal rezimnya, Wenger juga dilimpahi trio timnas Inggris yang saling mengisi satu sama lain, rata-rata diantaranya bertipe artis. Paul Merson, pemabuk insyaf dan sengak tapi mahir mengkreasi serangan; David Platt gelandang tengah yang gemar bikin gol sesudah melaksanakan box to box; serta Ray Parlour, pekerja keras berambut gondrong yang sangat obsesif dengan Pele. Jika diimajinasikan sekarang, lakon Merson dijalani Jack Wilshere, Platt/Parlour diwakili Aaron Ramsey, sedangkan peran Vieira diisi Mikel Arteta. What? Pantas, minta ampun bila begitu.

Dengan formasi 3-5-2 atau 5-3-2 yang fleksibel, si opa Prancis juga dititipi duet penuh talenta di lini depan, adalah seorang pangeran lapangan hijau Belanda, Dennis Bergkamp, serta Ian Wright yang punya hobi memperdaya kiper dan bikin sewot pendukung lawan serta tukang gedor Three Lions. Di pertengahan jalan, Wenger sudah menyiapkan si anak jalanan dari Paris, Nicolas Anelka, sebagai pengganti bapaknya Shaun Wright-Phillips itu.

Ini tips khusus buat masyarakat Gooner sejati. Tariklah nafas Anda dalam-dalam; renungkan kenangan pada ke-13 pemain tersebut yang menjadi skuat awal Wenger, lalu hela nafas Anda pelan-pelan. Terbayang Arsenal 1996-97: sepuluh pemain nasional Inggris, seorang pangeran Belanda dan seorang laki-laki kurus Senegal yang berotot kawat. Seorang anak jalanan. Mereka ialah dua belas pria yang senang 'langgar' demi bola.
HAMPIR semua pelatih di Inggris dan di Eropa sangat paham bagaimana menghancurkan permaina Inilah Biang Keladi Semua Problem Arsenal
Seiring perjalanan waktu, kecerdasan Arsene Wenger mulai luntur.
Bandingkan dengan skuat terakhir sekarang itu, dengan cara head to head langsung. Misalnya Wojciech Szczesny dengan David Seaman, Tony Adams dengan Per Mertesacker dan seterusnya. Apa yang Anda dapat atau pikirkan wacana kualitas skuat Arsenal dulu dan sekarang? Arsenal 2013/14: lini belakang no comment; lini tengah no comment; lini depan tergantung lini belakang dan tengah.

Apalagi dalam dua tahun berikutnya, Wenger - yang dikala itu masih sangat cerdas dan mau mendengar masukan orang - mendatangkan Emmanuel Petit, Mark Overmars, Bisan Lauren, Bobby Pires, Fredrik Ljungberg, Thierry Henry serta Jens Lehmann, juga memoles Ashley Cole hingga jelas. Jujur saja, memang hanya seorang Sir Alex Ferguson yang mampu menggagalkan Arsenal mendominasi Premier League selama satu dekade.

Apa belakang layar itu semua? Semuanya berpulang kepada kecintaan, kepedulian serta perilaku profesional, terutama pada diri seseorang bernama David Dein; Gooner sejati, salah satu pemegang saham dan pebisnis yang segera menimbulkan Wenger sebagai sahabatnya di luar rekan kerja. Menurut banyak cerita, keduanya sering ribut di kantor, saling gebrak meja; namun di luar kantor tak jarang untuk ngopi, makan siang bersama, atau bahkan liburan keluarga bersama.

Jika mau sekalian tuntas, apakah pantas membandingkan tugas David Dein dengan Ivan Gazidis sekarang? Sayangnya sangat tidak mampu dibandingkan. Gazidis bukan pecinta Arsenal, no passion, kecuali pebisnis belaka yang dijadikan CEO oleh pemegang saham mayoritas (66,6%), Stan Kroenke. Pesaing pria AS itu sebagai pemegang saham terbesar berikut (29,25%) yakni Alisher Burkanovich Usmanov, milyarder muslim asal Uzbekistan yang ber-KTP Rusia, yang berjanji akan membawa Dein lagi ke Emirates bila sanggup mengakuisisi saham Kroenke.

Itulah saga Arsenal The Gunner dengan Arsene Wenger, jujur saja; sejatinya persekutuan mereka telah kehilangan makna, bulan madu pun seharusnya sudah berlalu, seharusnya diakhiri segera! Sumber problem mesti segera dibasmi. Ketika lakon kehidupan telah berganti, tujuan Arsenal justru terus disesatkan oleh imajinasi dan utopia yang tidak jelas arahnya. Inilah yang bikin sebagian orang geleng-geleng kepala.

(foto: express/scaryfootball/telegraph/1nildown2oneup/footballparadise/shoot)

0 comments:

Post a Comment