Friday, August 12, 2016

Arsene Wenger: Premier League Dibanjiri Ambisi

Barangkali contoh dan tensi persaingan Premier League kali ini melebihi level Liga Champion. Pantas-pantas saja jikalau salah satu yang berkepentingan karenanya angkat bicara. Dialah Arsene Wenger yang bilang mulai isu terkini ini Liga Inggris sudah menjelma sebagai ‘Piala Dunia antar manajer.’

20 Manajer Premier League 2016/17. Semua punya ambisi.
Di mata manajer legendaris Arsenal itu sepak bola telah kembali ke tempat semula lagi setelah diperkenalkan ratusan tahun silam oleh Inggris. Waktu pertama kali muncul para instruktur dan ketua klub yakni selebritas sepak bola itu sendiri. Penentu segalanya. Lalu terhampar periode pemain mahir, para bintang dan jagoan lapangan hijau yang masih bertahan sampai saat ini.

Boleh jadi mereka kini sedang meraih kurun yang tidak didapat sewaktu jadi pemain. Beckenbauer, Platini, Cruijff termasuk orang-orang tepat di sepak bola, baik sebagai pemain, pelatih, atau pengurus. Maradona tidak nendang jadi instruktur. Pele apalagi. Zidane selalu diragukan. 

Cerita bergulir dari generasi ke generasi dengan persepsi dan realita berbeda. Namun hebatnya di sepak bola selalu tersedia bakat, lahan, dan kesempatan. Bagi siapa pun, bahkan buat yang lemah dan nir-prestasi dan nir-reputasi di periode sebelumnya.

Klopp, Conte, dan Pochettino paling potensial menggunakan ide Ranieri. Beban mereka dianggap tak seberat Wenger, Mou, dan Pep yang diganduli utang watak atau utang biaya transfer. Bagaimana meladeni situasi mirip ini? “Semua orang punya ambisi. Tak pernah terjadi sebelumnya di Premier League, begitu dibanjiri ambisi orang-orang atau klub semenjak awal trend,” kata Wenger pada Arsenal Magazine belum lama ini.

Masuk dekade kedua milenium gres, perubahan sosok-sosok signifikan di olah raga paling manusiawi ini mulai terasa dengan tampilnya formasi instruktur jago – baik protagonis maupun antagonis – dan sejumlah inovator gres. Orang-orang ini pun tiba-tiba jadi penentu permainan dan nasib pemain. Padahal saat masih jadi pemain, mereka nyaris tak terdengar, atau paling hebat ya biasa-biasa saja.

Tengok saja lima atau tujuh pelatih papan atas di Premier League. Antonio Conte, Mauricio Pochettino, dan Josep Guardiola cuma pemain biasa di masanya. Banyak yang sepakat dengan aku yang tidak pernah mendengar atau melihat Arsene Wenger, Juergen Klopp, Jose Mourinho apalagi Claudio Ranieri saat jadi pesepak bola. Reputasi mereka menghebat di abad renta dikala menjadi manajer.

Kejuaraan Dunia Manajer

Inggris beruntung. Di periode yang memuncak, mereka berkumpul di Premier League. Wenger gembira alasannya merasa ‘dimudakan’ lagi oleh tantangan di sisa hidupnya. Setelah Wenger (67), manajer tertua yakni Ranieri (65). Selebihnya, satu generasi di bawahnya. Malahan Pochettino (44), beda dua generasi. “Kini penentuan juara di Premier League tak melulu dilihat orang sebagai hasil kinerja para pemain,” kilahnya sambil melirik penuh makna.
Barangkali pola dan tensi persaingan Premier League kali ini melebihi level Liga Champion Arsene Wenger: Premier League Dibanjiri Ambisi
"Lex, tahukah kamu ambisi itu mirip ini!" barangkali begitu gurauannya.
Merek adalah nasib, kata ilmu marketing. Orang lebih melihat kelebihan Conte dan Guardiola di atas kekurangannya sebagai debutan. Di sepak bola kejadian kontroversial paling mudah diredam dengan reputasi. Resapilah peran Mourinho yang lagi berperan sebagai konduktor di Old Trafford. Orang lupa dengan kelemahannya hingga mendudukan Chelsea ke urutan 15 klasemen sementara musim lalu, yang membuatnya dipecat.

Fenomena mirip tapi beda realita dilakoni Ranieri. Walaupun faktual-kasatmata ia yaitu jawaranya, tetap saja kelemahannya lebih menonjol dibanding kekuatannya. Akibat dianggap ‘kecelakaan sejarah’, reputasi Ranieri tidak berubah usai membawa Leicester City menjadi juara Inggris ekspresi dominan lalu. Kesan termahal atas perbuatannya, barangkali, hanya sebagai wangsit buat mereka yang belum atau kurang berpengalaman di Inggris.

“Ada Mourinho, Conte, Guardiola, Klopp, ini sudah seperti kejuaraan dunia manajer,” seloroh laki-laki yang pada Oktober nanti genap 20 tahun menjadi manajer Arsenal. “Setiap orang akan lebih fokus lagi dan ini yang menarik. Satu hal yang Anda ketahui semenjak awal yaitu tidak semua manajer akan memenanginya. Lihatlah tahun depan, persaingan jauh lebih sengit dari yang pernah terjadi. Kami akan merasakan persaingan lebih berat." 

Kondisi ini merupakan transisi klub-klub Premier League pada keinginan dan pencapaian instan yang diburu melihat tuntutan pendukung, pemilik, dan juga korelasi bisnis. Di benar Wenger, sekarang seluruh manajer di Premier League telah sama rata dalam gaya, teknik, dan strategi permainan. Ide-wangsit, kinerja, hingga keberuntungan di lapangan hijau yang terkecil pun akan memilih hasil selesai.

“Di dikala sorotan luas kepada kami, sebaiknya media jangan menutupi kesan siapa-siapa yang jadi pemain sebetulnya di lapangan,” harap Wenger. “Kalian terlalu berlebihan memberi porsi perhatian kepada manajer. Saya yakin yang terpenting dalam permainan sepak bola yakni kualitas dan performa pemain. Persaingan klub-klub Premier League amat kompetitif, dan mereka semua punya skuad yang andal.” (Arief Natakusumah)

(foto: provenquality/thetelegraph)

Premier League 2016/17: Medan Laga Manajer Terbaik

Apa yang paling menarik dari Barclay Premier League musim ini? Tentu banyak. Namun satu yang tak mampu dikesampingkan yaitu peran para manajer klub, yang kehadiran serta jumlahnya membuat BPL mampu-mampu disebut sebagai kompetisi paling terbaik, paling kompetitif di dunia. Hanya gara-gara persaingan gugusan pelatihnya.


Apa yang paling menarik dari Barclay Premier League musim ini Premier League 2016/17: Medan Laga Manajer Terbaik
Sebut saja barisan ahli seni manajemen yang belum apa-apa telah mengisi seperempat lahan persaingan. Mulai si gaek Arsene Wenger (Arsenal), Josep Guardiola (Manchester City), Jose Mourinho (Manchester United), Antonio Conte (Chelsea), hingga Juergen Klopp (Liverpool). Lima manajer kelas tuna dari world class club. Perlu diperhatikan, tak satupun yang orang Inggris!

Belum lagi yang kelas kakap nan berpengalaman jago. Di sini malah bakal lebih sesak pergerakannya karena dihuni tujuh orang, yakni Claudio Ranieri (Leicester City), Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur), Slaven Bilic (West Ham United), Walter Mazzarri (Watford), Claude Puel (Southampton), David Moyes (Sunderland), serta Ronald Koeman (Everton).

Sudah 12 manajer bukan? Nah delapan sisanya bisa ditebak kelasnya. Kelas yang perlu mukjizat kalau hingga juara. Jangan salah, mereka tetap bukan kelas kroco, sebut saja masih kelas pematangan. Sebut lima dulu: Mark Hughes (Stoke City), Alan Pardew (Crystal Palace), Francesco Guidolin (Swansea City), Aitor Karanka (Middlesbrough) dan Tony Pulis (West Bromwich Albion).

Barulah tiga sisanya benar-benar berkategori kelas masih mencar ilmu. Nama-namanya memang sulit membekas di hati. Eddie Howe (Bournemouth), Sean Dyche (Burnley), serta satu lagi siapapun yang jadi manajer anyar Hull City sepeninggal Steve Bruce. Konon Gianfranco Zola dan Roberto Martinez jadi kandidat paling serius dibanding Chris Coleman, Roy Keane, dan Mike Phelan.

Sudah terbayang tensi persaingan dan perseteruan mereka di aneka macam lahan. Adu lisan di pinggir lapangan, sindiran di jumpa pers, hingga perang kata-kata di tabloid-tabloid. Kenapa bisa demikian, katakanlah, rentan bakal terjadi? Penyebabnya cuma satu: soal reputasi. Bentrok juga bisa merambah ke kuadran tetangga.

Walau setingkat di bawahnya namun Ranieri, Pochettino, Bilic, atau Koeman rentan konflik dengan kelas di atasnya. Begitu juga sosok Hughes, Pardew, dan Pulis yang mudah gahar jikalau merasa disepelekan. Secara umum, dari 20 manajer yang berkeliaran di belantara Premier League, lebih dari separonya dijejali reputasi, budbahasa, huruf, hingga CV yang aduhai.

Pendek kata, begitu peluit keberangkatan demam isu ini ditiup, Sabtu 13 Agustus 2016, sosok dan kinerja manajer jadi perhatian awak media. Khayalak ramai juga mulai sadar bukan zamannya lagi melulu memberi atensi kepada bintang. Mesti disadari bahwa kenikmatan menonton bola yang diperagakan pemain berasal dari sentuhan, perubahan, dan strategi sang koreografer tim.

Namun kehebatan paradigma yang kian menghebat itu mesti dibayar mahal. Kini sebagian publik Inggris agaknya pantas masygul pada realita kompetisi saat justru makin dibanggakan. Kenapa begitu? Tengok saja kuantitas dan kualitas manajer pribumi yang juga semakin terseok-seok. Vonis hampir niscaya diketuk mengingat mustahil Pardew, Howe, dan Dyche – ketiga pribumi itu – menjadi juara Premier League isu terkini ini.

Intisari Kompetisi

Ironisnya, jumlah pelatih asal Inggris kalah jumlahnya dengan Italia yang diwakili Ranieri, Conte, Mazzarri, dan Guidolin. Hampir semua negara teras Eropa punya wakilnya di Liga Inggris. Wenger dan Puel (Prancis), Guardiola dan Karanka (Spanyol). Lalu ada Hughes dan Pulis (Wales), Mourinho (Portugal), Klopp (Jerman), Koeman (Belanda), Bilic (Kroasia), Moyes (Skotlandia); termasuk satu-satunya wakil Amerika Latin, Pochettino (Argentina).

Dugaan sementara yakni Premier League ekspresi dominan ini berisiko semakin tidak jelas lagi, lebih parah dibanding sebelumnya. Jika kemarin Ranieri yang bikin dunia tercengang, mungkin besok semakin banyak calonnya. Sikap mental nan empatik ala Ranieri barangkali jadi contoh pesaingnya untuk memperhatikan kembali ‘khittah’ dasar prinsip kepelatihan: disiplin dan tegas.

Sebuah fakta tak terbantahkan, tidak ada lagi kemapanan di Tanah Air leluhur sepak bola. Sikap underestimate ratusan tahun yang bertahan mematok klub-klub gurem tidak mampu juara, kini tidak mengecewakan telah menggetarkan sukma siapapun yang merasa hero. Terima kasih pada Ranieri dan Leicester City-nya. Itu yakni pandangan baru yang mahal bagi para manajer non-kelas tuna dan terus ke bawahnya lagi.

Porsi duel antar bos tim di Premier League kini semakin luas diperhatikan. Dengan lima manajer kelas tuna dan tujuh kelas kakap, media massa dijamin tidak akan pernah kehabisan kisah. Setiap dikala publik menerima sajian drama. Dari jadwal 2016/17 rilisan Juni silam (lihat boks), bentrok pertama manajer papan atas dilakoni Arsene Wenger vs Juergen Klopp di pekan perdana.

Publik dunia lebih menunggu bentrok kedua Jose Mourinho vs Pep Guardiola, era si Biru datang ke Old Trafford, 10 September. Melihat tampang keduanya, ingatan orang pada El Clasico menyeruak. Mou akan melakoni ujian berat 15 dan 22 Oktober alasannya adalah harus tiba ke rumah Klopp dan Conte berturut-turut! Sebaliknya Pep malah kedatangan Conte dan Wenger secara beruntun.

Secara singkat, 20 sabung kelas super-berat manajer kelas tuna, menjadi intisari kompetisi Premier League yang bergotong-royong. Kelimanya punya karakteristik utama yang berbeda. Conte penyanjung disiplin, Mou si penggila keberanian, Klopp si penuntut kesepakatan, dan Pep pengidam gairah, serta Wenger yang penggila improvisasi. Dalam sisi prinsip, intensitas Conte dan Mou similar. Sementara Pep mirip dengan Wenger.

Dari kelima manajer ini, Conte dan Klopp diuntungkan oleh absennya Chelsea dan Liverpool di langgar Eropa. Peluang mereka untuk mengikuti kiprah Ranieri sebagai England Champions isu terkini kemudian ada di sini. Sayangnya bersama Pep, Conte diduga bakal kesulitan saat bersua dengan deretan manajer kuadran lain seperti Pochettino, Bilic, Moyes atau Koeman bahkan Pardew yang berpengalaman di Premier League.

Reputasi Bilic diramal lebih mencuat musim ini. Dengan stadion baru nan mewah, Olimpik, West Ham berpotensi meraih kejayaan dari sisi prestasi dan tentu saja bisnis. Tampil di arena berkapasitas 50.000 penonton memperlihatkan warna lain dalam spirit permainan. Dan pemain macam Dimitri Payet atau Andy Carroll dikenal sering menghebat jikalau tampil di stadion lebih besar.

Fokus pada Wenger kali ini juga jauh lebih besar. Medio Oktober ia resmi 20 tahun berkuasa di Arsenal. Ranieri diduga kembali ke kuadrannya sebagai instruktur biasa. Statusnya sebagai juara tidak akan mengubah persepsi orang. Battle of the Bosses terang semakin menyemarakkan Premier League 2016/17 dibanding Liga Eropa lainnya yang masih mengandalkan kebintangan pemain. (Arief Natakusumah)


“20 Heavyweights Match”



Jadwal
Duel Manajer        
Minggu 14 Agustus 2016
Arsene Wenger vs Juergen Klopp
Sabtu 10 September 2016
Jose Mourinho vs Pep Guardiola
Jumat 16 September 2016
Antonio Conte vs Juergen Klopp
Sabtu 24 September 2016
Arsene Wenger vs Antonio Conte
Sabtu 15 Oktober 2016
Juergen Klopp vs Jose Mourinho
Sabtu 22 Oktober 2016
Antonio Conte vs Jose Mourinho
Sabtu 19 November 2016
Jose Mourinho vs Arsene Wenger
Sabtu 3 Desember 2016
Pep Guardiola vs Antonio Conte
Sabtu 17 Desember 2016
Pep Guardiola vs Arsene Wenger
Sabtu 31 Desember 2016
Juergen Klopp vs Pep Guardiola
Sabtu 14 Januari 2017
Jose Mourinho vs Juergen Klopp
Rabu 1 Februari 2017
Juergen Klopp vs Antonio Conte
Sabtu 4 Februari 2017
Antonio Conte vs Arsene Wenger
Sabtu 25 Februari 2017
Pep Guardiola vs Jose Mourinho
Sabtu 4 Maret 2017
Juergen Klopp vs Arsene Wenger
Sabtu 18 Maret 2017
Pep Guardiola vs Juergen Klopp
Sabtu 1 April 2017
Arsene Wenger vs Pep Guardiola
Rabu 5 April 2017
Antonio Conte vs Pep Guardiola
Sabtu 15 April 2017
Jose Mourinho vs Antonio Conte
Sabtu 6 Mei 2017
Arsene Wenger vs Jose Mourinho

20 Manajer Premier League 2016/17 


Manajer
Klub
Usia
Negara
Durasi
Pola Main
Eddie Howe
Bournemouth    
38   
Inggris
3 Tahun 10 Bulan 
4-2-3-1  
Aitor Karanka     
Middlesbrough  
42   
Spanyol
2 Tahun 9 Bulan  
4-2-3-1  
Sean Dyche         
Burnley
45   
Inggris
3 Tahun 9 Bulan  
4-4-2    
Slaven Bilic       
West Ham United
47   
Kroasia
1 Tahun 2 Bulan  
4-2-3-1  
Jürgen Klopp       
Liverpool
49   
Jerman
11 Bulan
4-2-3-1  
Mark Hughes        
Stoke City
52   
Wales
3 Tahun 3 Bulan  
4-2-3-1  
Alan Pardew        
Crystal Palace
55   
Inggris
1 Tahun 7 Bulan  
4-2-3-1  
Tony Pulis      
West Bromwich
58   
Wales
1 Tahun 8 Bulan  
4-2-3-1  
Francesco Guidolin
Swansea City
60   
Italia
8 Bulan
4-2-3-1  
Claudio Ranieri    
Leicester City
64   
Italia
1 Tahun 1 Bulan  
4-2-3-1  
Arsène Wenger      
Arsenal
66   
Prancis
19 Tahun 11 Bulan
4-2-3-1  
Pep Guardiola      
Manchester City
45   
Spanyol
3 Bulan
4-2-3-1  
Antonio Conte      
Chelsea
47   
Italia
2 Bulan
3-5-2    
Ronald Koeman      
Everton
53   
Belanda
2 Bulan
4-2-3-1  
José Mourinho    
Manchester United 
53   
Portugal
2 Bulan
4-2-3-1  
Mike Phelan     
Hull City
53   
Inggris
1 Bulan
4-4-2    
David Moyes        
Sunderland
53   
Skotlandia
1 Bulan
4-2-3-1  
Claude Puel         
Southampton    
54   
Prancis
1 Bulan
4-1-3-2  
Walter Mazzarri    
Watford
54   
Italia
2 Bulan
3-5-2    
Mauricio Pochettino
Tottenham Hotspur
44
Argentina
2 Tahun 2 Bulan
4-2-3-1  
 
(foto: twitter.com)

Thursday, August 4, 2016

Bursa Juara Premier League 2016/17: Menantang Impian Menentang Peluang

Dongeng yang dilakoni Leicester City musim lalu berdampak luar biasa. Bukannya malah yummy, formasi bandar taruhan di Inggris kali ini jauh lebih pusing dalam mematok angka-angka kemungkinan dan juga tentunya, nilai taruhan. Siapa yang paling favorit menjuarai Premier League 2016/17 jawabannya yakni tidak bisa ditebak!


Dongeng yang dilakoni Leicester City musim lalu berdampak luar biasa Bursa Juara Premier League 2016/17: Menantang Harapan Menentang Peluang
Patokan bursa taruhan juara Premier League 2016/17. Lebih dinamis.
Bayangkan, hanya untuk memfavoritkan saja sudah repot, kewalahan, bahkan cenderung tidak percaya diri lagi untuk memilih probabilitasnya. Contohnya Sky Bet. Pada 2015/16, mereka mematok Leicester berada di peringkat terakhir dengan probabilitas 5000/1. Artinya, dari 5.000 orang atau katakanlah satu kampung atau satu kelurahan, hanya seorang saja yang yakin The Foxes bisa meraih juara!

Namun kenyataannya terbalik setelah-habisnya, pasukan Claudio Ranieri malah memecahkan ‘rekor dunia’ sebagai tim paling gurem yang sanggup jadi juara. Saking kapoknya, Sky Bet kini menyatakan bahwa Premier League 2016/17 merupakan ekspresi dominan yang paling belum bisa ditebak.

Sinyal itu mampu dilihat dari enam klub yang dielus-elus menjadi juara dengan probabilitas tipis. Empat dari sembilan orang (9/4) diyakini Sky Bet mematok Manchester City sebagai kandidat juara paling serius. Di belakang The City adalah sang tetangga Manchester United (3/1), lalu Chelsea (5/1), Arsenal (6/1), Liverpool (8/1), dan Tottenham Hotspur (10/1).

Keenam klub ini masuk dalam kategori utama, calon juara paling serius. Lha terus ke mana sang juara bertahan Leicester City? Sebagai pemilik anomali juara, klub yang dimiliki orang Thailand itu terlempar di segmen khusus sebagai ‘kuda hitam’ calon juara dengan angka 25/1. Sejujurnya iman pasar pada The Foxes naik drastis. Jika setahun lalu setiap 5.000 orang yakin mereka juara, kini tinggal 25 orang saja.

Atas peran barunya yang menantang impian dan menentang peluang, bursa taruhan untuk Leicester itu juga mencerminankan posisi uniknya. Apa itu? Mereka dipatok sebagai klub yang paling ‘diharapkan’ terhindar dari degradasi di animo ini. Pasalnya sehabis mereka, probabilitas untuk klub-klub lainnya mampu dibilang terjun bebas.

Gerombolan biru yang jadi pujian kota berpenghuni 330 ribu jiwa memang fenomenal. Mereka mampu mengubah fakta dan realita, secara keseluruhan. Dengan julukan baru sebagai ekspresi dominan yang paling terbuka sepanjang sejarah, dari satu sisi gambaran Premier League kian terangkat. Kini banyak orang, terutama yang tidak ‘tahu bola’ lebih berani berinvestasi di bursa taruhan.

Fenomena Leicester jelas amat langka. Melihat konsistensi yang diperlihatkan The Foxes sepanjang 2015/16 kemudian, kita seperti terhenyak dan terhentak oleh kinerja nyata manajer Claudio Ranieri dan stafnya. Mereka mengkreasi sebuah tim ulet dengan unit Istimewa. Mulai dari kiper Kasper Schmeichel, kapten Wes Morgan, jangkar dobel N’Golo Kante dan Danny Drinkwater, sampai tandem akhir hayat Riyad Mahrez dan Jamie Vardy.

Manajer Baru
Men in debuts: Josep Guardiola dan Antonio Conte.
Apakah para petaruh sekarang memburu posisi Hull City atau Burnley yang dipatok 5.000/1 di animo ini? Tentu tidak semudah itu. Walau dibantu oleh dongeng, namun akal umum dan aspek teknis tetap dipakai untuk memilih kiah sukses sebuah tim di kompetisi. Dongeng Leicester bukan salah masyarakat atau pengamat, tetapi bandar taruhan. Untuk masalah Hull boleh jadi para bandar benar jikalau melihat pelatih tidak terperinci dan bujet transfer mereka.

Kecenderungan orang untuk menjagokan underdog memang selalu ada. Hebatnya itu kebanyakan dilakukan bukan oleh pasar, bandar, atau pengamat, tetapi masyarakat awam. Mereka nothing to lose dengan sikapnya alasannya tidak harus menanggung kredibilitas atau reputasi. “Kami memberikan Burnley 5.000/1, namun volume yang datang mengejutkan karena dengan menaruh 10 pound, mereka juga berharap Burnley akan menjadi juara,” ucap seorang juru bicara Sky Bet.

“Pencapaian luar biasa Leicester yang dipatok 5 pound di ekspresi dominan lalu, kini telah mengubah tarif paling dasar dan volume taruhan di isu terkini ini. Satu hal lagi yang menggembirakan, dan jadi keinginan konsumen adalah kedatangan manajer gres,” tambah orang itu lagi. Seperti dipahami, pemain dan bintang baru selalu lahir dari bursa transfer. Seperti halnya strategi dan strategi, bursa transfer juga lahir dari keputusan manajer klub.

Pasar menyepakati klub yang paling dijagokan menjuarai Premier League ekspresi dominan ini yaitu Manchester City. Sedikit di bawah mereka, Manchester United. Dua manajer gres, dua taktik baru, dan sejumlah bintang segar yang muncul dari jendela transfer. Bahkan tidak sedikit yang dibalik, United yang utama karena ‘menganggur’ di Liga Champion dan faktor ‘pengalaman’ Jose Mourinho.

Kedatangan Pep Guardiola tentu bakal mengubah permainan The City jauh lebih genit dan seksi dibanding zamannya Manuel Pellegrini. Darah segar juga berhamburan dari kubu Etihad melihat Ilkay Gundogan, Nolito, atau Leroy Sane. Begitu juga alasan United dijagokan. Ada Paul Pogba, Zlatan Ibrahimovic, Henrikh Mkhitaryan, hingga Eric Bailly. Jangan lupakan juga Chelsea dengan Antonio Conte-nya, seorang instruktur bermental juara, yang akan memulai debutnya di Premier League.

Meski jadi debutan di Premier League, namun karena diwarisi skuad andal dan menerima sangu tidak mengecewakan gede dari Roman Abramovich untuk belanja pemain, sulit bagi orang atau pasar mencoretnya dari bursa juara. Hadirnya dua tenaga baru, N’Golo Kante dan Michy Batsuayi, makin melengkapi kekuatan.

Saking ingin buru-buru mengemas timnya lebih dini, seperti halnya United, The Blues juga harus panic buying. Walhasil kerugian yang didapat. Kante yang harga pasarannya 17 juta pound dibeli 30,43 juta pound. Batsuayi pasarannya cuma 12,75 juta pound namun mereka membayar 33,15 juta pound pada Olympique Marseille. Hanya Arsenal, Liverpool, dan Tottenham yang masih mengedepankan nalar sehat kala mengarungi di bursa transfer.

Memang orang selalu menyukai kejutan. Namun perlu diingat, jikalau kejutannya terlalu besar, sangat besar, justru menyulitkan pikiran juga karena terlalu berat dicerna logika sehat. Pendek kata, sekarang pasar lebih bergejolak dari ekspresi dominan lalu alasannya masyarakat lebih bernafsu menanti impian dan kejutan, dua motivasi terkuat dalam pencapaian dan kehidupan. Asal risiko dan konsekuensi kalau tidak muncul juga siap ditanggung, bebas-bebas saja. (Arief Natakusumah)

(foto: skysports/espn)