Wednesday, November 26, 2014

Catatan Ringan Ihwal Chelsea: John Neal

PENDUKUNG Chelsea sedunia seharusnya sering mengenang tanggal 28 April 1984. Meskipun kelahiran klub, yang pada 10 Maret 1905 itu terlihat lebih bersejarah, namun sebuah kejadian yang muncul 30 tahun lebih dicap sebagai tonggak baru, reborn, buat klub yang sekarang berkembang menjadi menjadi salah satu pilar utama atau simbol kapitalisme olah raga di London, dan juga di Inggris. 

John Neal.
Pendeknya tanpa momen itu tak mungkin, Anda akan mengasihi dan meletupkan mulut pada Chelsea seperti kini. Tanpa peristiwa tersebut, mustahil ada orang mirip Roman Abramovich, Jose Mourinho, Didier Drogba bla bla bla yang mau datang ke Stamford Bridge mengenakan kostum biru. 

Bahkan kejayaan tiga titel Liga Inggris, enam Piala FA, tiga Piala Liga, tiga Piala Community Shield, dua kali Piala Winner, serta sekali Piala Super Eropa, Liga Europa, dan puncaknya di Liga Champion pada 19 Mei 2012, harus mengarungi kejadian tadi. Ini ialah perjalanan sebuah takdir. Dan, pada kesannya tak mungkin sekarang Chelsea punya 400 juta fan sejagat seperti klaim CEO-nya, Ron Gourlay, September 2014 silam. 

Penggemar gres True Blue, yang disinyalir 90%-nya berusia 19-32 tahun – berkebalikan dengan julukan lamanya sebagai klub para pensiunan (The Pensioners) – seharusnya menghargai juga jasa seseorang terlupakan yang bernama John Neal, sama pentingnya seperti pada Kamerad Abramovich atau Senhor Mourinho. Tanpa Mr. John barangkali nasib Chelsea sekarang mirip Brentford atau Millwall, dua klub London yang sulit lagi menggapai piramida tertinggi sepak bola Inggris.

John Neal yakni manajer Chelsea pada 1981-85 yang menggagalkan nasib jelek Chelsea kejeblos ke Divisi Tiga pada animo 1982/83. Di simpulan animo itu, Chelsea hanya terpaut satu kemenangan dari Rotherham United, Bolton Wanderers, dan Burnley yang kesemuanya itu terlempar dari Divisi Dua. 

Di abad pra Premier League ini, hebatnya lagi Neal pula yang meloloskan lagi Chelsea ke Divisi Utama setelah merebut juara Division Two old pada 1983/84. Ibarat roda kehidupan, dikala itulah putaran nasib abad depan Chelsea rupanya ditentukan. Apa yang dilakukan John Neal pada dua ekspresi dominan yang paling memilih itu? 

Sejak terdegradasi dari Divisi Utama di musim 1974/75, reputasi Chelsea yang cuma sekali menjadi juara Inggris pada 1955, jatuh ke titik nadir. Klub ini mulai dilupakan orang, dan sakitnya lagi, juga dilupakan media massa yang berarti dilupakan dunia. 

Secangkir Kopi 

Sebuah kesebelasan ibukota yang pernah melahirkan bintang nasional Ron Bentley, Jimmy Greaves, dan Peter Osgood ini tak kuasa meladeni poros persaingan yang era itu sedang dikuasai Liverpool, Leeds United, atau Arsenal. Tak ada orang yang mau melatih Chelsea, tak ada orang yang peduli, kecuali itu tadi, para pensiunan! 

Sejak dulu, berkat lokasinya, Chelsea hanya didukung kaum manula dan golongan purnakarya yang tinggal di tempat elite London Barat. Chelsea hanyalah hiburan pengisi waktu senggang di hari libur, selain golf, baccarat, atau menonton polo. Yang tidak punya ambisi dan hawa nafsu lagi kecuali menghabiskan umurnya. Populasi mereka tidak banyak, pasif, dan memandang klub di wilayahnya itu sebagai identitas semu yang tidak memberi ruang mulut kecuali impresi. 

Neal hadir mendadak di Stamford Bridge, April 1981 usai pemecatan instruktur Geoffrey Hurst, si jagoan Inggris di Piala Dunia 1966. Pemilik klub ini yaitu Keluarga Mears, yang moyangnya yaitu pendiri Chelsea. Gara-gara harga baja yang meroket, mereka kehabisan duit usai pembangunan tribun East Stand. 
                                                       
Dengan bujet transfer yang amat minim bin mentok, Neal diwanti-wanti supaya bijaksana menggunakan dana pinjaman dari berbagai lintah darat yang siap memanfaatkan kesulitan Keluarga Mears. Pikir punya pikir, peminjaman pemain agaknya jadi sesuatu yang realistis ketimbang membelinya. 

Neal diwarisi skuad yang nyaris tanpa motivasi dan ambisi yang terperinci. Musim pertama Chelsea di bawah Neal sangat tidak berkesan kecuali kemenangan 2-0 di Piala FA atas juara Eropa, Liverpool. Stigma yang menancap di Chelsea waktu itu tidak lain sebagai klub yang banyak hutang, tanpa ambisi dan sekedar ada. Istilahnya bagai kerakap tumbuh di watu, mati segan hidup pun tak mau. 

Saking miskinnya, harga jual klub ini tidak melebihi secangkir teh. Diberi gratis pun orang masih berpikir seribu kali. Stadionnya masih utang, temboknya bolong-bolong sehingga mudah dilewati kucing garong apalagi tikus. Skuad-nya milik klub orang lain alias pemberian. Belum lagi tagihan honor pemain dan staf, serta biaya transportasi yang gali lubang tutup lubang. Semua ini hanya bisa ditutup tiap bulannya dari mengandalkan pemasukan tiket. Benar-benar berjudi. 

Turbulensi di Chelsea sungguh abnormal-gilaan, menyamai pesawat Hercules yang mati baling-balingnya. Dan catat, ini klub divisi dua pula. Yang menggoda cuma satu, lokasinya yang elite. Di bilangan segitiga Kensington - Knightsbridge - Notting Hill. Kalau di Jakarta, barangkali mirip di sekitaran Jalan Pakubuwono - Hang Tuah yang adem itu.

Sampai alhasil pada 1982 Kenneth William Bates, pengusaha kontraktor pemugar The Bridge yang bolong-bolong tadi, jadinya membeli klub itu hanya dengan harga 1 pound. Dibeli karena frustrasi membenahi bangunan dan memikirkan seluk beluk klub orang purnakarya ini. Bayangkan, Bates membelinya dengan harga secangkir kopi! 

Banyak yang bilang Bates sudah sinting dan hilang ingatan mengingat Chelsea dalam kondisi kritis dan krisis serta berisiko tercebur ke Divisi Tiga. Siap-siap saja hutang dan pajaknya makin bertumpuk. Bates seperti menjudikan hidupnya. Namun dalam hidup terkadang orang mesti mundur dulu selangkah biar bisa maju dua langkah. 

Ken Bates mulai mengubah pekerjaan, kebiasaan dan waktunya menjadi pengelola klub, dan beruntungnya, dia punya John Neal. Dalam bulan-bulan ke depan yang memilih, Neal sukses mencegah Chelsea jatuh ke lubang lebih dalam di divisi tiga, hanya di dua tabrak tersisa trend itu! Chelsea menang 1-0 di kandang Bolton dan bermain 0-0 lawan Middlesbrough di kandang sendiri. 

Bates menang “judi”, dan usaha pertama Neal pun, sementara akhir. Chelsea masih bokek memasuki trend 1983/84. Neal kembali harus menyewa pemain atau membeli pemain termurah, yang berisiko seperti menerima kucing dalam karung. Sudah pasti nama-namanya gila dan asing-asing. Salah satu nama yang patut dicatat yaitu Pat Nevin. 

Ditolak Glasgow Celtic, Neal buru-buru menggaet penyerang bertipe “Eden Hazard” dalam bentuk lawas. Nevin – yang disapa Wee Pat – seakan-akan jimatnya Neal. Memulai dengan mencukur Derby County 5-0, Chelsea sukses meraih lima kemenangan di 6 sabung perdana. Malahan merangkak jadi 13 di 17 partainya dan belum terkalahkan. 

Neal juga melahirkan “legenda” lain yang boleh jadi tidak dikenal oleh Chelsea-mania kini. Salah satunya Paul Canoville, pemain kulit gelap pertama sepanjang sejarah di Chelsea. Gelandang sayap ini dicomot dari klub tarkam Hillingdon Borough. Ini risiko besar buat Neal mengingat pendukung Chelsea kebanyakan golongan sayap kanan yang dikenal pemuja rasisme. 

Benar saja, di banyak sekali waktu Canoville menerima perlakuan tak manusiawi saat tampil bersama Chelsea. Konyolnya lagi pendukung Chelsea juga ikut-ikutan menghina. Lebih parah lagi, di kamar ganti sendiri pun, Canoville sering “di-bully” dan dihina oleh pemain Chelsea sendiri! Alamak. Karena dirinya masih yakin sebagai manusia, tak urung Canoville berancang-ancang untuk hengkang. Di saat yang tepat, dengan bijaksana Neal tiba membujuk seraya memberi tips untuk melupakan hal itu dengan berkata: “Abaikan semuanya itu Paul, yang lebih penting yaitu kamu digaji tetap!” Di lalu hari Canoville berandil besar meloloskan Chelsea ke Divisi Utama di berkelahi penentuan. 

Pembelokan Sejarah 

Sabtu 28 April 1984 menyerupai hari koronasi buat Neal. The Bridge yang rata-rata dikunjungi 15 ribu orang, kali ini disesaki 33.447 penonton, sepertiganya yaitu fan Leeds United, lawan Chelsea di langgar ke-38 Divisi Dua. Gejala bakal ada perayaan ajaib-gilaan terlihat ketika Chelsea unggul 3-0 di babak pertama. Tiba-datang jumlah penonton membludak hingga 50-an ribu orang! Ken Bates terpaksa turun panggung. Memakai toa, dia minta supaya penonton jangan masuk lapangan di simpulan sabung. Tapi percuma. Usai Canoville bikin gol kelima di dikala injury-time, ribuan penonton menyerbu lapangan. Suasana kacau balau. 

Karena deg-degan, wasit pribadi menyudahi laga. Uniknya tak satu pun invader menemukan John Neal. Sebelum tubruk usai, rupanya dia menyelusup ke lorong sendirian. Berjalan tertunduk. Walau masih ada empat tabrak sisa, Chelsea dan juga Sheffield Wednesday resmi promosi ke Divisi Utama (“Premier League” sebelum 1992/93). Jelang trend 1984/85, Neal menjalani operasi jantung dan wajib beristirahat, tapi nyatanya dia tetap memandu timnya berlaga di Highbury menjumpai Arsenal di pekan pertama (1-1). Chelsea mengakhiri kompetisi secara fantastis dengan menduduki posisi 6 di atas Arsenal! Di final animo, Neal resmi meninggalkan gelanggang dengan alasan kesehatan. 

Hingga selesai hayatnya, ia menjadi penonton kehormatan di Stamford Bridge. Setiap saat beliau mampu merasakan kini Chelsea telah stabil. Minggu, 23 November 2014, John Neal telah berpulang selama-lamanya dalam usia 82 tahun. Klub berduka dan mengumumkan kepergiannya dengan testimoni di situs resmi. “Tak berlebihan jikalau dikatakan mungkin tidak ada kesuksesan Chelsea FC mirip kini tanpa kesuksesan John Neal dikala mengatasi segala krisis demi menempatkan klub ini sebagaimana mestinya.” 

“Beliau yakni budi sejati yang langka, kata Nevin dengan wajah muram, “bukan saja di sepak bola tetapi juga di kehidupan.” Canoville urun rembug: “Dia pembuat keputusan yang berani, melakukannya dengan benar serta memperlakukan pemain dengan hormat. Saya tidak bisa menemukan satu kata jelek pun darinya, dan tidak yakin ada orang yang lebih baik darinya.” 

Tuah sang mendiang masih ada. Dua hari sebelum pemakamannya, Chelsea tampil kesetanan di pentas Liga Champion dengan menghancurkan tuan rumah Schalke 5-0 di Gelsenkirchen, Rabu dinihari (26/11/2014). Menjelang berkelahi, skuat maupun fan Chelsea mengenang upaya hebat, kehalusan aksara serta kesederhanaan John Neal dengan cara masing-masing. 

Dari yang mulai mengheningkan cipta sampai membaca-baca Wikipedia tentangnya. Sejarah telah menulis begini: tanpa lakon Ken Bates, juga Pat Nevin, Paul Canoville yang amat signifikan, boleh jadi sejarah Chelsea akan berbelok. Namun tanpa orang ini tidak mungkin Roman Abramovich mau membeli Chelsea dan menyulap menjadi gemerlap. Dan jagoan yang terlupakan itu berjulukan John Neal. @riefnatakusumah, November 2014 

(foto: chelseafc)

0 comments:

Post a Comment