Sunday, April 22, 2007

Panasnya Derby Jawa

Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik. Sepak bola yaitu olah raga impor yang jadi komoditas penting penguasa lokal dan pemerintahan kolonial Belanda. Awalnya kaum boemiputera tidak boleh ikutan dalam acara sepak bola mengingat voetbal langsung diplot sebagai perbedaan kelas dan status insan di Indonesia.

Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik Panasnya Derby Jawa

Masa-kala sebelum kemerdekaan adalah momen terpenting bagi perkembangan sepak bola. Perekonomian yang mulai membaik di tamat 1920-an, masuknya teknologi (listrik dan telpon) serta transportasi (mobil dan kereta api), kian mempopulerkan permainan ini. Kontribusi besar media massa yang mulai progresif juga mensugesti lahirnya 'budaya bola' di Tanah Air. Berkenaan dengan itu, masih dalam rangka ulang tahun PSSI ke-77, berikut ini diangkat kisah semacam perang kultural di sepak bola yang saya beri judul khusus Derby Jawa, seperti yang diceritakan Sugiarta Sriwibawa dalam buku Kenang-Kenangan 50 Tahun PSSI.

                                                        *******

BEGITU suara sirene tanda buka puasa meraung-raung dari menara Taman Sriwedari, penduduk Solo dan sekitarnya tampak sibuk dan berangasan. Habis makan lantas dandan, berkunjung ke pasar malam adalah tujuan berikut, atau menonton bola. Tapi kebanyakan bumiputera menyaksikan keduanya itu dalam satu malam, yang biasanya dilanjutkan dengan makan sahur.

Konon semenjak zaman Kerajaan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) mengadakan pasar malam pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Dan panitia pasar malam menambah semarak dikala-saat menjelang Lebaran itu dengan pertandingan sepak bola malam hari. Di abad 1930-an ini, sepak bola yakni hiburan yang paling digemari rakyat yang secara massal tidak tertandingi.

Di Stadion Sriwedari sengaja didirikan menara-menara lampu secara permanen, sehingga menjadi atraksi luar biasa waktu itu yang bisa melebihi kemeriahan di Batavia. Pembiayaan ini dimungkinkan mengingat prestasi Persis Solo waktu itu pantas dibanggakan alasannya berkali-kali menjadi juara PSSI.

Yang menggembirakan, kegiatan ini dari secara bisnis pun menguntungkan. Sumber penghasilan terbesar tiba dari pengunjung pasar malam yang semangat berbelanja apa saja mulai dari masakan hingga suvenir. Pemasukan ekstra tentu dari karcis masuk ke stadion.

Penghasilan uang dari pertandingan bola bisa lebih besar lagi apabila yang menjadi lawan kesebelasan tuan rumah ialah tim tetangga, yang menjadi musuh turun-temurun mereka: PSIM Yogyakarta. Sudah jadi heboh tanah Jawa jika Persis bertemu PSIM, maka Stadion Sriwedari niscaya dibanjiri penonton, bukan saja dari Solo dan Yogya tapi juga kota-kota di Jawa Tengah, bahkan dari Jawa Timur.

Orang-orang Yogya mengalir ke Solo bukan saja dengan kereta api NIS atau SS, tapi juga dengan bis, taksi bahkan andong dan sepeda, menempuh jarak 62 km pergi-pulang! Yang memakai kereta, niscaya mengenal istilah laatse trein, kereta api terakhir, alasannya seusai pertandingan para suporter PSIM langsung buru-buru kabur ke stadion biar tak tertinggal kereta penghabisan.

Penonton Gelap

KARCIS bola yang termurah masih seharga 15 sen, kira-kira sama dengan harga tiga liter beras. Meskipun penonton berjubel-jubel di sekitar loket, tapi tak tampak atau teriakan calo karcis model kini: "karcis lebih, karcis lebih!" Sebab jika ada, polisi niscaya akan bertindak cepat tanpa ampun terhadap para tukang catut.

Meski begitu, penonton yang menyelundup tak kurang banyaknya. Waktu itu Stadion Sriwedari masih berpagar papan kayu yang ditempeli berbagai gambar reklame atau iklan. Sebagai penyangga dinding papan itu, dibentuk tanggul tanah berumput mengitari stadion.

Nah, di celah-celah antara tanggul dan pagar papan itulah orang-orang yang nggak punya duit tapi punya nafsu berpengaruh nonton bola, secara naluriah akan menerobos dengan cara mengendap-endap, bertiarap. Bagi yang bertubuh gemuk terpaksa beliau harus menggangsir gundukan tanah atau tanggul itu.

Untungnya polisi jarang menangkap para penyelundup alias penggangsir atawa penonton gelap, kecuali hanya mencegahnya sambil mengayun-ayunkan kenut atau tongkat karet. Pernah seorang yang perutnya buncit mengalami nasib sial. Ia tak bisa menggerakan tubuhnya, macet lantaran pinggangnya terjepit papan reklame.

Polisi datang. Tapi yang terjadi malah di luar dugaan. Pak polisi justru terbahak-bahak melihat adegan itu. Sejenak lalu, orang-orang yang juga melihat itu menahan nafas sembari bertanya-tanya dalam hati, mengapa tiba-tiba polisi itu pasang kuda-kuda. Rupanya dengan dengkulnya, polisi itu menyepak keras-keras pantat si gendut.

Dan, kreek, kreek, papan reklame dari kayu jati nan tebal itu berderak. Tubuh si gendut mulai terbebas dari jepitan. Akhirnya dengan sekali tendangan berpengaruh dari pak polisi, badan si penggangsir itu terjerembab ke dalam stadion!

Sambil memegang pantatnya, tanpa menengok lagi, dia terseok-seok menyelinap ke arah belakang gawang Persis Solo, tempat paling favorit penonton tuan rumah karena semuanya ingin menyaksikan dari dekat gerak-gerik Raden Maladi, kiper nasional pertama PSSI yang juga penjaga gawang andalan Persis Solo.

Aksi Petaruh
Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik Panasnya Derby Jawa

KEMBALI ke pertandingan. Duel Surakarta kontra Yogyakarta waktu itu merupakan sabung terpanas di Tanah Jawa. Ini sebuah pertarungan klasik di olah raga yang boleh disebut-sebut sebagai perang saudara (derby) di Jawa paling dinantikan-tunggu. Setelah berkali-kali berlangsung, terbukti jikalau langgar diadakan di Solo, maka Persis akan unggul. Begitu juga jika pertempuran digelar di Stadion Kridosono, maka PSIM lebih sering menangnya.

Menjelang dimulai, banyak atraksi yang dihadirkan penonton. Di depan pintu masuk untuk pemain, tampak orang-orang bergerombol ingin melihat kedatangan pasukan kedua kesebelasan. Satu per satu para pemain Persis datang. Hampir semuanya naik sepeda! Mereka datang sudah memakai uniform lengkap termasuk sepatu bolanya, biasanya hanya talinya saja yang belum diikat berpengaruh-kuat.

Para skuad Persis mengenakan seragam kebanggaan tuan rumah berwarna merah hati, yang terbuat dari kain laken, dengan handuk putih kecil ditaruh di kerah. Di antara kerumunan orang-orang itu sering terdapat para petaruh dan agen rahasia petaruh. Mereka ingin secepat mungkin melihat pemain-pemain siapa saja yang bakal turun ke lapangan.

Umpamanya jika Maladi absen, maka para petaruh tidak berani memperlihatkan voor yang tinggi. Persis Solo tanpa Maladi dianggap Persis tweede atau Persis kelas dua. Menjelang jam 19.30, waktu kick-off, para petaruh masuk ke stadion. Markasnya terletak di sebelah timur laut. Mereka terdiri dari botoh-botoh Jawa, Cina dan encik peranakan Arab. Bahasa sandi yang dipakai biasanya bahasa Jawa ngoko diselang-selingi kromo.

Di tengah-tengah tribun, pada mimbar kehormatan, para pembesar dan pengurus bond mengenakan pakaian resmi kain dan ikat kepala. Ini busana resmi priyayi dan pegawai zaman itu yang juga sering dipakai guru-guru, dikala pak raden bepergian naik kereta api ke Batavia, pergi ke dokter, mengunjungi ke pasar malam atau menonton wayang orang.

Begitu peluit pertama melengking, hampir semua penonton bangun. Satu per satu pemain yang memasuki lapangan diperhatikan seksama dan mereka sebut namanya. "Persis komplit!" jerit mereka saling mendahului sesudah melihat sebelas pemain yang masuk lapangan. Situasi semakin mirip sudah mendapatkan kemenangan mana kurun mereka juga mengetahui barisan starting line-up PSIM. "PSIM tidak komplit!" celetuk seorang penonton bersarung pelekat.

"Kartawa tidak ikut," sambungnya.

"Takut," tukas penonton lain yang bersisiran belah tengah.

Kartawa, kiri luar PSIM, rupanya menjadi sosok tidak terkenal dikala itu bagi wong Solo. Bahasa keren-nya, ia telah di-persona non-grata-kan oleh pendukung Persis karena 'membelot' ke kubu Yogya. Kartawa bahu-membahu orang Klaten, yang masuk Karesidenan Surakarta, tapi justru membela PSIM.

Para pendukung fanatik Persis masih ingat bagaimana pada derby sebelumnya, Kartawa telah mematahkan hati mereka. Ia mencetak gol kemenangan lewat tendangan penalti yang memang menjadi spesialisnya. Gaya Kartawa mengeksekusi penalti terbilang unik, bahkan untuk zaman kini. Sebelum menendang sehabis bola diletakkan di titik putih, ia membelakangi bola termasuk penjaga gawangnya. Begitu priit, Kartawa segera membalikkan badannya dan pribadi menendang bola.

Waktu itu, Yahman, kiper Persis yang jangkung sebelum munculnya Maladi, sampai tak sempat bereaksi alasannya masih terbingung-bingung melihat aksi orisinal Kartawa nan unik. Teknik ala Kartawa ini memang dimaksudkan semoga arah sepakannya tidak terbaca kiper.

"Alaah, cuma Kartawa seorang diri saja kok ditakutkan," ucap seorang penonton berbaju surjan sambil terbatuk-batuk.

"Memasukkan gol dengan penalti kok tidak tahu aib," timpal temannya yang mengenakan setelan piyama bergaris-garis layaknya mirip hendak tidur.

Ada semacam arahan etik pada sepak bola zaman itu, yang barangkali hanya berlaku di kalangan orang Jawa: bikin gol dari tendangan 12 langkah dianggap kurang patut, agak memalukan. Saking gampangnya, demikian pendapat kebanyakan orang. Maka di beberapa pemain yang di dirinya masih tertanam budaya ewuh pakeweuh, saat melaksanakan hukuman penalti, dengan sengaja dia akan menendang bola kuat-kuat ke kiri atau kanan gawang. Atau jikalau tidak, menyepak pelan ke arah kiper! Owalaa!

Badut Lapangan
Adalah fakta sejarah bahwa sepak bola nasional lahir dari kepentingan politik Panasnya Derby Jawa

NAMUN malam itu, keberuntungan dari titik penalti justru diraih tuan rumah. Padahal Persis sudah banyak bikin gol ke gawang PSIM. Pemain yang 'nekad' mengambil hukuman malam itu ialah si Gareng, seorang priyayi yang bernama orisinil Raden Mas Sumarno. Ia seolah tak perduli, masbodoh saja oleh cibiran ala Jawa soal tendangan penalti. Justru sebaliknya, Gareng berniat memberi hiburan khusus bagi penonton Sriwedari malam itu.

Cara Gareng mengeksekusi penalti cukup menciptakan sebagian penonton jadi cekikikan. Bola yang ditendangnya pelan tapi dipuntir. Kiper menubruk ke kanan, tapi bolanya menggeleser ke kiri. Di benak Gareng mungkin ada sedikit kesan me-revans atas agresi Kartawa sebelumnya. Namun, tetap ada komentar sinis.

"Tendangan penalti kok dipamer-pamerkan," lagi-lagi kata pria berbaju surjan.

Gareng, si penyerang tengah Persis ini bantu-membantu tak pantas menjadi striker karena badannya yang tinggi besar. Gerak-geriknya juga rada lamban. Namun ia punya keunggulan lain. "Jago goreng bola", istilah beken untuk giring bola saat itu. Juga operannya berkelas tinggi, konon mirip yang dilakukan penyerang nasional Thee San Liong pada awal lima puluhan. Yang perlu diingat lagi, abad itu kesebelasan yang tak punya 'tukang goreng bola' tidak akan ditonton orang!

Potongan Gareng berkebalikan dengan striker utama PSIM, Jawad. Inilah cuilan penyerang berkelas hingga ke tulang belulangnya. Keras, cepat, badung dan punya tendangan menggeledek. Walaupun formatnya rada beda, tapi dialah pemain yang paling seperti dengan Ramang, striker nasional legendaris asal PSM Makassar. Jawad dijuluki orang 'Ramang sebelum perang'.

Malam itu Persis menampilkan showman jempolan, ialah Yazid. Kebetulan beliau yaitu kakak kandung Gesang, pencipta dan penyanyi lagu Bengawan Solo. Ia badut lapangan yang tak ada duanya. Ulahnya, gerak-gerik dengan atau tanpa bolanya selalu mengecoh lawan.

Yazid juga piawai menggoreng bola. Kadang dia menggoreng bola sambil mengikat tali kolornya yang kedodoran. Usai menerima umpan, beliau sengaja memelorotkan celananya lantas dipeganginya dengan kedua tangan sambil kabur menggiring bola!

Larinya memang tidak secepat dua winger beken Persebaya, Stalder atau Manuputty, tapi umpan-umpan Yazid yang pulen dan perang urat syarafnya yang meneror mental lawan, merupakan kenangan tersendiri bagi pendukung Persis bahkan dalam sejarah sepak bola Indonesia sebelum perang kemerdekaan. Di kubu PSIM pun berkumpul pemain-pemain dengan penguasaan bola yang halus dan berkelas tinggi seperti Gilig, Wajis atau Naruchman.

Kehebatan Sidhi

TETAPI Persis punya pemain sayap kanan yang tak mampu disebut ortodoks, adalah Arman. Ia bisa mengambil bola dari belakang, switch ke tengah, menyerang dari segala penjuru, tik-tak, dan bergerak terus, meski senjata utamanya melarikan bola sepanjang garis.

Persis pun punya seorang tukang babat yang selalu tegas dalam bertindak, adalah Kingkong. Nama sebenarnya Sumaryo, yang kemudian hari menjadi perwira tinggi kepolisian di Semarang. Gaya permainannya seperti Sonny Sandra di tahun enam puluhan.

Tapi bintang di antara semua bintang Persis zaman itu adalah Sidhi, centerhalf dan all-rounder yang kesannya menjadi kapten nasional Indonesia di awal tahun limapuluhan. Ia bukan saja anggun tapi juga 'menari', sehingga mendapat sebutan Si Serimpi. Ia mengembara ke mana-mana, turun naik dan long-passing-nya yang terukur bisa membuat counter-attack yang mengejutkan.

Tekling-nya tajam mirip gunting. Gamesmanship-nya sering menunjukkan kepuasan penonton dengan keterampilan individual: menyetop bola lambung tanpa mental sedikitpun, sehingga bola itu mati bagaikan burung kena pulut di ujung bambu! Pokoknya banyak gerakan akrobatik yang sering ditampilkannya.

Setelah penyerahan kedaulatan RI, permainannya lebih zakelijk (saklek, kaku) balasan penanganan coach nasional Choo Seng Quee, yang menggeser tempatnya ke belakang sebagai spil dan stopper. Tapi long-passing-nya ke depan yang akurat tetap menawarkan andil bagi lini depan. Dilihat dari segi teknis permainannya, dan last but not least yang tanpa cacat suap, Sidhi pantas dianggap sebagai salah satu pesepak bola terbesar Indonesia.

Di zaman pendudukan Jepang, Persis masih sering tampil di Sriwedari menghadapi Jakarta, Surabaya atau Purwakarta. Di tim yang belakangan ini ada pemain top berjulukan Isaak Pattiwael yang dijuluki 'Macan Purwakarta'. Hebatnya beliau salah satu anggota tim nasional Dutch Indies yang tampil pada Piala Dunia 1938 di Prancis!

Saat melawat ke Solo, Persija Jakarta diperkuat oleh Mahmul, kiper gemuk tapi lengket tangkapannya. Lalu bek cekatan Ruslan dan trio tangguh Sanger, Abidin dan Teck Eng, serta kanan luar Iskandar. Lewat andil mereka, Persis terpaksa main dengan hasil seri 2-2. Mahmul, Ruslan, Abidin, dan Pattiwael pada zaman revolusi hijrah ke Klaten.

Namun mereka tidak bergabung ke Persis, melainkan ke PSIK Klaten lantaran ditawari bekerja di pabrik sepatu Gayamprit. Boleh jadi, kepindahan ini seperti sebuah kisah transfer pemain tempo doeloe. Sebelum hijrah ke Klaten, Mahmul, Ruslan, dan Abidin adalah anggota kesebelasan Bata Jakarta. Saat itu perusahaan sepatu milik Belanda ini boyongan sambil membawa peralatan pabrik ke Jawa Tengah.

(foto: photobucket/fbcdn.net/youtube)

0 comments:

Post a Comment