Seorang pemain paling kontroversial telah mengundurkan diri dari percaturan sepak bola internasional. Iswadi Idris si “L’enfant terrible” telah menyatakan pengunduran dirinya 22 Mei 1980 lalu kepada PSSI dan organisasi pengatur sepak bola nasional itu menyetujuinya disertai ucapan terima kasih.
“Anda tahu kenapa ia melakukannya? Ia sudah memperoleh gantinya di sini,” kata Hari Suharto, seorang pembina sepak bola di Jakarta Selatan. Yang dimaksudkannya “di sini” adalah sebuah meja bilyar di restoran Hotel Tambora, Kebayoran Baru.
Iswadi tersenyum tanpa menoleh kepada pembicara. Hampir tiap pagi kadang kala sampai menjelang latihan sore, dia memang menenggelamkan kesibukannya menyodok bola-bola bundar kecil itu. Permainannya sudah memiliki kelas. Melawan pemain-pemain biasa beliau selalu memberikan “voor” 20 hingga 30.
Senyuman Iswadi yang khas merupakan aba-aba yang mengandung sejuta arti. Tapi siang itu senyumannya yakni untuk menyampaikan “tidak”. Dan bukan sekedar menyatakan bahwa bilyat hanya sebagian dari beberapa kegemarannya – di samping catur, bridge, musik, dan membaca “apa saja”. “Sepak bola masih tetap merupakan jalan hidup saya. Saya hanya mengundurkan diri dari kesebelasan nasional. Saya masih tetap bermain dan melatih untuk Jayakarta,” katanya.
“Saya sudah terlalu usang bermain untuk kesebelasan nasional,” katanya untuk menjelaskan pengunduran dirinya. Ada pendapat yang menyampaikan bahwa dengan terus menerus bersedia dipanggil PSSI sesungguhnya aku melakukan monopoli. Hingga pemain-pemain muda merasa tertekan, seakan-akan kesempatan mereka aku tutupi.
Kuala Lumpur
“Saya tak mau kesan itu berlanjut. Tapi yang juga mendorong aku mundur ialah usia saya. Saya sudah 32 tahun kini. Saya rasa sudah waktunya untuk lebih memikirkan keluarga".
"Satu hal lain yang bisa ditambahkan di belakang gugusan alasan pengunduran dirinya itu yakni sejarah. “Saya pertama kali memperkuat PSSI untuk pertandingan internasional di Kuala Lumpur, dan di ibukota Malaysia itu pula saya ingin mengakhirinya”.
Tahun 1967, dalam umur 19 tahun, bekerjsama Iswadi sudah mulai mengenakan kostum PSSI dikala kesebelasan nasional dihadapkan dengan Uni Sovuet ingusan di Medan. Tapi penampilan pertamanya dalam pertandingan “full internasional” memang gres diperolehnya di Kuala Lumpur, setahun lalu.
Saat itu permainannya sedang mulai menanjak, kebetulan bersamaan dengan tengah memuncaknya prestasi regu nasional. Di Kuala Lumpur dalam turnamen Merdeka Games itu, PSSI hanya menduduki urutan ke-4, tapi tak lama lalu di Bangkok, mereka menjuarai turnamen King’s Cup.
Bagi Iswadi sendiri masa-kala itu amat mengesankannya, terutama dalam keberhasilannya menjadi pemain sayap kanan yang dikagumi baik oleh mitra maupun lebih-lebih lawan.
Pasangan bermainnya abad itu ialah Abdul Kadir di sayap kiri, Jakob Sihasale sebagai penyerang tengah dan Sutjipto Suntoro yang menjadi pengumpan serta penyerang-ekstra produktif dari posisinya di lapangan tengah.
Di lapangan tengah itu sendiri masih ada Basri Yusuf dan Surya Lesmana, sedangkan di formasi empat-belakang terdiri atas Yuswardi, Anwar Ujang, Mulyadi, dan Sunarto.
“Saya amat mencicipi permainan kami waktu itu sangat kompak.Semua pemain saling mengerti gaya dan kehendak pemain lainnya, sampai kerjasama kami cocok sekali. Ibaratnya, sambil merem pun permainan jalan.”
Setahun lalu, 1969, mereka kembali ke Kuala Lumpur, dan tidak lagi nomor empat, tapi juara. Sayang, piala yang mereka rebut di Bangkok tahun sebelumnya terlepas, dan harus puas menjadi runner-up.
“Sejak itu sampai awal 1972 pamor kesebelasan PSSI memang menurun. Bahkan dalam turnamen internasional di dalam negeri, Jakarta Anniversary Cup, kami tidak bisa menjadi juara.”
Tapi Iswadi bersama sebagian besar rekan-rekannya di PSSI, masih sempat menikmati hari-hari cerahnya dalam klub Pardedetex di Medan – klub yang dianggap sebagai perintis sepak bola bayaran a la Indonesia.
Iswadi sendiri beberapa kali ikut dipanggil PSSI. Ia gres muncul kembali pertengahan 1972 ketika PSSI disiapkan untuk turnamen Anni Cup. Dengan PSSI masih memakai sistem Komisi Teknik yang diketuai Sjarnubi Said, Iswadi cs muncul sebagai juara. Tak lama lalu di Singapura mereka juga menjuarai turnamen Pesta Sukan, bahkan dalam suatu “All Indonesian Final” sebab PSSI mengirimkan dua kesebelasan sekaligus.
Dalam kurun “malaise” PSSI di gelanggang internasional sejak 1972 itu, Iswadi masih menikmati karir dengan jalannya sendiri. Selama dua tahun, 1974 dan 1975, ia dikontrak “dengan honor cukup besar” oleh klub semi-prof di Sydney, Australia – Western Suburbs. Kembali dari sana ia pindah dari klub lamanya, Indonesia Muda, ke Jayakarta dan bersama Anjas Asmara cs mempertahankan gelar juara Divisi I Persija.
Masih dalam grafik naik turun PSSI yang belum juga mampu merebut sesuatu turnamen internasional, Iswadi juga keluar masuk pelatnas. Ia sempat membuat heboh saat tahun 1977, Ketua Umum PSSI saat itu, Bardosono, menyuruhnya pulang ke Jakarta seusai pertandingan kedua dalam Pra-Piala Dunia 1977 di Singapura, meski kemudian datang lagi dan bermain kembali dalam pertandingan terakhir melawan tuan rumah di mana Indonesia menang 4-0.
Kostum PSSI masih terus beberapa kali dikenakannya, hingga yang terakhir dalam Pra-Olimpiade 1980 di Kuala Lumpur bulan Maret kemudian saat dia bertekad untuk mengundurkan diri dari kegiatan internasional. “Saya mulai di Kuala Lumpur dan aku akhiri juga di Kuala Lumpur. Kebetulan dikala aku berangkat hari itu, 18 Maret, persis kelahiran aku.”
Joel Lambert
Selama 12 tahun ikut serta dalam percaturan sepak bola, tapi Iswadi tidak tahu berapa kali beliau memperkuat regu nasional. Juga tak diingatnya berapa gol yang telah dicetaknya.
Kenangannya lebih menempel kepada Joel Lambert, orang yang mula pertama membinanya melalui klub anak-anak gawang, MBFA, dikala beliau masih 9 tahun. “Ia seorang pembina yang luar biasa. Dedikasinya sangat besar dan tanpa pamrih. Kehidupan pribadinya masih tetap sangat sederhana sampai kini, hingga setiap kali bertemu, saya aib. Merasa berdosa karena saya belum juga bisa membantunya.”
Lambert, yang tahun 1973 dipilih para wartawan olah raga Jakarta sebagai Pembina Terbaik, memang dikenal sebagai penemu dan pencetak banyak pemain berbakat yang kemudian menjadi populer seperti juga Bob Hippy. Iswadi pun dalam abad itu ikut menjadi juara antar kesebelasan gawang di dalam asuhannya.
Tahun 1961, dalam umur 13 tahun, Iswadi mulai masuk IM yang kawasan latihannya kebetulan tidak jauh dari rumahnya di Jl. Kramat Lima, Cikini. Pelatih pertamanya di situ juga masih hangat dalam kepalanya, yakni Murdono yang sekarang sudah almarhum.
Bahkan dalam klub IM itulah beliau menjadi makin matang. Itu pula sebabnya ia suka menghabiskan waktunya di Tambora, kawasan rendezvous bagi kebanyakan anggota IM. Tapi beliau menjadi besar bukan tanpa bantuan talenta yang diturunkan orang tuanya.
Idris, yang sudah enam tahun meninggalkannya, pernah menjadi pemain sepak bola cukup baik. “Kawan mainnya waktu itu yakni ayah Tan Liong Houw,” kata Iswadi yang hanya memiliki seorang adik, wanita, dan kini pun menikah dengan seorang bekas pemain sepak bola.
Ny. Idris pada kala mudanya juga seorang atlit seperti saudara-saudaranya yang lain, meski tak sempat menjadi atlit besar pula. Iswadi yang lahir di Banda Aceh saat ayahnya menjadi guru SMP di sana, mirip muncul untuk menjadi penerus bakat kedua orangtuanya dalam bentuk lebih lengkap.
Hasilnya kemudian memang terbukti. Tapi menjadi anak pria tanpa saingan, dan besar di kalangan anak-anak Kramat yang keras, agaknya juga mensugesti aksara Iswadi. Ia menjadi seorang dewasa yang mempunyai cukup kecerdasan – sempat mencapai tingkat III Fakultas Ekonomi extension UI – tapi juga seorang yang badung, “l’enfant terrible”.
Sikap itu nampak dalam permainannya di lapangan. Dalam kala sehabis Sutjipto mengundurkan diri, beliau ganti menjadi motor dalam kesebelasan nasional. Tapi sementara itu beliau juga beberapa kali menjadi awal dari terjadinya peristiwa, bahkan meski ban kapten melingkari lengannya.
Apakah itu ada hubungannya dengan kostum nomor 13 yang menjadi favoritnya? Iswadi menggeleng. “Saya senang nomor itu untuk menerangkan bahwa apa yang dikatakan orang buruk, buat aku justru tidak.”
Tentang kenakalannya itu sendiri beliau bilang. “Itu hanya luapan emosi aku di lapangan. Saya tak bisa melihat mitra saya dilukai lawan. Kalau saya membelanya dengan memukul lawan, itu juga karena terpaksa. Tapi selalu, sehabis memukul aku sadar bahwa perbuatan saya itu salah.”
Belakangan ia mulai kurang reaktif. Posisi yang ditempatinya, di barisan belakang, nampaknya mengurangi perilaku agresifnya. Juga usianya yang mulai menua, dan keluarga dengan satu anak laki-laki yang ditanggungnya.
Tapi Iswadi masih terus dalam gugusan pemain yang patut dipuji otak dan keterampilannya. Istri almarhum pelatih Tony Pogaknik bahkan pernah membuka kembali apa yang pernah dikatakan suaminya perihal Iswadi: bahwa dia bahu-membahu lebih berbakat untuk menjadi pemain belakang, posisi yang gres ditempatinya setelah hampir 10 tahun menjadi penyerang.
“Saya sadari hal itu, tapi saya tidak tahu kenapa. Mungkinkah hanya alasannya dulu aku mengagumi Tan Liong Houw?” Tapi kekagumannya terhadap Liong Houw hanya sekedar ikut-ikutan. “Saya hanya sekali atau dua kali melihatnya main. Sekarang kalau aku ketemu malah maunya berantem melulu”.
Pemain yang justru dikaguminya sungguh-sungguh yaitu Gunther Netzer, pemain tengah Jerman Barat, yang tidak sempat memperkuat regu nasionalnya dalam Piala Dunia 1974. “Ia seorang dirigen. Beckenbauer hanya bermain di barisan belakang. Tapi Netzer, dia menjadi motor dari posisinya di lapanga tengah dengan keunggulannya membaca permainan lawan. Saya coba berpikir mirip Netzer”.
Masa Depan
Netzer kini menjadi general manager klub Hamburg SV, juara Jerman Barat tahun kemudian yang sekarang gagal mempertahankannya. Iswadi masih main untuk Jayakarta sambil melatih. Apakah karirnya akan dilanjutkan seperti Netzer? “Saya belum tahu. Terus terang, hingga sekarang saya masih terus berpikir akan jadi apa nanti. Mungkin tetap di sepak bola, mungkin juga tidak. Tentu saja aku punya ambisi untuk menjadi instruktur nasional. Tapi aku lihat waktunya. Saya kan gres mulai”.
Baru mulai, tapi Iswadi mempunyai modal cukup untuk menjadi pelatih yang baik tidak saja dengan pengalamannya sebagai pemain. Ia mempunyai sertifikat pelatih dari Federasi Sepak Bola Australia. Tahun 1978 selama satu setengah bulan beliau juga sempat menyaksikan dari dekat sistem latihan dalam tiga klub Divisi I Inggris, Derby County, Arsenal, dan Tottenham Hotspur.
Apapun karir yang akan diselaminya kelak, dia mempersembahkannya untuk kebahagiaan keluarganya. Menikah tahun 1972 dengan Esly Pardede yang dikenalnya ketika masih bermain untuk Pardedetex, Iswadi kini memiliki seorang anabawang berumur 4 tahun, Fanny Irwan. Mereka tinggal dalam sebuah rumah cukup mewah di kawasan Rawamangun dengan sebuah Honda Civic di garasinya. “Semuanya hasil saya bermain di Sydney”.
Tapi bukan Sydney yang menjadi kenangan paling bagus dalam karirnya meskipun di sana ia sempat terpilih sebagai salah satu pemain terbaik dalam kompetisi liga Australia. Kenangan paling cantik buat Iswadi justru di Medan saat Persija memenangkan turnamen Piala Marah Halim tahun 1977 – hanya tiga ahad setelah kegagalan PSSI di Singapura.
“Di Medan saya rasakan sekali betapa indahnya kemenangan, dan betapa sakitnya kekalahan. Saya begitu dicemoohkan di Singapura, bahkan dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan. Tapi di Medan saya buktikan bahwa semuanya itu bohong!” (Sumohadi Marsis, Kompas Sabtu 31 Mei 1980).
Foto: Forza Persija.
Foto: Forza Persija.