Monday, March 9, 2015

Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri

Medio 1980-an, saat penulis masih anak-anak, kata-kata yang kini dikenal dengan tiki-taka bahu-membahu sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran eksklusif Piala Dunia atau Piala Toyota di TVRI.  Satu yang paling rajin berdasarkan aku adalah Eddy Sofyan. Dia suka menyebutnya dengan ‘tik-tak’ yang berkonotasi umpan-umpan pendek, permainan tek-tok layaknya karambol atau ding dong

Bangunan khas gaya tiki-taka.
Namun, maaf, sumber kicauan ihwal tik-tak alias tiki-taka atau tuqui-taca saat itu bukan mengomentari sepak bola Matador, namun gaya permainan Latin kebanyakan tim-tim Brasil atau Argentina. Tidak ada nama Spanyol dikala itu di sanubari penggila bola di Tanah Air. Reputasi Real Madrid atau Barcelona pun tidak berdengung di sini alasannya adalah tertelan oleh gaya Italia, Jerman, Belanda dan Latin. Tapi saya ingat, gol Johan Cruijff ke gawang Argentina pada Piala Dunia 1974 yakni gol beraroma tiki-taka.  

Kaprikornus di abad itu di Indonesia, para pengamat sepak bola, wartawan, instruktur termasuk pemain bahkan masyarakat pasti tidak gila dan sudah dekat dengan istilah tiki-taka yang bersumber dari ucapan ‘tik-tak’. “Kita harus main tik-tak, oper dengan cepat, berlari melintasi lawan dan terima bola itu lagi ya,” begitu bunyi seni manajemen main sebuah tim sepak bola kampus di selesai 1980-an.

Di kompetisi Galatama (pro) atau Perserikatan (amatir) di kurun itu juga, permainan bola-bola pendek sangat mewarnai pertandingan resmi di Indonesia. Orang yang paling getol memainkannya ialah (almarhum) Ronny Pattinasarani di Warna Agung – tim yang dikapteninya. Kolaborasinya dengan Rully Nere, Robby Binur, dan Stefanus Sirey di lini tengah tik-tak Warna Agung begitu aduhai. Waktu kecil saya melihat sendiri bagaimana ia mengorkestrai untuk menggedor catenaccio alot ala Jayakarta dalam kompetisi Galatama 1979/80 di Senayan.  

Kata tiki-taka pertama kali mendarat di gendang telinga orang pada Piala Dunia 2006. Saat itu presenter AndrĂ©s Montes yang mengomentari jalannya berkelahi Spanyol vs Tunisia bertanya pada komentator Javier Clemente perihal cara passing tim La Furia Roja. “Estamos tocando tiki-taka tiki-taka,” kata mantan pelatih nasional itu. Maknanya “kita bermain tiki-taka tiki-taka.”  

Asal muasal frasa tiki-taka atau clackers dalam Inggris sampai sekarang diperdebatkan. Dalam bahasa umum, umpan pendek diantara pemain sering disebut “tick”, apakah dari situ beliau berasal? Bisa juga ia berasal dari ungkapan Latin, “onomatopoeic”, yang kira-kira mirip “wush atau duarr” di Indonesia. Tapi yang niscaya, inilah ungkapan yang mewarnai perjalanan Barcelona.
 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Puncak kejayaan tiki-taka ada di tahun 2010.
Ketika Spanyol meraih tripel trofi terhebat sepak bola pada 2008, 2010, dan 2012, tiba-tiba tiki-taka berdengung keras bak baling-baling helikopter. Hampir semua media di seluruh dunia mustahil tak menulis atau membahas konsep permainan fantastis itu di Piala Eropa dan Piala Dunia. Begitu juga di 2009 ketika Blaugrana meraih La Sexta, enam trofi, di Spanyol hingga Eropa.   

Di bawah komando Pep Guardiola sepanjang 2008-2012, Barcelona mengubah konsep tiki-taka secara ekstrem. Ia mencuci otak seluruh alumnus La Masia – perguruan tinggi sepak bola Barca – untuk memainkan sepak bola menekan dan menyerang secara simultan 2 x 45 menit konstan bin intensif! Sebelum menangani tim senior, ia memang pelatih di perguruan tinggi itu. Pep menyempurnakan visi Cruijff secara modern, dan eksklusif kena di era milenium ini - di mana teknologi, transformasi, komunikasi, infrastruktur banyak mengubah sepak bola sebagai permainan digital dan matematis.  

Jakun Pep kian naik-turun memikirkan potensi tiki-taka dan peluang besar Barcelona seusai lahirnya perubahan Hukum Offside yang disahkan oleh dua kekuatan sepak bola dunia, FA dan FIFA, pada 2005. Kebetulan antara tahun 2000-2006, Barca sedang hilang dari “peredaran” blantika La Liga. Di sinilah dia menyiapkannya dengan baik. Dengan hukum gres ini tiki-taka lebih mendorong bek lawan dan memperluas efektivitas bermain melebar. Di sisi lain, keterampilan para bintangnya akan lebih tereksplorasi dengan baik.  

Mazhab Barcelona  

Mentor Guardiola untuk mengimprovisasi tiki-taka gaya gres tiada lain “Pakde-nya sepak bola Spanyol dan Barcelona” plus tiki-taka juga, yakni Meneer Cruijff. Keduanya membuka berkas-berkas lama. Memelototi pedoman totaal voetball termasuk menciptakan garis pertahanannya, pertukaran posisi, cara mengontrol permainan, dan yang lebih penting cara melepaskan umpan dengan segala kondisi.   

Cruijff mengimplementasikan tiki-taka sewaktu berada di Barcelona, mulai dari jadi pemain, manajer hingga administrator teknik. Bukan Guardiola tapi dua manajer asal Belanda, Louis van Gaal dan Frank Rijkaard, yang pertama kali menerima rumusan tiki-taka. 
 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Salah satu syarat supaya tiki-taka berjalan ideal ialah pemainnya harus pendek!
Sistem permainan ini amat ciamik bin ideal jika dijalankan oleh pemain muda berusia antara 22-27 tahun dan harus bertubuh kecil alias tidak tinggi. Tak heran jikalau selain Xavi, pemain macam AndrĂ©s Iniesta, Cesc FĂ bregas, Lionel Messi, Pedro Rodriguez, selain jadi produk La Masia juga berpostur mini untuk ukuran Eropa (di bawah 180 cm).   

Hingga sekarang tradisi itu dipertahankan. Jordi Alba, Luis Suarez, Neymar, Dani Alves sampai Rafinha. Pendek kata, kalau Anda jangkung maka peluang jadi pemain Barcelona terbilang kecil karena, barangkali, punya gaya gravitasi yang lemah. Konsep tiki-taka amat bergantung pada kehebatan sentuhan, keluasan visi, dan kematangan operan sebagai modal dasar permainan possession yang menjadi identitasnya. 

“Anda harus memenangkan bola lagi dikala berada di zona 30 meter dari gawang lawan, bukan di zona 80 meter,” kalimat ini sangat populer beradar di La Masia atau markas besar Camp Nou. Tiki-taka menyisakan satu striker palsu yang sering disebut “false-9” yang seluruh potensi permainannya didukung tujuh pemain kecuali kiper dan dua bek tengah. Aliran bola harus lancar, mulus, dan fasih dari segala penjuru. Dua bek sayap juga dipaksa berkecimpung dalam serangan, menuntut gelandang bertahan mengerahkan kemampuan operannya serta kiper harus rela merangkap jadi libero.  

Barcelona memainkan tiki-tiki model gres lebih sempurna ketimbang tim nasional Spanyol. Outcome produktivitas gol sering jadi pembeda di mana Barcelona lebih gampang bikin gol alasannya adalah lebih kompak dan fasih menerapkannya. Tapi prinsip permainan keduanya tetap sama, berasal dari istilah Tiqui-Taca yang menggambarkan abjad permainan umpan pendek dan pergerakan.  

Jika Pep Guardiola maestro terakhir yang menerapkannya, maka tiki-taka diperkenalkan pertama kali secara lengkap oleh Hendrik Johannes Cruijff alias Johan Cruijff, manajer Barcelona 1988-1996. Selain Pep dan Cruijff ada pula almarhum Luis AragonĂ©s dan Vicente Del Bosque, dua instruktur La Furia Roja yang memberi Spanyol gelar juara Eropa 2008, juara dunia 2010, juara Eropa 2012. 

 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Tiki-taka selalu menyajikan pemandangan geometris dan diagonal.
Pada dasarnya tiki-taka yakni konsep permainan zona. Sewaktu masih menjadi instruktur kepala di La Masia, Pep mengecat seluruh lapangan bola dengan puluhan kotak besar dan kecil hingga-hingga terlihat seperti lapangan bulutangkis. Tindakan ini merefleksikan pentingnya zona per zona untuk setiap pemain Barcelona semoga bisa memainkan tiki-taka dengan tepat.

Di atas semua itu, tiki-taka menjadi satu-satunya sistem permainan sepak bola yang amat mementingkan kekompakan dan persatuan tim untuk dapat memahami secara komprehensif tentang sepak bola geometri. Sekali lagi, deskripsi tiki-taka begitu mudah: operan pendek sekali-dua kali, bergerak liar, kuasai bola sampai terlihat tidak ada bedanya antara bertahan dan menyerang.  

Di lapangan, tiki-taka butuh seorang yang bertugas sebagai kopling permainan. Jika Arsenal 2007-2008 punya Cesc Fabregas sebagai pemain yang bertugas memindahkan tuas permainan, dari cepat ke lambat atau sebaliknya, maka Barcelona dan Spanyol punya Xavi Hernandez. Oleh alasannya adalah itu tiki-taka menuntut kecakapan, kreativitas, talenta serta sentuhan seorang pemain berkelas.  

Rinus Michels  

Demi mencapai tujuan tertingginya sebagai estetika permainan, kerapkali tiki-taka harus mengorbankan efektivitas. Menurut Raphael Honigstein, tiki-taka lahir alasannya adalah sejatinya orang Spanyol tak tahan dengan tubruk fisik dengan tim-tim Inggris, Italia, Jerman. Untuk mengatasi itu atau menyeimbangkannya taktik mereka adalah bagaimana cara memonopoli bolanya. Kebetulan budaya yang paling cocok dengan gaya itu ialah kultur Hispanik dan sedikit Mediterania yang lebih retro ketimbang budaya Eropa tengah apalagi di utara sana.
                            
Sebenarnya Spanyol hanya memanfaatkan ‘kesulitan’ yang dirasakan oleh bapak moyang tiki-taka sedunia, adalah Marinus Jacobus Hendricus Michels alias Rinus Michels. Pelatih Ajax Amsterdam 1965-1971 ini gedeg melihat gaya Catenaccio, mahakarya Helenio Herrera mampu gegremetan ke-mana-mana termasuk ke Amerika Latin dan Asia selain dijadikan mazhab resmi di beberapa negara Eropa.  

Dulu belum ada istilah tiki-taka ala Spanyol, tetapi orang Belanda menyebutnya sebagai totaal voetbal, sepak bola total. Gaya baru ini makin santer dikenal sebagai tiki-taka saat Rinus sang maestro menukangi Barcelona 1971-1976, hanya beberapa bulan setelah Ajax menjuarai Liga Champion 1970/71.  

Seperti sudah ditakdirkan harus terus bersama, Rinus dan Johan berkumpul lagi di Spanyol melalui Barcelona. Butuh dua tahun bagi Rinus untuk reuni dengan anak kesayangannya itu. Bahkan setahun lalu, Rinus mendatangkan juga ‘fotokopi’ Cruijff, ialah Johan Neeskens. Kerajaan sepak bola juga mengenal istilah dinasti, pewaris, atau putra mahkota.

 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Rinus Michels dan Johan Cruijff saat di Barcelona.
Di periode 1970-an, Rinus meneruskan visinya kepada Cruiff untuk dikelola di dekade 1980-an. Di periode ini Cruiff juga membangun dinasti yang berjaya di periode 1990-an melalui Josep 'Pep' Guardiola. Butuh sepuluh tahunan bagi Pep untuk melihat kedigdayaan tiki-taka di awal dekade kedua milenium.  

Seorang analis sepak bola dari Universitas Oxford, Jed C. Davies, berkesimpulan tiki-taka merupakan revolusi konseptual permainan yang lahir dari gagasan bahwa sejatinya lapangan bola itu fleksibel. Di dalam bukunya, “Coaching the Tiki-Taka Style of Play” ia membeberkan di mata Barcelona satu lapangan mampu menjadi 8 lapangan alasannya adalah seluruh pemainnya fasih geometri. Bukan main.  

Di benak pemain Barcelona, satu lapangan itu otomatis terbagi oleh beberapa lapangan kecil. Saat beraksi, formasi harus dijaga tepat demi penciptaan celah atau ruangan untuk berkreasi. Mereka bisa bermain 3 on 3, 2 on 2, hingga 1 on 1 dari zona satu ke zona lain dengan ritme cepat dan berubah-ubah. Anda bisa membayangkan contoh rubik ini untuk memahami bagaimana Barcelona bermain.

 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Evolusi totaal voetbal ke tiki-taka di Barcelona.
Sementara jurnalis sepak bola Spanyol kenamaan, Sid Lowe, berpendapat lain. Orang Inggris ini lebih mengemukakan aspek psikologis ketimbang teknis, motif dari pada cara, kenapa tiki-taka sangat terkenal di Negeri Matador. Ia mencap tiki-taka sebagai satu hasil sempurna dari perbuatan pragmatis yang berkecamuk di kepala AragonĂ©s. Memainkan bola sendiri sementara 11 orang pihak lawan jikalau mampu, ya menonton saja. Sekilas inilah irisan terbesar dengan tiki-taka-nya Barcelona.  

Ketika membelokkan sejarah indah di 2008, titel pertama Spanyol semenjak 1964, bantu-membantu AragonĂ©s menggunakan tiki-taka untuk mengamankan pertahanannya dari kenakalan penyerang lawan. Lowe sangat meyakininya mengingat seluruh enam gol yang dibuat La Furia Roja, tidak lahir dari gaya tiki-taka. Lima dari serangan balik dan satu dari bola mati.  

Barisan Penentang  

Ketika diambil alih oleh Del Bosque, La Furia Roja semakin bertenaga, garang dan seketika. Maklum banyak rombongan Real Madrid di skuad Piala Dunia 2010 yang terkenal beringas mirip Xabi Alonso, Sergio Ramos, Alvaro Arbeloa atau Fernando Torres. Sebagai mantan pelatih El Real, Del Bosque tahu betul bahwa kolektivitas jadi isu paling strategis di timnya dan beliau pun sukses.

 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Pep Guardiola yakni murid kesayangan Johan Cruijff.
El Barca dianggap sebagai motor tiki-taka sejati sedangkan El Real Madrid melengkapinya dengan ambisi, gairah, tenaga dan garang. Honigstein mendeskripsikan kemenangan Spanyol atas Jerman di semifinal sebagai versi kemenangan paling sulit di mana semua cara main La Furia Roja mampu dibendung Der Panzer kecuali satu hal: kekuatan mengontrol bola.  

Di mata Guy Hedgecoe, wartawan sepak bola dari Iberoshpere, tiki-taka itu justru tidak menghibur dan tidak menyenangkan untuk ditonton. Tiki-taka memang tidak menyajikan serta mewajibkan finisher murni dan saat kita menyaksikannya, maka tidak ada satu pun pemain di depan berkeliaran kecuali gerakan sejajar atau diagonal tiga empat pemain hingga kotak penalti atau gawang lawan!  

“Tidak ada striker, tidak ada bek, dan tidak ada kiper. Sungguh asing, semua 11 pemain bermain sebagai gelandang dan menumpuk di lini tengah. Hanya sesekali saja seseorang berhasil keluar dari gulungan pemain lalu mencetak gol,” katanya. Barangkali di mata Hedgecoe tiki-taka sudah mirip segerombolan ikan sarden yang membentuk bola pertahanan dari serbuan hiu. Kalau Anda sering menonton National Geographic di televisi, pasti sangat mafhum dengan ucapan Hedgecoe tadi.

Memang banyak juga yang mencerca tiki-taka sebagai sepak bola egois. Maksudnya egois adalah karena tim seperti Barcelona tidak memberi kesempatan buat penonton melihat mereka diserang atau lawan menyerang mereka. Di mata kompetitor, tiki-taka juga jadi perburuan obsesi. Hampir semua klub besar Eropa berlomba-lomba menemukan formula anti-nya.

Setelah kekalahan 1-2 Barcelona dari Glasgow Celtic di Liga Champion 2012/13, mata dunia mulai terbelalak alasannya adalah kubu tuan rumah sukses menutup seluruh jenis serangan dan pintu akses Barcelona ketika masuk ke pertahanan Celtic. Ini mirip berkelahi tubruk bosan. Belasan bahkan puluhan serangan sejenis terjadi, namun tim Skotlandia itu sabar menanti dan tabah mengimbanginya.

Di mata Ben Hayward dari ESPN, peristiwa yang menghentak dapat dipercaya manajer (almarhum) Tito Vilanova itu menunjukan Barcelona bisa juga dilanda kejenuhan dan seni manajemen monoton. Mantan tangan kanan Guardiola itu tidak bisa menerapkan tiki-taka dengan tepat. Taktik Celtic mengingatkan orang dengan disiplin besi Chelsea tatkala mengandaskan El Barca 1-0 di Stamford Bridge, April 2012.
 sebenarnya sudah sering dihembuskan para komentator Indonesia dalam beberapa acara siaran Asal Muasal Tiqui-Taca, Sepak Bola Bergaya Geometri
Gaya disiplin dan terus kejar ala Jose Mourinho menghambat tiki-taka.
JosĂ© Mourinho ialah garda terdepan anti tiki-tika. Tidak ada yang mencurigai reputasinya sebagai pengganjal tiki-taka. Tambahan, ia suka yakin bisa mengatasinya alasannya pernah ikut membesarkan Barca sewaktu bersama almarhum Bobby Robson. Jangan lagi Barcelona, tim nasional Spanyol pun dikritiknya. Di mata orang yang menjuluki dirinya sendiri sebagai The Special One itu gaya tiki-taka seperti mengebiri keindahan sepak bola. “Tanpa striker, semua gelandang? Come on,” sindirnya.  

Bahkan Arsene Wenger, manajer Arsenal yang punya konsep permainan menyerang pun ikut mengkritik tiki-taka yang telah mengubah falsafah sepak bola Spanyol. “Awalnya tiki-taka mereka untuk menyerang dan memenangkan pertandingan, namun kini prioritasnya telah berubah. Mereka bertiki-taka yang bosan ditonton itu untuk menghindari kekalahan,” ucap Wenger.  

Sekilas dua ucapan manajer top ini benar. Penonton juga berhak melihat dua tim bertanding dengan semua kemampuannya, menyerang dan bertahan. Bertahun-tahun orang dicekoki Barcelona dengan tontonan timpang. Satu tim memutar-mutar bola, satu tim lagi “memarkir bus” di daerahnya. Tidak ada jalan lain. Sepak bola memang tidak harus berisi tiki-taka semua toh? Layaknya pilihan dalam hidup yang ada potensi dan risiko, maka apapun gaya permainan di sepak bola, juga pasti akan ada anti penangkalnya.

(foto: 101greatgoals/diariogoals/theviewspaper/slate/sport.es/passionFM)

0 comments:

Post a Comment