Tuesday, January 11, 2000

Pandangan Baru Kemerdekaan Di Benua Hitam

Tahukah Anda bahwa penggerak Piala Afrika adalah seorang dokter? Dan tahukah Anda Piala Afrika ada hubungannya dengan Indonesia? Ya, usai penyelenggaraan Gerakan Non Blok 1954 di Kolombo, Sri Lanka serta Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, bangsa-bangsa Afrika menjadi semakin percaya diri dalam segala hal, termasuk sepak bola.

Tahukah Anda bahwa pelopor Piala Afrika adalah seorang dokter Inspirasi Kemerdekaan Di Benua HitamPada 1956, Dr. Abdul Halim Mohammad Abdul Halim yang berasal dari Sudan mengepalai delegasi Afrika ke Kongres FIFA di Lisbon, Portugal, dengan tujuan menggolkan keinginan Afrika untuk membentuk federasi sendiri serta membuat kejuaraan regional. Setelah mendapat restu dari FIFA, Sudan, Afrika Selatan, Ethiopia, dan Mesir mendirikan CAF (Confederation of Africa Football)Ditelaah dari daerahnya, terlihat hanya negeri yang di ujung (Utara-Selatan) pada dikala itu yang mampu berpikir ke depan berkat peradabannya yang lebih maju dibanding wilayah sisanya, terutama di bagian tengah. 

Keempat ras negara Afrika itu pun bukan Afrika totok seperti misalnya Uganda, Kenya atau katakanlah Gabon. Tiga negara di utara, rada berbau Arab. Yang di bawah (Afsel) malahan berbudaya Barat alasannya adalah realitanya Afrika Selatan masih dikuasai orang-orang Eropa.

Setahun kemudian turnamen sepak bola antarnegara digelar dengan nama Africa Cup yang direncanakan akan bergulir setiap dua tahun. Karena banyak tidak siap dan mampu menyusun tim nasional - gara-gara mayoritas negara Afrika belum banyak yang merdeka - kejuaraan terpaksa hanya diikuti para pendirinya kecuali Afrika Selatan.

Negara berpemerintahan Eropa itu kesulitan membentuk tim nasional di masa rasialis dan politik apartheid sedang panas-panasnya. Sebenarnya Afsel bisa membentuk tim nasional sepak bolanya, tetapi semua pemainnya barangkali bule-bule alias berkulit putih. Ini terperinci bertentangan dengan simbol Afrika. Kemana pemain kulit hitam atau pemain aslinya? Hanya dua hal, mereka tidak mau bergabung atau memang dihentikan oleh pemerintahan apartheid.

Jadilah Piala Afrika pertama pesertanya hanya tiga negara. Hebohnya, saat pertama kali diadakan di Sudan, pemimpin gres Mesir ketika itu, Kolonel Gamal Abdul Nasser, menyatakan negerinya terlibat perang sungguhan terhadap Ethiopia gara-gara konflik perbatasan. Bayangkan, di ketika mereka perang beneran di meda berkelahi, Mesir dan Etiopia juga bertempur di lapangan hijau! Barangkali juga karena patriotisme para pemainnya yang membludak, Mesir tampil sebagai juara sesudah menang 2-1 atas Sudan dan melumat musuh sesungguh-sungguhnya, Ethiopia, dengan skor 4-0.

Mesir merebut piala yang diberi nama Trofi Abdelaziz Abdallar Salem, lantaran orang Mesir ini yakni Presiden CAF yang pertama. Di edisi kedua turnamen, 1959, Mesir kembali meraih gelar juara. Uniknya, yang tercatat di trofi bukan nama Mesir melainkan Republik Arab Bersatu alias United Arab Republik (UAR) yang hanya hidup selama tiga tahun (1958-1961).

Saat itu akibat pergolakan politik di Timur Tengah, Kolonel Nasser telah menyatukan negaranya dengan Suriah. Kali ini yang berkumandang bukan lagi lagu kebangsaan Mesir, Es Salaam El Gamhoury El Misri, tetapi lagu kebangsaan UAR, Walla Zaman Ya Selahy (Oh Senjataku).
Tahukah Anda bahwa pelopor Piala Afrika adalah seorang dokter Inspirasi Kemerdekaan Di Benua Hitam
Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah (Ghana), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Soekarno, dan Josip Broz Tito.
Bicara peta politik saat itu, di Afrika sedang 'terbakar' oleh kebencian anti-Barat, anti-penjajahan. Kebangkitan negara-negara Afrika untuk menemukan kemerdekaannya menjadi inspirasi bagi Nasser yang kemudian gotong royong Kwame Nkrumah (Ghana), Jawaharlal Nehru (India), Presiden Soekarno (Indonesia), dan Josip Broz Tito (Yugoslavia) mendirikan Non-Alignment Movement alias Gerakan Non-Blok (GNB) di Kolombo pada 1954 yang hingga kini masih eksis.

Setelah GNB berdiri, dalam taraf tidak langsung sebagai kelanjutan dari KTT 1955 di Bandung, Indonesia, berbagai negara di Afrika menerima kemerdekaannya. Hal ini tentu saja menguntungkan buat Piala Afrika sebab turnamen semakin marak sehabis banyak negara baru yang bisa ikut.

Edisi ketiga kejuaraan baru bergulir ketika diselenggarakan di Addis Ababa, Etiopia, Januari 1962. Ketika itu pemerintahan Nasser telah digulingkan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Pengaruh Mesir di CAF pun jadi menciut dan turnamen yang sudah telat setahun digulirkan itu diubah namanya menjadi The African Nations Cup (ANC Cup). Tim tuan rumah yang bertanding di hadapan rajanya, Kaisar Haille Selassie, kali ini menjuarainya.
Tahukah Anda bahwa pelopor Piala Afrika adalah seorang dokter Inspirasi Kemerdekaan Di Benua Hitam
Kaisar Haille Selassie memberi trofi juara kepada Ethiopia.
Sejak awal keberadaannya, Piala Afrika terbukti selalu mengandung kehebohan, terutama perubahan tempat yang mendadak. Di tahun 1962, bahu-membahu yang menjadi tuan rumah ialah Zimbabwe. Namun mendadak dipindahkan ke Ethiopia atas restu Kaisar Haile Selassie. Pada 1988, Zambia digantikan Maroko. Empat tahun sebelumnya, kawasan Malawi juga diberikan kepada Pantai Gading.

Demikian pula dikala pada 1996 status Kenya sebagai tuan rumah terserabut begitu saja balasan tak satu pun peserta yang mau datang ke negara tersebut lantaran ketika itu stadion utama Mombasa belum rampung dibangun! Bukan itu saja, yang lebih angker ialah virus Ebola tengah marak-maraknya menyerang negara itu! Akhirnya daerah Kenya diisi oleh Afrika Selatan, yang lalu muncul sebagai juara.

Dalam sepak bola Afrika, apapun bisa menjadi problem, apalagi perihal perbedaan. Penggunaan merek kejuaraan misalnya. Awalnya ialah The Africa Cup of Nations atau ANC Cup. Namun dikala diubah menjadi CAN, diambil dari bahasa Prancis, Coupe d'Afrique des Nations, timbul protes bagi negeri-negeri yang tidak berbahasa Prancis. Mereka lebih menyukai kependekan Inggris-nya, AFCON. Hingga kini masalah merek tersebut belum murni disepakati bersama.

(foto: 3waffy/gen20.xyz)

0 comments:

Post a Comment