Wednesday, December 6, 2006

Menanti Duet Blatter-Platini

"SAYA lahir di sepak bola. Ayah aku pesepak bola yang amat cantik, mirip halnya orang Italia yang selalu berangasan pada permainan cerdas ini. Sepak bola mengajarkan cara hidup bersama, cara mengembangkan jika anda lebih baik dari orang lain. Sepak bola yakni pendidikan luar biasa untuk seumur hidup."

 seperti halnya orang Italia yang selalu bergairah pada permainan cerdas ini Menanti Duet Blatter-Platini
Pasangan inovator dan stabilisator.
Belakangan, Michel Francois Platini sering memandangi kantornya yang terletak diantara Place Andre Malraux dan Musee du Louvre, museum terkenal yang diceritakan dalam novel Da Vinci Code, di jantung kota Paris. Ia tengah mencari ide sebagai bekal menghadapi duel yang memilih bulan depan. Dia juga amat berharap menerima firasat cantik bahwa tak usang lagi beliau akan pindah kantor ke Bern.

Jumat, 20 Oktober 2006, Platini mendarat di London memulai kampanyenya sebelum menuju Hongaria, Polandia, Spanyol dan Serbia. First thing first, dahulukan yang utama. Untuk itu dia harus pergi ke negeri Mother of Football dan menemui Gary Lineker dan Thierry Henry, dua moralis sepak bola lewat perbuatannya.

Langkah kaki lelaki separo baya itu terlihat cepat dikala memasuki hotel bintang lima di London. Dia menuju ke sudut ruangan hotel, sebuah private dining room. Malam itu Platini mengenakan setelan hitam berjiwa a life-and-soul dan amat klop dengan gestuur-nya yang humoris dan penuh enerjik.

"Thierry, saya memerlukan tunjangan kamu karena rekor saya sebentar lagi akan kau patahkan," sergah Platini usai menyalami Henry. "Wah, ini akan jadi buruk. Bayangkan, bila aku sudah kalah dari kau, berarti isi kepala aku ialah kau! Ah, lihatlah, rambut saya mulai banyak yang bubuk-bubuk tapi ingat, saya bukan figur 20 tahun lalu. Makara inikah saatnya aku jadi presiden, tidak?"

Bagi yang masih ingat betapa cerdiknya ia di Juventus atau di Les Bleus saat mengatur serangan, mengumpan, menendang dan menguasai lini tengah, momen itu bak nostalgia. Selang 20 tahun, ternyata khayalan Platini tetap inspiratif, sulit ditangkap apalagi ditebak. Tipikal jenius. "Anda tahu mengapa saya melakukannya?"

Bak tengah memburu gawang lawan, laki-laki kelahiran 21 Juni 1955 itu terus memacu seluruh imajinasinya. Dengan bakir Platini menempatkan siapa dirinya kala menjelaskan lahirnya peraturan pelarangan handling-pass atau back-pass"Selama 15 tahun aku tak pernah berhenti berlari! Saya kejar bola di kaki bek kiri... ia mengoper bola lalu ditangkap kiper. Saya kejar bola yang dikuasai bek kanan... bola dioper lagi dan ditangkap kipernya. Sejak itu aku bersumpah, andai aku ada di FIFA kelak, saya akan larang cara itu."

Impiannya terkabul, itu terkuak usai World Cup 1990. Sepp Blatter, saat itu sekjen FIFA, menelponnya untuk mendiskusikan kekecewaan pada Piala Dunia yang paling cekak gol sepanjang sejarah itu. "Ini yang pertama aku lakukan. Tiada lagi back-pass," ucap Platini yang gantung sepatu pada Juni 1987 di Juventus.

Bisa jadi Platini menganggap pemilu UEFA sebagai sebuah akhir Piala Eropa dan, lawannya terperinci: Lennart Johansson! Oleh alasannya adalah itu 27 Januari 2007 patut ditunggu. Saatnya melihat sebuah pertarungan antara kreator andal kontra pengatur ulung; seorang fantasista yang dibesarkan klan Agnelli di tanah Romawi versus ketegaran ala Viking.

Yang lebih bau tanah butuh kecerdasan sepak bola sejati.
Seperti ketika main di Juve, imajinasi dan visi selalu menjejali benak Platini, syarat seorang fantasista. Tak heran jika Blatter amat mengandalkan anak Aldo Platini dan cucu Francesco Platini yang asli Italia ini sebagai narasumber periode meletupkan wangsit-idenya di sepak bola, A to Z.

Pemain terbaik Eropa dan dunia 1984 dan 1985 itu sempat bercerita ihwal periode kecilnya yang sangat menghipnotis contoh pikirnya kini. Pada waktu usia 6 tahun, beliau diajak oleh ayahnya menonton pertandingan yang diikuti oleh Ladislao Kubala, bintang Barcelona masa silam.

"Ini ialah hari yang mengubah pandangan saya pada sepak bola. Pada satu momen di lini tengah, Kubala menerima bola dari kanan dan ia pribadi mengoper kepada temannya di sebelah kiri, tanpa melihat! Dan aku bilang 'Papa, bagaimana dia mampu melihat temannya itu' Lalu ayah aku menjawab 'Sebab beliau sudah melihat sebelumnya'. Peristiwa ini tertanam di kepala saya sampai 30 tahun kemudian," terang Platini yang idenya menambah dua ajudan wasit untuk memastikan offside itu masih digodok FIFA.

Aldo Platini ialah seorang guru matematika. Dia dipengaruhi disiplin ilmunya saat mendidik anaknya. Berpikir mudah, jangan basa-kedaluwarsa. Lakukan dengan praktis, tidak bertele-tele. Dia yang mengajari Michel berlatih dengan mata ditutup untuk menajamkan inspirasinya kolam pahlawan silat. "Ada jutaan pemain yang punya teknik dan fisik lebih baik dari saya. Namun saya lebih terlatih dalam membaca permainan dan mengubah permainan," tambah wapres FFF (PSSI-nya Prancis) itu.

Di mata Platini, semenjak dipimpin Lennart Johansson mulai 1990, kondisi sepak bola makin carut marut yang mengubah cita rasanya. Hal-hal kecil bermunculan yang berandil menggembosi nilai sepak bola. Misalnya soal nomor 10. "Selama 100 tahun, siapapun yang ditunjuk menggunakan nomor 10, maka dia identik sebagai seorang pengatur permainan."

Terlebih untuk sesuatu yang besar. Eksplorasi membabi buta siaran televisi sejak 1992 - ditandai dengan kelahiran Liga Champion dan English Premier League - ikut mengubah nafsu dan ambisi orang-orang yang tak mengerti sepak bola selain untuk mencari duit semata. Kenapa ini bisa terjadi?

"Karena kita dipimpin tanpa kepemimpinan yang cukup besar lengan berkuasa. Kita harus dituntun oleh orang yang faham sepak bola. Kita perlu menata lagi organisasi, alasannya bila tidak sepak bola akan kehilangan daya tariknya. Eropa yakni garda terdepan untuk membenahi itu semua!" ujar eks pelatih nasional Prancis 1988-1992 ini.

Platini punya lima planning besar; menyatukan faksi-faksi yang berseteru; mengembalikan kekuasaan kepada masing-masing presiden federasi sepak bola nasional; memperkuat solidaritas sesama anggota federasi; mendesak Uni-Eropa membuat RUU yang melindungi talenta-bakat muda; dan menata kembali kompetisi Eropa khususnya Piala UEFA, Piala Eropa dan Piala Intertoto.

"Klub dan tim nasional harus menaati hukum dan mengontrol globalisasi. Saya bukan calon yang akan memecah belah keadaan, tapi sesesorang yang akan mengadaptasi evolusi sepak bola di periode 21 tanpa harus mengubah prinsip-prinsip permainan itu sendiri," tegas bekas kapten Les Bleus yang punya rekor 41 gol dari 72 partai. "Diskusi bukan untuk menetapkan era depan sepak bola, tapi bagaimana memenuhi rasa tanggung jawab pada sepak bola," kata Platini yang tak tabah ingin membenahi rasisme, xenophobia, doping, dan taruhan ilegal.

"Saya ialah seorang pimpinan. Demi bola, aku rela tinggalkan sekolah pada usia 16. Saya bukan seorang pengacara atau seorang penyandang dana. Saya cuma butuh bantuan sebuah tim mahir yang bekerja di belakang saya. Jika saya jadi presiden, anda-anda akan naik!" sergah Platini.

"Hanya seseorang yang pernah merasakan bermain di level puncak saja yang bisa mengerti kami. Saya tak mau berpolitik, tapi saya pikir kami wajar mendukung Michel Platini," kata Henry tanpa basa-kedaluwarsa. "Modal ia bukan lewat statusnya, tapi lebih kepada kecintaannya pada permainan ini," sambung Lineker.

Jika Platini sukses menduduki bangku bos UEFA, berarti dia menjadi orang terkuat nomor dua di dunia sehabis Sepp Blatter, mentor sekaligus pendukung utamanya. Hampir mampu dipastikan Blatter akan bekerja keras untuk membantu kepindahan kantor Platini di Bern, yang cuma berjarak beberapa menit dari markas besar FIFA di Zuerich. 


(dimuat di Harian Kompas, Jumat 8 Desember 2006)

(foto: naijasilvergold/whoateallthepies)

Wednesday, October 18, 2006

Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs

Jantungnya jadi berdegup keras usai beliau menerima telpon dari seseorang di tengah malam buta. Seketika itu emosinya bak dihantam turbulence hati yang tak terduga, matanya terlihat berair begitu orang yang mengaku bernama Keith Edelman menyelesaikan maksudnya di seberang sana.
Jantungnya jadi berdegup keras usai ia menerima telpon dari seseorang di tengah malam buta Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs
Acara puncak perpisahan dengan Stadion Highbury (1913-2006).
Malam hari penghujung April 2006, Roger Harry Daltrey tak kuasa menahan kenangan abad lalu. Memori kejayaan bersama Pete Townshend, John Entwistle dan Keith Moon ketika mengusung aliran progressive rock lewat grup musik The Who di abad 1970-an, kerap kali campur aduk dengan masa keemasan The Old Double. Ketika itu The Gunners menjuarai double-winner 1970/71 dan Piala UEFA 1969/70 sebagai kesebelasan paling progresif di eranya di bawah garapan manajer Arsenal periode itu, Bertie Mee.

Dia masih ingat gugusan nama-nama itu. Nama-nama yang memberinya kesenangan dan kenikmatan beraktivitas di luar grup band. Pat Rice. Peter Storey. George Armstrong. Peter Simpson. Jack Kelsey. John Radford. David O’Leary. Liam Brady. Frank Stapleton the moody striker.

Di depan para rock-mania, menyebut pria berusia 62 tahun ini sebagai salah satu ikon musik cadas klasik dunia, rasanya tak diharapkan lagi. Yang terbijak adalah menikmati tarikan vokal dan petikan gitarnya serta mengenang kiprahnya selama empat dekade berkecimpung di dunia rock. Tapi satu hal, yang kebanyakan tak didengar, mungkin ini: dia yakni a huge Arsenal fan, seorang pencinta Arsenal karatan berkadar luar biasa. Yang jadi anggota resmi “Gunnersaurus” semenjak 1980-an. Yang tak pernah putus membeli tiket terusan di Highbury sejak 1994.

Yang selalu menyisihkan waktu untuk mengetahui hasil pertandingan dan kabar apapun soal Arsenal di manapun berada. Sekilas, rekor ini sudah cukup bagi seorang managing director salah satu klub terkaya di Inggris membidik sekenanya atas dasar apresiasi. “Tadinya kami sudah sangat bahagia jika beliau bisa hadir sebagai bab dari upacara penutupan,” saya Edelman, orang terkuat ketiga sehabis Peter Hill-Wood dan David Dein di Arsenal.

Memang, beberapa menit sesudah dihubungi Edelman, sesudah meletupkan emosinya, giliran Daltrey yang menelpon balik. “Keith, aku akan buat lagu khusus untuk Highbury kita tercinta!” Sebuah lagu perpisahan? Highbury Highs. Mendengar itu, Edelman merasakan tubuhnya bak terbang ke awan.

Sangat Tersanjung

Menurut The Evening Standard, harian di London yang pro-Arsenal, keputusan Daltrey menciptakan lagu “Highbury Highs” sempat menciptakan pihak manajemennya kalang kabut mengingat waktunya yang berbarengan dengan persiapan tur Eropa termasuk konser di T In the Park, Skotlandia, dan London’s Hyde Park.
Jantungnya jadi berdegup keras usai ia menerima telpon dari seseorang di tengah malam buta Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs
Roger Daltrey dan Pete Townshend, pentolan The Who.
Apalagi Daltrey dan Townshend juga tengah dalam proyek penyelesaian album teranyar The Who, atau yang pertama sehabis 25 tahun vakum, Endless Wire. Namun melihat Daltrey datang-datang jauh lebih enerjik, lebih agresif dari biasanya, rekan-rekannya tak bisa berbuat banyak kecuali mendukungnya.

“Aku lebih bersemangat melakukan ini bahkan dibanding ketika tampil di (pameran) Woodstock,” aku Daltrey yang sekarang bersama gitaris Pete Townshend mengusung nama The Who setelah maut pemain drum Keith Moon (1978) dan pemain bas John Entwistle (2002). Selain itu Daltrey menjamin mereka akan tetap membagi waktu. “Dia sangat tersanjung saat ditanya. Hatinya memang sudah menyatu dengan Arsenal, sehingga seketika itu pula ia terlihat sangat serius di studio,” ucap seorang rekannya.

Yang luar biasa, tiga hari sebelum pagelaran, di Angel Studios Daltrey cuma butuh waktu 10 menit untuk menulis lirik Highbury Highs. Ia juga bersungguh-sungguh saat latihan bersama iringan musik The Romford Drum and Trumpet Corps, sebuah kelompok marching grup musik tertua di Inggris. “Aku merasa amat tersanjung mampu terlibat di Highbury Farewell meski hatiku terasa pilu sebelum mendatangi stadion itu terakhir kali. Lagu Highbury Highs inspirasinya muncul dari kenangan pribadiku pada stadion itu,” tutur pentolan grup musik legendaris beraliran rock dan proto-punk ketika itu.

Loyalitas Daltrey pada Arsenal sulit diragukan orang jika diketahui bagaimana ia selalu mengatur waktu untuk hadir di Highbury tiap selesai pekan. Atau dikala memutuskan pergi mendadak ke Paris demi mendukung Arsenal di simpulan Liga Champion 2005/06 melawan Barcelona. Harapannya agar Arsenal lebih sering memberi kesempatan bagi pemain muda, sedikit banyak telah direalisasikan oleh Arsene Wenger. Daltrey juga pernah mengungkapkan kerisauannya di depan pers perihal kekuatan The Gunners yang dinilai masih membutuhkan bek dan gelandang bertahan yang tangguh.

“Rasanya memalukan jikalau Arsenal tak bisa membeli pemain kelas dunia. Tetapi ketika itu saya mendukung keputusan Arsene Wenger yang menjual Overmars dan Petit ke Barcelona demi uang. Keduanya dibeli 10 juta pound tapi mampu dijual 30 juta pound. Luar biasa!” jelas Daltrey yang menyukai gaya permainan Robert Pires, Bisan Lauren, Marc Overmars dan Emmanuel Petit.

“Pires menurutku gelandang ahli. Namun duet Vieira dan Petit yang terbaik saat itu di seluruh negeri. Ketika Manu pindah, dampaknya lebih terasa ketimbang kehilangan Overmars. Sejak ketika itu lini tengah Arsenal sudah mulai tidak solid lagi,” kata Daltrey coba menganalisis.

Highbury Highs

Kecintaannya pada Arsenal, yang dianggapnya sebagai wakil Londoners sejati di sepak bola, cukup beralasan. Daltrey memang dilahirkan di London, tepatnya di Chiswick, pada 1 Maret 1944. Oleh kedua orangtuanya, Harry dan Irene, bekerjsama semenjak kecil beliau diarahkan biar bisa perguruan tinggi hingga ke universitas.
Jantungnya jadi berdegup keras usai ia menerima telpon dari seseorang di tengah malam buta Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs
Roger Daltrey (kanan), superstar grup musik The Who is a Gooner.
Pembelotan jalan hidupnya dimulai pada 1959 kala beliau bertemu Townshend dan Entwistle yang gotong royong mendirikan band The Detours, cikal bakal The Who. Sejak itu, bukan saja sekolahnya yang merana, eksistensinya pada sepak bola juga mulai luntur. Apalagi sesudah nama The Who makin ngetop ke seluruh dunia usai berturut-turut meluncurkan album My Generation (1965), A Quick One (1966), Tommy (1969) dan puncaknya Who’s Next (1971) yang menduduki album nomor satu di Inggris.

Popularitas dan karier yang melesat sepanjang periode 1970-an, menciptakan Daltrey terpaksa melupakan The Gunners karena ia harus lebih sering tinggal di California, AS. Namun di sela-sela kesibukannya, bila tengah berada di London, Daltrey tetap menyempatkan diri menonton klub kesayangannya.

Gairahnya pada sepak bola kembali memuncak ketika Jason lahir. Dan melalui Jason pula, anak bungsunya dari istri kedua, Heather Taylor, Daltrey kembali mencintai Arsenal. “Sejak dia kecil, saya sering mengajaknya ke Highbury. Kalau saya lagi di Los Angeles, Jason selalu menelpon untuk memberi kabar terakhir pertandingan Arsenal,” tutur Daltrey yang kembali ditemani Jason ketika datang terakhir kali ke Highbury.

Jantungnya jadi berdegup keras usai ia menerima telpon dari seseorang di tengah malam buta Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs
Jumpa pers perkenalan Highbury Highs.
Highbury, Minggu 7 Mei 2006, Daltrey menjalani pengalaman emosionalnya sekaligus menjadi saksi hidup kejadian bersejarah. Highbury's Final Salute dimulai sesudah Arsenal mengakhiri pertandingan terakhirnya di stadion bergaya Art Deco tersebut. Arsenal vs Wigan yaitu drama dua babak dengan empat episode. Menang 4-2. Trigol Thierry Henry. Kekalahan Spurs 1-3 dari West Ham. Meraih tiket terakhir ke Liga Champion.

Menurut Edelman, Farewell to Highbury merupakan kombinasi kesedihan simpulan sebuah era dan optimisme kurun depan. Oleh sebab itu temanya dibikin Istimewa: “I Was There”. Daltrey pribadi tanggap. Sebelum membawakan Highbury Highs, ia mengajak 38.359 hadirin menyanyikan tembang historis My Generation. “Things they do look awful cold,” begitulah Daltrey melantunkannya dengan penuh hikmat. Uniknya, suara satu stadion membahana dengan koor, “Champions League before I get old!”
Jantungnya jadi berdegup keras usai ia menerima telpon dari seseorang di tengah malam buta Roger Daltrey: Semangat Highbury Highs
Daltrey bilang ke Wenger: Please Champions League before I get old.
Liga Champion sebelum aku jadi bau tanah. Seperti harapan pendukung Arsenal, begitu juga sepertinya mimpi Roger Daltrey. Ia pasti ingin sekali melihat Arsenal merengkuh juara Eropa. Andai jadi kenyataan, sungguh sebuah kebahagiaan luar biasa bagi Daltrey. Barangkali, pada saatnya ia akan menyanyikan lagi lagu Athena dari album It’s Hard yang pernah meledak pada 1982.

Mengapa Athena? Tidak lain dan tidak bukan karena akhir Liga Champion musim ini akan berlangsung di ibukota Yunani tersebut. Simak lirik Athena yang seharusnya menjadi ide berpengaruh pasukan Arsene Wenger mengarungi kompetisi Eropa.


"Athena, my heart felt like a shattered glass in an acid bath
"I felt like one of those flattened ants you find on a crazy path
"My heart starts palpitating when I think my guess was wrong
"But I think I'll get along
"I'm happy, I'm ecstatic"

Mungkinkah hal itu menjadi kenyataan? Nantikan saja.



“HIGHBURY HIGHS” by Roger Daltrey


I've seen children grow
On this field of green
On this field of dreams
The years have passed away

I've stood side by side With London's Pride
We laughed and we cried
We lived another day


To those Highbury Highs under North London skies
Yes we will remember those Highbury Highs
Those Highbury Days and those Highbury ways
Yes we will remember those Highbury Days


From Rocky, Ray and Raddy
To Dennis, Chippy, Paddy
The Rock of Tony Adams
The Joy of Charlie George
Chapman, Graham, Wenger
Yes we will remember
Henry, Bastin, Wright
And those record breaking scores


All those Highbury Highs under North London skies
Yes we will remember those Highbury Highs
Those Highbury Days and those Highbury ways
Yes we will remember those Highbury Days


May those Highbury Highs be with you all your days
May your Highbury Highs last forever
There’s one thing that's certain when they drop the selesai curtain
Something you can bet your shirt on The Arsenal's here to stay


All those Highbury Highs under North London skies
Yes we will remember those Highbury Highs
Those Highbury Days and those Highbury ways
We will always remember those Highbury... Highbury...Highbury

Highbury... Highbury


Highbury Highs say your final goodbyes
We will always remember those Highbury Highs
Say your akhir goodbyes to those Highbury Days
We will always remember those Highbury Days
We will always remember those Highbury Days

(foto: digitalspy/arsenal.com/dailymail/flickr)

Saturday, August 12, 2006

Penyusunan Acara Kompetisi: Banyak Algoritma Yang Digunakan

Pada Kamis 22 Juni 2006, acara lengkap kompetisi Liga Primer Inggris (The English Barclay Premier League) telah dirilis FA. Jadwal itu berisi 380 tubruk yang telah disepakati dan diubahsuaikan untuk 20 klub divisi utama. Agenda penting ini akan berlangsung mulai 19 Agustus 2006 hingga 13 Mei 2007.

Pengumuman tahunan itu dilakukan di Soho Square, London, yang ialah kantor pusat The FA (Football Association). FA ialah organisasi sepak bola tertua sejagat yang punya hak veto terkuat soal sepak bola dunia di samping FIFA dan UEFA. Rilis agenda dihadiri pejabat teras FA, The Premier League Association (operator kompetisi Premier League), dan The Football League Association (operator kompetisi Championship, League One, dan League Two).

Seperti yang sudah-sudah, delegasi Football Supporter Federation (FSF) dan Kepolisian Britania Raya, ikut datang melengkapi. Acara undiandisiarkan pribadi ke seluruh Britania Raya oleh jaringan televisi BSkyB. Hampir semua media massa mengirim perwakilannya termasuk para sponsor, pengiklan, dan partner dan tentunya barisan pemegang hak siar.

Tatkala dunia dan juga Inggris sedang dilanda demam Piala Dunia 2006, keempat organisasi di atas tetap sibuk bekerja untuk mencari titik temu pertandingan demi pertandingan, terutama untuk menggelar duel-duel yang berpotensi menimbulkan konflik, misalnya laga derby (bentrok sekota).

Di bawah koordinasi FA, mereka harus menyepakati dulu jadwal-acara tertentu yang menyangkut aktivitas atau jadwal tim nasional mirip partai-partai persahabatan, penyisihan Piala Eropa 2008, kualifikasi Piala Afrika 2008, Piala Asia 2007, Piala Dunia Antarklub termasuk sabung-laga internasional lainnya. Ini masih ditambah rutinitas reguler sepak bola di Eropa dan domestik mirip Liga Champion, Piala UEFA, Piala Intertoto, Piala FA atau Piala Liga.

Selesai semua? Oh belum, sebab FAPL harus segera mengirim jadwal 'setengah matang' dulu ke 20 klub divisi utama untuk mendapatkan feed-back atau revisi. Waktunya bisa sebelum jadwal resmi diumumkan atau dikala kompetisi sudah berjalan. Di sini terbuka kesempatan bagi klub untuk bernegosiasi hari atau waktu, terutama pada langgar-tabrak midweek.

Hasilnya memang efektif, meski bikin pusing tujuh keliling pihak operator pembuat jadwal dan pemegang hak siar. Mereka harus menyunting lagi hitungan algoritma sebelumnya. Pasalnya koreksian dan penyelarasan bakal mencapai ratusan sabung. Menggeser jam kick-off satu langgar, misalnya, berbuntut panjang ke belakang. Pada hasilnya, pengaruh pemegang rights dan positioning televisi lebih berkuasa dibanding klub atau tim operator jadwal.

Faktor-faktor perubahan acara kerap disebabkan oleh hal-hal di luar dugaan seperti konser musik, akhir hayat tokoh besar, karnaval keagamaan, insiden seni, kongres partai, pemilihan umum hingga sebuah balapan kuda atau kontes anjing berskala besar. Bahkan konten dadakan seperti Breaking News ikut diantisipasi!

Sudah barang tentu big-match di kompetisi La Liga, Serie A, Bundesliga dan sebagainya pasti jadi perhitungan tersendiri. Namun ini lebih mudah diatur. Tapi bila akhir hayat tokoh atau Breaking News yang ditakutkan bisa mengubur gaung kompetisi?

Kemudian setelah dimasukkan untuk dibentuk alternatif dan alokasinya, revisi data yang berisi list and request dari seluruh 92 klub profesional (Premier League, Championship, League One, dan League Two) akan digiling secara otomatis oleh super komputer berbekal software khusus buatan Atos Origin, perusahaan operator pembuat jadwal yang telah menjadi partnership FA selama bertahun-tahun.

Kompilasi diawali dengan memilah klub-klub yang daerahnya berdekatan atau bertetangga di setiap divisi untuk mencegah semoga masing-masing tidak menjadi tuan rumah. Milsanya, amat mustahil Everton dan Liverpool akan menjadi tuan rumah. Begitu juga antara Manchester City dan Manchester United atau Arsenal dan Tottenham Hotspur serta Fulham dan Chelsea. Kompilasi model begini juga dilakukan standar di Liga Utama Eropa lainnya.

Di London, sudah niscaya tekanan difokuskan terutama pada empat klub terbesar: Arsenal, Chelsea, Tottenham Hotspur, dan West Ham United. Namun tempat jajahan Chelsea dan Fulham yang sewilayah juga jadi perhatian. Jarak Stadion Emirates dan White Hart Lane hanya berjarak 4 kilometer.

Di Liverpool, jarak stadion Goodison Park dengan Anfield pun hanya beberapa blok. Untungnya jarak kandang Manchester City dan Manchester United terbilang jauh. Old Trafford berada di luar kota Manchester, sementara City of Manchester Stadium berada di tengah kota.

Kota-kota kecil lain mirip Bolton dan Blackburn serta Newcastle dan Middlebrough punya masalah sama, namun tensi persaingannya tidak seperti klub-klub London, Manchester, dan Liverpool. Khusus di ekspresi dominan ini, pihak kepolisian mampu bernafas lebih lega karena tidak lagi mengawasi kota Birmingham habis-habisan begitu Aston Villa dan Birmingham City dipastikan terpisah karena terdegradasinya The Blues.

Hasil kompilasi lainnya akan menjamin bahwa setiap klub di seluruh divisi mustahil menjadi tuan rumah tiga kali berturut-turut. Namun meski sudah didukung software canggih, FA dan pihak kepolisian tetap dilanda kekhawatiran sebelum kompetisi sudah benar-benar usai. Lintasan kekhawatiran tertinggi mereka ada di era Boxing Day (26 Desember hingga 2 Januari). Maklum di sinilah buruknya kondisi alam, berkurangnya transportasi namun di satu sisi banyak berkumpulnya manusia. Semua itu bisa berpotensi melahirkan bencana.

(foto: talksports)

Tuesday, August 8, 2006

Intrik Jadwal: Teori Konspirasi Mourinho

Kesantunan seseorang tidak dinilai dari perlakuan ia pada temannya, tapi terhadap lawannya. Begitu sebuah pepatah gaya Inggris nan gentleman. Sayangnya tradisi itu agaknya mulai menodai sportivitas dan fairness yang jadi ciri persepak bolaan mereka. Kini bukan zamannya lagi meributkan subyektivitas wasit atau main kayu di bursa transfer sebagai sumber drama atau kecurangan, melainkan satu potensi menakutkan di era depan: skandal acara!

Kesantunan seseorang tidak dinilai dari perlakuan dia pada temannya Intrik Jadwal: Teori Konspirasi Mourinho
Roman Abramovich, Peter Kenyon, Jose Mourinho.
Kamis, 22 Juni 2006, adalah ketika yang paling dinantikan-tunggu oleh semua pelatih, semua manajer, tidak terkecuali pelatih bola terkaya di dunia: Jose Mourinho. Apa alasannya adalah? Dia menanti dengan berdegup dan emosional agenda Chelsea selama setahun ke depan. Di benaknya sudah tertera langkah-langkah apa saja yang harus dilakukannya esok, esok, dan esok sampai simpulan Mei 2007.

Konsentrasinya terkumpul tepat, hingga-hingga beliau sempat kehilangan minat duduk di depan televisi untuk menonton tubruk negaranya melawan Meksiko di Piala Dunia 2006. Ketika gol Maniche Ribeiro dan Simao Sabrosa memenangkan Portugal, emosinya tetap labil. Karena keresahan yang terus menderanya, kesudahannya ia menghubungi bosnya, Peter Kenyon, CEO Chelsea, dan juga salah satu koleganya yang besar lengan berkuasa: Pini Zahavi.

Secara parsial beliau berdiskusi dengan kedua tandem pentingnya untuk mencari secercah kepastian dari penggalan isu yang didapatkannya. Konon besok sore waktu London, dari markas FA di Soho Square, Chelsea akan diuntungkan oleh pengumuman fixtures Premier League 2006/07. 

Mourinho sudah tidak sabar menerima bocoran informasi resminya. "Yang pasti, Jose, jauh lebih baik dari jadwal animo kemudian. Tapi ingat, masih ada David yang lain," demikian suara dari dalam ponselnya. Siapa yang bicara? Pasti salah satu dari kedua kolega pentingnya.

Sebagian sudah bukan diam-diam lagi bahwa tumbangnya David Dein dari bangku wakil presiden FA, sangat menguntungkan Chelsea, dan di satu sisi, sangat merugikan Arsenal. David Dein yaitu ikon Arsenal di badan otoritas sepak bola terbesar dan paling berpengaruh ketiga sejagat sehabis FIFA dan UEFA. Namun David Gill, salah satu owner sekaligus CEO Manchester United, juga bukan tokoh yang disukai kubu The Blues.

Keesokannya, Jumat, 23 Juni 2006, jadwal Premier League demam isu depan diumumkan. Semua media massa memasang tabelnya dan memberitakan dengan versi dan persepsi masing-masing. Di sebuah rumah di London Barat, Mourinho juga sedang merincinya satu per satu, pekan demi pekan.

Aha, adu awal dan tamat Chelsea akan berakhir di Stamford Bridge. Start 20 Agustus 2006 dan finis 13 Mei 2007. Itu saja telah membahagiakannya. Saat diteliti, pekan perdana vs Manchester City dan pekan terakhir lawan Everton. Mou juga puas melihat akurasi ucapan temannya kemarin. Jadwal Chelsea memang lebih baik dibanding musim kemudian.

Buat yang rada awam soal betapa berpengaruhnya jadwal liga buat klub-klub top, papan atas, dimohon untuk menyimak juga jadwal enam matchday Liga Champion, September hingga Desember. Andai diantara itu jadwal mereka di Premier League amat 'akrab' dalam arti hanya bertemu lawan-lawan yang ringan, atau bisa juga menjadi tuan rumah, maka hal itu disebut sebagai benefit.

Buat klub-klub Big Four, yang jadi wakil Inggris di Liga Champion, bukan diam-diam lagi jika periode September-Desember ialah titik krusial pertama. Mereka paling sensitif, paling berkepentingan, paling peduli dengan rilis jadwal liga yang gres. Titik krusial berikutnya ada di periode Maret-Mei. Karena tamat Desember dan Januari dipenuhi Boxing Day dan juga arenanya Piala FA, maka berarti motif awal Mourinho sudah terjawab.

Kubu Chelsea sadar kaki tangan mereka di FA tidak kokoh. Kenyon yaitu seorang profesional dan oportunis sejati. Dia bukanlah birokrat ulung mirip dua David; Dein (Arsenal) dan Gill (Manchester United). Di tangan Kenyon, motif Chelsea sederhana: ia menjalankan arahan Roman Abramovich, yang meminta Chelsea sukses selama mungkin di Liga Champion jikalau ingin menangguk uang yang banyak dari tiket, TV, dan sponsor.

Kubu Chelsea juga tahu, motif mereka sudah dilakukan Arsenal, Liverpool, dan Manchester United bertahun-tahun. Apa buktinya? Kelanggengan ketiganya sebagai anggota Big Four lebih lama dibanding 17 klub lainnya. Satu hal lagi, dengan cara demikianlah, reputasi mereka masuk sebagai barisan klub terkaya di dunia mampu terjamin, juga tercapainya raihan prestasi. Semuanya harus diawali sempurna oleh perhitungan agenda pertandingan.

Setelah berpeluh ria berjuang di pentas Eropa, mengangkasa ratusan kilometer, beberapa bahkan ribuan kilometer, menghadapi teror mental di tanah seberang, sulit bagi pemain sekelas Thierry Henry atau manajer sekelas Arsene Wenger pun untuk mengembalikan vitalitas jiwa dan raga pasukannya, dua atau tiga hari lalu di sangkar lawan-lawan mereka di liga domestik. Ini realita yang sulit dihindari, tapi masih mampu diminimalisir.

Sekarang roda nasib berputar. Dari enam adu domestik, The Blues kepagian empat partai kandang dan dua adu tandang. Bandingkan dengan animo kemudian, di mana cuma sekali kandang tapi lima kali tandang. Buat para analis, terlebih lagi bursa taruhan, lewat agenda baru Premier League ini mereka berani ketok palu bahwa potensi Chelsea untuk mencetak hattrick, menjuarai Liga Inggris tiga kali secara beruntun amat besar.

Kerja Keras Gill
David Gill, Roy Keane, dan Alex Ferguson.
Yakinlah bahwa pesaing terbesar Chelsea di demam isu ini yaitu Manchester United. Alasannya? Sepele. Jika animo kemudian rekornya di kurun September-Desember tiga kali home dan tiga kali away, pada trend ini komposisi pasukan Sir Alex Ferguson sangat fantastis. Rekor sabung Red Devils di tiga bulan pertama Premier League ialah enam kali bermain di kandang seusai tampil di Liga Champion, alias selalu main di Old Trafford! Thanks berat atas kerja keras David Gill.

Nasib tragis dialami Arsenal, seiring sejalan dengan terdepaknya David Dein dari salah satu dingklik pimpinan di FA yang telah dijabatnya sejak tahun 2000. Kans The Gunners di kompetisi lokal terancam babak belur lantaran harus tampil di kandang lawan, enam kali berturut-turut, usai sabung Liga Champion! Meski belum niscaya alasannya harus mengikuti playoff ke putaran 32 besar, tapi perjalanan Arsenal sudah bisa diraba tingkat carut-marutnya.

Sebagian media mengulas tajam, inilah bentuk balas dendam mereka yang pernah dirugikan oleh imbas Dein di FA. Namun Chelsea belum boleh lega dengan acara gres liga. Pasalnya ada pihak yang sangat diuntungkan, dan Anda tahu itu siapa. Apalagi cibiran nyelekit khas Mou perihal agenda miring yang menguntungkan United niscaya sulit mencari timing yang sempurna diucapkan. Maklum, apa sudah siap ia meladeni sosok godfather Sir Alex?

Rotasi kursi Dein ke Gill pada 2 Juni 2006, ternyata cuma memindahkan dilema. Ibaratnya keluar kantung kiri, masuk kantung kanan. Lepas dari mulut singa, masuk ke ekspresi buaya. Atau, apalah. Komisi Jadwal Premier League, yang membuat, memutar, dan bertanggung jawab kompetisi andalan FA itu masih diketuai oleh Sir David Richards dengan tiga wakilnya: Philip Gartside (Bolton Wanderers), Rob Coar (Blackburn Rovers), dan, ini yang jadi buah bibir: David Gill (Manchester United).

Melihat komposisi di atas, rasanya satu kaki Ferguson sudah menginjak kesuksesan musim 2006/07. Uniknya, atau anehnya, hanya Liverpool yang bertahun-tahun seperti tidak pernah mau peduli pada kolusi model begitu. Naif atau tidak sadar begitu tipis bedanya.

Pada kesudahannya orang berhipotesa, apakah drama semacam ini yang menciptakan The Reds berpuasa gelar juara Liga Inggris hingga 16 tahun? Ini ironis, alasannya adalah satu-satunya klub Big Four yang belum pernah menjamah trofi Premier League semenjak awal yakni Liverpool.

Ketika tiba di Inggris pada 2004, Mourinho sudah mencicipi fenomena ganjil ini. Liverpool tipikal klub Inggris sejati, dalam arti tidak metropolis mirip kebanyakan klub-klub dari dua kota terbesar di England, London dan Manchester. Kultur Liverpool lebih orisinal namun primordial, amat kedaerahan.

Lihat saja cara pendukungnya mengungkapkan verbal dan emosinya di Anfield, entah saat bernyanyi atau mengibarkan ratusan bendera. Dia sadar dan paham, klub ini sulit diutak-atik reputasi dan identitasnya. Lain halnya dengan Arsenal yang sekota, atau United meski sekali lagi, harus menunggu waktu yang sempurna. Lagi pula, Mou tidak pernah terasa terganggu oleh keberadaan Liverpool. Toh, manajer mereka saja bukanlah legenda hidup atau mapan habis seperti Wenger atau Ferguson.

Di luar sentra kekuasaan, masyarakat mulai berhitung peluang klub masing-masing setelah melihat acara baru. Kelompok suporter sibuk menelaah kemungkinan adanya konspirasi. Namun sebagian media massa berani berpendapat yang bikin klub-klub gerah, dan pejabat FA kolam kebakaran jenggot. Di ekspresi dominan ketiganya di Premier League, Mourinho makin mesem-mesem melihat konspirasi. Namun di satu sisi, ia juga berpikir bagaimana cara memanfaatkannya.

Sebagai seorang Aquarius, Mourinho memang bahagia melaksanakan kegiatan eksklusif dan ekstra yang bernuansa rehabilitasi. Perasaannya dikenal tajam untuk menilai drama kehidupan, senang bicara banyak, jika perlu hingga sarkastis demi membela objektivitas yang tidak lazim. Dia bisa dan biasa menghabiskan waktu memikirkan hal-hal yang berbau konspirasi, bahkan metafisis, dengan perasaan subyektif yang kental.

Beberapa pekan sebelum jadwal gres liga keluar, dia diberitakan menatap bola kristal di rumahnya untuk meneropong nasib Chelsea berbekal jadwal Liga Primer dan agenda Liga Champion! Setelah diyakini melihat jalan jelas, ritual pria 43 tahun ini tiada lain mengenyampingkan berbagai reaksi dan lebih memilih memotong rambutnya untuk membuang simpanan energinya. "Saya sudah siap berperang. Lihatlah rambut saya kini," sergahnya dengan nada bercanda.

Setan dan Malaikat
Kesantunan seseorang tidak dinilai dari perlakuan dia pada temannya Intrik Jadwal: Teori Konspirasi Mourinho
David Dein, Thierry Henry, dan Arsene Wenger. 
Sosok Mourinho memang fenomenal. Lewat mulutnya-lah rakyat Inggris mirip disadarkan dari pembiusan total oknum-oknum FA selama lebih separo dekade pada konspirasi dan skandal jadwal. Ilmu terbaru yang didapat yakni orang kini sadar bahwa jadwal idaman yakni syarat mutlak menjadi juara Premier League. Selain itu ia juga berguna untuk keuntungan bisnis dan menjaga kejayaan. Bukan agenda sembarang agenda, tapi acara yang kental hasil persekongkolan.

Ingat kejadian sebelumnya. Juli 2005, beberapa hari usai agenda 2005/06 dimaklumatkan, datang-datang Mourinho menyerang Dein, CEO Arsenal dan Wakil Presiden FA. "Dia yaitu gembong di rahasia atas acara yang merugikan Chelsea. Orang yang menggerakan roda operasional klub, sebaiknya tidak bekerja di FA. Klub ialah klub, FA ialah FA," serangnya serampangan dan cenderung tendensius.

Lalu pengecap tajamnya makin menusuk dengan pernyataan, "Saya tak habis pikir diperlakukan amat jelek seperti setan, sedangkan Tuan Wenger dan Tuan David Dein dilayani seperti malaikat!" Awalnya Mourinho menyoroti tidak wajarnya acara Chelsea selama September-Desember yang bikin timnya harus away lima kali keliling Inggris setiap habis berlaga di Liga Champion. Selebihnya dia 'mengadili' Arsenal. Katanya, klub ini kebalikannya Chelsea. Selalu menjadi tuan rumah di Premier League dan tampil di hari Minggu, bukannya Sabtu seperti Chelsea.

"Saya bukanlah orang yang paling arif di dunia, tetapi tidak terlalu udik untuk melihat keanehan ini, atau untuk memahami apa saja yang terjadi sejak aku datang ke Inggris. Apakah kalian para wartawan tidak mau mengungkap ketaknormalan ini? Atau justru seorang Jose Mourinho yang tampak ajaib alasannya adalah berani mengatakannya? Faktanya sudah ada, terserah Anda untuk menafsirkannya."

Namun akal Mou jadi kacau balau dilihat orang, sebab ia tidak punya nyali menyerang Gartside atau Coar, apalagi David Gill, yang semuanya menjadi eksekutif di klub masing-masing. Telenovela jadwal Premier League sesungguhnya sudah seru tahun lalu alasannya adalah Fergie sempat mengamini teori Mourinho.

"Dia benar. Anda lihat agenda Arsenal setelah Liga Champion selama ini. Selama tujuh tahun aku berteriak sendirian, dan tak seorang pun mendengarkannya," ucap Sir Alex waktu itu. Musim ini, sehabis David Gill menggusur David Dein, dan terperinci-terang United eksklusif mendapat benefit dari rotasi itu, Ferguson langsung cep, kalem.

Menurut lembaga riset Philip Cornwall, keuntungan klub-klub besar pada agenda yang bisa dibikin cincay itu di atas 50 persen. Selama tujuh tahun, Arsenal dari total 64 tubruk meraih 34 berkelahi kandang dan 30 sabung tandang. Tingkat kesuksesannya mencapai 53 persen. Sementara Manchester United dari total 87 sabung menerima 47 adu sangkar dan 40 berkelahi tandang dengan kesuksesan 54 persen. Ada pun Chelsea dari total 40 berkelahi, 22 adu sangkar dan 18 tandang, level suksesnya malah 55 persen! Lho!?

Pasti Mourinho tidak membaca data dari Phillip Cornwall. Tingkat sukses Chelsea malah lebih besar, dan lagi pula perbandingan sangkar-tandang ketiga klub selama tujuh tahun tak begitu signifikan. Ibaratnya cuma berbekal dari sebuah warung, Mourinho menembak sana-sini kolam mitraliur bereaksi melihat Chelsea dirugikan. Wah cenayangnya salah nih, dan Anda berbicara kepagian, Bung!

Ah, sudahlah. Selalu ada pesan tersirat di balik setiap peristiwa. Ambil positifnya. Polemik agenda yang diselubungi konspirasi dan skandal itu 'kan justru bikin Premier League jadi diperhatikan orang. Mou malahan berjasa. Barangkali benar di secuil sisi. Namun imbas jangka panjangnya bisa berbahaya. Ingat bagaimana reputasi Serie A jatuh ke titik nadir balasan kebanyakan drama.

Ciri khas, kultur, dan tradisi sepak bola Inggris, ialah menghormati lawan untuk memberikan harga dirinya mesti dipertahankan. Itulah perilaku gentleman sejati. Kesantunan seseorang tidak dinilai dari perlakuan beliau pada temannya, tapi terhadap lawannya. Bukan begitu kata pepatah mereka?

JADWAL BIG FOUR YANG DIPERSOALKAN JOSE MOURINHO


MUSIM 2005/06
MUSIM 2006/07
Liga Champion Matchday 1(13/14 Sep)
Liga Champion Matchday 1 (12/13 Sep)
Premier League
Premier League
Charlton vs CHELSEA (17/9)
CHELSEA vs LIVERPOOL (17/9)
LIVERPOOL vs MANCHESTER UTD (18/9)
MANCHESTER UTD vs ARSENAL (18/9)
ARSENAL vs Everton (19/9)

Liga Champion Matchday 2 (27/28 Sep)
Liga Champion Matchday 2 (26/27 Sep)
Premier League
Premier League
Fulham vs MANCHESTER UTD (1/10)
Bolton vs LIVERPOOL (30/9)
ARSENAL vs Brimingham (2/10)
Charlton vs ARSENAL (30/9)
LIVERPOOL vs CHELSEA (2/10)
CHELSEA vs Aston Villa (30/9)

MANCHESTER UTD vs Newcastle Utd (30/9)
Liga Champion Matchday 3 (18/19 Okt)
Liga Champion Matchday 3 (17/18 Sep)
Premier League
Premier League
Fulham vs LIVERPOOL (22/10)
CHELSEA vs Portsmouth (21/10)
ARSENAL vs Manchester City (22/10)
MANCHESTER UTD vs LIVERPOOL (21/10)
MANCHESTER UTD vs Tottenham (22/10)
Reading vs ARSENAL (21/10)
Everton vs CHELSEA (23/10)

Liga Champion Matchday 4 (1/2 Nov)
Liga Champion Matchday 4 (31 Okt/1 Nov)
Premier League
Premier League
Aston Villa vs LIVERPOOL (5/11)
LIVERPOOL vs Reading (4/11)
ARSENAL vs Sunderland (5/11)
MANCHESTER UTD vs Portsmouth (4/11)
MANCHESTER UTD vs CHELSEA (6/11)
West Ham vs ARSENAL (4/11)

Tottenham vs CHELSEA (4/11)
Liga Champion Matchday 5 (22/23 Nov)
Liga Champion Matchday 5 (21/22 Nov)
Premier League
Premier League
ARSENAL vs Blackburn (26/11)
LIVERPOOL vs Manchester City (25/11)
Portsmouth vs CHELSEA (26/11)
Bolton vs ARSENAL (25/11)
Manchester City vs LIVERPOOL (26/11)
MANCHESTER UTD vs CHELSEA (25/11)
West Ham vs MANCHESTER UTD (27/11)

Liga Champion Matchday 6 (6/7 Des)
Liga Champion Matchday 6 (5/6 Des)
Premier League
Premier League
Newcastle United vs ARSENAL (10/12)
MANCHESTER UTD vs Manchester City (9/12)
LIVERPOOL vs Middlesbrough (10/12)
LIVERPOOL vs Fulham (9/12)
CHELSEA vs Wigan (10/12)
CHELSEA vs ARSENAL (9/12)
MANCHESTER UTD vs Everton (11/12)


(foto: skysports/guardian/thesun)