Monday, January 22, 2007

Soekarno: Revolusioner Olah Raga Ri

Ah, andaikata Presiden Soekarno bisa mengkreasi turnamen sepak bola se-Asia setelah membidani kelahiran Konferensi Asia-Afrika atau Gerakan Non-Blok di periode 1950-an, mampu jadi, Piala Asia kini ini jauh lebih gemuruh dan bergengsi. Jangan-jangan ia menjadi kejuaraan ketiga paling prestisius dan terakbar sesudah Piala Dunia dan Piala Eropa.

 andaikata Presiden Soekarno mampu mengkreasi turnamen sepak bola se Soekarno: Revolusioner Olah Raga RI
Presiden Soekarno dan pemimpin Uni Soviet Nikita Khruschev di Jakarta 1960.
Keyakinan itu amat beralasan mengingat sampai awal 1960-an, Indonesia adalah sang penggagas, sumber inspirasi perjuangan bagi negara-negara di Asia termasuk Afrika, yang dikomandoi eksklusif Soekarno. Kepemimpinan Indonesia di kancah politik internasional saat itu juga diakui oleh empat negara terbesar dunia, Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina dan India.

Saat itu nama Soekarno jaminan mutu untuk pelbagai gerakan regional bahkan perubahan internasional. Waktu itu Korea masih awut-awutan akibat perang saudara. Jepang masih tertatih-tatih sesudah dibom atom oleh AS. Sementara India belum usang merdeka. Dan Cina masih disibuki oleh Revolusi Kebudayaan-nya. Kala perang cuek berlangsung antara blok barat (pro AS) dan blok timur (pro Uni Soviet), Soekarno pula yang sempat menengahinya.

Ah, andaikata Soekarno memindahkan energinya waktu membentuk olimpiade tandingan berjulukan GANEFO (Games of The New Emerging Forces) ke Piala Asia, mungkin catatan sejarah sepak bola Asia akan berbeda dengan yang kini. Jika politik dunia saja mampu dilakoninya, apalagi sepak bola yang cuma menjadi salah satu elemen politik? Benarkah faktor ekonomi dan politik dalam negeri yang mendera Indonesia di kurun 1950-an mampu disebut sebagai sumber kegagalan seorang Bung Karno mencatatkan dirinya sebagai bapak sepak bola Asia?

Tak ada yang memungkiri bahwa sepak bola yaitu salah satu alat perjuangan yang paling mumpuni di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Hal ini diyakini bukan saja oleh Soekarno, tapi bapak bangsa seperti Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara atau Muhammad Husni Thamrin. Mereka sepakat sepak bola merupakan sarana untuk menumbuhkan nasionalisme.

Pendapat bahwa di Indonesia sepak bola lahir dari kebutuhan politik, lebih dari kebutuhan publik memang ada benarnya. Sejak Boedi Oetomo bangun pada 1908, para tokoh politik mendukung berdirinya klub-klub sepak bola di Tanah Air. Pertandingan sepak bola yang ditonton oleh ribuan orang pribumi, tentu amat merisaukan pihak kolonial. Taktik sepak bola juga ikut melatih acuan pikir masyarakat dalam mematangkan seni manajemen perjuangan.

Pihak Belanda melihatnya sebagai fenomena yang membahayakan. Mereka sempat menciptakan pengkastaan sepak bola di bawah induk organisasi NIVB (Nederlandsche-Indische Voetbal Bond) pada 1919, namun tak mampu mencegah popularitas sepak bola di masyarakat inlander yang memainkannya dengan telanjang kaki, tanpa sepatu bola.

Oldefos dan Nefos

Kelahiran Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928 semakin memantapkan rasa nasionalisme di sepak bola. Buktinya, sempurna sebulan setelah Soempah Pemoeda, M.H. Thamrin mendirikan Persija Jakarta. Puncaknya, selang tiga tahun, pada 19 April 1930, di Yogyakarta berdiri induk organisasi tandingan milik pribumi dengan nama lokal, Persatoean Sepak Bola Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang diketuai Ir. Soeratin Sosrosoegondo, eks mahasiswa di Jerman.

Berikut secuil kisah pembentukan PSSI seperti yang dilaporkan koran Bintang Mataram edisi 22-24 April 1930 yang dikutip dari buku Kenang-kenangan 50 tahun PSSI. Dapat dilihat bahwa salah satu misi berdirinya PSSI ialah sebagai jendela kebangsaan dan salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan.

"Spreker merasa gembira, bahoea comite poenja seroean boeat dirikan persatoean soeda dapet sympathie dari beberapa fihak, hal mana ada satoe tanda bahoea soeda sampe temponja dalam kalangan Indonesier diadakan matjam itoe badan persatoean. Spreker laloe terangkan hal goenanja kaloe sport ada salah satoe soeal dapetken kemoedian bangsa."

Pada PON II 1951 di lapangan IKADA Jakarta, untuk pertama kali secara terbuka Bung Karno menggunakan jargon olah raga untuk membangkitkan nasionalisme. "Ayo! Merdeka! Freedom! Come on! Let's go!" sering dipekikkannya. Setelah sering menghadiri PON dan merasa gembira dengan penampilan PSSI di Olimpiade 1956, ia kian yakin bahwa olah raga berarti politik. Ini selaras dengan sistem demokrasi terpimpin yang menaruh politik ialah segala-galanya.

"Nasionalisme ialah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita, nasionalisme yakni sumber besar dan ilham agung dari kemerdekaan," demikian ucapan Soekarno dalam pidatonya yang berjudul To Build The World A New pada Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960 di New York.

 andaikata Presiden Soekarno mampu mengkreasi turnamen sepak bola se Soekarno: Revolusioner Olah Raga RI
Stadion Utama Senayan, bab dari Bung Karno Sports Complex.
Saking seriusnya merancang olah raga dan sepak bola sebagai kekuatan nasional dan pembangunan karakter bangsa, Soekarno menunjuk R. Maladi, eks kiper nasional terkenal, sebagai ketua KOGOR (Komando Gerakan Olah raga) yang bertugas menyiapkan Asian Games IV di Jakarta. Di bawah perintah Soekarno, kompleks olah raga (Bung Karno Sport Complex) dibangun dari kredit lunak Uni Soviet. Kedatangan PM Rusia Nikita Khruschev ke Jakarta pada 1960, sekaligus ingin melihat dari erat pembangunan stadion, semakin menciptakan rakyat Indonesia yakin dengan gagasan sang pemimpin.

Menurut goresan pena Metamorfosis Gelora Bung Karno (Kompas, 26 Mei 2006), pemancangan tiang pertama kompleks itu dilakukan oleh Soekarno sendiri pada 8 Februari 1960. Kemudian, satu demi satu sarana olah raga itu pun terwujud. Istana Olah Raga (Istora) tamat dibangun pada 21 Mei 1961, Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962).

Pidato membangun dunia gres di New York pada 1960 itu seolah-olah menjadi proklamasi kedua yang diucapkannya, namun kali ini untuk negara-negara dunia ketiga dan bangsa-bangsa Asia. "Bangsa-bangsa Asia harus unjuk diri bahwa mereka juga mampu melaksanakan sesuatu yang besar seperti yang dilakukan potongan dunia lainnya," timpalnya di majalah Time. Ketika itu Soekarno sudah memilah dunia dengan istilah Oldefos (Old Establish Forces) yang terdiri dari kaum imperialis dan Nefos (New Emerging Forces), tempatnya negara-negara berkembang.

Namun gerakan politik olah raga bukan tak memakan korban. Salah satunya justru menimpa di pentas sepak bola. Sebelum dihebohkan dengan trik-trik politik di AG 1962 dan GANEFO 1963, sepak bola Indonesia kena getah revolusi 'basmi imperialisme'. Pada Pra Piala Dunia 1962 zona Asia, PSSI terpaksa melupakan keinginan tampil pada putaran tamat di Chile, saat hasil undian harus bertemu dengan Israel. Sudah sejak dikala itu kehadiran negara Israel oleh Inggis dan Amerika tidak diakui secara umum dikuasai negara di dunia, termasuk Indonesia.

Revolusi Olah raga

Kesuksesan Indonesia dari segi prestasi dan sebagai penyelenggara di AG 1962 ternyata berbuntut politik. Ini terjadi alasannya adalah Indonesia menolak kehadiran Israel dan Taiwan. Keputusan ini membuat berang badan olimpiade dunia (IOC) dikala wakilnya yang juga pendiri Asian Games asal India, Guru Dutt Sondhi, tiba ke Jakarta untuk menyatakan protes kerasnya. "Legitimasi pesta olah raga ini tak akan diakui IOC!" gertaknya saat itu pada Indonesia.

Yang terjadi di luar dugaan. Soekarno malah murka besar. Meski India dan PM Jawaharlal Nehru ialah sobat kental Indonesia dan dirinya, Soekarno tak perduli. Ia mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Dampak lainnya, akhir gerakan Sondhi itu, sentra perdagangan Pasar Baru yang banyak diisi orang-orang India, didemo rakyat Jakarta. Mobil-kendaraan beroda empat mereka dibakari dan banyak toko-toko dilempari massa.

Keberangan Soekarno pada imperialisme ternyata tak mereda, sebab ia menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan IOC. Lebih dari itu, sambil menuduh IOC sebagai corong imperialis, dia lalu merancang olimpiade tandingan berjulukan GANEFO (Games of the New Emerging Forces), 10-22 November 1963 seusainya AG 1962.

Soekarno menyerahkan peran berat ini kepada Maladi lagi yang saat itu sudah naik pangkat menjadi pada menteri olah raga. Tidak mirip kurun kini, di bawah rezim Soekarno, kementerian olah raga memiliki jalan masuk besar. Itu sebab memegang seluruh acara dan kebijakan termasuk yang ada di bawah pengendalian KONI.

Bangga dengan hasil yang dicapai Indonesia pada AG 1962, Soekarno lalu mengeluarkan Kepres Nomor 263/1963. Isinya wacana misi Indonesia masuk dalam 10 besar olah raga di dunia. Ia berharap apabila sepertiga penduduk Indonesia aktif di bidang olah raga sejak Sekolah Dasar, maka impiannya akan tercapai. "Revolusi olah raga demi mengharumkan nama bangsa. Olah raga yakni bab dari revolusi multikompleks bangsa ini," ucap Soekarno ketika itu.

Ewa T Pauker dalam buku berjudul Ganefo I: Sports and politics in Djakarta menceritakan betapa bersemangatnya rakyat Indonesia saat Soekarno membuka olimpiade tandingan. Pesta olah raga dunia yang diikuti 51 negara di dunia mulai dari Afganishtan sampai Argentina, Burma sampai Belanda, Cina hingga Chile, Filipina sampai Finlandia!

"November 10, 1963, was no ordinary day in Djakarta. Already, early in the morning, a steady stream of people were proceeding along the newly-paved Djalan Djeneral Sudirman. Festively decorated with thousands of yards of red and white buntings, and along the just-opened American-built bypass. They were going to witness the opening of GANEFO I. The Games of the New Emerging Forces. To be held at the enormous 10 milion dollar Bung Karno sports complex which been constructed with Soviet aid."

Perjalanan politik Soekarno di dunia olah raga kini tinggal kenangan. Namun tetap menyisakan sejuta arti dan keinginan. Soekarno tidak mengira betapa dahsyatnya pengaruh sepak bola buat politik di sebuah negara seperti kini. Gebyar dan pengaruh sepak bola ketika itu masih kalah dengan gaung Olimpiade atau bahkan Asian Games.

Nah, jikalau pemimpin bangsa terdahulu belum mewujudkannya, kini tersisa peluang bagi pemerintahan Presiden SBY untuk menyikapi, melengkapi atau menerjemahkan semua inspirasi yang dulu telah dibuat Presiden Soekarno pada bangsa-bangsa di Asia. Piala Asia 2007 ada di depan mata, pada bulan Juli di Jakarta. Inilah saatnya untuk memutar kembali roda sejarah bangsa. Juga untuk mengakhiri gonjang-ganjing krisis multidimensi persepak bolaan nasional, PSSI dan dunia olahraga Indonesia secara umum.

(foto: mobigenic/forum detik)