Selain Arsene Wenger, sosok yang 'paling bertanggung jawab' atas sukses Leicester City mampu menjadi juara Premier League tentu saja Claudio Ranieri. Simaklah cara main Danny Drinkwater dkk..., oh, kemudian apa kesimpulan Anda? Cita rasa Italia? Mirip klub-klub Serie A, atau mungkin mengingatkan orang pada jalan sukses Italia ketika merebut juara dunia 1982 dan 2006? Betul! Kira-kira mirip itulah.
 |
Bumi Italia dilanda geger luar biasa mendengar isu dari Inggris. |
Di dalam darah setiap manajer asal Italia selalu terkandung mentalitas dan DNA 'jangan hingga kalah' yang diejawantahkan dengan gaya main contro tiempo dan seni manajemen L'uomo contro uomo. Tidak menang tidak persoalan, yang jadi persoalan apabila kalah. Lewat skor 1-0, 2-1, atau 2-0, begitu pula statistik angka-angka yang dikumpulkan klub yang bermarkas di Stadion King Power, yang dulu berjulukan Stadion Walker itu.
Bayangkan, dari 33 kali laga di Premier League 2015/16 klub sekecil Leicester City hanya kalah 3 kali yang berarti prosentase kekalahannya cuma di bawah 10 persen. Dengan kata lain, setiap main 11 kali mereka hanya sekali kalah! Dua kekalahan yang diderita Ranieri dibentuk oleh Wenger (2-5 dan 1-2) serta Juergen Klopp (0-1). Berbekal rekor yang cukup fantastis, diantaranya 5 kali menang 1-0 dan 4 kali menang 2-1, boleh jadi Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur) hanya cuma bisa berharap 'si tukang tambal sulam' ini tiba-tiba terjerembab, jika bisa sampai dua-tiga kali.
Mengharapkan yang lain rasanya sulit dilakukan lantaran semua punggawa The Foxes sedang in the mood dan lagi bermental baja untuk menjemput impiannya. Namun ada satu impian khusus, sebuah stigma yang barangkali mampu menggagalkan laki-laki kelahiran 20 Oktober 1951 ini. Apakah itu? Kutukan! Sepanjang hidupnya, Ranieri selalu dipeluk akrab oleh orang yang pecundang di saat simpulan alias berpuncak sebagai nomor dua.
 |
Juventus jadi apes di tangan Ranieri. |
Benarkah demikian? Jika ditanyakan pribadi ke orangnya, tentu saja beliau menampik. "Orang-orang menyampaikan saya orang yang tidak mampu juara, pribadi mampu aku jawab dengan lihat dulu kondisi tim bekerjsama," ucap Ranieri. Dunia mematok sebagai instruktur yang baik hati, tapi bukan seorang pemenang. "Tidak satupun yang pernah memberi saya secara total dalam hidup. Saya selalu mulai dari nol," tambahnya tegas.
Bangsa Italia dan Serie A tentu saja terkejut melihat rekor Leicester, sekaligus mesem-mesem melihat abnormalitas di sepak bola Inggris. Maklum di Serie A, Ranieri yakni manajer kelas 1,5 menjurus ke level 2. Di tangan Ranieri, pada masanya klub sekuat Napoli, Fiorentina, Roma, Inter, bahkan Juventus pun tidak mampu dibawanya menjadi scudetto. Apalagi Cagliari dan Parma yang pernah juga memakai jasanya.
Di Napoli (1991-1993), sepeninggal Diego Maradona, posisi puncak Ranieri yakni empat di Serie A walau saat itu ia punya Gianfranco Zola, Antonio Careca, Daniel Fonseca, Fernando De Napoli, Massimo Crippa, Ricardo Alemao, duet bek tengah Laurent Blanc dan Ciro Ferrara serta kiper Giovanni Galli. Tak heran dia ditendang setelah dua musim. Lanjut ke Fiorentina (1994-1997), hasil puncak juga di posisi empat. Halah.  |
Seharusnya bisa meraih scudetto di Fiorentina. |
La Viola pun kapok berat. Padahal waktu itu Fiorentina diisi para bintang; Gabriel Batistuta, Luis Oliveira, Manuel Rui Costa, Sandro Cois, Stefan Schwarz, Andrei Kanchelskies hingga kiper Francesco Toldo. Yang unik adalah Parma ketika mencoba peruntungan memakai jasa ia di 2006-07. Bukannya menanjak, mereka malah bablas bin amblas di posisi 12. Juve juga dua kali bersabar dengannya pada 2007-08 dan 2008-09.
Tapi sesudah dua kali berposisi ketiga lalu kedua, surat talak tiga dari Bianconeri pun melayang kepada Don Claudio. Dasar orang baik maka nasibnya pun baik. AS Roma datang dengan harapan tinggi pada Ranieri di masa 2009-2011. Di demam isu pertamanya, akhirnya mengejutkan walau kutukan itu belum juga lepas: posisi runner-up! Ah coba lagi di musim berikutnya, celaka 12, balasannya malah parah.  |
Sosok Ranieri ini adalah impian palsu buat AS Roma. |
Di tengah perjalanan Ranieri risikonya mendapat surat PHK. Di dikala itulah Ranieri merasa Italia bukanlah tanah air bagi kehidupan sepak bolanya. Namun dikala ingin kembali berkelana, entah kenapa Inter pun terpincut dengan Ranieri di demam isu 2011-12. Barangkali Massimo Moratti berharap bisa mengubah jalan hidup klubnya dengan memakai Ranieri waktu klubnya dilanda prahara usai ditinggal Jose Mourinho.
 |
Ranieri dan Inter. Terkenal sebagai penyelamat dan spesialis runner-up. |
Eh tenyata benar. Maklum saat itu Inter tersuruk hingga ke posisi 18 dikala dipegang Gian Piero Gasperini. Dengan telaten dan sabar mirip khasnya, Ranieri mengangkat Inter hingga ke posisi enam klasemen simpulan! Grazie Ranieri, kami berterima kasih tapi dirimu tetap harus pergi. Begitu kira-kira perilaku Interisti dikala itu. Seperti inilah nasib Ranieri, persis seperti yang dibilang tadi. Dia tidak pernah mendapat pertolongan total.
Ketika diwawancara La Repubblica, awal April lalu, tampak banyak pertanyaan yang masih mencurigai kapabilitasnya meskipun posisi Leicester sudah nyaris niscaya bakal merebut mahkota Premier League. Begitulah tipikal Italia. Rekam jejak jadi patokan. "Saya memegang Napoli yang sedang bingung ditinggalkan Maradona, dan risikonya tidak mengecewakan. Napoli sempat menang 5-1 atas tuan rumah Valencia di Piala UFEA," ucapnya.
 |
Asal muasal reputasi Ranieri berasa dari sini. |
Napoli yaitu klub pertama yang mengangkat nama bekas bek Roma, Catanzaro, Catania, dan Palermo itu ke blantika sepak bola Eropa. Kesempatan itu datang setelah ia sukses mengantarkan Cagliari menjuarai Serie B 1990-91 sehabis 3 tahun menjadi pelatihnya. Sejak menangani klubnya Diego Maradona itulah nama Claudio Ranieri mulai dikenal orang sampai kini. Sebuah perjalanan epik lebih dari tiga dekade.
(foto: givemesport/thesun/istimewa)
Related Posts:
Sir Alex Ferguson (3): Cara Mengendalikan Bisnis Di suatu pagi suram pada final Maret 2005, angin menderu liar menciptakan dedaunan dan ranting aneka pepohonan besar yang memagari markas latihan Carrington ikut bergoyang keras. Musim semi baru saja tiba, namun suhu sudah m… Read More
Formula 1 Dan Football (3-Habis): Ikon Bisnis Olah Raga Waktu Michael Schumacher mendermakan uangnya US$ 10 juta untuk korban tragedi tsunami di Aceh, sah-sah saja banyak kalangan terhenyak. Luar biasa dermawannya orang ini. Pasalnya, orang terkaya nomor satu di dunia saja, Bill … Read More
Formula 1 Dan Football (2): Show Me The Money! Di Inggris, Frank Lampard dan Sol Campbell dibayar £100 ribu (Rp 1,7 milyar) sepekan atau sekitar £5,2 juta (Rp 85 milyar) setahun. Sedangkan honor dua pembalap top Britania, Jenson Button dan David Coulthard, masing-masing … Read More
Sir Alex Ferguson (1): Ksatria 1.500 Tubruk Setelah hampir 40 tahun berkutat di lingkungan manajemen permainan, dan dengan sangat menakjubkan mampu mengumpulkan total 49 trofi untuk tiga buah klub, pada Rabu 8 Mei 2013, Sir Alexander Chapman Ferguson CBE tiba-tiba men… Read More
Sir Alex Ferguson (2): Sumber Kehebatannya Seorang bintang film naik ke panggung untuk mendapatkan trofi penghargaan. Dia menangis bersyukur, lalu berpidato dengan gaya kocak yang bikin hadirin terpingkal-pingkal sekaligus melupakan kesedihan sang pemain drama. Dan y… Read More
0 comments:
Post a Comment