Saturday, August 15, 2015

Anglo-Italian: Reinkarnasi Kala Lalu

Bicara perjalanan sejarah sepak bola global, memang Inggris dan Italia yang patut banyak dikenang. Keduanya ialah ikon penguasa kala silam permainan yang masih eksis hingga sekarang dalam mempertahankan reputasinya, sesuatu yang tak bisa dilakoni Cina, Yunani, Jepang, atau Mesir. Kisah peperangan selalu menginspirasi kemenangan, sekaligus bikin kekalahan menjadi pelajaran hidup.
Bicara perjalanan sejarah sepak bola global Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Kapten nasional terbaik. Sir Bobby Moore dan Giacinto Facchetti.
Berdasarkan kata kerja, perang dan sepak bola terperinci berbeda. Namun kata sifatnya tetap sama, ingin saling mengalahkan. Dan terlalu sulit dipungkiri, di dalam acuan administrasi dasar pun keduanya punya corak yang sama. Setidaknya sama-sama untuk memenangi persaingan toh?

Sejarah klasik kerap bercerita, bahwa untuk memenangi perang sungguhan itu sangat diperlukan strategi, strategi, artileri, tentara, hingga pasukan khusus. Hmm, setuju. Lantas, bukankah memenangi perang di sepak bola juga diperlukan skuad, pemain, kapten, strategi, seni manajemen hingga pelatih atau manajer?

Dunia telah berubah. Sekarang tidak lagi harus mirip peperangan klasik ketika ingin menguasai suatu negara bahkan beberapa wilayah sekaligus. Kini yang dibutuhkan cuma nota janji, sekelompok pemain bola hebat, dan sekian brand kesebelasan yang sebisa mungkin ngetop pula. Jujur saja, perluasan dalam perang sekarang telah berganti menjadi ekspansi dalam bisnis.

Bicara perluasan sepak bola, Kerajaan Inggris tentu jagoannya. Bangsa ini dicatat abadi oleh sejarah dunia sebagai penemu sepak bola atau kreator permainan lantaran menjadi pihak yang pertama kali bikin tata cara atau hukum pertarungan biadab sehingga menjadi beradab. Maka wajarlah kalau industri Premier League sekarang menghebat. Ada lintasan waktu yang tidak mampu diabaikan.

Kaprikornus pertanyaan kenapa skala bisnis Premier League sekarang mampu jadi yang terbesar dan terkaya dibanding kompetisi lain sangat berbanding lurus dengan pertanyaan kenapa mereka bisa sukses melahirkan sepak bola. Sumber jawabannya yaitu soal kompetensi, di dalamnya sudah termasuk pengalaman, kemampuan, dan reputasi serta historikal.

Apapun jadi menarik, diperhatikan, bahkan dipercaya orang saat sosok atau ada pihak dianggap sebagai ahlinya. Posisi tawar Premier League jadi tinggi alasannya adalah ini kompetisinya bangsa Inggris, si penemu sepak bola. Begitu kental kesan legacy-nya, hingga-hingga berlaku ungkapan di mana argumentasi kebenaran jadi tidak relevan lagi, bukan apa yang dikreasi, tetapi siapa yang mengkreasi.

Di eranya, label Kerajaan Inggris adalah The Great Empire. Faktor Revolusi Industri (James Watt sampai Richard Trevithick), Revolusi Sains (Sir Isaac Newton, Charles Darwin, Stephen Hawking) atau Revolusi Informasi dengan Alexander Graham Bell (telepon) hingga Sir Timothy John Berners-Lee (internet) sangat mensugesti keunggulan kompetensi Great Britain dalam permainan dan law of the game, bahkan hingga saat ini.

Sementara Italia tidak mau kalah. Sebut saja beberapa gelintir di antaranya. Di komunikasi ada Guglielmo Marconi dan Antonio Meucci, pembuat sinyal radio dan telepon. Lebih renta lagi ada Evangelista Torricelli dan Galileo Galilei, dua penemu barometer serta termometer.

Globalisasi bahasa Inggris dan pencitraan angkatan perangnya (darat, maritim dan udara), kian memastikan adikarya Inggris di sepak bola tampaknya pasti wow dan patut diikuti, sebagaimana industri musik mereka. Apakah cuma Inggris saja yang berbuat banyak di sepak bola dengan mengandalkan latar belakang sejarahnya? Ternyata tidak.
Bicara perjalanan sejarah sepak bola global Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Francesco Totti dan Wayne Bridge. Dua kebudayaan sepak bola terkuat.
Setelah mendengar planning Serie A bikin terobosan gres dengan menggelar sebagian laganya di mancanegara mulai isu terkini 2015/16, hal implisit pertama yang perlu dikaji apakah alasannya? Untuk menjawabnya, lagi-lagi kita butuh sejarah. Atau setidaknya memahami ungkapan klasik Tutte le strade portano a Roma (banyak jalan menuju Roma).

Bicara sepak bola, Italia punya aturan, bahkan kitab suci atau 'nabi' sendiri. Di satu sisi, tampaknya hanya negara ini yang tak mengakui Inggris sebagai penemu sepak bola, kecuali cuma membuat aturan permainannya, alasannya adalah ada klaim merekalah bergotong-royong yang pertama memainkannya. Dirunut dari horison waktu, semenjak dulu kedua bangsa ini memang berseteru.

Peletupnya dimulai dari perluasan tentara Kekaisaran Romawi di bawah rezim Gaius Julius Caesar (100 SM-44 SM) ke Pulau Britania pada tahun 55-54 SM. Peperangan besar melawan penguasa Inggris kuno pimpinan Cassivellaunus pun tak terelakkan. Konon, tentara Romawi sering menggunakan bagian kepala hasil kekejaman perang sebagai 'bola' dalam permainan menendang.

Pemberontakan dan Tekanan

Mereka melaksanakan itu untuk mencari kesenangan atau mengisi waktu luang. Rakyat setempat membalasnya saat giliran mendapat kepala prajurit Romawi. Malah diceritakan kedua kubu pernah menggelar sabung resmi dengan sepotong kepala musuhnya. Barangkali hal seperti inilah yang mengawali stigma bahwa sepak bola itu sejatinya ialah permainan biadab menjadi sulit dibantah.

Untungnya kisah kedua perseteruan Italia vs Inggris terkesan lebih edukatif. Terjadi sempurna di periode Renaissance, di kurun pertengahan. Seorang pangeran nyentrik dan seniman serba bisa dari Firenze berjulukan Giovanni De Bardi menyusun cerita sebuah permainan adonan yang seperti rugbi dan sepak bola pada sebuah buku berjudul Discorso sopra il Giuoco del Calcio Fiorentino del Puro Accademico Alterato, atau disingkat Calcio Storico, pada 1580.

Di dalam Calcio Storico disebutkan hukum sepak bola dan bagaimana cara menjalankan olah raga menendang, il Giuoco. Bukan itu saja, bahkan tata kelola penonton, ukuran lapangan, komposisi dan tugas pemain, harga tiket hingga regulasi kompetisi atau kelas duduk penonton dipaparkan. Dari buku itu pula muncul istilah yang digunakan Italia sampai sekarang, ialah Calcio, sepak bola.

Klaim Italia lebih duluan dari Inggris dalam menyusun kitab sepak bola memang terbukti karena jikalau Calcio Storico terbit pada 1580, buku karya Richard Mulcaster, Position Where in Those Primitive Circumstanes be Examined, baru lahir setahun kemudian. Dari buku Mulcaster inilah, hampir tiga periode lalu, para mahasiswa Universitas Oxford mengubah kronologis panjang ribuan tahun ke titik signifikan dengan mempresentasikan hukum baru permainan sepak bola.

Mereka mengumpulkan para pemilik klub di Inggris sehingga amat berperan signifikan atas berdirinya FA, sekaligus kepastian lahirnya sepak bola modern, 26 Oktober 1863 di London. Hanya berselang ahad FA bangkit, mereka mencetak buku peraturan lalu mengirim ke negara tetangga dan jajahannya di seluruh dunia. Yang lucu, rupanya Italia juga mendapat kiriman paket tersebut.

Calcio Storico jadi tidak bermanfaat buat dunia alasannya adalah dikala itu Italia sudah tak punya angkatan bahari tangguh dan jajahan luas seperti Kerajaan Inggris yang membuat efek atau bahasa mereka tidak mampu populer sejagat. Padahal bila ditarik ke era silam, jelas-terperinci Romawi ialah imperium terbesar di dunia di luar Persia, justru waktu Britania masih hidup di zaman watu.
Bicara perjalanan sejarah sepak bola global Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Gaya fenomenal Filippo Inzaghi di dpan Liverpool.
"Kamilah pemilik pagelaran sepak bola paling sukses di dunia," kata Richard Scudamore, CEO The Premier League. Arogan? Tergantung sikap Anda. Ungkapan Tobias Jones tentang Italia pada buku The Dark Heart of Italy rada sensasional. "Untuk memahami abjad bangsa ini, pahamilah aksara permainan mereka di sepak bola," tulisnya. Jose Mourinho ikutan menguak realita. "Bersaing? Italia main bola cuma 90 menit seminggu, sedangkan Inggris 12 jam seminggu!"

Sejak usang para analis dan ekonom bilang bahwa Premier League yaitu inventaris bisnis terbaik sepak bola yang pernah ada. Padahal semua tahu, tidak satupun kompetisi yang sanggup membendung popularitas Serie A sampai awal milenium sebelum dihancurkan oleh bangsa Italia sendiri melalui Calciopoli.

Secara prestasi fakta juga impresif. Klub-klub Serie A lebih mendominasi titel ketimbang tim-tim Premier League. Belum lagi di pentas nasional. Italia lebih sering jadi juara dunia. Parahnya, buat Inggris titel juara Eropa saja statusnya tetap tidak mungkin. Meski berseberangan, anehnya jiwa sepak bola Inggris dan Italia bekerjsama seperti. Inggris dilandasi oleh pemberontakan, Italia oleh tekanan.

"Di Inggris, secara seksual anak-anak sudah tertindas, terusir dari sekolah, atau dikirim ke asrama yang melahirkan pemberontakan diri. Inggris membenci (kehidupan) anak-anak. Di Italia kebalikannya, anak-anak tetap tinggal bersama orang tuanya, bahkan sampai usia mereka 30 atau 40 tahun," terang Malcolm McLaren, kreator grup band Sex Pistols.

The Battle of Highbury
Bicara perjalanan sejarah sepak bola global Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Wasit Otto Olsson dan dua kapten, Attilio Ferraris dan Eddie Hapgood. Klasik dan legendaris.
Di pentas kala industri dan informasi, persaingan terselubung Inggris dan Italia selalu ada namun melulu berada di atas lapangan hijau, tidak terkecuali drama sebelum dan seusai sabung. Hasilnya Inggris mendominasi diplomasi dan media global yang bikin Italia banyak tersudut kecuali hasrat mempertahankan dominasi di permainan. Di sinilah Italia biasanya merajutnya sangat serius.

Namun di sebuah adu persahabatan yang menjadi puncak permusuhan dua kultur terjadi pada 14 November 1934. Tempatnya di Highbury, stadion milik Arsenal. Oleh karena itu pers lokal menyebut berkelahi ini The Battle of Highbury. Buat masyarakat ketika itu malah lebih bombastis: akhir Piala Dunia yang bantu-membantu. Meski Italia baru menjuarai Piala Dunia 1934 yang kontroversial itu, tapi dunia tahu waktu itu Inggris adalah kampiun Eropa tidak resmi.

Laga makin dramatis mengingat era itu Italia sangat membenci Inggris gara-gara friksi politik. Inggris juga ikut membenci Italia sesudah Benito Mussolini memegang tampuk kekuasaan dengan mazhab fasisme, yang salah satu visinya mengidamkan kebudayaan Romawi sebagai tujuan politiknya. Apalagi sejak 1928 FA, yang merasa pemilik sejati sepak bola, bercerai dengan FIFA yang ditunggangi barisan negara-negara penentang dominasi Inggris di sejarah kurun lalu.

Il Duce amat fasih sejarah klasik periode silam sehingga amat berkepentingan pula dengan sabung itu. Ia menjanjikan hadiah bagi setiap pemain berupa kendaraan beroda empat Alfa Romeo ditambah uang bila Azzurri menang. Rombongan menuju London dengan hati berbunga-bunga, dipimpin Vittorio Pozzo, jenderal sepak bola legendaris. Momen ini sekilas mengingatkan orang dikala Gaius Julius Caesar memerintahkan Gaius Volusenus sebagai pimpinan armada Romawi dikala menginvasi Britania.

Pasukan Pozzo hanya diperkuat tiga pemain yang bukan dari Juventus dan Inter: Eraldo Monzeglio (Bologna), Enrique Guaita (Roma), dan kapten tim Attilio Ferraris (Lazio). Sisanya terjadi dominasi. Lima dari Juventus (Giovanni Ferrari, Raimundo Orsi, Luigi Bertolini, Pietro Serantoni, dan Luis Monti), dan tiga dari Inter (Carlo Ceresoli, Luigi Allemandi, dan Giuseppe Meazza).
Bicara perjalanan sejarah sepak bola global Anglo-Italian: Reinkarnasi Masa Lalu
Duel sengit Inggris vs Italia di Highbury. Tujuh pemain Arsenal.
Uniknya dominasi juga terjadi di kubu tuan rumah. Starting XI Three Lions dijejali oleh 7 pemain Arsenal (Frank Moss, George Male, Eddie Hapgood, Wilf Copping, Ray Bowden, Ted Drake dan Cliff Bastin)! Hanya Stanley Matthews (Stoke City), Cliff Britton (Everton), Jack Barker (Derby County) dan Eric Brook (Manchester City) yang bukan. Berbeda dengan Italia dengan skuad yang berpengalaman, Inggris mengandalkan tim muda yang semuanya di bawah 10 kali membela tim nasional.

Akan tetapi hasilnya luar biasa. Wasit Otto Olsson (Swedia) dan 56.044 orang yang memadati Highbury jadi saksi hidup sejarah klasik Anglo-Italian. Baru dua menit Drake telah meretakkan tulang kering Monti, dalam tubrukan yang tidak terhindarkan. Gilanya lagi, Monti masih sanggup main sampai 15 menit, barangkali masih memimpikan Alfa Romeo. Akhirnya beliau roboh dan Italia harus tampil dengan 10 orang alasannya waktu itu sepak bola belum mengenal pergantian pemain.

Gara-gara itu pula Inggris eksklusif unggul tiga gol sesudah Brook dan Drake melesakkan bola ke jala Beseroli hanya di 12 menit pertama. Bayangan wejangan Mussolini rupanya melecut Azzurri. Di babak kedua, Meazza memborong dua gol di menit 58 dan 62. Skor jadi 3-2, dan perjuangan mahir Azzurri harus berhenti, tidak berubah, sampai Olsen menyudahi laga. Kisah Battle of Gergovia, mana kurun Vercingetorix mengakhiri kekuasaan Romawi di Britania pada 46 SM, seperti terulang.

Penjelasan historis dan paparan pertarungan telah akhir. Cerita ini selalu dicerna, laten, dan berurat akar secara turun temurun hingga kini dan ke depan. Ada kemarahan, ada respek. Lintasan berikut telah menunggu, karena DNA para leluhur yang masih bersemayam kuat di tubuh generasi para pewaris, niscaya bakal mendorong friksi Anglo-Italia di sepak bola di abad depan secara alamiah.

Tanda-tanda awalnya ada, setidaknya ketika merenungi rencana Serie A siap mendobrak kekuasaan Premier League di pasar global tontonan bola mulai tahun depan. Serie A punya momentum untuk mengembalikan abad kejayaannya setelah satu dekade terakhir ini, praktis dikuasai Premier League. Satu bagian terakhir yang belum terungkap, The Battle of Alesia, tampaknya bakal menjadi reinkarnasi yang entah kapan terjadinya.

(foto: huffingtonpost/mirror/footyfair/PA)

0 comments:

Post a Comment