Friday, June 5, 2015

Sepak Bola Di Tanah Arab (3-Habis): Revolusi Dream Football League

Mata klub-klub kapitalis Eropa yang selalu ijo melihat duit boleh jadi kena batunya. Orang Arab dengan senang hati menyediakannya, pokoknya asal mereka mau. Mau diperintah tentunya. Kalau uang yang senantiasa mereka cari, asal mau, di gurun pasir sana tempatnya. Setelah menggoyang lanskap industri sepak bola Eropa sejak 2011, sepak terjang para sheikh ternyata terus menggeliat seiring sejalan dengan ajaran sumur minyak mereka.
 Orang Arab dengan senang hati menyediakannya Sepak Bola di Tanah Arab (3-habis): Revolusi Dream Football League
Konsep akbar Liga Impian.
Akuisisi pada Servette (Swiss), Admira Wacker (Austria), TSV 1860 Muenchen (Jerman), Manchester City, Portsmouth (Inggris), Malaga (Spanyol), dan Paris Saint-Germain (Prancis) kelar dilakukan. Mengontrol Arsenal, AC Milan, Barcelona, Real Madrid, Hamburg hingga Olympiacos pun beres. Namun para sheikh yang uangnya muncrat milyaran rupiah tiap detik dari sumur minyak terus-menerus kesenangan menggelegakkan adrenalinnya.

Hulu mulai disikat, sekarang giliran hilir yang siap dikuras. Suatu hari pada 2013 konsorsium yang dijejali pangeran tajir plus para raja minyak dari Qatar serius berkumpul. Ada apa? Untuk meresmikan proposal turnamen yang hadiahnya paling ajaib-gilaan. Kejuaraan yang menciptakan prize money di World Cup atau Liga Champion tiada arti, bahkan andai digabungkan sekaligus. Penasaran apa namanya? Catat, Dream Football League (DFL) alias Liga Impian.

Maunya digelar pada 2015, ke depan rutin setiap tahun ganjil, dan diikuti 24 klub paling elite di Eropa dan di dunia. Makara impian karena hadiah sang juara diganjar 175 juta pound, atau lebih dari 3,5 trilyun rupiah! Komite mematok 16 klub paling legendaris di Eropa harus jadi akseptor tetap. Sementara sisanya berstatus tentatif, ajakan, yang mampu saja datang dari wilayah Amerika Latin/Afrika/Asia.
 Orang Arab dengan senang hati menyediakannya Sepak Bola di Tanah Arab (3-habis): Revolusi Dream Football League
Menyediakan hadiah empat kali lipat lebih dibanding Liga Champion.
Proposal itu telah diajukan, sayangnya FIFA, UEFA, termasuk asosiasi masing-masing belum menggubrisnya, saking kebingungan mencari waktu dan mengatur keadaan. Menurut The Times, Arsenal, Chelsea, Manchester City dan Manchester United sebenarnya ngebet ikut. Begitu juga Liverpool dan Tottenham Hostpur. Namun semuanya sangat bergantung dari izin dan pinjaman pihak FA.

Pokok persoalannya, para darah biru Qatar berniat mematenkan 16 klub raksasa Eropa sebagai penerima wajib alias reguler. Ini yang berat alasannya mereka sulit menjamin mengingat di setiap musim, nasib atau kiprah klub mampu saja berubah-ubah. Tapi kalau ingat hadiahnya, olala, 175 juta pound? Kaprikornus jawara Champions League saja cuma dapat 40-an juta pound, ini pun masih dipotong biaya produksi klub mulai fasilitas hingga transportasi contohnya.

Sekedar Bermimpi

Dasar Arab, soal fulus nggak ada matinya. Pemenang Dream League juga mampu duit 12 kali lipat dari kampiun Premier League yang hanya 15 juta pound. Jadi Anda tidak perlu jadi ekonom untuk bilang bahwa Dream League menggugah animo klub manapun. Bagaimana dengan klub-klub, atau pihak asosiasi? Jawaban mereka praktis saja, bukan bisa apa tidak, tetapi apakah mau apa tidak.

Tampil di DFL modalnya cuma badan, ibaratnya tinggal latihan dan main saja karena mulai dari transportasi, kemudahan, residensi, sampai akomodasi serba glamor disediakan gratis. Pokoknya asal asosiasi baiklah segalanya akan diatur hingga beres. Sejauh ini panitia telah menyediakan enam stadion ber-AC di enam kota sebagai daerah pertandingan, beberapa diantaranya bakal digunakan untuk Piala Dunia 2022.
 Orang Arab dengan senang hati menyediakannya Sepak Bola di Tanah Arab (3-habis): Revolusi Dream Football League
Bakal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Pihak konsorsium, Qatari Sports Investment (QSI), si pemilik PSG, sudah bekerjasama dengan Qatar Foundation, sponsor utama Barcelona, untuk mendatangkan jagoannya itu. Usai menggoyang lanskap industri di Eropa sejak 2011, lalu memastikan negaranya jadi tuan rumah World Cup 2022, QSI berniat membuat jazirah Arab sebagai panggung kemewahan sepak bola dunia. Pendirian DFL jelas lebih kongkrit dari ide ESL, European Super League.

Lambat laun QSI semakin sadar pentingnya bisnis emosi. Liga Champion terlalu bertele-tele untuk mengemas prestise dan prestasi. Liga Impian jauh mengena sebab semua peserta adalah kesebelasan bermutu dengan jutaan suporter di seluruh dunia. Mereka juga tahu, baik wartawan, sponsor, pengiklan, maupun pemain hampir niscaya mendukungnya. Problem besar ada pada agenda dan tata cara bagaimana penggemar menikmatinya pribadi.

Tak heran bila FIFA dan UEFA sepakat untuk mencegah DFL terlaksana. Negara-negara Arab ibarat sobat tidur yang baik buat mereka. Namun DFL itu mirip menaruh sebuah pistol di bawah bantal. Mereka tak ingin pemberontakan NBA pada FIBA, RBS World Series di rugbi, atau Kerry Packer's World Series di kriket terjadi di sepak bola. Ketika tidur, terkadang, memang lebih baik tidak bermimpi sama sekali. Betul begitu?

(foto: actusports/express/sport360)

0 comments:

Post a Comment