Monday, May 30, 2016

Claudio Ranieri (3): Pengalaman Di Chelsea

Hari pertama bergabung di markas latihan, para pemain Chelsea melamun mendengar Ranieri berbicara dengan bahasa Italia. Dia memang belum mengerti bahasa Inggris. Untungnya ada Ray Wilkins, eks bintang Chelsea yang pernah membela AC Milan. Dia lihai bicara Italia sehingga selain jadi asisten, laki-laki berkepala botak di depan itu juga otomatis bertindak sebagai interpreter.
Hari pertama bergabung di markas latihan Claudio Ranieri (3): Pengalaman Di Chelsea
Impian besar Ranieri di Chelsea berasal dari bujet transfer besar.
Lebih beruntung lagi, sebagian besar pemain inti Chelsea lumayan bahasa Italia-nya karena selain pernah dilatih Ruud Gullit atau Vialli, mereka juga punya Gianfranco Zola, Gabriele Ambrosetti, Roberto Di Matteo, Carlo Cudicini, dan Samuele Dalla Bona. Kehadiran Ranieri juga tidak dilema di mata dua pemain inti Chelsea, Albert Ferrer, dan Gustavo Poyet alasannya adalah bahasa Spanyol-nya terbilang tidak mengecewakan.

Ranieri dikenang pers Inggris sebagai manajer yang mengubah gaya sexy football peninggalan Gullit dan Vialli menjadi permainan dengan seni bertahan yang ahli. Di eranya, nama-nama Frank Lampard, Emmanuel Petit, Boudewijn Zenden, atau Jesper Gronkjaer, dan William Gallas hadir di Stamford Bridge. Kehebatannya lainnya ialah mendidik kemudian mencuatkan John Terry sebagai suksesor sang kapten Dennis Wise.

Gara-gara kebanjiran pemain cantik – pertama dalam karier kepelatihannya – dia jadi suka bereksperimen pekan demi pekan. Dalam jangka pendek tampak sukses, namun tidak untuk jangka panjang. Chelsea jadi sulit meraih prestasi titik puncak di demam isu 2000-01. Saat itu julukan ‘The Tinkerman’ mulai diletupkan pers. Debut Ranieri berujung di posisi enam. Bahkan di akhir Piala FA, mereka dikalahkan Arsenal 0-2.

Di animo kedua, ulah Ranieri lain lagi. Kali ini dia lebih mengutamakan pemain muda yang berujung pada penjualan pemain-pemain senior, salah satunya menimpa kapten Dennis Wise, pujaan publik Stamford Bridge. Namun sehabis menjulangkan barisan muda di diri Samuele Dalla Bona, Mario Stanic, John Terry, Robert Huth, atau Carlton Cole, penggemar sejati Chelsea mulai memahami tujuan Ranieri.

Namun mirip biasa, keberuntungannya tidak terlalu usang. Akibat hutang yang makin menumpuk karena jor-joran membeli banyak bintang namun tidak pernah juara, pada medio 2003 Ken Bates risikonya menyerah dan menjual Chelsea dengan harga yang nyaris gratis! Awalnya Roman Abramovich – si pemilik baru – ingin mengganti Don Claudio yang dinilainya ‘membahayakan’ prospek bisnis Chelsea ke depan.

Sejak mengawali musim 2003-04, kehidupan Ranieri di Chelsea sudah tidak tenang mengingat Abramovich keseringan bersua Sven-Goran Eriksson, yang dinominasikan menggantikannya. Namun juru bisiknya menyampaikan sabar dulu alasannya tidak ada juga jaminan bagi Eriksson bisa sukses dengan skuad yang seluruhnya ‘buatan’ Ranieri. Kelak di kemudian hari, feeling sang owner jauh lebih benar.
Hari pertama bergabung di markas latihan Claudio Ranieri (3): Pengalaman Di Chelsea
Senang bereksperimen formasi dan taktik permainan.
Ranieri sendiri memanfaatkan kesempatan terakhirnya untuk menyelamatkan reputasi. Tak tanggung-tanggung dia mengajukan bujet 120 juta pound untuk menciduk Damien Duff, Wayne Bridge, Joe Cole, Glen Johnson, Juan Sebastián Veron, Hernan Crespo, Claude Makelele serta Adrian Mutu! Namun masih selain Sir Alex Ferguson, peran Arsene Wenger masih sulit dilawan saat itu. Siapa Ranieri dibanding mereka?

Kemarahan Abramovich pada Ranieri mencapai puncaknya di ekspresi dominan 2003-04, walau di liga menempati urutan dua di bawah Arsenal yang meraih immortal, juara tanpa kalah, yang menjadi kemenangan terakhir Wenger di Premier League. Namun Ranieri menyingkirkan keinginan Wenger ke semifinal Liga Champion. Kegagalan Ranieri kian komplit alasannya tanpa diduga Chelsea dikalahkan Monaco di semifinal Liga Champion.

Abramovich alhasil menemukan seorang manajer yang tidak populer tapi mampu membawa FC Porto menjuarai Liga Champion 2004. Orang itu yaitu Jose Mourinho. Kebanyakan publik Chelsea tak menangisi kepergian Ranieri di tamat animo itu sebab dinilai memang tidak berkelas. Lagi pula impian tertinggi publik Stamford Bridge bukan pada Ranieri, tetapi pada Abramovich. Hasil yang serba tanggung, seperti takdirnya selama ini, kembali diderita Ranieri. Dia harus mendapatkan realita tidak sanggup mengelola skuad yang banyak berisikan bintang.

Takdir Ranieri yakni klub kecil, sebuah penyematan sahih yang terbukti hingga kini. Selama empat ekspresi dominan, Ranieri hanya sukses menaikkan nilai dan peringkat Chelsea. Sukses kecil lainnya mematok John Terry, Wayne Bridge, dan Frank Lampard sebagai pondasi bangunan tim. Dia juga mendatangkan Didier Drogba dan Arjen Robben. Namun, tepat 31 Mei 2004 karier Ranieri disudahi Abramovich.

(foto: skysport/the quint)

0 comments:

Post a Comment