Thursday, June 4, 2015

Sepak Bola Di Tanah Arab (2): Dahsyatnya Kurotul Qodam

Soal fulus, nyaris tidak ada yang mencurigai kemampuan negara-negara Arab. Di wilayah ini nyaris tidak ada gejolak atau krisis keuangan. Apalagi untuk memuaskan hasrat mereka yang dianggap penting. Mau tahu betapa 'wow-nya' sepak bola di Semenanjung Arabia? Tak syak lagi, Anda bisa lihat dari acara dan transaksi di bursa transfernya, sebagai satu indikatornya.
 nyaris tidak ada yang meragukan kemampuan negara Sepak Bola di Tanah Arab (2): Dahsyatnya Kurotul Qodam
Gaya menonton orang-orang kaya Arab di stadion.
Di wilayah ini, jumlah transaksi transfer klub-klub untuk memenuhi komunitas dan pasar regionalnya mampu melebihi Premier League atau La Liga. Dari laporan Global Transfer Market yang dikompilasi FIFA tahun kemudian, tiga kompetisi dari Tanah Arab masuk dalam 20 besar dunia. Ketiga liga itu yaitu UAE Arabian Gulf League (UAGL-Uni Emirat Arab), Qatar Stars League (QSL-Qatar), dan Saudi Professional League (SPL-Arab Saudi). 

Dapat dipastikan setiap musimnya hasrat untuk mengontrak pemain ajaib berstatus bintang selalu menggebu. Di animo 2014/15 yang baru berakhir, transaksi bursa transfer mereka melewati Rp 2,6 trilyun - plus Kuwait dan Bahrain! Rata-rata impor pemain aneh di UAGL sendiri menghabiskan seperempat angka di atas. UAGL mengontrak 81 pemain, di mana 26 diantaranya pemain Brasil. Untuk diketahui, putaran uang di pasar global sepak bola setiap tahun ditaksir di kisaran 30 milyar dolar AS, alias 400 trilyun rupiah!

Pencapaian transaksi di semenanjung Arabia ini tentu saja mengejutkan. Orang makin termenung melihat tren dan statistik setiap tahun keuangan orang Arab untuk sepak bola. Padahal ini urusan main-main belaka. Generasi gres para pemilik dan gaya administrasi mutakhir diduga meroketkan investasi bisnis permainan yang mereka sebut kurotul qodam itu secara signifikan dan dahsyat buat ukuran orang Barat.

Meski UAGL unggul dalam transaksi transfer, namun pasar sepak bola di SPL, yang bernama komersial Abdul Latif Jamil League, justru jauh lebih gede. Tentu saja ini berawal dari ketimpangan populasi kedua negara. UEA berpenduduk 9 juta, sementara itu Arab Saudi 28 juta orang. Semua itu berujung pada jumlah penonton, kontrak hak siar senilai 1 milyar dolar AS selama 10 tahun, serta berimbas pada pendapatan iklan.

Kontrak hak siar SPL dipegang oleh perusahaan anak negeri yang berjulukan MBC (Middle East Broadcasting Center) yang uniknya bermarkas di Dubai, UEA, dan dikelola orang-orang Inggris. Sponsor resmi SPL yakni Abdul Latif Jamil Group, perusahaan multi-diversifikasi di bidang otomotif, konstruksi, keuangan, real estate, energi, pelayanan lingkungan, produk konsumen, periklanan sampai media.
 nyaris tidak ada yang meragukan kemampuan negara Sepak Bola di Tanah Arab (2): Dahsyatnya Kurotul Qodam
Liga Arab Saudi, kompetisi liga paling makmur di gurun pasir.
SPL merogoh 31 juta dolar sepanjang 2014/15 untuk mengimpor 72 pemain, dan cuma 14 pemain asal Brasil. Angka yang bantu-membantu biasa-biasa saja. Lalu ingin tahu yang luar biasa? Justru si tetangga sebelah, Qatar, negara Arab paling modern kedua sehabis UEA. Musim lalu transaksi transfer di satu klub anggota QSL yakni Al-Arabi, yang sanggup menggugah aliran orang Barat.

Betapa tidak, Al-Arabi menggelontor dana 50 juta dolar untuk 5 pemain baru hanya demi targetnya menembus putaran simpulan Liga Champion Asia, kemudian Piala Dunia Antarklub (Intercontinental). Al-Arabi ada di urutan 8 dalam 10 besar belanja pemain di bursa transfer seluruh dunia trend lalu. Dengan bujet 660 milyar rupiah, besaran belanja klub yang bermarkas di Doha ini melebihi juara Premier League, Manchester City, dan finalis Liga Champion 2014, Atletico Madrid.

Uniknya, pahlawan ibukota asuhan Jose Daniel Carreno Izquierdo (Uruguay) itu malah terjerembab tiga posisi dibanding animo kemudian ke peringkat delapan dari 14 klub QSL! Padahal mereka telah mengimpor lima pemain internasional; Mohammed Muddather (Sudan), Imoh Ezekiel (Nigeria), Ashkan Dejagah (Iran), Pablo Hernandez (Spanyol), dan Paulinho (Brasil).

Yang menarik dari dari fenomena bursa transfer di Semenanjung Arab, tiada lain, belum tergesernya posisi Brasil sejak 2010 sebagai kontributor utama di wilayah tersebut dengan 693 pemainnya. Ini tidak mengherankan karena Brasil pula jawara dunia pengekspor pesepak bola dengan rekor 5,526 pemain hingga 2014, atau 13% dari total transfer pemain sejagat. Di posisi kedua yakni Argentina dengan 2.632 pemain.

Unsur Primordialisme

Krisis finansial global pada 2009, yang mengerem laju transfer pemain di Eropa, justru menaikkan impor pemain ke jazirah Arab. Bayaran tinggi, kemudahan aduhai, tata kelola dan transparansi baik, dan semakin tingginya mutu kompetisi menjadi ukuran utama para profesional untuk berkarier. Belakangan ini, SPL, UAGL, dan QSL diakui AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) ke dalam 10 besar kompetisi paling bermutu di Asia.

Bermutu kerapkali identik dengan laba. Memang begitu adanya. Liga-liga gurun pasir ini mampu meningkatkan revenue streams secara signifikan mirip pemasukan tiket, hak siar, sponsorship hingga pernak-pernik penjualan lainnya (merchandising). Faktor permainan diawali oleh pemain, dan kehebatan pemain dibentuk oleh pelatih bermutu. Sejatinya trend yang tinggi itu tidak sebanding dengan laba yang didapat klub dari proses transaksi transfer.

Usut punya usut, rupanya 19 distributor pemain resmi berstempel FIFA yang berkeliaran di wilayah ini memegang peranan penting. Mereka menghipnotis klub-klub melaksanakan banyak transfer konyol dengan mengimpor 'pemain yang tak perlu' atau yang bermotivasi cuma cari duit setelah terlempar dari persaingan di Eropa. Semakin banyak pemain datang, tentu semakin besar pula pendapatan para agen itu.

Kadang kurun campur tangan investor Arab atau para sheikh oligarkis yang memiliki klub-klub top Eropa ikut bermain di air keruh dengan bermacam cara. Mereka sempat kelabakan saat di 2010 UEFA meloloskan peraturan ketat Financial Fair Play (FFF) yang bertujuan menata kembali disiplin dan rasionalitas pengelolaan keuangan klub.
 nyaris tidak ada yang meragukan kemampuan negara Sepak Bola di Tanah Arab (2): Dahsyatnya Kurotul Qodam
Pentahbisan sang juara liga di Arab Saudi lebih glamor dari Eropa.
Dengan peraturan ini, hampir bisa dipastikan UEFA memaksa klub-klub akan menerima laba murni dari football income, bukannya dari selisih di permainan transfer. FFF juga berguna untuk menangkal transfer abnormal-gilaan klub-klub Arab yang mampu memporak-porandakan kompetisi di Eropa. Oleh jadinya, atas perjuangan para biro tadi, pemain-pemain terbuang yang motivasinya hanya uang pun gampang didatangkan.

Pemain yang tidak tepat, pembelian yang terburu-buru hingga kedatangan para bintang uzur dinilai berkorelasi besar lengan berkuasa dengan pencapaian target klub. Karena uang bukan soal dan hukum bisa disesuaikan, maka dengan mudahnya klub-klub mematok harga pemain secara keterlaluan yang nyaris tidak masuk akal.

Di sini juga berlaku aturan paling semena-mena di sepak bola, budaya memecat instruktur. Sekali mengesalkan pemilik, silakan angkat koper, meskipun beliau telah memberi prestasi. Nuansa kesetaraan jauh panggang dari api sangat terasa. Biang keladi dari semua arogansi ini ialah faktor uang berlimpah, pengambil-keputusan tradisional dan tindakan instingtif yang tiba dari budaya hasil tempaan alam yang keras.

Seharusnya kompetisi sepak bola di Arab merasa rugi sebab kontinuitas terganggu. Namun nyatanya tidak. Buat mereka gebyar sepak bola yang diinginkan memang harus berbeda dengan di Eropa. Meski amat menyenanginya, Arab tidak terlalu obsesif dengan sepak bola. Biar bagaimanapun sepak bola itu hanyalah permainan, merupakan urusan duniawi belaka.

Sadar dengan kontur alam dan iklim yang dimiliki, mereka mengemas sepak bola di luar kebiasaan. Di wilayah ini kompetisi lokal harus dimainkan selepas waktu shalat Magrib atau Isya. Selain mengedepankan waktu beribadah dan menuntaskan pekerjaan, juga untuk mencari suhu kondusif semoga sepak bola mampu dimainkan dan ditonton. Bisa dibayangkan bila pemain, wasit, dan penonton terus-kanal bermain di suhu 40 derajat Celcius.

Ketika memasuki Ramadhan, pertandingan sedikitnya digelar sekitar jam 21.00 waktu setempat setelah usainya Shalat Tarawih. Satu-satunya motivasi mereka untuk aneh-gilaan membuang uang tiada lain sebab sentimen dan sifat dasar hobi berseteru antar suku atau kabilah sesama bangsa Arab. Di kurun modern sekarang mereka menimbulkan sepak bola sebagai alat persaingan primordialisme yang prestisius.

Fenomena ini kian memberikan bahwa mereka menganggap sepak bola sebagai urusan dunia belaka, yang bisa bermanfaat tapi juga bermudarat. Negeri-negeri Arab tidak mau kulturnya diatur-atur oleh kurotul qodam, tetapi kurotul qodam-lah yang mesti ikut kultur mereka. Lain padang memang lain belalang. Apa mau dikata, sepak bola, bagaimana pun pentingnya, hanyalah sebuah permainan. Dan permainan cuma bab kecil dalam kehidupan.

(foto: ueainteract/behance.net/alriyadh)

0 comments:

Post a Comment